"Kami datang membawa surat penangkapan terhadap bapak Slamet."Slamet mendelik mendengar perkataan polisi itu. "Tidak mungkin? Aku ditangkap? Mana surat penangkapan dan atas tuduhan apa?" tanya Slamet masih mencoba berkelit. "Atas tuduhan KDRT dan penelantaran anak. Ini surat penangkapan nya."Polisi itu menyerahkan selembar surat penangkapan pada Slamet. Lelaki itu membacanya dengan perlahan. Lalu matanya membeliak. "Ini tidak mungkin! Ini fitnah! Saya difitnah! Siapa yang memfitnah saya, Pak? Saya berhak tahu kan?!" teriak Slamet meradang. "Jika ada pertanyaan dan keberatan yang berkaitan dengan penangkapan ini, silakan hubungi kantor polisi, Pak!" tukas Polisi itu membuat Slamet tak berkutik. 'Ini tidak mungkin,' gumam Slamet. 'Pasti ini gara-gara Inem sialan itu! Rupanya dia sudah berani padaku!' "Maaf pak, ini pasti salah paham. Saya tidak mau ditangkap! Ini bohong!" teriak Slamat. Mendadak kedua anaknya keluar dari ruang tengah dengan ibu Inem. "Pak, tangkap saja bapak sa
Inem dan Marzuki yang sedang berada di kantor polisi sebagai saksi serentak menoleh ke arah pintu saat mendengar suara gaduh dan ribut-ribut. Mata Inem membola saat melihat Slamet yang sudah ditangkap oleh polisi. Tak hanya itu betis kiri Slamet tampak dililit perban. Rupanya peluru yang telah bersarang di kakinya telah diambil oleh polisi di rumah sakit sebelum dia diantar oleh polisi ke penjara."Mas Slamet," gumam Inem lirih. Sebenar nya di dalam hatinya dia bersyukur sekali karena suami nya telah tertangkap oleh polisi. Itu tandanya dia dan anak-anaknya sekarang bisa hidup dengan aman. Setidaknya untuk beberapa tahun ke depan sebelum Slamet keluar dari penjara. "Perempuan hina! Dasar pelac*r!" cela Slamet melihat Inem. Tangannya yang terborgol di belakang berontak dan ingin memukul Inem tapi seberapapun kerasnya berusaha, Slamet tetap tidak bisa membebaskan tangannya dari borgolnya. "Jangan banyak lagak di sini, Saudara Slamet. Bersikap lah kooperatif selama penyidikan. Atau h
Marzuki segera keluar dari kamar putrinya lalu menuju ke arah pintu depan. Sedetik kemudian setelah pintu terbuka, dokter Marzuki tampak tercengang melihat orang yang bertamu ke rumahnya malam ini. "Mama?" tanya dokter Marzuki dengan nada tak percaya atas kedatangan Ambar, mamanya. Karena memang mereka tidak ada janji temu terlebih dahulu. "Assalamualaikum, Marzuki, apa kamu akan membiarkan mama kamu berdiri di depan pintu tanpa kamu persilahkan masuk?" tanya suara bariton dari belakang punggung mamanya. Suara Irwan, papanya. Marzuki seolah tersadar dari rasa kagetnya. "Waalaikumsalam. Oh ya. Masuk saja Pa, Ma," sahut Marzuki seraya membuka daun pintu lebih lebar. Lalu mata Marzuki membola saat melihat bi Inah yang turun terakhir dari mobil. Bi Inah merupakan asisten rumah tangga mamanya yang telah lama mengabdi sejak Yasmin lahir. "Lho, ada bi Inah juga? Ayo Bi, masuk." Marzuki berjalan terlebih dahulu, kemudian duduk di sofa ruang tamunya diikuti oleh papa, mama, dan bi Inah.
"Waalaikumsalam, lah ini mbak-mbak yang sedang digandeng Yasmin ini siapa?" tanya Ambar, mamanya dokter Marzuki yang sedang berada di ruang tengah seraya melihat tivi. Diperhatikan nya dari ujung kaki sampai ujung rambut kondisi Laila yang sedang menggandeng Yasmin, mendadak Laila merasa tidak enak dan sungkan. "Nama saya, Laila, Tante. Saya ...""Anak tetangga sebelah. Sebentar lagi lulus SMA. Yasmin senang sekali bermain dengan mbak La. Ya kan, Min?" sahut Dokter Marzuki sambil menoleh ke arah anaknya. Yasmin mengangguk. "Betul, Pa. Yasmin senang bermain dengan mbak La karena mbak La cantik dan baik!" seru Yasmin dengan mata berbinar. Mama dan papa dokter Marzuki seketika mengerutkan keningnya. Mereka menatap ke arah Marzuki dengan wajah bertanya-tanya. Bahkan Ambar mendekat ke arah Marzuki."Masih baru lulus SMA? Kamu serius dengan gadis ini? Ya Allah, Marzuki! Kamu menolak perjodohan yang mama tawarkan dengan gadis yang sudah matang, karena kamu memilih gadis ababil ini?" bisi
"Gampang. Nanti mama cari asisten rumah tangga baru. Jadi kamu mau kan kalau bi Inah yang menemani Yasmin di sini? Yah, daripada Yasmin tergantung sama siapa tadi namanya, Laila? Duh, mama nggak bisa bayangin kalau Yasmin pengen Laila yang jadi ibunya. Pokoknya mami nggak rela! Titik!" sahut Ambar bersikeras."Emang nya kenapa mama nggak setuju kalau aku menikah dengan Laila?" tanya dokter Marzuki penasaran. Mamanya mendelik. "Kamu masih bertanya tentang hal itu? Ya Allah, Marzuki! Kamu jelas sekali tahu jawabannya. Karena Laila itu nggak sebanding dengan keluarga kita lho. Lihat, dia ada di desa. Kita di kota. Kamu dokter, dia cuma anak SMA. Ya memang cantik sih, tapi masa dokter menikahnya dengan anak lulusan SMA? Yah, minimal kamu menikah dengan tenaga medis yang sepadan lah. Bidan, dokter, atau pengusaha, model juga bagus. Duh, kamu itu ganteng dan berpendidikan, masa iya sih cuma menikah dengan lulusan SMA?"Irwan, suami Ambar hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kamu kenap
Ambar langsung tercengang karena tidak menyangka akan bertemu dengan cinta pertamanya saat SMA di kota dulu. Pak Jaka yang sedang membawa setumpuk map dan berjalan keluar balai desa itu tanpa sadar melangkah menuju ke arah Ambar berdiri. "Ambar, kamu kok di sini?" tanya Jaka seraya mengulurkan tangan ke arah Ambar. Tumpukan map yang cukup banyak membuat Jaka kesulitan untuk menjabat tangan Ambar. "I-iya. Aku sedang mengunjungi anakku," sahut Ambar canggung. Jaka manggut-manggut. "Lho, anak kamu ada di desa ini?" tanya Jaka. Ambar mengangguk. "Ya. Dia bekerja sebagai dokter ASN di puskesmas sini."Ucapan Ambar membuat Jaka terkejut. "Dokter di puskesmas ini? Apa namanya dokter Marzuki?" tanya Jaka dengan nada tidak percaya. "Ya. Itu anakku. Kamu kenal dengan anakku, Jaka?" tanya Ambar heran. Jaka tersenyum. "Siapa sih yang di sini nggak kenal dengan dokter Marzuki? Aku malah kaget pas tahu dokter Marzuki itu anak kamu. Soalnya kamu kayaknya nggak ikut nganter dokter Marzuki saa
"Uhm, apa mama dan papa tahu kalau pak Jaka itu bapaknya Laila, gadis yang semalam kemari?" tanya Marzuki lirih tapi bagai petir di sore bolong di telinga Ambar.Ambar seketika mendelik saat mendengar kata-kata Marzuki. "Apa kamu bilang?" tanya Ambar dengan suara parau. "Apa mama dan papa tahu kalau pak Jaka yang akan Mama temui adalah ayahnya Laila?"Ambar terdiam. "Tidak mungkin. Jadi Jaka itu ayahnya gadis yang semalam di sini?" tanya Ambar balik seolah tak percaya dengan ucapan anaknya. "Iya. Tentu saja benar. Marzuki kan sudah sebulan di sini dan sudah kenalan dengan beberapa warga desa sini."Ambar tercenung. Sementara itu Irwan menatap ke arah istrinya. "Kita jadi berangkat nggak ke rumah teman SMA kamu?" tanya Irwan pada isterinya. Kini Marzuki yang terdiam. "Jadi pak Jaka itu adalah teman sekolah mama?" tanya Marzuki. "Kok bisa kebetulan gini?"Ambar hanya menghela nafas panjang lalu mengedikkan bahunya. "Mama juga nggak tahu.""Lha trus mama ngapain mau ke rumah pak Jaka
Semua mata menatap ke asal suara. Tampak Laila sedang terpaku dengan pecahan gelas dan toples kaca yang berhamburan di kakinya. "Laila, kamu kenapa?" tanya Rini, ibunya mendekat ke arah Laila. Laila menatap orang-orang yang duduk di kursi ruang tamunya dengan panik. "Maafkan Laila, Bu. Laila tidak sengaja menjatuhkan baki. Mungkin tangan Laila licin," sahut Laila merasa tak enak saat seluruh pandangan mata terarah padanya. Diam-diam Laila merasa cemburu dan takut jika dokter Marzuki benar-benar akan dijodohkan dengan kakak perempuan nya. "Oalah, mungkin kamu pusing karena kebanyakan belajar, Nduk. Ya sudah, biar ibu yang menyiapkan cemilan serta minumannya," sahut Rini seraya membantu Laila memunguti sisa pecahan gelas berisi teh dan stoples berisi kacang atom dan keripik singkong lalu meletakkan nya di atas baki. "Udahlah, wajah mu begitu pucat. Kamu kembali lagi ke kamar saja. Istirahat. Lusa kamu kan ujian," tukas ibu Laila. Laila menggelengkan kepalanya. "Tidak, Bu. Laila b
Tiara mendelik, dia langsung terduduk di ranjang hotel dan memutar ulang video yang menampilkan sosoknya yang sedang marah-marah. "Sial*n! Siapa yang telah merekam dan mempermalukanku? Ini pasti kerjaan bocil genit itu! Bisa-bisa nya mas Marzuki mencintai anak kecil padahal aku masih hidup. Aku tidak terima! Aku akan membalas bocil itu!"Tangan Tiara mengepal. "Tapi apa yang bisa aku lakukan untuk membuat mas Marzuki meninggalkan bocil itu?!"Tiara berdiri lalu mondar mandir di dalam kamar hotelnya, mencari ide untuk membuat Marzuki membenci Laila. Mendadak sebuah ide terlintas di kepalanya. "Ah, betul juga! Kalau wajah Laila menjadi cacat, Mas Marzuki dan Yasmin pasti tidak mau mendekati bocil itu lagi. Dan saat itulah aku akan merebut perhatian mereka. Mereka pasti akan menerima perhatian dariku," desis Tiara dengan penuh keyakinan. Dia lantas membuka internet lalu mencari tahu di online shop tentang barang yang bisa membantu rencananya. ***Laila dengan tangan gemetar mencelupk
Tiara yang sudah mengenal suara di belakang nya menghela nafas dan berbalik ke belakang. "Hai, Mas Rizki. Kamu sampai di sini juga?" tanya Tiara berbasa basi seraya menyedekapkan kedua tangan di depan dadanya. "Tentu saja. Setelah kamu minggat, aku langsung memerintahkan orang untuk mencari keberadaan kamu. Ternyata kamu di sini. Jauh-jauh dari jakarta ke kota terpencil ini hanya untuk mengganggu suami orang. Ck, ck, aku tidak menyangka kalau kamu akan berbuat sesuatu seperti ini. Kamu benar-benar berbakat menjadi pelakor, Ti," sahut Rizki, sang suami. Tiara tergelak. "Pelakor? Hati-hati kalau kamu bicara, Mas! Dia mantan suamiku, jadi aku ...""Memang di masa lalu, dia adalah suami kamu. Tapi saat ini dia kan sudah mempunyai keluarga baru, istri baru, seharusnya kamu tahu diri dan tidak merusak kehidupan rumah tangganya!"Tawa Tiara semakin terdengar keras. "Hahaha! Kamu ini lucu sekali, Mas! Kamu dulu menjadi pebinor dan merebutku dari mas Marzuki sehingga kami bercerai, dan sek
"Mas, tolong aku!" ujar Tiara dengan penuh harap menatap ke arah Marzuki. "Aku mengalami KDRT! Aku kabur dari suamiku! Tolong tampung aku di rumah kamu, Mas!" seru Tiara lagi dengan sangat memelas. Laila mendelik, sebenarnya dalam hatinya sangat ingin mencakar dan menjambak Tiara. Tapi ditahannya karena Laila tidak mau mengotori tangan nya dengan memegang sampah. Wajah Marzuki menegang melihat Tiara yang datang menemui mereka, apalagi di hadapan Yasmin. "Kok kamu bisa kesini?" tanya Marzuki dengan wajah parau. Ditatapnya wajah dan tubuh Tiara yang terdapat lebam-lebam di beberapa tempat. "Mas, kalau enggak di sini, aku harus kemana? Lihatlah luka-luka di tubuhku ini. Aku dipukuli suami ku. Tidakkah kamu kasihan, Mas? Aku hanya punya kamu. Kamu kan tahu kalau orang tuaku meninggal sejak SMA dan aku bisa hidup karena bantuan kamu," ujar Tiara dengan wajah memelas. Baru saja Laila hendak merespon ucapan Tiara saat Marzuki menunjuk wajah Tiara dengan serius. "Kamu tahu bahwa hanya a
Laila terbangun dan merab* ranjang di samping nya."Kok kosong? Mana mas Marzuki ya?" gumam Laila lalu duduk di atas ranjang dan melihat sekeliling kamar."Mungkin masih salat di masjid atau lihat tivi. Hm, ini kan hari Minggu. Puskesmas libur dan hanya on call," ujar Laila lagi. Dia melihat ke arah jam di kamar. "Sudah jam lima nih. Musti mandi dulu sebelum salat."Laila pun bergegas ke kamar mandi yang terletak di dalam kamar lalu segera membersihkan diri. Setelah mandi dan menunaikan salat subuh, Laila mengering kan rambut nya dengan hair dryer lalu keluar dari kamar. "Mama! Selamat ulang tahun!" seru Yasmin riang begitu Laila membuka pintu kamarnya. Laila yang saat itu sedang mengenakan daster warna kuning merasa sangat bahagia dan terkejut saat melihat kue berbentuk lingkaran mungil yang sedang dipegang oleh Yasmin. Lalu dari arah belakang tampak Marzuki yang sedang mengenakan celemek dan membawa sendok sayur sedang berjalan menuju ke arah Laila dan Yasmin. Sedangkan bi Inah
Laila terbangun saat merasakan dinginnya AC yang menyentuh kulitnya, dengan segera di Laila menarik selimut nya lagi. "Dingin ya?" sapa sebuah suara yang berbisik di telinga Laila. Laila mengangguk manja. Dan Marzuki yang ada di belakang Laila memeluk erat sang istri semakin erat. "Ya sudah. Aku peluk lagi. Atau kamu mau kita mengulang yang semalam?" tanya Marzuki seraya menciumi pundak dan punggung Laila sehingga perempuan itu terkikik geli dan manja. "Mas, geli tahu!" bisik Laila lalu membalikkan badannya ke arah Marzuki. Mereka saling bertatapan di dalam remang cahaya lampu kamar tidur. Laila memandang jam bulat melalui pundak Marzuki yang tertempel di dinding kamar. 'Masih jam satu rupanya.'Marzuki meletakkan tangannya ke pipi Laila dan berbisik merdu. "Kenapa kamu memandang kearah belakang ku? Aku hanya ingin kamu menatap ke arahku, Sayang."Marzuki menangkup wajah Laila lalu mengecup pipi istrinya perlahan. Laila mengalihkan pandangan nya ke arah Marzuki. "Lalu aku harus
"Mama! Papa!" Yasmin melambaikan tangan pada Laila dan Marzuki dari layar ponsel. "Sayang!" Laila memberikan kecup jauh untuk gadis kecil itu."Mama dimana?" tanya Yasmin lagi."Bagaimana ini, Yang? Kita jemput Yasmin di pintu masuk hotel. Daripada nanti dia bertemu dengan Tiara lebih dulu."Marzuki menoleh pada Laila dan terlihat bingung."Baiklah Mas, ayo kita jemput mami dan Yasmin." Laila menarik tangan Marzuki dan mereka berjalan menuju gapura pintu masuk hotel."Mama!"Yasmin berlari dan menghambur memeluk Laila. "Hap!"Laila memeluk Yasmin beberapa lama, lalu melanjutkan langkah menuju papi dan mami kemudian mencium punggung tangan keduanya."Yasmin sudah makan?" tanya Laila sambil mengelus kepala Yasmin perlahan. "Belum, Ma.""Ayo makan dulu ke resto. Restonya bagus dan ada kolam renangnya." Laila berjalan mendahului Marzuki dan orangtuanya menuju ke resto."Yasmin mau makan apa?" tanya Marzuki."Ayam goreng, Pa."Marzuki segera menulis ayam goreng krispi di kertas menu l
Dokter 91"Insyallah saya lebih baik dalam mengasuhnya daripada sang ibu kandung yang menelantarkannya. Dan jangan coba-coba mendekati suami saya setelah Mbak dengan semena-mena membuangnya. Tolong jangan hadir sebagai orang ketiga diantara kami. Terimakasih atas pengertiannya," kata Laila seraya memandang tajam pada Tiara. Laila melihat tangan Tiara yang putih terkepal di atas meja kafe. "Kalem saja Mbak. Bukankah mbak sudah punya suami juga? Jadi mari kita berusaha melakukan yang terbaik untuk keluarga kita."Tiara menatap tajam ke arah Laila. "Tunggu saja Laila. Saya pastikan kita akan segera bertemu lagi. Bagaimanapun Yasmin itu adalah darah daging saya. Dan saya pastikan Mas Marzuki akan menceraikan kamu!"Tiara mengacungkan telunjuknya ke arah Laila. Dan Laila menurunkan telunjuk Tiara dengan santai. "Oh ya? Baru ingat kalau masih punya darah daging? Kemana saja kamu selama ini saat Yasmin kesepian dan tidak punya teman bermain karena ibunya menghilang?"Kamu yang tidak tahu
"Tiara?" gumam Marzuki kaget.Laila juga tidak kalah kagetnya karena dia ingat betul siapa Tiara itu."Tolong! Ada yang berprofesi dokter di sini? Atau tenaga medis? Perempuan ini dadanya tidak bergerak lagi."'Ya benar! Walaupun aku belum pernah melihat fotonya, tapi aku yakin dia pasti ibunya Yasmin. Garis wajah dan lengkung bibirnya yang sensual sama persis dengan gadis kecil itu. Kenapa dia di sini. Apa mas Marzuki sengaja mengajakku ke sini untuk mencari ibu Yasmin lagi? Tapi perempuan itu butuh tenaga medis untuk menyelamatkan nyawanya. Ya Tuhan, jika mas Marzuki yang melakukan CPR, hatiku tidak ikhlas karena kalau memberikan nafas buatan, bib*r mereka akan langsung bersentuhan. Bagaimana ini?' gumam Laila bingung.Hati Laila berperang antara rasa cemburu dan rasa kemanusiaan. Digenggamnya tangan Marzuki yang berdiri di sebelahnya. Terasa dingin dan tatapan matanya seakan juga menyiratkan kegalauan dan kebimbangan hati.'Mas, apakah masih ada namanya di hatimu?'Laila menghela
Aku tidak ingin kamu hanya menjadi seperti pelangi di langit ku, yang hanya muncul setelah hujan sejenak kemudian meninggalkan pergi.***Beberapa hari setelahnya,"Wah bagus sekali kamar hotel yang kamu pesan, Mas," kata Laila seraya membuka tirai kamar dan memandang keluar. Langsung terlihat kolam renang yang dikelilingi perpaduan rumpun mawar dan pohon palem botol sebagai pagar hidupnya."Kamu suka?" tanya dokter Marzuki memeluk Laila dari belakang. Hembusan napasnya terasa hangat di telinga.Sekarang musim liburan sekolah, dan Marzuki memutuskan untuk mengajak Laila bulan madu di Bali, sedangkan Yasmin ingin menghabiskan liburannya di rumah Ambar dan Iwan. "Suka banget Mas. Makasih ya," sahut Laila lalu membalikkan badan dan mengecup hidung dokter Marzuki dengan lembut."Kamu ..., minta jatah ya?"Pertanyaan Marzuki membuat Laila nyaris tersedak."Apa? Nggak kok! Memang kalau istri mencium suami lebih dahulu berarti minta gituan ya?" tanya Laila manyun tapi tetap mengalungkan ked