Laura mendengarkan cerita Boy dengan teliti, matanya tidak berkedip. Dia bisa melihat betapa Boy masih terpengaruh oleh pengalaman buruknya dengan Violet. "Jadi, anda mulai menyadari bahwa Violet memiliki sifat manipulatif ketika dia mempengaruhi kamu untuk membenci ibumu sendiri?" Laura bertanya, suaranya tetap tenang. Boy mengangguk, wajahnya masih terlihat sedih. "Ya, aku tidak tahu apa yang terjadi pada aku. Aku seperti di bawah kontrolnya. Aku melakukan apa pun yang dia inginkan, bahkan membenci ibuku sendiri." Laura menghela napas, matanya menyempit. "Violet adalah wanita yang berbahaya, Tuan. Dia tidak hanya memiliki sifat manipulatif, tapi juga tidak memiliki hati nurani. Anda beruntung bisa keluar dari hubungan itu." Laura mengambil napas dalam-dalam. "Tuan, saya perlu tahu kebenaran tentang foto-foto skandal seks yang beredar. Apakah foto-foto itu asli?" Boy terlihat tidak nyaman, tapi dia mengangguk pelan. "Ya, foto-foto itu asli. Aku... aku tidak tahu bagaimana Violet
Saat Laura mendekati Violet, dia bisa melihat bahwa Violet sedang berbicara dengan seorang pria yang terlihat sangat kaya dan berpengaruh. Laura mengenali pria itu sebagai salah satu targetnya dalam rencana menjebak Violet. Laura tersenyum dalam hati. "Sekarang adalah saat yang tepat," dia berkata kepada dirinya sendiri. Laura mendekati Violet dan pria yang sedang berbicara dengannya. Dia tersenyum dan mengucapkan salam, membuat Violet dan pria itu meliriknya. "Halo, saya Laura," dia berkata, dengan senyum yang ramah. "Saya adalah pemilik sebuah agensi model terkemuka di Tokyo. Saya tidak bisa tidak memperhatikan kamu, Violet. Kamu memiliki potensi yang sangat besar sebagai model." Violet terlihat terkejut, tapi juga sedikit penasaran. "Saya? Sebagai model?" dia bertanya. Laura mengangguk. "Ya, saya sangat yakin bahwa kamu akan menjadi model yang sangat sukses. Saya ingin mengajak kamu untuk bergabung dengan agensi model saya. Saya akan membantu kamu untuk mengembangkan karir mode
Violet terlihat sangat terkejut dan tidak nyaman ketika orang itu menekannya untuk mengaku tentang kelakuan jahatnya. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan, tapi dia tahu bahwa dia harus melindungi dirinya. "Apa yang kamu bicarakan?" Violet bertanya, dengan suara yang sedikit gemetar. "Aku tidak tahu apa yang kamu maksud." Orang itu tersenyum dan menekan Violet lagi. "Kamu tahu apa yang kami maksud. Kamu telah menyebar video sex kamu ke publik untuk balas dendam kepada Boy. Kamu harus mengaku tentang itu jika kamu ingin selamat." "Aku... aku tidak tahu apa yang kamu bicarakan," Violet berkata, dengan suara yang sedikit gemetar. "Kamu tidak bisa berbohong lagi, Violet. Kamu harus mengaku tentang kelakuan jahatmu dan meminta maaf kepada Boy. Jika tidak, kamu akan menghadapi konsekuensi yang sangat berat." "Apa yang kamu ingin aku lakukan?" Violet bertanya, dengan suara yang sedikit gemetar. "Kamu harus mengaku tentang kelakuan jahatmu dan meminta maaf kepada Boy. Jika tidak, kam
Laura berjalan menuju pintu, sambil berbicara dengan nada yang keras dan menakutkan. "Ingat, Violet, aku selalu mengawasi kamu. Jika kamu mengacau lagi, aku tidak akan ragu-ragu untuk menghancurkan kamu. Kamu harus berterima kasih atas kesempatan yang telah diberikan kepadamu, dan jangan pernah melupakan itu." Violet menunduk dan tidak berani menatap Laura lagi, sambil menganggukan kepalanya. Laura keluar dari ruangan gelap itu, meninggalkan Violet yang masih menunduk dan tidak berani menatapnya. Beberapa saat kemudian ketika Laura sudah sampai di depan mansion. Laura berbicara dengan hacker yang telah dia percayai yang ikut bersamanya. "Aku ingin kamu untuk menyebarkan video pengakuan Violet dan beberapa saksi yang melibatkan para pria hidung belang yang memakai jasa Violet. Aku ingin semua orang tahu tentang kejahatan yang telah dia lakukan." Hacker itu mengangguk dan mulai bekerja untuk menyebarkan video tersebut ke seluruh dunia maya. Saat masuk ke dalam, dia langsung menun
Valeria, yang sedang hamil tiga bulan, sedang duduk di sofa, dengan ekspresi yang manja. "Alan, aku tidak ingin kamu pergi ke kantor hari ini," Valeria berkata, dengan suara yang lembut. "Aku ingin kamu menjaga aku di rumah." Alan, yang sedang berdiri di depan pintu, menghela napas. "Valeria, aku harus pergi ke kantor. Aku memiliki banyak pekerjaan yang harus diselesaikan," Alan berkata, dengan suara yang sabar. Valeria menggelengkan kepala, dengan ekspresi yang masih manja. "Tidak, Alan. Aku tidak ingin kamu pergi. Aku akan merasa kesepian tanpamu," Valeria berkata. Boy, yang sedang melihat perdebatan antara Alan dan Valeria, mengajukan ide. "Kakak, aku memiliki ide. Aku akan menjaga Kak Valeria kemana pun pergi, sehingga kamu bisa pergi ke kantor dengan tenang," Boy berkata, dengan suara yang sopan. Alan dan Valeria memandang Boy dengan ekspresi yang terkejut. "Benarkah, Boy?" Alan bertanya, dengan suara yang tenang. "Ya, Kak. Aku belum bisa kembali lagi ke agensi karena skandal
Boy langsung pergi ke kamar karena sudah sangat lelah meladeni Valeria, kakak iparnya yang sedang hamil. Dia merasa seperti telah diuji kesabarannya oleh Valeria, yang terus meminta dia melakukan hal-hal yang tidak masuk akal. Selain itu, Boy juga merasa malu kepada Laura, yang telah melihatnya memakai daster dan berlenggak-lenggok seperti model. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana Laura bisa memandangnya dengan cara seperti itu, dan dia merasa seperti telah kehilangan wibawa di depannya. Boy memasuki kamar dan menutup pintu di belakangnya. Dia merasa seperti telah melarikan diri dari situasi yang tidak nyaman, dan dia tidak bisa menunggu untuk bisa beristirahat dan melupakan hari yang telah berlalu. Boy membaringkan diri di atas tempat tidur dan menutup mata. Dia merasa seperti telah kehabisan energi, dan dia hanya ingin tidur dan melupakan semua yang telah terjadi hari ini. Valeria kembali ke kamar dengan dibantu oleh Laura. Sejak hamil, Valeria menjadi lebih sensitif dan t
"Baik, Alan. Aku akan mendengarkan apa yang kamu ingin katakan," Ibu Jessy berkata. Alan tersenyum, dengan ekspresi yang sopan. "Terima kasih, Ibu Jessy. Aku ingin membantu kamu untuk kembali ke rumah Boy. Aku tahu bahwa Boy telah membuat kesalahan, tapi aku juga tahu bahwa dia masih memiliki hati yang baik," Alan berkata. Ibu Jessy memandang Alan dengan ekspresi yang sedikit lebih ragu-ragu. "Aku tidak tahu, Alan. Aku tidak ingin kembali ke rumah, jika Boy masih tidak ingin aku di sana." "Aku mengerti, Ibu Jessy. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku akan selalu ada di sini untuk membantu kamu. Dan aku juga ingin kamu tahu bahwa aku telah berbicara dengan Boy, dan dia telah meminta maaf atas apa yang telah dia lakukan." "Benarkah?" Ibu Jessy bertanya, dengan suara yang sedikit lebih berharap. Alan mengangguk, dengan ekspresi yang lembut. "Ya, Ibu Jessy. Boy telah meminta maaf, dan dia ingin kamu kembali ke rumahnya," Alan berkata. Alan melanjutkan, "Boy sekarang tinggal bersamaku
Alan melanjutkan nasihatnya kepada Boy, dengan ekspresi yang serius. "Boy, kamu harus menyadari bahwa kamu masih beruntung memiliki seorang ibu yang peduli padamu. Aku tidak ingin membuka luka lama masa lalu tentang orangtua kita, tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku tidak pernah memiliki kesempatan untuk memperbaiki hubunganku dengan Ayah," Alan berkata, dengan suara yang sedikit bergetar. Boy memandang Alan dengan ekspresi yang terkejut, tidak menyangka bahwa Alan memiliki luka lama yang belum sembuh. Alan melanjutkan, "Kamu harus menemui Ibu Jessy di Itali dan meminta maaf atas apa yang telah kamu lakukan. Kamu harus memperbaiki hubunganmu dengan dia, sebelum terlambat," Alan berkata, dengan suara yang tegas. Boy mengangguk, dengan ekspresi yang sedikit malu. "Baik, Kak. Aku akan menemui Ibu Jessy di Itali dan meminta maaf." "Aku percaya kamu bisa melakukannya, Boy. Kamu harus memperbaiki hubunganmu dengan Ibu Jessy, untuk kebaikanmu sendiri dan untuk kebaikan orang-orang yang kam
Alan memerintahkan baby sister datang ke hotel untuk menjaga Anya. Sedangkan dia ingin bermesraan bersama Valeria. "Aku bukannya senang merayakan wasiatmu, tapi aku speechless kenapa Ayah Satia tidak jujur dan malah berhutang banyak denganku. Apa dia hanya pura-pura saja? Pantas saja dia meninggalkan perusahaan, pergi ke Rusia bersama wanita mudanya, hanya untuk mengujiku," ucap Alan yang kini sedang menciumi tubuh Vale dengan mesra. Valeria tertawa kecil. "Jadi, semua ini adalah ujian? Ujian yang sangat mahal!" Alan mencium leher Valeria. "Ya, ujian untuk melihat apakah kita cukup kuat untuk menghadapi semua ini bersama-sama. Dan sejauh ini, ki
"Terima kasih sudah menjadi suamiku kembali. Meskipun kau membuatku sedikit khawatir tadi malam." Alan tertawa kecil. "Maaf, sayang. Aku terlalu bersemangat." Valeria mencubit lengan Alan pelan. "Lain kali, jangan terlalu bersemangat. Tapi... aku senang." Alan memeluk Valeria. "Baiklah, sayang. Aku berjanji akan lebih lembut... kecuali jika kau menginginkan sebaliknya. Malam yang luar biasa. Aku senang kita bisa menghabiskan waktu bersama seperti ini. "Aku juga. Rasanya seperti kita kembali muda lagi." "Kita akan selalu muda di hati, sayang. Selamanya."
Reinhard dan Elsa, dua anak Alan Chester Clark yang gendut dan lucu, berlarian di sekitar taman pesta pernikahan Abizar, membuat para tamu undangan tertawa. Mereka berguling-guling di atas rumput, mengejar kupu-kupu, dan saling kejar-kejaran. 'Lihatlah mereka! Seperti dua anak kelinci yang berlarian!" ucap para tamu. "Mereka sangat menggemaskan! Aku jadi ingin punya anak juga." Di sisi lain taman, Valeria, dan Violet, duduk di sebuah bangku tamu undangan, menikmati suasana pesta sambil mengobrol. Anya duduk di pangkuan Valeria, tersenyum terus tanpa henti. "Anya, kamu kenapa senyum terus? Ada yang lucu ya?" Violet tertawa. "Dia memang selalu ceria. Lihat giginya, baru tumbuh beberapa
"Jadi, anakku sudah mulai mengikuti jejak ayahnya, ya?" ucap Alan sambil tertawa. Valeria mendelik. "Jangan tertawa! Ini serius! Aku khawatir dia akan terlalu banyak pacar nanti." Alan masih tertawa. "Tenanglah. Aku yakin dia akan baik-baik saja. Setidaknya dia punya bakat alami. Mungkin suatu hari nanti dia akan menulis buku tentang pengalaman pacarannya, judulnya." "Petualangan Cinta Seorang Playboy Cilik". Valeria memukul pelan lengan Alan. "Jangan mengada-ada! Ini serius!" Alan tertawa. "Baiklah, baiklah. Aku berjanji akan membicarakan ini dengan Reinhard. Tapi jangan berharap aku akan melarangnya pacaran. Aku sendiri kan juga pernah mengalami masa-masa itu. Tapi aku akan memastikan dia tahu batasannya. Aku tidak ingin dia terluka."
Sore hari menjelang, mentari mulai terbenam, menorehkan warna jingga dan ungu di langit. Alan dan Valeria masih berbaring di ranjang, saling berpelukan. Suasana kamar masih dipenuhi aroma intim dan sisa-sisa gairah. Valeria tersenyum. "Aku merasa sangat senang. Seperti kembali ke masa pacaran kita dulu." "Aku juga. Rasanya seperti waktu berhenti, hanya ada kita berdua." "Anak-anak akan kembali dalam seminggu. Kita harus memanfaatkan waktu ini sebaik mungkin." "Tentu. Bagaimana kalau kita memasak makan malam bersama? Sesuatu yang romantis, hanya untuk kita berdua." "Ide bagus! Bagaimana kalau kita membuat pasta? Dengan saus truffle dan anggur merah?" Alan tersenyum. "Kau selalu tahu
Jan 23.00 malam baru pulang dari kantor. Ia masuk ke kamar , melihat Valeria, matanya melebar. Ia berjalan mendekat dengan langkah pasti. Kamar gelap hanya diterangi cahaya remang dari lampu tidur di meja samping ranjang. Alan berbisik, sedikit serak. "Wow..." menatap Valeria yang tertidur pulas dengan lingerie sutra berwarna merah marun. "Pekerjaan yang melelahkan di kantor, langsung sirna begitu melihatmu..." Alan mendekati Valeria dan menyentuh pipinya dengan lembut, jari-jarinya merasakan kelembutan kulit Valeria. "Lingerie itu... sangat menggoda." Ia menarik napas dalam-dalam, aroma parfum Valeria memenuhi indranya. "Kau selalu tahu bagaimana membuatku tenang dan... tergoda sekaligus." Ia menunduk, mencium lembut leher Valeria. "Kau luar biasa, Valeria." Alan kemudian berbaring di samping Valeria, memeluknya dengan erat. Ia merasakan detak jantung Valeria yang t
"Kau menginap di sini atau pulang, Boy?" "Aku langsung pulang saja, Kak. Kan ada jet pribadi Kakak." Boy tersenyum. Alan tersenyum. "Ya sudah. Aku ke ruang kerja dulu." Alan menyerahkan Anya ke Valeria. "Anya, sayang, ikut Mommy ya." Valeria menerima Anya. "Tentu, Sayang." "Reinhard dan Elsa ke mana, Kak?" "Mereka tadi, setelah berenang, katanya mau bermain di taman bersama teman-temannya. Sepertinya mereka sudah pulang juga. melihat ke arah pintu. "Ah, lihat! Mereka sudah pulang." Reinhard dan Elsa masuk, membawa beberapa mainan kecil. "Mom! Papa!" teriak Reinhard. "Paman Boy!" seru Els
Valeria segera mempersiapkan diri untuk menyusui Anya. Alan meletakkan Anya di pangkuan Valeria, dan Anya langsung menempelkan mulutnya ke dada Valeria, menghisap dengan lahapnya. Valeria menatap Anya yang sedang menyusu. "Nah, sudah tenang sekarang, ya, Sayang. Minum yang banyak biar kuat." Alan duduk di samping Valeria. "Dia memang cepat sekali laparnya." "Iya juga ya. Besok aku harus lebih sering memberinya ASI. Jangan sampai dia kelaparan lagi." Valeria menatap Anya dengan penuh kasih sayang. "Mommy sayang Anya." Alan memeluk Valeria dari belakang. "Aku juga sayang kalian semua. Keluarga kecilku yang sempurna." Anya selesai menyusu dan tertidur pulas di pangkuan Valeria. Suasana menjadi tenang dan damai. Valeria berbisik kepada Alan. "Dia sudah tidur. Tidurnya sangat nyenyak." "Kita juga perlu istirahat sebentar, Sayang. Hari ini cukup melelahkan." Valeria dan
Alan dan Valeria tetap berpelukan, tenang dan damai. Keheningan di antara mereka dipenuhi dengan cinta yang dalam dan pengertian yang mendalam. Alan berbisik pelan. "Ingatkah kau... saat kita pertama kali bertemu?" Valeria tersenyum lembut muncul di wajahnya. "Tentu saja. Di kafe kecil itu, dengan hujan yang turun deras di luar." Kenangan itu muncul kembali di benak mereka, membawa mereka kembali ke masa-masa awal hubungan mereka. Mereka mengingat perasaan gugup, debaran jantung, dan percikan cinta pertama yang mekar di antara mereka. "Saat itu... aku tahu. Aku tahu kau adalah orang yang tepat untukku." "Aku juga, Sayang. Aku merasakannya sejak pandangan pertama." Mereka saling bertukar tatapan, tatapan yang penuh cinta, kepercayaan, dan pen