Hendra memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Dia menancap gas, agar mobil Maya bisa tersusul. Dia tak ingin kehilangan jejaknya. Sayang, mobil wanita itu sudah tak terlihat lagi.
Akan tetapi, Hendra tak kehilangan akalnya. Dia mengarahkan mobilnya ke rumah indekos Maya. Pria itu merasa yakin, bahwa kekasihnya pasti pulang ke rumah ini.
Sampai di depan rumah indekos Maya, Hendra baru teringat. Malam sudah beranjak larut. Sehingga dia tak bisa seenaknya bertamu ke sana. Bisa runyam akibatnya. Hendra pun mengurungkan niatnya. Dia hanya bisa memandang rumah indekos itu dari jalan raya.
Kamar indekos Maya yang berada di lantai atas, dapat di lihat dari luar. Hendra melihat kamar itu tampak gelap. Mungkin dia sudah tidur. Gumamnya.
“Ah! Oke, ndak papa. Aku akan menunggumu di sini,” ucap Hendra liri, bergumam sendiri. Dia menyatukan jari kedua tangannya kemudian meletakkannya di belakang kepala. Sambil masih memerhatikan kamar indekos Maya.
Tiba-tiba Hendra dikejutkan dengan suara orang yang mengetuk pintu mobilnya dari luar. Dengan tergagap, Hendra membuka matanya. Dia melihat di luar mobilnya tampak begitu terang. Rupanya, pria itu telah tertidur semalaman di dalam mobil hardtopnya hingga seseorang telah membangunkannya dari luar.
“Maaf, Pak. Saya ketiduran,” jelas Hendra tanpa dimintai. Dia sambil membuka jendela mobilnya.
“Oh, ya. Saya tahu. Kelihatan dari wajah Mas-e,” ucap pria yang telah membangunkan Hendra sambil tersenyum arif.
“Hmmm, kelihatannya Mas ini lagi nunggu seseorang? Kalau boleh tahu, siapa?” tanya pria itu lagi.
Hendra pun bergegas keluar dari mobilnya. Sekadar menghormati pria yang menjadi lawan bicaranya.
“Anu, Pak. Eh, iya. Sebenarnya saya sedang menunggu teman. Tapi, saya kok malah ketiduran di sini,” jawab Hendra menjelaskan setelah berada di luar mobilnya.
“Nyuwunsewu (mohon maaf) dengan Bapak siapa, nggeh?” lanjutnya seraya bertanya.
“Saya Martono. Pemilik rumah indekos itu,” jawab pria yang usianya sekitar lima puluh tahun itu.
“Nggeh, Pak Martono. Saya Hendra. Teman saya indekos di rumah Bapak. Semalam saya ndak enak mau mertamu di sana. Jadi, saya milih tiduran di sini. Eh, ternyata ketiduran beneran.” Hendra memberitahukan.
“Oh, gitu? Iya sih, Mas Hendra. Memang indekos di sini ndak boleh terima tamu malem-malem. Bisa digrebeg hansip nantin,” seloroh pak Martono sambil terkekeh.
“Tapi ngomong-ngomong temannya Mas Hendra yang indekos di situ, siapa?” lanjut tanya bapak itu.
“Maya, Pak. Maya Rinjani.”
“Owalah, Mbak Maya? Mbak Maya yang cuantik itu?” seloroh pak Martono yang disambut senyum oleh Hendra.
“Nggeh, leres (iya, betul), Pak.”
“Loh, Mas Hendra ini bagaimana to. Memangnya, Mbak Maya ndak ngabarin Mas Hendra, po?”
“Kayaknya sih ndak ada kabar apa-apa dari Maya itu, Pak? Memangnya ada apa dengan Maya, Pak? Kenapa dengan Maya?” Hendra tampak kaget mendengar ucapan pak Martono. Ia mengira Maya sedang terkena masalah di indekos itu.
“Ndak, ndak ada apa-apa. Mbak Maya ndak kenapa-napa. Cuma, Mbak Maya itu kan sudah tiga bulan ini ndak di situ lagi. Dia sudah pindah,” jelas pak Martono sambil menenangkan Hendra yang terlihat mulai gelisah.
“Pindah? Pindah kemana, Pak?” serang Hendra dengan pertanyaan yang tampaknya dia sudah tak sabar lagi untuk mengetahuinya.
“Wah, kalu pindah ke mananya, sih. Saya yo ndak tahu. Cuma kalau ndak salah denger, kayaknya waktu itu dia mau pindah ke luar kota gitu. Pastinya ke kota apa saya juga ndak tahu,” jelas pria itu dengan wajah yang sedikit kecewa karena tak bisa memberikan informasi yang pasti kepada Hendra.
“Maaf yo, Mas. Saya ndak bisa kasih informasi yang jelas. La, wong saya sendiri juga ndak begitu mau campuri urusan orang lain. Jadi, ya begitu. Minim informasi.”
“Ndak papa, Pak. Saya juga berterimakasi banyak, Pak Martono sudah kasih tahu saya. Kalau gitu, saya ta pamit pulang saja. Saya ta nyari informasi ke teman-teman saja. Matursurun, Pak?” ucap Hendra seraya berpamit. Dia pun bergegas masuk ke mobilnya dan meninggalkan rumah yang dulu pernah sebagai tempat indekos Maya.
“Aaaahhh! Sial! Kenapa kamu ndak bilang-bilang sih, May? Pindah kemana kamu sekarang?” teriak Hendra sambil melajukan mobilnya. Dengan wajah yang penuh kecewa berkali-kali dia mengumpat. Entah, untuk siapa umpatan itu.
Hendra mengambil gawainya yang berada di atas dashboard. Menggulir layarnya untuk mencari kontak Maya. “Brengsek! Kenapa hp-nya ndak diaktifin, sih!” teriak Hendra sekali lagi. Dia begitu tampak frustasi.
Sekali lagi, jari tangannya menggulir layar gawainya. “Tris, kamu tahu ndak, Maya pindah ke mana?” tanyanya kepada Trisno salah satu tim dari ‘Kenangan Manis’.
“Ndak tahu itu, Mas. Loh, memangnya Mbak Maya pindah kemana, to?”
“Lah, kamu gimana to, Tris. La wong saya nanya sama kamu, kamu kok balik nanya ke saya. Ya mana saya tahu? Coba kamu hubungi Maya. Cari tahu, pindah kemana dia. Nanti kalau sudah dapat infonya, kabari saya,” perintah Hendra lalu menutup teleponnya. Tak memberikan kesempatan kepada Trisno untuk beralasan lagi.
Hati Hendra semakin kalut saja. Dia seperti orang yang kehilangan arah. Berkali-kali dia mendesah karena kecewa, kesal dan marah. Semua emosinya dia luapkan di dalam mobil. Hingga tak peduli orang-orang di luar meneriakinya karena mobilnya sempat berhenti di tengah jalan beberapa menit.
Hendra melempar begitu saja kunci mobilnya ke atas nakas. Seolah ingin melampiaskan semua kekesalannya hari ini. Pintu kamar pun dia banting sekeras-kerasnya. Hingga membuat rumah yang saat ini tampak sepi menjadi menggema. Teriakan kesal pun meluap. Membuat sebuah langkah dari luar kamar berlari. Menghampiri.
“Mas Hendra! Ada apa, Mas?” Perempuan itu membuka pintu kamar dan menegur. Walau sebenarnya dia tak berani melihat wajah Hendra.
“Hey! Sini kamu,” panggil Hendra dengan menjentikkan jari telunjuknya. Lelaki itu memandang Lita dengan wajah yang penuh amarah. Napasnya terengah-engah, matanya menatap Lita tajam dengan gigi yang seolah-olah siap mencabik-cabik seluruh tubuh perempuan itu. Bagaikan seekor singa yang siap menerkam.
Lita pun menurut walau dengan perasaan takut. Dengan ragu, perempuan itu mendekati suaminya. Tanpa berani mengangkat wajah untuk membalas tatapan Hendra yang bagaikan kesurupan makhluk tak kasat mata. Tampak bengis.
“Ta kasih tahu ya. Semua ini gara-gara kamu, tahu ndak!” hardik Hendra ketika Lita sudah mendekatinya. Dia mendorong Lita hingga tersungkur di atas ranjang. Membuat Lita seketika menangis.
“Apa salahku, Mas. Aku ndak ngerti yang dimaksud Mas Hen,” isak Lita yang meringkuk di atas ranjang.
Hendra mendekati istrinya. Meraih dagu Lita dan mencengkeramnya dengan kasar. Sehingga wajah mereka dalam satu arah. “Banyak! Salahmu tuh banyak! Salah satunya, kenapa kamu mau di jodohkan dengan aku!” suara Hendra penuh tekanan, membuat perempua itu terseduh kian menjadi.
“Sampai-sampai, Maya sekarang pergi.” Hendra melengkapi kalimatnya.
Benarkah Maya sudah pergi? kemana? Syukurlah kalau memang seperti itu. ndak penting buatku dia pergi kemana. Memang, seharusnya dia pergi, agar ndak membayangi kehidupan Mas Hen terus. Dalam hati Lita bersorak. Walau dia tak terima dengan perlakuan Hendra. Namun, kali ini Lita memaafkan suaminya karena kabar yang membuat hatinya bahagia.
Hendra melepas cengkeramannya. Dia beranjak dari ranjang dan pindah ke sofa. Masih menatap tajam istrinya yang terisak. Seakan Hendra masih belum puas untuk melampiaskan semua amarahnya.
Bersambung …!
“Tapi, itu semua kemauan orang tua kita. Aku juga ndak ngerti apa-apa, Mas. Aku juga ndak tahu, kalau Mas Hen ternyata sudah punya pacar,” jawab Lita pelan sambil masih terisak.“Kalau aku tahu, aku juga ndak bakalan mau dijodohkan sama Mas Hen. Aku juga ndak mau merusak hubungan njenengan (kamu) sama dia,” beritahu Lita melengkapi kalimatnya sambil membenahi posisi duduknya, kemudian menyeka air matanya.Mendengar penjelasan Lita, wajah Hendra yang semula menegang, sekatika mengendur. Ia baru menyadari bahwa ini memang bukan salah Lita sepenuhnya. Dia hanya mengikuti tradisi yang sudah turun temurun. Dia hanya manut apa yang sudah menjadi titah keluarga. Sedangkan aku, mungkin satu-satunya orang yang membangkang dengan aturan itu.Hendra menarik napas. Kemudian mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Mencoba menyapu kekalutan yang tersirat di rautnya. “Hah! Ya, sudah. Aku
“Piye, Le? Lita sudah bisa dihubungi?” tanya pak Wiryo yang sedari tadi duduk di samping istrinya.“Dereng (belum), Pak,” jawab singkat Hendra yang masih terus sibuk menghubungi Lita.“Ya, sudah. Mending telpon dokter langganan saja. Biar ibumu gek (biar) ndang (cepat) waras (sembuh),” usul pak Wiryo.“Nggeh, Pak,” jawab Hendra.Akhirnya Hendra berhenti menelepon Lita dan berlaih menghubungi dokter praktek yang sudah menjadi langganan keluarga pak Wiryo. Tiga puluh menit setelahnya, dokter itu pun datang dan segera memeriksa dan memberikan resep obatnya. Selain itu, Hendra meminta agar dokter tersebut memberitahukan obat yang ada, yang masih bisa dikonsumsi oleh ibunya.“Jadi, ini yang masih bisa di minum ibu, Dok?” tanya Hendra mengambil obat yang di tunjuk dokter it
Bergegas Lita mengambil baju ganti Hendra dan selimut bersih. Saat berbalik perempuan itu melihat suaminya sudah berbaring begitu saja di atas sofa. Semula dia mengira bahwa suaminya sangat mengantuk dan lelah. Namun, ketika dia mencoba memasangkan selimut itu ke tubuh Hendra, tangannya sempat menyentuh tangan lelaki itu.Lita terperanjat, “Mas Hendra, gerah (sakit)?”Hendra hanya bergeming, tak menjawab pertanyaan perempuan itu. Tiba-tiba tangannya perlahan menyentuh kening Hendra. Dia ragu. Takut Hendra tak suka bila Lita menyentuhnya.“Masya Allah. Mas Hendra demam!” seru Lita lirih, seolah ia berbicara sendiri.Berkali-kali Lita berjalan hilir mudik. Mengambil kompres dan obat demam untuk diminumkan ke Hendra.“Mas Hen, tidur di ranjang saja bagaimana? Biar aku yang gantian tidur di sofa,” tukas Lita berhati-hati.
Perjalanan menuju Bali, menurut Hendra sangat membosankan. Tak sedikit pun dia menikmatinya. Gerutu dalam hati selalu mengiringi, apa lagi harus melakukan perjalanan berdua dengan Lita, perempuan yang sama sekali tak dicintainya.Akh! Kenapa aku harus nurut begitu saja? Sial! Bulan madu? Hah! Buat apa pergi kalau bukan bersama orang yang kucintai? Sudut hati Hendra bergemuru.Sikapanya yang acuh kepada Lita, sehingga duduk di dalam pesawat pun membuatnya tak nyaman sepanjang perjalanannya. Kaku dan tegang, tak ada seuntai senyum yang menghias di wajah Hendra dan Lita. Sebongkah es di kutup utara menyelimuti suasana di antara mereka berdua. Harusnya banyak peluang untuk bermesraan, tapi mereka lewat begitu saja.Lita sibuk menekuri novelnya. Karena perempuan itu tahu, hanya ini jalan satu-satunya agar dia bisa menutupi kekakuan itu. Dia tak ingin waktunya akan dihabiskan hanya untuk merutuki nas
“Tidak, Tuan. Kurang lebih sekitar satu kilo meter lagi kita sampai.” Arya memberitahukan dengan nada bicara yang sopan.Pandangan Hendra menatap lurus kedepan, dengan tangan menopang di pintu mobil sambil menyangga kening. Memijatnya untuk mengusir rasa bosan. Akan tetapi, setelah beberapa detik menikmati pemandangan sepanjang perjalanan, wajahnya mulai terlihat berubah. Ada yang menarik perhatiannya di sepanjang jalan itu.Hendra melihat sejumlah perempuan Bali berjalan beriringan dengan menggunakan kebaya yang sama, khas daerah itu. Sedang menyunggi sesajen berupa buah, jajanan tradisional, bunga dan hiasan janur yang disusun di atas sebuah wadah, hingga tingginya mencapai satu meter. Sebuah pertunjukan unik bagi Hendra yang baru saja menyaksikan hal itu. Tak menyia-nyiakan kesempatan, pria itu mengarahkan kameranya ke objek yang membuatnya tertarik.“Itu namanya Mapeed, Tuan. Tradisi orang-orang Bali yang hanya boleh dilakukan oleh wanita s
Lita melihat Hendra pergi begitu saja meninggalkannya. Entah, apakah dia tak mendengar pertanyaan istrinya? Kalau pun dengar, belum tentu juga dia mau menjawabnya.Sebenarnya Lita ingin sekali menyusulnya. Menemani sang suami untuk memadu kasih bersamanya. Menikmati pemandangan yang indah selama di pulau Bali. Pulau eksotis yang menyajikan keromantisan kepada tamunya. Terutama bagi pasangan suami-istri seperti Hendra dan Lita. Namun, itu adalah sesuatu yang mustahil Lita dapatkan. Karena sampai detik ini Hendra sama sekali belum mencintainya.Hah! Lita mengembuskan napasnya kuat-kuat. Seolah-olah ia ingin membuang beban yang menekan di dada. Terasa berat untuk selalu dibawa.Sampai kapan aku harus seperti ini? Selalu menyaksikan Mas Hen lebih memilih berkencan dalam gawai dengan Maya Rinjani. Keluh Lita. Tiba-tiba buliran bening merembas keluar dari sela-sela kelopak matanya, ketika nama Maya Rinjani teringat dalam pikirannya. Lita membayangkan wajah perempuan c
“Mas Hen?” Perempuan itu mundur selangkah. Hingga punggungnya menubruk dinding dan tak berkutik. Tak bisa lari untuk menghindar dari tatapan suaminya.Hendra pun menunjukkan reaksi yang sama. Matanya terbelalak tak berkedip, melihat pemilik tubuh indah nan molek itu yang ternyata Lita—istrinya.Beberapa kali dia menelan ludah yang seakan menyekat tenggorokan. Jantungnya berdegub kencang. Darahnya pun berdesir memberikan rasa yang bergejolak menyelimuti hati Hendra. Tentu, sebagai pria dewasa yang masih normal, reaksi itu pasti dialami, ketika melihat sesuatu yang dapat membangunkan hasrat kelelakian mereka. Begitu pula dengan Hendra.Apa lagi selama setahun pernikahan mereka, jangankan menyentuh, melihat tubuh indah Lita, Hendra sama sekali belum pernah. Jadi, wajar saja jiwa kelelakian Hendra seketika tergugah.Hendra mendekati Lita. Namun, saat kakinya terantuk pinggir bathup, dia baru tersadar bahwa tak bisa melakukan ini dengan
Entahlah. Lita hanya bisa berharap agar perubahan ini tak berakhir. Dia akan tetap percaya bahwa sebuah usaha tak akan menghianati hasilnya. Dan, sudah pasti alam pun akan ikut mendukung untuk buah dari kesabarannya.“Loh, kenapa ndak dihabisin? Ndak suka?” Hendra menegur Lita yang tak menghabiskan steak yang dia beri.“Maaf, sudah kenyang banget, Mas. Perut saya sudah ndak bisa nampung makanan ini lagi.” Perempuan cantik itu menolak. Dia merasa tak enak sudah menolak pemberian dari suaminya.Akan tetapi kejadian malam ini membuat Lita menjadi surprise. Dia tak menyangka Hendra menghabiskan sisa makanannya.Hendra pun mau bicara dengan dia walau masih terasa kaku, dan Hendra memerhatikannya. Itu semua membuat Lita menjadi tersanjung dengan perlakuan suaminya malam ini.Lita benar-benar tak bisa menebak pola pikir suaminya. Namun, Lita tak berani menegur lelaki itu. Perempuan itu diam saja sambil memerhatikan Hendra menghabis
Sial! Berani sekali kecoak busuk itu melakukannya di depanku. Awas saja! Aku akan benar-benar mematahkan batang hidungnya.“Siapa dia, May? Ada hubungan apa kamu dengan kecoak itu?” tanya Hendra yang tak bisa menahan diri setelah bayangan Teddy menghilang melewati ambang pintu.“Hubungan? Hah, aku rasa itu bukan menjadi urusanmu lagi, Hen. Karena di antara kita sudah nggak ada hubungan apa-apa, bukan? Jadi, aku nggak perlu menceritakan apa pun ke kamu tentang hubunganku dengan siapa pun itu.”“Tapi aku masih mencintaimu, May. Aku rela melakukan apa pun, demi kamu.”Hendra meraih tangan Maya. Mencoba menggenggam dengan lembut. Untuk meyakinkan wanita yang berada di dekatnya.Tetapi, Maya segera menarik tangannya. Senyuman getir menghias di bibirnya. Mata yang semula bercahaya, seketika berkabut. Merasakan perih luka yang kembali menganga di hatinya.Tuhan, kenapa sembilu itu kembali menghujam jantungku?
Bergegas Hendra menghabiskan sarapannya. Kemudian meninggalkan Lita yang masih duduk terpekur menikmati secangkir kopi susu dan roti isi selainya. Dia memerhatikan sikap Hendra yang gelisah. Makan dengan terburu-buru. Tak bisa menikmati sarapannya dengan tenang.Bisakah njenengan (kamu) mengerti perasaanku saat ini, Mas?Bagai ada yang memberi tahu, tiba-tiba Hendra mengangkat kepala. Membalas tatapan Lita yang menyorot dirinya. Mata lelaki itu membeliak, seakan menanyakan, “kenapa lihat-lihat?”Tetapi, kalimat itu tak Hendra lontarkan. Dia segera menghabiskan sisa kopi yang sudah menjadi tak panas lagi, kemudian berdiri dan meninggalkan Lita begitu saja sendirian. Tanpa ada basa-basi sedikit pun.Di bangunan yang sama saat Hendra kemarin datang menemui Maya, Hendra melihat pria yang mengantar wanita itu pulang kemarin. Tampak bersama Maya. Duduk berdekatan. Nyaris tak berjarak. Saling beradu pandang dan tawa. Terlihat sangat mesra. Memb
"Asal, aku bisa selalu dekat denganmu, May." Hendra berbicara pelan di dekat telinga Maya.Hendra merengkuh bahu Maya dan melingkarkan tangannya. Senyum sinisnya kembali tersungging. Sorot matanya tertuju kepada Teddy yang masih terpaku melihat Hendra yang datang tiba-tiba.Cih! Apa maunya? Sombong sekali rupanya! Dengus Teddy dalam hati saat dia sadar bahwa Hendra tengah mengejeknya.Maya yang duduk menghadap Teddy dan kedua rekannya, tersadar. Lalu dia berdiri menyambut Hendra. Sekaligus melepaskan rengkuhan tangan Hendra dari bahunya. Dia merasa tak enak dengan situasi yang mendadak kaku."Hai, Hen," tegur Maya. “Surprise banget kamu datang ke kantorku. Silakan duduk. Mau minum apa, nih?”Maya mencoba mencairkan suasana yang sempat kaku. Dia tahu betul, kedua lelaki yang ada di hadapannya saat ini, sedang saling beradu tatapan yang penuh intimidasi. Curiga dan cemburu.Tuhan, semoga tak terjadi keributan di sini. Doa hat
Hendra pergi dari kamar yang baru saja dia sewa. Dengan perasaan yang penuh emosi, dia mengayunkan langkahnya menuju meja resepsionis. Untuk mencari tahu keberadaan Maya di sini."Selamat siang, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" sapa seorang receptionist cantik dengan logat Bali. Saat melihat Hendra menghampiri meja itu."Siang juga, Mbak ...." Suara Hendra terhenti. Dia melihat ke papan nama yang tersemat di baju bagian dada kanan receptionist itu. Mencati tahu namanya."Saya Lidya, Pak," jawabnya seolah dia tahu apa yang sedang Hendra cari."Oh, ya. Mbak Lidya, bisa minta info mengenai Maya?""Ibu Maya?" tanya resepsionis itu kembali sambil menatap Hendra. Penuh curiga."Ya. Ibu Maya. Saya, teman dekatnya," jelas Hendra tanpa dimintai penjelasan. Menatap wanita itu penuh rasa percaya diri."Oh, ya. Silakan saja ke kantornya langsung, Pak," jawab Lidya gugup sambil mengarahkan tangannya ke luar lobby."Di mana kantor
"Ka-kamu kerja di sini, May?" Hendra menanyakan. Maya hanya menjawab dengan senyum dan anggukan pelan."Ok, May. Aku akan menunda kepulanganku," ucap Hendra yang nyaris berbisik. “Aku pengin bersama kamu.”Maya mengernyitkan dahinya. Matanya melirik ke arah Lita yang membuang muka, menunduk saat sadar Hendra dan Maya memerhatikan dia. Sedangkan Teddy, menatap Hendra dengan rasa curiga."Bagaimana dengan istrimu?""Dia akan pulang lebih dulu," jawab Hendra memotong pertanyaan Maya. Seakan tak acuh dengan perasaan Lita saat ini."Kamu keterlaluan, Hen!" Maya menekan suaranya. Setengah berbisik. Da kesal dengan keputusan yang diambilnya. Lalu pergi begitu saja meninggalkan Hendra. Kemudian diikuti Teddy."May. May. Maya!" Dengan ragu Hendra mengejar Maya. Tapi sial, Maya lebih cepat menghilang. Bersama perginya mobil golf yang dia tumpangi."Aaahhh!" Hendra meninjukan kepalannya ke udara. Kesal untuk yang kedua kalinya, karen
Seminggu di Bali. Membuat hubungan Hendra dan Lita mulai ada perubahan. Dekat. Seperti halnya suami istri pada umumnya. Dan, pengantin baru yang benar-benar baru saja melakukan bulan madunya.Memang mereka sedang berbulan madu. Tetapi mereka bukan sepasang pengantin baru. Walau kadang masih ada rasa malu dan sungkan. Terutama Lita, yang terbiasa dengan sikap Hendra yang kaku.Saat mereka akan cek out .... Hendra bertemu dengan sosok perempuan yang kembali mengungkit ingatannya. Bercakap bersama beberapa karyawan hotel. Di lobby.“Maya?” Hendra memanggilnya. Tak peduli beberapa pasang mata menatap Hendra. Karena panggilannya yang sempat mengundang pandangan itu tertuju padanya.Tak terkecuali Lita. Seketika dia mengalihkan pandangannya kepada wanita yang dipanggil Hendra dengan tatapan yang kosong.Sayangnya, Hendra tak peduli. Dia mengayunkan langkahnya untuk mendekati wanita yang dia panggil. Memastikan bahwa wanita itu ben
“Jangan jauh-jauh. Dari pada bajumu yang jadi incaran monyet-monyet itu juga. Bisa telanjang, kamu,” gurau Hendra yang membuat wajah Lita semakin kemerahan. Hati perempuan itu menjadi ciut. Takut dengan apa yang diguraukan Hendra akan menjadi kenyataan. Walau secara logika itu di luar nalar.“Mbo-mboten, Mas. Maaf.” Lita dengan ragu mendekat ke Hendra. Mensejajarkan diri dengan suaminya.Hendra tersenyum miring melihat tingkah Lita. Memegangi lengan Hendra dengan kuat-kuat. Sebuah pemandangan yang tak biasa. Hendra yang semula tak menginginkan Lita sebagai pasangannya. Kini, seolah-olah berbalik arah. Hendra menjadi sangat perhatian, walau terkadang egois dan keangkuhannya masih mendominasi.Mereka berjalan beriringan menyusuri jalan setapak menuju Pura sambil bergandengan tangan. Tampak mesra. Bahagia. Seolah-olah Hendra telah melupakan sang kekasih yang selama ini selalu mengusiknya.Bagaikan tersihir. Wisatawan yang berada di Pu
“Oke. Akan kususul dia.” Namun tak sempat Hendra memutar langkahnya, sosok Lita sudah terlihat dari kejauhan. Di antara wisatawan yang menghampiri bus untuk turut mengunjungi tempat yang akan mereka kunjungi.Lita, Menggunakan kaos berlengan pendek. Setelan laging yang dibebat kain merah bermotif bunga kamboja. Tampak serasi dipadu padankan dengan kaca mata hitam dan topi lebar sebagi pelindung wajahnya dari sengatan sinar matahari. Tampak begitu cantik melekat pada penampilan Lita saat ini.“Wow!” seru Hendra kegirangan ketika melihat penampilan Lita yang berbeda dari biasanya. Membuat matanya terbelalak tak berkedip, dengan mulut yang sedikit menganga. Tubuhnya pun mematung sesaat.“Mas Hen, ndak jadi ikut?” tegur Lita yang menyadarkan Hendra.“I-iya. Ten-tentu, aku ikut.” Hendra menjawab seraya berdehem untuk menyembunyikan kegugupannya. Dia tak ingin Lita tahu bahwa dirinya terpesona dengan penampi
“Kenapa matanya jadi begitu lihatnya? Melotot kayak mata Mak Lampir saja. Kalau memang ndak punya sangkutan hutang piutang, kenapa harus marah?”Mendengar kalimat Hendra yang mampu membuat hati Lita mengejang, matanya yang semulah penuh kobaran api amarah, seketika meredup. “Itu urusan mereka. Saya mboten (tidak) nderek (ikut) campur.” Hendra mencibir. Mendengar jawaban Lita yang sedikit ketus karena pertanyaannya.“Dari dulu orang tua saya melarang saya untuk pacaran. Lagi pula, saya ndak punya waktu untuk hal seperti itu.” Lita menggenapi kalimatnya.“Hah! Ndak punya waktu? Memangnya sesibuk apa sih? Sampai-sampai ndak punya waktu hanya untuk punya pacar?” Hendra mensesap lagi rokoknya yang tinggal sedikit nyalanya. Kemudian dia matikan dan membuangnya ke asbak yang berada di atas meja.Mendengar celaan Hendra, perempuan itu menunduk. Menggigit bibir bagian bawahnya yang kemerahan tanpa polesan, seke