Perjalanan dari Bandung ke Surabaya terasa cukup melelahkan, namun sesampainya di rumah, kehangatan keluarga langsung menyambut mereka. "Gimana kabarnya, Nak?" suara lembut Umi Khadijah menyambut Zaina begitu ia melangkah masuk. Perempuan itu langsung menarik menantunya ke dalam pelukan hangat. "Alhamdulillah, baik, Umi," jawab Zaina dengan senyum lembut. Sementara itu, Arkana masih sibuk mengeluarkan koper dari bagasi mobil. Sebelum masuk, Zaina lebih dulu menyalami Abi Ghifari yang berdiri di teras bersama putra sulungnya, Ghifari. "Sehat, Abi?" tanya Zaina dengan hormat. Abi Ghifari mengangguk dengan senyum bijak. "Alhamdulillah, sehat, Nak. Kalian gimana? Gimana di Bandung?" "Alhamdulillah, semuanya lancar, Bi," jawab Zaina sopan sebelum melangkah masuk bersama Umi Khadijah. Begitu sampai di ruang keluarga, Zaina mengeluarkan satu kotak bolu yang ia buat kemarin. "Umi, ini bolu yang aku buat kemarin. InsyaAllah masih enak," katanya sambil menyodorkan kotak tersebut
Malam itu, keluarga besar Kyai Ghifari berkumpul di rumah nenek mereka, Jiddah Khusni. Suasana hangat memenuhi ruangan, aroma masakan khas yang menggugah selera tercium dari dapur. Semua orang berkumpul di ruang makan, berbincang dan tertawa bersama. Zaina duduk di samping Arkana, merasa sedikit gugup karena ini adalah pertama kalinya ia bertemu dengan Jiddah Khusni. Dari cerita yang ia dengar, Jiddah adalah sosok wanita yang bijaksana, tetapi sangat selektif dalam memilih pasangan untuk anak cucunya. Ketika Jiddah Khusni masuk ke ruang makan, suasana sedikit hening. Wanita tua itu memiliki wibawa yang kuat, tetapi sorot matanya penuh kelembutan. Pandangannya jatuh pada Zaina, yang segera berdiri dan menyalaminya dengan hormat. "Assalamu’alaikum, Jiddah," sapa Zaina dengan lembut. Jiddah Khusni menatapnya sejenak, lalu tersenyum. "Wa’alaikumussalam, Nduk. Jadi ini istri Arkana?" Khadijah, ibu Arkana, tersenyum bangga. "Iya, Jiddah. Namanya Zaina." Jiddah Khusni menganggu
Namun, Arkana menggeleng, seperti anak kecil yang tak mau kehilangan ibunya. "Rambut kamu wangi, Za," ucapnya pelan. Zaina tersenyum kecil, tapi pipinya sudah bersemu merah. Ia bersyukur Arkana tak bisa melihat wajahnya saat ini. Beberapa detik kemudian, Arkana perlahan melepaskan rangkulannya dan membalikkan tubuh Zaina agar berhadapan dengannya. Sepasang mata tajam itu menatapnya lekat, begitu dalam dan penuh makna. Zaina menelan ludah. Ia merasa canggung, namun tak bisa mengalihkan pandangannya dari pria di hadapannya. Tanpa aba-aba, Arkana menundukkan wajahnya dan mengecup singkat bibir Zaina. Zaina membelalak kaget. Jantungnya seperti ingin meledak. First kiss-nya… dicuri oleh Gus Arkana! Sementara itu, Arkana hanya tersenyum tenang, seolah tak merasa bersalah sama sekali. "Za..." Suaranya terdengar lembut, namun penuh ketegasan. "Kalau aku minta hakku, boleh nggak?" Zaina merasakan tubuhnya semakin panas. Ia gelagapan sendiri, jantung berdetak terlalu kencang, ot
Hana diam sesaat, membiarkan Zaina melakukan apa pun yang ia inginkan. Tak lama kemudian, suara Hana terdengar lagi, pelan dan sedikit kaku. "Maaf, Za, dulu aku sering jahat sama kamu." Zaina menatap Hana dalam-dalam. "Aku tahu kalau perbuatanku mungkin gak bisa kamu maafin," lanjut Hana. "Tapi setidaknya, aku sudah meminta maaf." Zaina tersenyum kecil. Hana memang tetap ketus, tapi ia tahu bahwa permintaan maaf itu tulus. "Sudah lama aku memaafkan, Han," ucap Zaina lembut. Hana tidak membalas, tapi tangannya yang masih sibuk mengupas bawang sedikit gemetar. Ada kelegaan yang tersirat di wajahnya. **** Zaina berdiri di depan makam keluarganya, menatap batu nisan yang berjajar rapi. Di sampingnya, Arkana dan keluarga besarnya ikut serta dalam ziarah ini. Kyai Ghifari memimpin tahlil, suaranya merdu mengalun di antara hembusan angin pagi. Dalam hati, Zaina mengenalkan anggota keluarga barunya kepada almarhum ayah, bunda, abang, dan tantenya. Ayah, Bunda, Bang, Tante… i
Namun, saat ia hendak beranjak, tangan Arkana dengan sigap menarik pergelangan tangannya. Dalam sekejap, Zaina terjatuh dan kini posisinya menimpa tubuh suaminya. Matanya membelalak, sementara Arkana hanya tersenyum tipis, masih dengan mata yang setengah terpejam. Zaina tak bisa mengalihkan pandangannya dari wajah suaminya yang tampak begitu rupawan di bawah cahaya remang-remang. "Saya tampan, kan?" bisik Arkana dengan suara serak khas orang yang baru bangun tidur. Zaina seketika tersadar dari lamunannya. Dengan cepat, ia berusaha bangkit, tetapi Arkana lebih dulu menahan pinggangnya. "Saya masih nyaman berada di posisi ini," lanjutnya, kali ini dengan mata yang sudah terbuka sempurna. Tatapan hangatnya jatuh pada mata istrinya yang masih terlihat sedikit bengkak akibat tangis semalam. Tanpa berkata-kata, Arkana mengecup kelopak mata Zaina dengan lembut. Deg. Jantung Zaina berdegup kencang, seakan baru saja disetrum oleh sesuatu yang tak kasat mata. "Istriku hebat," gum
Setelah sarapan, Arkana mengantar Zaina. Kebetulan, Arkana juga ingin mampir ke bengkel. "Mas, nanti pulangnya bisa jemput, kan?" tanya Zaina sebelum turun dari mobil. "InsyaAllah bisa. Nanti telepon aja, ya," jawab Arkana. Zaina tersenyum, lalu mencium tangan suaminya. Arkana pun membalas dengan mencium tangan Zaina berulang kali, membuat istrinya terkekeh kecil. Setelah itu, Zaina turun dari mobil, menunggu hingga kendaraan suaminya menjauh sebelum melangkah masuk ke dalam kafe. Begitu masuk, ia mengedarkan pandangannya, mencari seseorang. Saat menemukannya, bibirnya merekah dalam senyuman. "Assalamualaikum," sapa Zaina. Kedua sahabatnya menoleh dan langsung takjub melihat penampilan Zaina yang kini lebih tertutup. "Wa’alaikumussalam," jawab mereka hampir bersamaan. "Wah, Zaina yang kita kenal dulu banyak berubah," ucap Raina sambil berdiri, menatap sahabatnya dengan kagum. "Gila, Za! Lo sekarang lebih cantik, auranya positif banget!" tambahnya. "Saka tuh pasti n
"Za, kamu marah, kan?" Arkana sejak tadi bergelendotan di pundak Zaina, mencoba menarik perhatian istrinya yang masih sibuk menyetrika baju. Namun, Zaina tetap diam, seolah tidak mendengar. "Za, jangan diam kayak gini," bujuk Arkana lagi. "Di Bandung aku memang ketemu Syifa, tapi cuma sebentar, itu pun aku sempat nolak. Dia yang terus maksa ngajak aku jalan. Kamu tahu kan, dari kecil kami sudah dekat. Aku yakin dia cuma menganggap aku sebagai kakaknya." Zaina akhirnya menoleh, tapi bukan karena perkataan suaminya. "Aku nggak marah, Mas. Cuma sakit gigi aja, makanya nggak mau banyak ngomong." Arkana memicingkan mata, jelas tidak percaya. "Udah, kamu diam deh, kepalaku tambah pusing. Gigiku cenut-cenut lihat kamu," lanjutnya, berusaha mengalihkan pembicaraan. "Gigi kamu sakit? Yang mana? Ayo kita ke dokter," ujar Arkana panik. "Udah nggak apa-apa, aku bisa tahan. Udah biasa kok, nanti juga sembuh sendiri," jawab Zaina, kembali sibuk dengan setrikanya. "Nggak bisa git
Zaina tersenyum kecil. "Oh, ya? Cerita apa? Semoga bukan cerita yang buruk-buruk, ya." Candanya mencoba menetralkan suasana. "Nggak, kok. Mbak Ani selalu cerita kalau Mbak Zaina itu rajin banget dan selalu dapat ranking di sekolah. Beliau suka bilang itu kalau aku lagi males belajar, biar aku termotivasi," jelas Alana. Zaina tersenyum hangat. "Terus," lanjut Alana dengan nada lebih pelan, "Mbak Ani juga pernah nunjukin fotonya Abang Faiz. Masyaallah, ganteng banget. Sayangnya, beliau udah pergi duluan..." Zaina terdiam sejenak, hatinya sedikit mencelos mendengar nama kakaknya disebut. Namun, ia tetap tersenyum, mencoba menyembunyikan kesedihannya. "Kamu suka abangku?" tanyanya menggoda. Alana nyengir, "Dikit... Soalnya kan dulu masih kecil, ya." Zaina tergelak. "Ya ampun, Alana. Terus sekarang masih suka?" tanyanya sambil tersenyum nakal. "Padahal dia udah ditanam dalam tanah, lho." Alana langsung membelalak. "Astaghfirullah, Mbak! Jangan ngomong gitu." Namun, sebelu
“Iya,” suara Arkana nyaris tak terdengar. “Anak yang dikandung Syifa. anak saya.” Dunia Zaina runtuh seketika. Tubuhnya melemas, Yaya menangkapnya cepat agar tidak jatuh. “Tapi, ini bukan salah kamu, Mas.” Syifa masih mencoba bertahan, suaranya patah-patah. “Kenapa kamu bohong kasihan Mbak Zaina.” Ghifari dan Khadijah sudah membawa Zaina pergi. Tak satu pun dari mereka ingin menatap Arkana dan Syifa. Semua yang hadir di sana hanya bisa terdiam, menyaksikan kehancuran keluarga yang selama ini mereka hormati. “Kalian harus menikah sekarang juga,” desis Gusti, sebelum mengambil ponsel dan menelpon penghulu. “Mas, kenapa kamu bohong?” Syifa terisak, menggenggam lengan Arkana. Tapi tak ada jawaban. Arkana hanya berdiri di sana patah, hancur, dan kehilangan semuanya dalam satu waktu. **** Zaina tak ingat bagaimana ia bisa sampai di kamar mandi. Tubuhnya bergerak sendiri, seperti tanpa jiwa. Tangannya yang dingin gemetar saat memutar kunci. Begitu pintu tertutup, ia bersandar pad
Pagi itu, suasana rumah Abah Gusti masih lengang. Hanya ada suara sendok yang beradu dengan cangkir teh di meja makan. Syifa tampak mondar-mandir di dapur, mencoba bersikap tenang. Tapi sejak beberapa hari ini, wajahnya selalu terlihat cemas. Matanya sembab, dan tubuhnya pun lebih lemah dari biasanya. Abah Gusti hendak ke kamar mandi, seperti biasa, tapi langkahnya terhenti di depan tempat cucian. Matanya menangkap sesuatu—bungkusan kecil putih dengan garis merah yang masih terlihat jelas. Ia memungutnya dengan tangan gemetar. Seketika dadanya bergemuruh. “Tespek.” Gusti berdiri di tempat, napasnya memburu. Ada dentuman kuat di dadanya antara amarah dan kecewa. Ia menggenggam alat itu dengan keras lalu berjalan ke arah dapur. “Syifa!” suaranya menggelegar. Syifa yang tengah menuang teh hampir menjatuhkan cangkir. Ia menoleh cepat. “Iya, Bah?” “Apa ini?” tanya Abah Gusti dingin, menunjukkan benda yang membuat tubuh Syifa langsung lemas. Syifa terdiam. Matanya mulai
"Halo," ucapnya pelan, nyaris berbisik, seolah takut jika suaranya terlalu keras akan membuat semuanya runtuh. Di seberang, suara Arkana terdengar rendah dan hati-hati. "Kamu belum tidur?" "Belum, akhir-akhir ini agak susah tidur," jawab Syifa, mencoba terdengar biasa. Padahal dadanya sesak, dan matanya terasa panas. "Kamu baik-baik aja?" tanya Arkana lagi, kali ini terdengar lebih lembut atau mungkin cemas. Syifa menunduk. Ada jeda yang lama sebelum ia menjawab. "Masih berusaha buat baik-baik aja." Hening menyelinap di antara mereka. Lalu suara Arkana kembali terdengar, lebih pelan. "Kamu gak cerita ke siapa-siapa, kan?" "Belum," jawab Syifa cepat, seperti refleks. Ia menarik napas panjang, menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong. "Kalau aku cerita sekarang... aku takut semuanya jadi makin kacau." "Syifa." Arkana seperti menahan sesuatu di ujung suaranya. "Kamu gak bisa terus begini. Kamu gak harus hadapi semua sendiri." "Itu kenapa aku hubungin kamu waktu
Arkana baru saja pulang. Jam menunjukkan pukul sebelas malam lebih. Ia melangkah pelan masuk kamar, dan mendapati Zaina sudah berbaring di ranjang tampak tertidur. Namun, ia tak benar-benar terlelap. Dengan gerakan hati-hati, Arkana meletakkan tas kecilnya di sofa, mengganti bajunya dengan pakaian rumah, lalu mengambil wudhu. Rasa lelah tampak membekas di wajahnya, tapi ada beban lain yang lebih besar yang ia bawa malam itu. Ia naik ke atas ranjang perlahan, berusaha agar tidak mengganggu Zaina. Ia menyandarkan punggungnya ke kepala ranjang, lalu menggenggam ponselnya jempolnya sibuk mengetik sesuatu. Matanya fokus, seperti sedang membalas chat seseorang yang penting. Zaina, yang sedari tadi hanya memejamkan mata, kini membalikkan tubuhnya perlahan, menatap suaminya. "Belum tidur?" tanya Arkana saat menyadari gerakan Zaina. Suaranya terdengar pelan. Zaina menggeleng. Ia lalu bangun perlahan, menopang tubuhnya yang kini terasa semakin berat karena usia kandungan yang sudah
Langkah kaki Zaina melambat ketika keluar dari area kedatangan bandara. Perutnya yang membuncit membuatnya harus berhati-hati, namun bukan itu yang membuat gerakannya terasa berat. Matanya terus menatap dua orang di depannya suaminya dan Syifa. Dari tadi, Zaina tak mendengar satu pun suara tawa keluar dari mulut mereka. Tapi anehnya, kedekatan itu justru terasa lebih dalam daripada sekadar candaan atau gurauan. Mereka seperti dua orang yang menyimpan rahasia besar, saling paham dalam diam. Dan di tengah itu, Zaina merasa seperti bayangan, ada tapi tak dianggap. “Mas…” ucapnya lirih, lebih kepada dirinya sendiri. Tangan Zaina terulur mengelus perutnya. Ia menunduk, mencoba menelan rasa perih yang mulai naik ke tenggorokan. Matanya basah, tapi ia cepat-cepat mengedip agar air mata itu tak jatuh. Tidak sekarang. Tidak di depan mereka. Setibanya di parkiran, Arkana hanya mengangguk ketika Zaina bilang ingin duduk di kursi belakang. Syifa juga tak menolak ketika duduk di sampin
Zaina berjalan mondar-mandir di ruang tengah rumah mereka. Sesekali tangannya mengelus perut yang membuncit, mencoba menenangkan diri dengan merasakan gerakan kecil dari bayi di dalam sana. Tapi kegelisahannya tak kunjung reda. Sudah hampir dua jam sejak Arkana pamit untuk menemui Syifa, tapi hingga kini belum kembali. Ponselnya sempat beberapa kali dia cek, berharap ada pesan masuk atau panggilan. Namun tak ada. Saat mencoba menghubungi nomor suaminya, hanya suara operator yang menjawab. “Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif.” Zaina menghela napas panjang, duduk perlahan di sofa sambil mengusap perutnya pelan. “Mas Arkana ke mana sih, nggak biasanya sampai selama ini. Aku tahu Syifa udah minta maaf dan sadar, tapi dia masih suka sama Mas Arkana. Jangan-jangan…” Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba mengusir pikiran-pikiran buruk yang mulai menumpuk di benaknya. “Mas, kamu tuh kenapa sih nggak kabarin? Apa aku salah udah izinin kamu ketemu Syifa?” gumamnya lirih, penuh k
Hujan baru saja reda ketika mobil Arkana berhenti di depan rumah mereka. Udara malam terasa lembab, membawa bau tanah basah yang menyegarkan. Zaina turun lebih dulu, dibantu Arkana yang langsung membukakan pintu mobil. Ia menggandeng tangan istrinya masuk rumah, penuh hati-hati seperti membawa kaca yang mudah pecah. Zaina langsung menuju kamar dan mengganti bajunya dengan piyama bermotif bunga kecil, sementara Arkana menunaikan salat Isya’ sendirian. Suara lembut lantunannya mengisi ruangan, membuat hati Zaina yang sedang duduk di pinggir ranjang ikut tenang. Selesai mengucap salam, Arkana melipat sajadahnya, lalu mendekat ke ranjang. Ia tidak langsung naik, melainkan duduk bersila di lantai, menempelkan telinganya ke perut Zaina dengan senyum penuh harap. “Assalamu’alaikum, dedek,” bisiknya pelan, lalu mencium perut Zaina yang kini makin membuncit. “Malam ini, Abi mau cerita ya.” Zaina tertawa kecil, mengusap rambut Arkana yang menempel di perutnya. “Cerita apa, Abi?” Ark
Zaina duduk di lantai ruang tamu, mengenakan daster longgar warna biru muda serta kerudung instan. Di pangkuannya, Zaina menguncir rambut Rara putri kecil Indah. Gadis kecil itu anteng sedang asyik memainkan boneka kecilnya. Tangannya yang mungil sesekali menarik mainan yang lain, sehingga membuat Zaina mendengus. karena Rara yang tiba-tiba bergerak membuat kunciran itu tidak rapih “Raraaa, pelan dong,” keluh Zaina sambil membenahi rambut Rara yang mulai berantakan. Indah muncul dari dapur membawa dua gelas teh hangat. Ia duduk di sebelah Zaina sambil mengamati tingkah putrinya yang semakin lengket sejak Zaina datang. "Gimana agak susah kan?" Tanya Indah. Zaina meringis, "Dikit mbak, tapi tadi Rara anteng kok. iya kan Ra?" Rara mengangguk seolah mengerti, masih dipangkuan Zaina. “Kayaknya Rara milih tantenya daripada mamanya sendiri deh,” celetuk Indah sambil menyodorkan teh. “Kalau Rara rambutnya aku kuncir selalu gak mau, Za.” Zaina tertawa kecil, menerima teh itu. “An
Suara jarum jam berdetak pelan dan desau angin luar jendela yang menemani. Zaina mendadak bangun, matanya terbuka lebar, napasnya ngos-ngosan seolah baru lari jauh. Tangannya refleks memegangi perutnya yang mulai membulat. Hatinya sesak. Matanya berkaca. Arkana yang tidur di sebelahnya pelan-pelan membuka mata, merasa ada yang aneh. Ia menoleh, melihat istrinya duduk di ranjang sambil menunduk. “Sayang,” suaranya parau dan lembut, “kenapa?” Zaina tidak langsung menjawab. Bibirnya bergetar, jari-jarinya mengusap lembut perutnya yang hangat. Ia tahu Arkana pasti khawatir, tapi untuk beberapa detik, ia hanya diam. “Zaina,” ulang Arkana, kini duduk tegak dan meraih bahu Zaina pelan. “Kenapa? Kamu mimpi buruk?” Zaina mengangguk pelan. “Tapi aku gak mau kamu nanya-nanya tentang itu,” katanya lirih, nyaris seperti bisikan. “Aku takut, makin kepikiran.” Arkana menatapnya penuh tanya, tapi memilih diam. Ia tahu kapan harus mendesak dan kapan harus memberi ruang. Beberapa detik he