“Tapi, itu semua kemauan orang tua kita. Aku juga ndak ngerti apa-apa, Mas. Aku juga ndak tahu, kalau Mas Hen ternyata sudah punya pacar,” jawab Lita pelan sambil masih terisak.
“Kalau aku tahu, aku juga ndak bakalan mau dijodohkan sama Mas Hen. Aku juga ndak mau merusak hubungan njenengan (kamu) sama dia,” beritahu Lita melengkapi kalimatnya sambil membenahi posisi duduknya, kemudian menyeka air matanya.
Mendengar penjelasan Lita, wajah Hendra yang semula menegang, sekatika mengendur. Ia baru menyadari bahwa ini memang bukan salah Lita sepenuhnya. Dia hanya mengikuti tradisi yang sudah turun temurun. Dia hanya manut apa yang sudah menjadi titah keluarga. Sedangkan aku, mungkin satu-satunya orang yang membangkang dengan aturan itu.
Hendra menarik napas. Kemudian mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Mencoba menyapu kekalutan yang tersirat di rautnya. “Hah! Ya, sudah. Aku mau mandi,” beritahu Hendra kepada istrinya.
Tanpa menunggu diperintah, bergegas Lita mengambil handuk bersih dari dalam lemari. Lalu ia ke kamar mandi, untuk mengatur air panas yang akan di pakai Hendra mandi. Setelah itu, dia menyiapkan pakaian suaminya selagi lelaki itu melakukan ritualnya.
Lita merapikan tas, telepon genggam dan juga kunci mobil Hendra yang semula lelaki itu meletakkannya sembarangan. Kemudian, Lita keluar mengambilkan segelas air putih hangat untuk Hendra. Ia tak tahu apakah suaminya membutuhkan air minum itu atau tidak. Yang pasti, sudah menjadi suatu kebiasaannya selalu menyediakan air itu.
Saat Lita masuk lagi ke kamar untuk meletakkan gelas yang berisi air minum itu, bersamaan Hendra keluar dari kamar mandi dengan bebatan handuk di pinggangnya. Melihat situasi seperti itu, Lita merasa tak enak. Dia masuk sebentar dan berniat cepat-cepat keluar dari kamar itu. Perempuan itu masih merasa risih dengam situasi seperti ini. Walau sebenarnya dia ingin sekali memeluk tubuh wangi Hendra, apa lagi setelah mandi seperti ini. Dia membayangkan, betapa segar dan nyamannya tubuh itu bila ia bersandar di sana.
Akan tetapi, dia menyadari hal itu. hingga detik ini Hendra masih belum bisa mencintainya. Sehingga tak mungkin dia akan melakukan itu.
Sabar ya, Lit. suatu saat suamimu pasti akan bertekuk lutut padamu,” sisi lain hati Lita berbisik. Untuk sementara ini Lita hanya bisa menelan ludah.
“Bapak sama ibu kemana?” tanya Hendra yang tiba-tiba saja. Membuat Lita menghentikan langkahnya saat ia akan berbalik keluar kamar.
Dengan ragu, Lita memutar kembali tubuhnya menghadap Hendra yang membelakanginya dan masih sibuk mengenakan pakaiannya. Namun, Lita tak berani melihat secara terang-terangan ke Hendra. Perempuan itu selalu menunduk.
“Sowan (menjenguk) ke Pak De Roso,” perempuan itu menjawab dengan nada pelan.
“Kamu kenapa ndak ngikut sekalian.”
“Mboten (tidak).”
“Ngopo (kenapa)?”
"Diutus (disuruh) ibu nunggu Mas Hendra mawon (saja).”
“Tapi aku ndak bisa. Masih banyak kerjaan. Kalau kamu mau ke sana, biar di anatar Kusno aja,” ucap Hendra sambil meletakkan handuknya begitu saja di atas tempat tidur. Kemudian dia mengambil laptop dan membawanya ke sofa.
“Pesan Ibu, kalau Mas Hen ndak bisa, ya sudah. Kita ndak usah kesana,” jawab Lita yang tak ditanggapi Hendra. Lelaki itu mulai sibuk dengan laptopnya.
“Mas Hend, kalau mau dahar (makan), semua sudah disiapkan,” kasih tahu Lita yang lagi-lagi tak mendapatkan tanggapan dari suaminya. Melihat situasi yang menurut Lita kembali normal, perempuan itu segera meninggalkan Hendra. Sebelumnya dia mengambil pakaian kotor Hendra dan handuk yang diletakkan begitu saja di atas tempat tidur, untuk dipindahkan ke ruang laundry supaya dibersihkan oleh asisten bagian laundry.
Yah, baru kali ini Hendra berbicara banyak dengan Lita semenjak ultimatum yang dia lontarkan di malam pertamanya. Hal itu menurut Lita menjadi hal yang sudah biasa dia jalani di hari-hari yang suwung (sepi) dalam hidupnya. Tak ada keluhan sedikit pun yang keluar dari bibirnya. Semua, dia telan sendiri, dengan harapan ini akan berakhir pada waktunya.
“Saya mau keluar dulu. Sama Ambar,” pamit Lita dengan hati-hati. Dia tak ingin mengganggu konsentrasi Hendra yang dari tadi masih fokus di depan laptopnya.
Masih seperti biasa. Tak ada respon sedikit pun dari Hendra. Sehingga Lita tak bisa mengartikan bahwa suaminya mengizinkan atau tidak. Namun, dia tak mau ambil pusing dengan hal itu. Perempuan itu mengambil keputusan sendiri. Dia tetap akan keluar bersama Ambar. Sekadar bersenang-senang melepaskan duka hariannya untuk sementara waktu.
Tak lama suara mobil Ambar terdengar masuk halaman rumah. Lita bergegas menemuinya dan mereka siap-siap pergi.
“Kok, sepi?” tanya Ambar saat dia keluar dari mobilnya.
“Bapak sama Ibu sowan ke kakaknya,” jawab Lita
”La, Mas Hen?”
“Ada di kamar. Lagi ngurusin kerjaannya. Wes ah. Yuk?”
“Opo (apa) ndak pamit dulu sama bojomu?”
“Sudah. Tadi aku sudah pamit sama dia,” jawab Lita sambil menarik tangan Ambar. Mereka pun masuk ke mobil dan Ambar siap melajukan mobilnya.
Ambar sangat tahu bagaimana perasaan Lita selama dia menikah dengan Hendra. Karena, dia adalah satu-satunya sahabat sejak duduk di bangku sekolah dasar kelas enam. Dia adalah sahabat yang paling mengerti, dia adalah satu-satunya teman sebagai tempat curahan hatinya. Lita sangat percaya dengan Ambar.
Menjelang sore.
“Lit, Lita!” panggil pak Wiryo sambil memapah istrinya masuk hingga ke ruang tengah. Beberapa asistennya seketika tergopoh membantunya saat mendengar sang majikan memanggi Lita dengan suara panik.
Mendengar keributan di luar kamar, Hendra pun keluar. Menyusul orang tuanya yang baru saja pulang membawa kepanikan.
“Hen, bojomu (istrimu) mana? Iki, loh. Ibumu kumat (kambuh) penyakite,” tanya pak Warso sekaligus memberitahukan. Mendengar ibunya sakit, Hendra pun bergegas mendekati ibunya dan ikutan panik.
“Ta-tadi kayaknya pergi. Tapi Hen ndak tahu dia pergi kemana,” jawab Hendra gugup.
“La piye, to. Bojone lungo (pergi) kok ndak ngerti, kowe ki,” tukas pak Wiryo menatap Hendra dengan wajah geram.
“Wes (sudah) to wes, ndak usah do padu (rebut) gitu. Tambah pusing kepalaku ini,” lerai bu Wiryo.
“Tolong ambilin obat ibu, Le. Yang biasa Lita kasihkan ke ibu,” pinta wanita itu sambil memegangi kepalanya. Wajahnya tampak memerah karena menahan sakit yang luar biasa. Rupanya, vertigo yang diderita bu Wiryo kambuh. Sehingga dia harus mengkonsumsi obat yang biasa Lita berikan sesuai resep yang diberikan oleh dokter keluarga mereka.
“Sebentar, Bu. Hen carikan.” Hendra bergegas mencari obat yang dimintai ibunya di tempat biasa Lita menyimpan obat tersebut. Tepatnya di lemari bufet televisi.
Namun, “ Ish! Yang mana to obatnya?” gerutunya bingung. Tak tahu obat yang mana yang harus diberikan kepada ibunya. Sehingga dia membawa seluruh kotak obat itu agar bu Wiryo bisa memilihnya.
“Yang mana bu, obatnya? Hen ndak ngerti,” tanya Hendra sambil menunjukkan kotak obat tersebut di hadapan ibunya.
“Owala, Le, ibu sendiri juga yo ndak ngerti yang mana. Biasa-e yo Lita kuwi yang ngambilin,” keluh bu Wiryo yang masih terus memijat-mijat kepalanya.
“Coba kamu telepon Lita,” lanjutnya.
Tanpa menunggu lama lagi, Hendra langsung mengambil gawainya yang dia kantongi dan mencari nomor telepon Lita. Tapi sayang, telepon Hendra tak di angkat. Membuat Hendra kesal. “Kemana ini? Telepon berkali-kali kok ya ndak diangkat, to?”
Bersambung…!
“Piye, Le? Lita sudah bisa dihubungi?” tanya pak Wiryo yang sedari tadi duduk di samping istrinya.“Dereng (belum), Pak,” jawab singkat Hendra yang masih terus sibuk menghubungi Lita.“Ya, sudah. Mending telpon dokter langganan saja. Biar ibumu gek (biar) ndang (cepat) waras (sembuh),” usul pak Wiryo.“Nggeh, Pak,” jawab Hendra.Akhirnya Hendra berhenti menelepon Lita dan berlaih menghubungi dokter praktek yang sudah menjadi langganan keluarga pak Wiryo. Tiga puluh menit setelahnya, dokter itu pun datang dan segera memeriksa dan memberikan resep obatnya. Selain itu, Hendra meminta agar dokter tersebut memberitahukan obat yang ada, yang masih bisa dikonsumsi oleh ibunya.“Jadi, ini yang masih bisa di minum ibu, Dok?” tanya Hendra mengambil obat yang di tunjuk dokter it
Bergegas Lita mengambil baju ganti Hendra dan selimut bersih. Saat berbalik perempuan itu melihat suaminya sudah berbaring begitu saja di atas sofa. Semula dia mengira bahwa suaminya sangat mengantuk dan lelah. Namun, ketika dia mencoba memasangkan selimut itu ke tubuh Hendra, tangannya sempat menyentuh tangan lelaki itu.Lita terperanjat, “Mas Hendra, gerah (sakit)?”Hendra hanya bergeming, tak menjawab pertanyaan perempuan itu. Tiba-tiba tangannya perlahan menyentuh kening Hendra. Dia ragu. Takut Hendra tak suka bila Lita menyentuhnya.“Masya Allah. Mas Hendra demam!” seru Lita lirih, seolah ia berbicara sendiri.Berkali-kali Lita berjalan hilir mudik. Mengambil kompres dan obat demam untuk diminumkan ke Hendra.“Mas Hen, tidur di ranjang saja bagaimana? Biar aku yang gantian tidur di sofa,” tukas Lita berhati-hati.
Perjalanan menuju Bali, menurut Hendra sangat membosankan. Tak sedikit pun dia menikmatinya. Gerutu dalam hati selalu mengiringi, apa lagi harus melakukan perjalanan berdua dengan Lita, perempuan yang sama sekali tak dicintainya.Akh! Kenapa aku harus nurut begitu saja? Sial! Bulan madu? Hah! Buat apa pergi kalau bukan bersama orang yang kucintai? Sudut hati Hendra bergemuru.Sikapanya yang acuh kepada Lita, sehingga duduk di dalam pesawat pun membuatnya tak nyaman sepanjang perjalanannya. Kaku dan tegang, tak ada seuntai senyum yang menghias di wajah Hendra dan Lita. Sebongkah es di kutup utara menyelimuti suasana di antara mereka berdua. Harusnya banyak peluang untuk bermesraan, tapi mereka lewat begitu saja.Lita sibuk menekuri novelnya. Karena perempuan itu tahu, hanya ini jalan satu-satunya agar dia bisa menutupi kekakuan itu. Dia tak ingin waktunya akan dihabiskan hanya untuk merutuki nas
“Tidak, Tuan. Kurang lebih sekitar satu kilo meter lagi kita sampai.” Arya memberitahukan dengan nada bicara yang sopan.Pandangan Hendra menatap lurus kedepan, dengan tangan menopang di pintu mobil sambil menyangga kening. Memijatnya untuk mengusir rasa bosan. Akan tetapi, setelah beberapa detik menikmati pemandangan sepanjang perjalanan, wajahnya mulai terlihat berubah. Ada yang menarik perhatiannya di sepanjang jalan itu.Hendra melihat sejumlah perempuan Bali berjalan beriringan dengan menggunakan kebaya yang sama, khas daerah itu. Sedang menyunggi sesajen berupa buah, jajanan tradisional, bunga dan hiasan janur yang disusun di atas sebuah wadah, hingga tingginya mencapai satu meter. Sebuah pertunjukan unik bagi Hendra yang baru saja menyaksikan hal itu. Tak menyia-nyiakan kesempatan, pria itu mengarahkan kameranya ke objek yang membuatnya tertarik.“Itu namanya Mapeed, Tuan. Tradisi orang-orang Bali yang hanya boleh dilakukan oleh wanita s
Lita melihat Hendra pergi begitu saja meninggalkannya. Entah, apakah dia tak mendengar pertanyaan istrinya? Kalau pun dengar, belum tentu juga dia mau menjawabnya.Sebenarnya Lita ingin sekali menyusulnya. Menemani sang suami untuk memadu kasih bersamanya. Menikmati pemandangan yang indah selama di pulau Bali. Pulau eksotis yang menyajikan keromantisan kepada tamunya. Terutama bagi pasangan suami-istri seperti Hendra dan Lita. Namun, itu adalah sesuatu yang mustahil Lita dapatkan. Karena sampai detik ini Hendra sama sekali belum mencintainya.Hah! Lita mengembuskan napasnya kuat-kuat. Seolah-olah ia ingin membuang beban yang menekan di dada. Terasa berat untuk selalu dibawa.Sampai kapan aku harus seperti ini? Selalu menyaksikan Mas Hen lebih memilih berkencan dalam gawai dengan Maya Rinjani. Keluh Lita. Tiba-tiba buliran bening merembas keluar dari sela-sela kelopak matanya, ketika nama Maya Rinjani teringat dalam pikirannya. Lita membayangkan wajah perempuan c
“Mas Hen?” Perempuan itu mundur selangkah. Hingga punggungnya menubruk dinding dan tak berkutik. Tak bisa lari untuk menghindar dari tatapan suaminya.Hendra pun menunjukkan reaksi yang sama. Matanya terbelalak tak berkedip, melihat pemilik tubuh indah nan molek itu yang ternyata Lita—istrinya.Beberapa kali dia menelan ludah yang seakan menyekat tenggorokan. Jantungnya berdegub kencang. Darahnya pun berdesir memberikan rasa yang bergejolak menyelimuti hati Hendra. Tentu, sebagai pria dewasa yang masih normal, reaksi itu pasti dialami, ketika melihat sesuatu yang dapat membangunkan hasrat kelelakian mereka. Begitu pula dengan Hendra.Apa lagi selama setahun pernikahan mereka, jangankan menyentuh, melihat tubuh indah Lita, Hendra sama sekali belum pernah. Jadi, wajar saja jiwa kelelakian Hendra seketika tergugah.Hendra mendekati Lita. Namun, saat kakinya terantuk pinggir bathup, dia baru tersadar bahwa tak bisa melakukan ini dengan
Entahlah. Lita hanya bisa berharap agar perubahan ini tak berakhir. Dia akan tetap percaya bahwa sebuah usaha tak akan menghianati hasilnya. Dan, sudah pasti alam pun akan ikut mendukung untuk buah dari kesabarannya.“Loh, kenapa ndak dihabisin? Ndak suka?” Hendra menegur Lita yang tak menghabiskan steak yang dia beri.“Maaf, sudah kenyang banget, Mas. Perut saya sudah ndak bisa nampung makanan ini lagi.” Perempuan cantik itu menolak. Dia merasa tak enak sudah menolak pemberian dari suaminya.Akan tetapi kejadian malam ini membuat Lita menjadi surprise. Dia tak menyangka Hendra menghabiskan sisa makanannya.Hendra pun mau bicara dengan dia walau masih terasa kaku, dan Hendra memerhatikannya. Itu semua membuat Lita menjadi tersanjung dengan perlakuan suaminya malam ini.Lita benar-benar tak bisa menebak pola pikir suaminya. Namun, Lita tak berani menegur lelaki itu. Perempuan itu diam saja sambil memerhatikan Hendra menghabis
Dari sofa, Hendra memerhatikan Lita yang tidur membelakanginya. Tampak punggung perempuan itu bergerak naik turun secara teratur. Bertanda dia telah terbawa ke alam mimpinya. Pria itu kembali mendekati ranjang. Berdiri sejenak, kemudian duduk perlahan di bibir tempat tidur.Hendra menahan napas. Merasakan debaran jantungnya yang berdegub semakin kencang. Tubuhnya gemetar, seolah-olah dia cemburu dengan selimut yang tengah memeluk istrinya. Memberikan kehangatan di dalamnya.Rasanya Hendra ingin selaki ikut masuk ke dalam selimut itu. Bergelut berdua menikmati tubuh yang sama sekali belum pernah dia sentuh. “Kamu pasti menginginkanya kan, Hen? Kenapa ragu? Lakukan saja! Bukankah dia adalah istrimu? Dia halal untuk kamu sentuh.” Hati Hendra terus memengaruhi.Keringat lelaki itu seketika bercucuran. Padahal pendingin ruangan di kamar, bekerja sangat baik. Hendra tegang. Apa lagi saat dia membuka selimut yang dikenakan Lita, tubuhnya serasa semaki
Sial! Berani sekali kecoak busuk itu melakukannya di depanku. Awas saja! Aku akan benar-benar mematahkan batang hidungnya.“Siapa dia, May? Ada hubungan apa kamu dengan kecoak itu?” tanya Hendra yang tak bisa menahan diri setelah bayangan Teddy menghilang melewati ambang pintu.“Hubungan? Hah, aku rasa itu bukan menjadi urusanmu lagi, Hen. Karena di antara kita sudah nggak ada hubungan apa-apa, bukan? Jadi, aku nggak perlu menceritakan apa pun ke kamu tentang hubunganku dengan siapa pun itu.”“Tapi aku masih mencintaimu, May. Aku rela melakukan apa pun, demi kamu.”Hendra meraih tangan Maya. Mencoba menggenggam dengan lembut. Untuk meyakinkan wanita yang berada di dekatnya.Tetapi, Maya segera menarik tangannya. Senyuman getir menghias di bibirnya. Mata yang semula bercahaya, seketika berkabut. Merasakan perih luka yang kembali menganga di hatinya.Tuhan, kenapa sembilu itu kembali menghujam jantungku?
Bergegas Hendra menghabiskan sarapannya. Kemudian meninggalkan Lita yang masih duduk terpekur menikmati secangkir kopi susu dan roti isi selainya. Dia memerhatikan sikap Hendra yang gelisah. Makan dengan terburu-buru. Tak bisa menikmati sarapannya dengan tenang.Bisakah njenengan (kamu) mengerti perasaanku saat ini, Mas?Bagai ada yang memberi tahu, tiba-tiba Hendra mengangkat kepala. Membalas tatapan Lita yang menyorot dirinya. Mata lelaki itu membeliak, seakan menanyakan, “kenapa lihat-lihat?”Tetapi, kalimat itu tak Hendra lontarkan. Dia segera menghabiskan sisa kopi yang sudah menjadi tak panas lagi, kemudian berdiri dan meninggalkan Lita begitu saja sendirian. Tanpa ada basa-basi sedikit pun.Di bangunan yang sama saat Hendra kemarin datang menemui Maya, Hendra melihat pria yang mengantar wanita itu pulang kemarin. Tampak bersama Maya. Duduk berdekatan. Nyaris tak berjarak. Saling beradu pandang dan tawa. Terlihat sangat mesra. Memb
"Asal, aku bisa selalu dekat denganmu, May." Hendra berbicara pelan di dekat telinga Maya.Hendra merengkuh bahu Maya dan melingkarkan tangannya. Senyum sinisnya kembali tersungging. Sorot matanya tertuju kepada Teddy yang masih terpaku melihat Hendra yang datang tiba-tiba.Cih! Apa maunya? Sombong sekali rupanya! Dengus Teddy dalam hati saat dia sadar bahwa Hendra tengah mengejeknya.Maya yang duduk menghadap Teddy dan kedua rekannya, tersadar. Lalu dia berdiri menyambut Hendra. Sekaligus melepaskan rengkuhan tangan Hendra dari bahunya. Dia merasa tak enak dengan situasi yang mendadak kaku."Hai, Hen," tegur Maya. “Surprise banget kamu datang ke kantorku. Silakan duduk. Mau minum apa, nih?”Maya mencoba mencairkan suasana yang sempat kaku. Dia tahu betul, kedua lelaki yang ada di hadapannya saat ini, sedang saling beradu tatapan yang penuh intimidasi. Curiga dan cemburu.Tuhan, semoga tak terjadi keributan di sini. Doa hat
Hendra pergi dari kamar yang baru saja dia sewa. Dengan perasaan yang penuh emosi, dia mengayunkan langkahnya menuju meja resepsionis. Untuk mencari tahu keberadaan Maya di sini."Selamat siang, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" sapa seorang receptionist cantik dengan logat Bali. Saat melihat Hendra menghampiri meja itu."Siang juga, Mbak ...." Suara Hendra terhenti. Dia melihat ke papan nama yang tersemat di baju bagian dada kanan receptionist itu. Mencati tahu namanya."Saya Lidya, Pak," jawabnya seolah dia tahu apa yang sedang Hendra cari."Oh, ya. Mbak Lidya, bisa minta info mengenai Maya?""Ibu Maya?" tanya resepsionis itu kembali sambil menatap Hendra. Penuh curiga."Ya. Ibu Maya. Saya, teman dekatnya," jelas Hendra tanpa dimintai penjelasan. Menatap wanita itu penuh rasa percaya diri."Oh, ya. Silakan saja ke kantornya langsung, Pak," jawab Lidya gugup sambil mengarahkan tangannya ke luar lobby."Di mana kantor
"Ka-kamu kerja di sini, May?" Hendra menanyakan. Maya hanya menjawab dengan senyum dan anggukan pelan."Ok, May. Aku akan menunda kepulanganku," ucap Hendra yang nyaris berbisik. “Aku pengin bersama kamu.”Maya mengernyitkan dahinya. Matanya melirik ke arah Lita yang membuang muka, menunduk saat sadar Hendra dan Maya memerhatikan dia. Sedangkan Teddy, menatap Hendra dengan rasa curiga."Bagaimana dengan istrimu?""Dia akan pulang lebih dulu," jawab Hendra memotong pertanyaan Maya. Seakan tak acuh dengan perasaan Lita saat ini."Kamu keterlaluan, Hen!" Maya menekan suaranya. Setengah berbisik. Da kesal dengan keputusan yang diambilnya. Lalu pergi begitu saja meninggalkan Hendra. Kemudian diikuti Teddy."May. May. Maya!" Dengan ragu Hendra mengejar Maya. Tapi sial, Maya lebih cepat menghilang. Bersama perginya mobil golf yang dia tumpangi."Aaahhh!" Hendra meninjukan kepalannya ke udara. Kesal untuk yang kedua kalinya, karen
Seminggu di Bali. Membuat hubungan Hendra dan Lita mulai ada perubahan. Dekat. Seperti halnya suami istri pada umumnya. Dan, pengantin baru yang benar-benar baru saja melakukan bulan madunya.Memang mereka sedang berbulan madu. Tetapi mereka bukan sepasang pengantin baru. Walau kadang masih ada rasa malu dan sungkan. Terutama Lita, yang terbiasa dengan sikap Hendra yang kaku.Saat mereka akan cek out .... Hendra bertemu dengan sosok perempuan yang kembali mengungkit ingatannya. Bercakap bersama beberapa karyawan hotel. Di lobby.“Maya?” Hendra memanggilnya. Tak peduli beberapa pasang mata menatap Hendra. Karena panggilannya yang sempat mengundang pandangan itu tertuju padanya.Tak terkecuali Lita. Seketika dia mengalihkan pandangannya kepada wanita yang dipanggil Hendra dengan tatapan yang kosong.Sayangnya, Hendra tak peduli. Dia mengayunkan langkahnya untuk mendekati wanita yang dia panggil. Memastikan bahwa wanita itu ben
“Jangan jauh-jauh. Dari pada bajumu yang jadi incaran monyet-monyet itu juga. Bisa telanjang, kamu,” gurau Hendra yang membuat wajah Lita semakin kemerahan. Hati perempuan itu menjadi ciut. Takut dengan apa yang diguraukan Hendra akan menjadi kenyataan. Walau secara logika itu di luar nalar.“Mbo-mboten, Mas. Maaf.” Lita dengan ragu mendekat ke Hendra. Mensejajarkan diri dengan suaminya.Hendra tersenyum miring melihat tingkah Lita. Memegangi lengan Hendra dengan kuat-kuat. Sebuah pemandangan yang tak biasa. Hendra yang semula tak menginginkan Lita sebagai pasangannya. Kini, seolah-olah berbalik arah. Hendra menjadi sangat perhatian, walau terkadang egois dan keangkuhannya masih mendominasi.Mereka berjalan beriringan menyusuri jalan setapak menuju Pura sambil bergandengan tangan. Tampak mesra. Bahagia. Seolah-olah Hendra telah melupakan sang kekasih yang selama ini selalu mengusiknya.Bagaikan tersihir. Wisatawan yang berada di Pu
“Oke. Akan kususul dia.” Namun tak sempat Hendra memutar langkahnya, sosok Lita sudah terlihat dari kejauhan. Di antara wisatawan yang menghampiri bus untuk turut mengunjungi tempat yang akan mereka kunjungi.Lita, Menggunakan kaos berlengan pendek. Setelan laging yang dibebat kain merah bermotif bunga kamboja. Tampak serasi dipadu padankan dengan kaca mata hitam dan topi lebar sebagi pelindung wajahnya dari sengatan sinar matahari. Tampak begitu cantik melekat pada penampilan Lita saat ini.“Wow!” seru Hendra kegirangan ketika melihat penampilan Lita yang berbeda dari biasanya. Membuat matanya terbelalak tak berkedip, dengan mulut yang sedikit menganga. Tubuhnya pun mematung sesaat.“Mas Hen, ndak jadi ikut?” tegur Lita yang menyadarkan Hendra.“I-iya. Ten-tentu, aku ikut.” Hendra menjawab seraya berdehem untuk menyembunyikan kegugupannya. Dia tak ingin Lita tahu bahwa dirinya terpesona dengan penampi
“Kenapa matanya jadi begitu lihatnya? Melotot kayak mata Mak Lampir saja. Kalau memang ndak punya sangkutan hutang piutang, kenapa harus marah?”Mendengar kalimat Hendra yang mampu membuat hati Lita mengejang, matanya yang semulah penuh kobaran api amarah, seketika meredup. “Itu urusan mereka. Saya mboten (tidak) nderek (ikut) campur.” Hendra mencibir. Mendengar jawaban Lita yang sedikit ketus karena pertanyaannya.“Dari dulu orang tua saya melarang saya untuk pacaran. Lagi pula, saya ndak punya waktu untuk hal seperti itu.” Lita menggenapi kalimatnya.“Hah! Ndak punya waktu? Memangnya sesibuk apa sih? Sampai-sampai ndak punya waktu hanya untuk punya pacar?” Hendra mensesap lagi rokoknya yang tinggal sedikit nyalanya. Kemudian dia matikan dan membuangnya ke asbak yang berada di atas meja.Mendengar celaan Hendra, perempuan itu menunduk. Menggigit bibir bagian bawahnya yang kemerahan tanpa polesan, seke