Tok! Tok!
"Selamat malam, bumil, sudah waktunya makan malam." Siska membawa nampan berisi makanan kesukaan Dokter Marsya sejak hamil, Caramel, dan udang rebus saos Thailand. "Terima kasih, Siska. Maafkan aku yang selalu merepotkan," ujar Marsya sambil tersenyum lembut. "Haduh, jangan gitu dong. Tentu saja saya sangat senang merawat Anda," balas Siska ramah. "Oh ya, terima kasih banyak, Siska sudah mau merawatku," ucap Marsya dengan senyum tulus. "Hem, sama-sama. Ayo, saya bantu duduk. Eleh-eleh Dede bayinya kayaknya manja nih. Apa masih mual, Dokter?" tanya Siska sambil mengelus lembut perut Marsya yang sudah terlihat buncit di usia empat bulan. "Sedikit mual, tapi tidak terlalu parah seperti kemarin," jawab Marsya sambil menikmati hidangan di depannya. "Ha ha ha, dasar masih di dalam perut saja sudah kesal sama Ayahnya, gimana kalau sudah lahir. MakaJuan duduk di kursi di ruang kerja kantornya. Pikirannya kacau memikirkan mantan istrinya, Marsya. Yang menurut informasi dari anak buahnya masih tinggal di Bandung, tepatnya di sebuah klinik kecil di pinggiran kota. Juan masih belum bisa melupakan kenangan indah bersama Marsya, meskipun sudah lama mereka berpisah. Juan menimbang-nimbang untuk menemui Marsya langsung, namun ia sadar bahwa tidak mungkin baginya untuk kembali bersama dengan wanita itu. Akhirnya, ia memutuskan untuk meminta bantuan seseorang untuk memata-matai Marsya dan memberinya informasi terbaru tentang kehidupan mantan istrinya tersebut. Juan pun segera menghubungi salah satu bawahannya, seorang pria bernama Ardi. “Ardi, aku butuh bantuanmu. Aku ingin kamu memata-matai mantan istriku, Marsya yang katanya masih tinggal di Bandung. Bisakah kamu melakukan tugas itu untukku?” pinta Juan kepada Ardi. Ardi meng
Marsya yang sibuk melamun dikejutkan oleh Siska yang tiba-tiba berdiri di sampingnya. "Hei, Dokter Marsya! Apa yang kamu pikirkan sampai begitu serius?" tanya Siska ramah. Marsya tersentak dan memalingkan wajahnya dari lamunan. "Oh, maaf Sis. Aku hanya sedang memikirkan laporan keuangan klinik saja," jawab Marsya sambil tersenyum tipis. Siska mengangguk mengerti, lalu melanjutkan. "Dokter, katanya mau jalan-jalan ke taman komplek. Mau aku temani?" tanya Siska. Marsya terkekeh. "Ya, sebentar. Aku sedang bersiap-siap. Kamu mau menemaniku, Sis?" Siska tersenyum lebar. "Boleh. Kebetulan pekerjaanku juga sudah selesai. Ayo, Dokter. Kita ke taman!" ajak Siska semangat. Mereka berdua meninggalkan rumah dan berjalan menuju taman komplek yang terletak tidak jauh dari rumah mereka. Di tengah perjalanan, mereka berbincang-bincang ringan tentang pekerjaan, hobi, dan rencana masa depan.
"Bagaimana?"Tangan Valeria mengepal. Dia masih tak menyangka kepada pria yang duduk di hadapannya dengan balutan jas hitam tersenyum remeh memandangnya. Seorang mantan suami yang sudah menceraikannya selama tiga tahun kini menawarkan uang untuk menutupi kerugian yang menimpa perusahaannya. "Apa maksudmu Tuan Alan? Aku tidak sudi menerima uang yang Kau berikan!" maki Vale sambil melemparkan amplop coklat berisi uang yang berada di atas meja ke wajah Alan. Weni sang asisten yang sejak tadi duduk di sofa dengan tenang melihat Tuan Alan dihina seperti itu langsung buka suara. '' Anda bisa saja menolaknya Nona Valeria tapi bagaimana dengan ribuan karyawan yang bekerja di perusahaan orangtua Anda yang sedang berada di ujung tanduk?" "Itu urusanku bukan urusan kalian. Jangan sok tahu tentang masalah keluargaku. Sekarang pergilah, kalian tentu tahu pintu keluar di mana." Baru saja Weni ingin menyahuti Valeria, Alan langsung mengisyaratkan tangannya agar jangan bicara. Alan memajukan
"Kau harus menuruti apa yang ku mau selama Violet tidak berada disisiku. Calon istriku itu akan pergi ke itali selama tiga bulan karena ada pekerjaan di sana. Kau tentu tahu kebutuhan biologisku selama Kita masih menjadi suami istri dulu." "Aku bukan pelacurmu simpan saja uangmu itu," ucap Valeri dengan tatapan tajam kepada Alan. "Nona Valeria kenapa Kau masih saja keras kepala. Aku menawarkan keuntungan untukmu. Kau akan bahagia dan perusahaan Kakekmu itu akan aman. Apa Kau tahu hutang Ayahmu sangat menumpuk. Beberapa para investor menarik uangnya. Dan Kau jangan lupa Ayahmu juga berhutang banyak kepadaku," urai Alan dengan tenang duduk di atas meja kerjanya sambil melipatkan kedua tangannya. "Kau sudah gila Aku tidak akan pernah mau menerima tawaranmu sudah cukup Kita pernah mengenal. Jadi jangan sok baik untuk menolongku. Kalau Kau ingin hartaku maka ambil saja. Aku tidak perduli lagi permisi," jawab Valeria dengan wajah datarnya lalu pergi dari ruangan itu tanpa memakai gaun
"Kau habis dari mana Vale?" tanya Cathy yang sejak tadi menunggunya. "Maaf ... Aku tadi ada urusan sedikit, kenapa belum tidur?" "Owh Aku belum mengantuk saja. Emm ... Vale tadi Ibuku telpon memintaku pergi ke rumah Tante Nana. Tanteku sakit tak ada yang mengurusnya. Bisakah Aku pinjam mobilmu kesana?" "Kau itu bagaimana pakai saja jangan sungkan. Apa Aku boleh ikut?" "Ah ... tidak jangan Aku hanya sebentar saja. Kamu di rumah saja tidak apa-apakan?" "Ok baiklah, ini kunci mobilnya Kamu hati-hati di jalan." Tanpa curiga kepada Cathy, Vale mengantarnya keluar rumah sampai wanita itu pergi mengendarai mobilnya. Vale masuk ke dalam rumah Dia berjalan menaiki tangga menuju kamar. Sudah tiga hari wanita itu menginap di rumah temannya. Vale mempunyai harta gono gini dari mantan suaminya tapi Dia tidak pernah menghuni rumah mewah yang diberikannya. Beberapa mobil mewah pun berdebu digarasi rumah itu. Dan beberapa aset seperti properti dan restoran tidak pernah Dia urus. Meskipu
"Kau mau membawaku kemana? Sepertinya jalan ini ke rumah utama. Hey apa Kau sudah gila! Aku mau turun di sini saja ... berhenti ku bilang!" Ckit ... ! Suara bunyi rem mendadak terdengar jelas di telinga mereka. Alan melirik Vale yang ingin keluar dari mobil BMW mewahnya. "Coba saja Kau keluar Aku pastikan Kita akan melakukannya di sini." "Apa Kau tuli hah! Aku tidak mau ke rumah itu dan berhenti mengancamku, Alan." "Kita akan tetap ke sana karena itu rumahmu!" tanpa menghiraukan caci maki Vale. Alan tetap membawa Vale ke rumah utama mereka yang dulu pernah mereka tinggali bersama. Menempuh perjalanan selama 30 menit dengan banyak drama akhirnya sampai di depan pintu mewah pagar hitam sudah ada penjaga yang membukanya menyambut mereka. Alan turun dari mobil tanpa Vale yang masih betah bertahan diam di dalam mobil. Tanpa memaksa Vale turun Alan bersandar ke tiang kokoh rumahnya dengan menghisap rokok sambil melihat Vale yang masih tetap bertahan di dalam mobilnya. Beberapa p
Suara cuitan burung di luar balkon terdengar riuh cahaya yang menembus ke dalam kamar cukup membuat Vale mengerjapkan matanya yang baru bangun dari mimpinya. Tak jauh darinya ada sosok pria yang sedang memandangnya tanpa berkedip. Kedua mata mereka saling berpandangan dan Vale lah yang pertama memutus pandangan tersebut. "Mandilah ikut bersamaku ke kantor." "Untuk apa bukannya sekarang Kamu yang akan menjadi bosnya." "Kau akan mengetahuinya setelah tiba di sana. Bersiap-siaplah Aku menunggumu di bawah Kita sarapan bersama." Setelah melihat Alan pergi dari kamar Vale bergegas mandi dengan cepat karena dia juga penasaran dengan ucapan pria itu. Di atas ranjang ada stelan pakaian kantor untuknya. Blouse berwarna biru dan rok span berwarna hitam. Terlihat sangat sopan karena itu yang diinginkan Alan. Setelah mengecek beberapa riasan di wajahnya Vale keluar dan turun menghampiri Alan yang sejak tadi sudah menunggunya. Tapi baru beberapa langkah kakinya tertahan tanpa mau digerakk
Berkali-kali Alan menghubungi Violet setelah bertemu dengan kolega bisnisnya meeting bersama membicarakan projek iklan untuk brand miliknya. Alan menginginkan Violet untuk kembali ke Indonesia secepat mungkin. Dia sudah membayar penalti perusahaan lain yang terlibat kontrak dengan kekasihnya itu. "Come on Dude, Kau hanya membuang-buang waktumu saja. Kekasihmu itu sedang tidak ingin diganggu," sarkas Biza yang sedang berkunjung ke kantornya karena ada dokumen penting yang harus dia berikan kepada temannya itu. "Shut up! Kenapa belum pergi dari ruanganku. Kau itu bukan penganggurankan?" sahut Alan menyipitkan matanya ke arah Biza. "Yah sejak memutuskan keluar dari perusahanmu dan bekerja dengan Tuan Darwin Aku lebiih santai. Tapi tetap saja selalu direpotkan Kamu," sarkas Biza. "Jelas saja kerjamu santai yang Kamu jaga itu wanita yang tidak menyulitkan dibanding diriku. Hey, Abi jangan permainkan Adik iparnya Darwin sepertinya Dia sangat mencintaimu. Perlu Kau ingat,, Kau akan b
Marsya yang sibuk melamun dikejutkan oleh Siska yang tiba-tiba berdiri di sampingnya. "Hei, Dokter Marsya! Apa yang kamu pikirkan sampai begitu serius?" tanya Siska ramah. Marsya tersentak dan memalingkan wajahnya dari lamunan. "Oh, maaf Sis. Aku hanya sedang memikirkan laporan keuangan klinik saja," jawab Marsya sambil tersenyum tipis. Siska mengangguk mengerti, lalu melanjutkan. "Dokter, katanya mau jalan-jalan ke taman komplek. Mau aku temani?" tanya Siska. Marsya terkekeh. "Ya, sebentar. Aku sedang bersiap-siap. Kamu mau menemaniku, Sis?" Siska tersenyum lebar. "Boleh. Kebetulan pekerjaanku juga sudah selesai. Ayo, Dokter. Kita ke taman!" ajak Siska semangat. Mereka berdua meninggalkan rumah dan berjalan menuju taman komplek yang terletak tidak jauh dari rumah mereka. Di tengah perjalanan, mereka berbincang-bincang ringan tentang pekerjaan, hobi, dan rencana masa depan.
Juan duduk di kursi di ruang kerja kantornya. Pikirannya kacau memikirkan mantan istrinya, Marsya. Yang menurut informasi dari anak buahnya masih tinggal di Bandung, tepatnya di sebuah klinik kecil di pinggiran kota. Juan masih belum bisa melupakan kenangan indah bersama Marsya, meskipun sudah lama mereka berpisah. Juan menimbang-nimbang untuk menemui Marsya langsung, namun ia sadar bahwa tidak mungkin baginya untuk kembali bersama dengan wanita itu. Akhirnya, ia memutuskan untuk meminta bantuan seseorang untuk memata-matai Marsya dan memberinya informasi terbaru tentang kehidupan mantan istrinya tersebut. Juan pun segera menghubungi salah satu bawahannya, seorang pria bernama Ardi. “Ardi, aku butuh bantuanmu. Aku ingin kamu memata-matai mantan istriku, Marsya yang katanya masih tinggal di Bandung. Bisakah kamu melakukan tugas itu untukku?” pinta Juan kepada Ardi. Ardi meng
Tok! Tok! "Selamat malam, bumil, sudah waktunya makan malam." Siska membawa nampan berisi makanan kesukaan Dokter Marsya sejak hamil, Caramel, dan udang rebus saos Thailand. "Terima kasih, Siska. Maafkan aku yang selalu merepotkan," ujar Marsya sambil tersenyum lembut. "Haduh, jangan gitu dong. Tentu saja saya sangat senang merawat Anda," balas Siska ramah. "Oh ya, terima kasih banyak, Siska sudah mau merawatku," ucap Marsya dengan senyum tulus. "Hem, sama-sama. Ayo, saya bantu duduk. Eleh-eleh Dede bayinya kayaknya manja nih. Apa masih mual, Dokter?" tanya Siska sambil mengelus lembut perut Marsya yang sudah terlihat buncit di usia empat bulan. "Sedikit mual, tapi tidak terlalu parah seperti kemarin," jawab Marsya sambil menikmati hidangan di depannya. "Ha ha ha, dasar masih di dalam perut saja sudah kesal sama Ayahnya, gimana kalau sudah lahir. Maka
"Vale, Alva kelihatan sehat ya saat bersama Dokter Marsya tadi." "Iya, Alva memang senang sekali saat berada dekat dengan Dokter Marsya." "Mungkin karena Dokter Marsya begitu perhatian dan lembut saat memeriksa Alva. Aku senang kita memilihnya sebagai dokter pribadi keluarga kita." "Ya, aku juga senang meskipun dia sedang hamil tanpa suami Dokter Marsya begitu mandiri dan kuat." "Yang ku tahu mantan suaminya itu pengusaha dan Dokter juga." "Oh begitu, aku selalu berdoa semoga Dokter Marsya mendapatkan kebahagiaan." "Ya, semoga," ucap Alan tersenyum kepada Vale sambil menoel-noel pipi gembul Alva. Malam hari tiba, Alva terus menangis sejak beberapa jam yang lalu. Alan dan Vale cemas melihat kondisi bayi mereka yang rewel. "Apa yang seharusnya kita lakukan, Alan? Alva terus menangis dan tidak mau dihibur." "Aku akan menghubungi Dokter Marsya. Mungkin dia bisa memberikan saran atau datang ke rumah untuk memeriksa Alva." "Tapi ini sudah malam nanti mengganggunya."
flasback masa lalu Bela dan Alan adalah pasangan yang sangat serasi di sekolah. Mereka diidolakan oleh banyak teman karena hubungan mereka yang begitu manis dan harmonis. Alan sangat mencintai Bela, begitu pula sebaliknya. Mereka sering dikatakan sebagai pasangan yang paling romantis di sekolah mereka. Namun, segalanya mulai berubah ketika Bela mulai dekat dengan teman Alan, Mike. Alan tidak merasa curiga atau khawatir, karena dia telah percaya sepenuhnya pada Bela dan persahabatan mereka. Namun, tanpa sepengetahuan Alan, Bela dan Mike sering bertemu tanpa sepengetahuannya. Suatu hari, Alan dan Bela berencana untuk makan bersama di restoran favorit mereka. Alan sangat antusias. Namun, Alan terkejut ketika tiba di restoran melihat Mike dan bela. Mereka tertawa, bercanda, dan terlihat sangat dekat satu sama lain. Alan menatap Bela dengan wajah penuh kekecewaan. "Apa yang kalian lakukan di sini, Bela? Dan kenapa bisa bersamanya?" tanyanya, menunjuk ke arah Mike yang duduk di s
Beberapa hari yang lalu Vale mulai berubah menjadi manja dan sering merasa mual-mual. Alan pun merasa bingung dengan perubahan sikap istrinya. Ia mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan Vale. Dengan cemas, Alan menghubungi dokter pribadi mereka, Dokter Marsya, untuk memeriksa kondisi Vale. Keesokan harinya, Dokter Marsya datang ke rumah mereka untuk memeriksa Vale. Setelah melakukan pemeriksaan yang cermat, Dokter Marsya tersenyum dan berkata. "Tuan Alan, saya mempunyai berita baik untukmu. Gejala yang istrimu alami sebenarnya disebabkan oleh sindrom kehamilan." Alan begitu terkejut mendengarnya. "Apakah itu mungkin? Aku kira cuma masuk angin biasa, tapi ternyata kamu hamil, sayang," ucapnya lembut kepada Vale. Dokter Marsya mengangguk sambil tersenyum. "Ya, Tuan Alan. Nyonya Vale sedang hamil. Anda akan menjadi seorang calon ayah sekarang." Vale tersenyum bahagia. "Tentu saja, sayang. Aku bahagia sekali mendengar berita ini." Alan pun langsung mencium keni
Abizar sedang duduk santai di balkon sambil menghisap rokok. Malam itu, udara di Jakarta begitu sejuk dan angin bertiup lembut. Tiba-tiba, anak buahnya mengetuk pintunya yang memang dibiarkan terbuka. "Maaf mengganggu, Tuan. Tampaknya ada masalah dengan Tuan Alan. Kode sinyal beliau sudah berkedip selama 45 menit, lokasi berada di sebuah Villa.""Sialan! Bagaimana bisa dia berada di sana tanpa memberi tahu saya? Siapkan pesawat, kita harus segera pergi untuk menyelamatkannya. Dimana titik terakhir keberadaannya?" "Mereka berada di Maladewa, Tuan. Di sebuah villa milik Dori. Sepertinya Tuan Alan dan istrinya disandera."Abizar menghembuskan asap rokoknya. "Sialan! Baik, segera persiapkan semua perlengkapan. Kita harus segera menolongnya." "Kami siap, Tuan. Kami akan mengumpulkan tim secepat mungkin." Abizar segera meninggalkan rokok yang masih menyala di tangan dan bergegas menuju markas untuk menyiapkan segala perlengkapan yang diperlukan. Di pesawat dalam perjalanan menuju Malad
Alan menggenggam tangan Vale dengan erat, mencoba menenangkan dirinya, meskipun hatinya terus berdebar kencang. Pesan yang diterima tadi dan kemunculan dua pria besar yang tiba-tiba menghadang mereka membuat perasaan cemas semakin menguasai dirinya. Alan menggenggamnya lebih kuat, seolah memberikan kekuatan yang tidak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. "Alan... apa yang sedang terjadi?" Vale berbisik, suaranya terengah, kebingungan dan ketakutan bercampur aduk di matanya. Pria yang menghadang mereka itu, dengan tubuh kekar dan pakaian gelap, memandangi mereka berdua dengan tatapan tajam. "Kalian berdua, ikuti kami," katanya dengan suara yang rendah, namun tegas. "Ada orang yang ingin berbicara dengan kalian." Alan berdiri tegak, menatap dua pria itu dengan intens. "Siapa yang mengirim pesan itu?" tanyanya, nada suaranya begitu tegas, meskipun di dalam dirinya terasa ketegangan yang luar biasa. Salah satu pria itu tersenyum tipis, namun senyuman itu penuh ancaman. "Tanyakan
Lima bulan kemudian ...Alan dan Vale sudah lama bermimpi untuk pergi ke Maladewa. Mereka akhirnya bisa mewujudkan impian mereka setelah sempat berpisah selama bertahun-tahun. Saat mereka tiba di pulau yang indah itu, mata mereka terpana oleh keindahan alamnya. "Vale, lihatlah keindahan Maladewa ini. Sungguh luar biasa," ucap Alan sambil tersenyum. "Betul sekali, Alan. Tempat ini benar-benar seperti surga di bumi," jawab Vale sambil merasakan kebahagiaan yang mendalam. Mereka berdua langsung menuju pantai untuk menikmati matahari terbenam. Suasana di pantai begitu tenang dan damai. Pasir putih yang lembut, air laut yang jernih, dan sinar matahari yang hangat membuat mereka betah berada di sana. "Sungguh romantis, bukan? Kita berdua di sini, menikmati keindahan alam bersama," ujar Alan sambil menggandeng tangan Vale. "Ya, ini benar-benar luar biasa. Aku tidak pernah membayangkan bisa datang ke tempat ini," balas Vale dengan senyum bahagia di wajahnya. Mereka duduk di