Ambar langsung tercengang karena tidak menyangka akan bertemu dengan cinta pertamanya saat SMA di kota dulu. Pak Jaka yang sedang membawa setumpuk map dan berjalan keluar balai desa itu tanpa sadar melangkah menuju ke arah Ambar berdiri. "Ambar, kamu kok di sini?" tanya Jaka seraya mengulurkan tangan ke arah Ambar. Tumpukan map yang cukup banyak membuat Jaka kesulitan untuk menjabat tangan Ambar. "I-iya. Aku sedang mengunjungi anakku," sahut Ambar canggung. Jaka manggut-manggut. "Lho, anak kamu ada di desa ini?" tanya Jaka. Ambar mengangguk. "Ya. Dia bekerja sebagai dokter ASN di puskesmas sini."Ucapan Ambar membuat Jaka terkejut. "Dokter di puskesmas ini? Apa namanya dokter Marzuki?" tanya Jaka dengan nada tidak percaya. "Ya. Itu anakku. Kamu kenal dengan anakku, Jaka?" tanya Ambar heran. Jaka tersenyum. "Siapa sih yang di sini nggak kenal dengan dokter Marzuki? Aku malah kaget pas tahu dokter Marzuki itu anak kamu. Soalnya kamu kayaknya nggak ikut nganter dokter Marzuki saa
"Uhm, apa mama dan papa tahu kalau pak Jaka itu bapaknya Laila, gadis yang semalam kemari?" tanya Marzuki lirih tapi bagai petir di sore bolong di telinga Ambar.Ambar seketika mendelik saat mendengar kata-kata Marzuki. "Apa kamu bilang?" tanya Ambar dengan suara parau. "Apa mama dan papa tahu kalau pak Jaka yang akan Mama temui adalah ayahnya Laila?"Ambar terdiam. "Tidak mungkin. Jadi Jaka itu ayahnya gadis yang semalam di sini?" tanya Ambar balik seolah tak percaya dengan ucapan anaknya. "Iya. Tentu saja benar. Marzuki kan sudah sebulan di sini dan sudah kenalan dengan beberapa warga desa sini."Ambar tercenung. Sementara itu Irwan menatap ke arah istrinya. "Kita jadi berangkat nggak ke rumah teman SMA kamu?" tanya Irwan pada isterinya. Kini Marzuki yang terdiam. "Jadi pak Jaka itu adalah teman sekolah mama?" tanya Marzuki. "Kok bisa kebetulan gini?"Ambar hanya menghela nafas panjang lalu mengedikkan bahunya. "Mama juga nggak tahu.""Lha trus mama ngapain mau ke rumah pak Jaka
Semua mata menatap ke asal suara. Tampak Laila sedang terpaku dengan pecahan gelas dan toples kaca yang berhamburan di kakinya. "Laila, kamu kenapa?" tanya Rini, ibunya mendekat ke arah Laila. Laila menatap orang-orang yang duduk di kursi ruang tamunya dengan panik. "Maafkan Laila, Bu. Laila tidak sengaja menjatuhkan baki. Mungkin tangan Laila licin," sahut Laila merasa tak enak saat seluruh pandangan mata terarah padanya. Diam-diam Laila merasa cemburu dan takut jika dokter Marzuki benar-benar akan dijodohkan dengan kakak perempuan nya. "Oalah, mungkin kamu pusing karena kebanyakan belajar, Nduk. Ya sudah, biar ibu yang menyiapkan cemilan serta minumannya," sahut Rini seraya membantu Laila memunguti sisa pecahan gelas berisi teh dan stoples berisi kacang atom dan keripik singkong lalu meletakkan nya di atas baki. "Udahlah, wajah mu begitu pucat. Kamu kembali lagi ke kamar saja. Istirahat. Lusa kamu kan ujian," tukas ibu Laila. Laila menggelengkan kepalanya. "Tidak, Bu. Laila b
Rini tercengang mendengar ucapan sang suami. Sebenarnya dia kasihan dengan Laila yang tampak mencintai dokter Marzuki. Lagipula bukan kah Anisa dulu pernah bilang kalau dia menyukai teman kantor nya?"Hm, kalau begitu terserah bapak saja. Tapi menurut ibu, jaman sekarang kan bukan jaman Siti Nurbaya lagi. Jadi hormati saja keputusan anak, Pak. Nggak usah ada pemaksaan untuk anak," sahut Rini. Belum sempat Jaka menanggapi ucapan istrinya, mendadak terdengar suara Rama dari dalam ruang tengah. "Bu, Ibu! Dari tadi hp ibu bunyi terus nih. Mbak Anisa telepon!" seru anak bungsunya itu seraya menyerahkan ponsel sang Ibu. "Ini hpnya, takut nya ada sesuatu yang penting."Seluruh mata di ruang tamu menatap ke arah Rini dan Rama. "Hm, makasih ya Ram."Rama mengangguk dan kemudian berlalu dari ruang tamu. Rini menoleh ke arah orang6-orang yang ada di ruang tamu. "Wah, panjang umur nih anak saya. Saya terima telepon dulu ya," tukas Rini lalu menjauh dari ruang tamu. Beberapa saat kemudian, Ri
"Lagipula, bapak tuh aneh. Kayak pernah deket dengan Bu Ambar. Kata bapak, Bu Ambar cuma teman sekelas. Tapi kalau ibu amati, kayaknya lebih dari sekedar teman sekelas. Sebaiknya bapak ngaku deh, apa dulu bu Ambar itu mantannya bapak?" tanya Rini dengan ekspresi wajah serius. Jaka menatap wajah istrinya dengan pias. Lelaki itu lalu lalu menyendok makanan yang ada di hadapannya dan mengunyah nya perlahan. "Kalau bapak cerita, ibu jangan marah ya," sahut Pak Jaka dengan menatap mata Reni. Istrinya melengos. "Tergantung apa yang akan bapak katakan sih," ujar Reni cemberut.Jaka terdiam sejenak. "Sebenarnya bapak dan ibunya dokter Marzuki dulu saling mencintai. Tapi orang tua Ambar tidak merestui. Dan lagi saat kelulusan SMA, keluarga ku kan pindah ke desa ini lalu bertemu dengan kamu, Bu."Reni mendelik. "Tuh kan! Ibu sudah menduganya kalau bapak itu ada main dengan Bu Ambar!""Astaghfirullah, Bu. Enggaklah! Demi Allah, Bu! Lagipula rasa cinta masa sekolah kan masih cinta monyet? Ngga
Lidah ibunya Laila menjadi kelu saat melihat foto yang ditunjukkan oleh Anisa, anak pertamanya."Apa kamu serius pacaran dengan laki-laki ini?" "Serius, Bu. Anisa bahkan ingin membangun rumah tangga berdua dengannya. Dia lelaki yang baik. Bapaknya dokter anak dan ibunya punya butik. Etos kerjanya juga tinggi. Sopan dan agamis. Ibu dan bapak tidak akan kecewa jika mempunyai menantu seperti mas Fatih," sahut Anisa meyakinkan. Ibunya menatap Anisa dan memegang kedua bahu anaknya. "Ibu setuju. Setuju sekali dengan pilihan kamu, Nduk!" seru ibunya bersemangat. Anisa tersenyum lebar, merasa bahagia saat ibunya sudah mendukung nya padahal belum bertemu dengan calon suami pilihan nya. "Hanya tinggal bapakmu saja yang entah setuju, entah tidak," sambung Reni lagi. Wajah pak Jaka memang keruh. Sebenarnya dia ingin agar Anisa bisa bersanding dengan dokter Marzuki, tapi justru anak sulungnya lebih memilih menikah adik dokter Marzuki. Anisa menatap wajah bapaknya. "Pak, boleh ya Anisa menik
Mata Laila membeliak dan mulutnya terbuka melihat kedatangan dokter Marzuki. Sebentuk firasat buruk menyapanya. 'Ya Allah, apakah calon suami mbak Nisa adalah dokter Marzuki? Aku memang sengaja tidak bertanya pada bapak dan ibu tentang calon suami mbak Nisa. Aku takut jika jawabannya membuat ku patah hati. Tapi ternyata benar. Calon suami mbak Nisa adalah dokter Marzuki. Pupuslah cintaku ya Allah. Benar-benar layu sebelum berkembang,' rintih Laila dalam hati. Sementara itu dokter Marzuki tampak mengibaskan sebelah tangannya secara bergantian agar keranjang buah yang dibawanya tidak jatuh. "Hm, ehem. Mbak La. Apa boleh kami masuk ke dalam? Tangan saya kesemutan," pinta dokter Marzuki menyadarkan lamunan Laila. "Iya nih. Dari tadi bengong mulu di depan pintu," sahut suara di belakang punggung dokter Marzuki. Laila reflek menengok ke arah dokter Marzuki, dan semakin tercengang saat melihat di belakang dokter Marzuki ada seorang laki-laki yang berwajah mirip dengannya, kemudian diiku
"Ehem, ehem! Mbak Laila saya sebagai neneknya Yasmin ingin mengatakan agar jangan mengajari Yasmin hal-hal yang tidak baik. Jangan mengajari Yasmin memanjat pohon atau main layangan. Itu kan mainan anak laki-laki," sahut Ambar dengan nada tak suka yang membuat suasana tegang seketika.Wajah Iwan, suami Ambar juga memucat. Sebelum dia sempat membuka mulut, Yasmin menyela, "Yasmin suka lho main sama mbak Laila. Orangnya baik, cantik, lucu, suka senyum. Kenapa nggak boleh manjat pohon, Nek? Kan manjat pohon juga berguna untuk mengambil layang-layang atau buah yang sudah matang? Yang penting kan hati-hati. Terus main layang-layang juga bagus. Daripada main hp. Dan bikin sehat karena lari-lari."Semua orang di ruang tamu menatap Yasmin yang masih asyik mengunyah baksonya. Laila pun mendelik saat mendengar anak sekecil Yasmin bisa membelanya. Diam-diam Laila semakin merasa sayang pada Yasmin. "Sebenarnya Yasmin pengen banget punya mama kayak mbak Laila. Tapi papa selalu bilang nanti-nanti