Sumpah, akan melekat dan terlaksana jika sudah terlontar keras.
Hawa alam akan menjawab dan memberi nyata.
Pupus sudah harapan untuk menjalin kasih.
Sia-sialah semua ikatan hanya karena kedudukan.
Rintikan air deras masih saja menerpa tubuh dua wanita yang tersakiti. Saras yang semula menangis memeluk anak perempuannya, kini memberikan senyuman. Tidak peduli air dingin dari langit masih menghujaninya, Saras menatap Arum untuk memberinya kekuatan.
“Jadilah wanita terkuat. Kita akan pulang.”
“Ibu, maafkan Arum.”
Saras kembali memeluk Arum erat. Bangkit, itulah yang akan terjadi. Saras berdiri, menatap kediaman Kasoemo. Kedua mata memerah miliknya masih menyorot tajam pasangan Kasoemo yang akan menerima sumpahnya.
“Aku akan membalas kalian,” batin Saras.
“Arum!” Teriakan keras Pandu mendadak terdengar, membuat Arum terkejut. Saras menggeleng keras saat Arum akan menolehkan pandangannya ke belakang. Sembari menarik napas panjang, Arum menguatkan hatinya untuk terus menatap depan.
Dalam kesedihan, mereka akhirnya melangkah. Terus melangkah keluar dari kediaman yang sekarang menjadi musuh.
Rumah sederhana dengan taman bunga di halaman depan akhirnya terlihat. Mereka masuk ke dalam setelah berjalan bersama dengan hati yang tertusuk.
“Prang!”
Suara lemparan batu terdengar jelas.
“Ibu! Siapa itu?!” teriak Arum. Spontan dia berjalan cepat mendekati jendela.
“Prang!”
“Argh!”
“Arum!” Saras berteriak melihat Arum terkena pecahan batu yang terlempar menembus kaca. Seketika wajah cantik itu tergores percikan kaca.
“Menghindar dari jendela!” Saras menarik tubuh Arum.
Mereka bergegas menyelamatkan diri dengan berlari menuju ke halaman belakang. Arum terus memeluk ibunya dengan erat sambil gemetar.
“Mereka menghancurkan rumah kita, Ibu.” Arum resah mengamati semua pria suruhan Romo melempari rumah satu-satunya peninggalan almarhum ayahnya.
Saras hanya terdiam menyaksikan semua itu.
“Kita akan pergi,” ucap Saras singkat.
“Ke mana, Ibu?” tanya Arum gelisah.
Tanpa berbicara, Saras menarik tangan Arum. Mereka berjalan cepat melewati halaman belakang yang menembus jalan utama. Hujan yang semakin deras tidak membuat mereka berhenti hingga Arum menyadari ibunya mengajak dia menuju rumah Sunarsih.
Saras mengetuk pintu dengan keras. Wati, ibu Sunarsih, membukanya cepat. “Tolonglah aku,” kata Saras pelan.
Kedua mata Wati mengamati kanan kiri, memastikan tidak ada yang melihat. “Masuklah,” ucapnya sembari menarik tubuh Saras ke dalam. Arum segera mengikuti ibunya.
“Arum, kau baik-baik saja? Aku sangat sedih melihatmu seperti itu. Tidak aku sangka, Romo seperti penjahat. Wajahmu terluka? Ya ampun. Arum, aku akan membantumu mengobati luka itu.” Sunarsih memeluk Arum, kemudian memberikannya handuk. “Keringkan tubuhmu,” lanjut Sunarsih.
“Kau akan ke mana, Saras? Rumahmu sudah hancur. Beneran aku tidak menyangka Nyai yang terlihat kalem, akan menghinamu seperti itu.” Wati memberikan teh hangat bercampur jeruk nipis kepada Saras.
Cangkir berisi minuman hangat itu masih saja hanya dipandang Saras. Dia tidak segera meneguknya. “Wati. Aku akan ke Jakarta. Adikku berada di sana. Lebih baik aku tinggal bersama dia.”
Wati berdiri, mendekati almari di sebelahnya dan buru-buru membuka. Dia mengambil dompet di dalam. Wati mengambil beberapa lembar uang.
“Ini cukup untuk membawamu ke Jakarta.” Wati menyodorkan uang itu kepada Saras.
Sepasang mata cokelat Saras terlihat murung melihatnya. “Tidak perlu membantuku. Aku akan memberikanmu kunci ini. Jika situasi tenang, masuklah ke dalam kamarku. Aku menyimpan perhiasan di laci riasku.”
Wati spontan memeluk Saras dengan erat. Mereka sangat akrab. “Gantilah bajumu, lalu pergi dari sini. Bawa saja uangku itu. Jangan menolak. Kau membutuhkannya,” ucap Wati kini tidak bisa menahan air matanya.
Saras menganggukkan kepala. Arum semakin menunduk dengan isakan tangis menyesali perbuatannya. Jika dia tidak memperlihatkan cintanya kepada Pandu, maka tidak akan terjadi masalah pelik seperti ini.
“Arum, hati-hati. Jangan lupakan aku.” Sunarsih memeluk Arum erat-erat.
“Aku berjanji,” jawab Arum setelah pelukan keduanya terurai.
Perpisahan haru terjadi cukup singkat. Malam masih saja terperangkap dalam derasnya air hujan. Namun, itu semua tidak menghalangi mereka untuk menuju ke stasiun. Harapan memperoleh perubahan kehidupan lebih baik di Kota Jakarta, sangat besar.
“Aku akan kembali dengan status baru,” batin Saras.
“Pandu, aku akan mencintaimu dalam keadaan apa pun. Mencintai tanpa status, itulah yang sejati. Aku akan membuktikannya walaupun pasir hitam nantinya akan menutup jasadku.” Arum pun membatin dengan rasa cintanya.
***
Yogyakarta, Rabu, 8 April 1963 pukul 19.00.
Keadaan rumah megah Kasoemo masih saja mencekam. Pandu selama dua hari tidak menyentuh makanan sama sekali. Segala upaya dilakukan, namun gagal. Bayangan kebahagiaan Nyai saat anak kesayangannya datang setelah delapan tahun kini sirna.
“Romo, ini tidak baik. Pandu sangat pucat. Aku tidak tega,” ucap Nyai menatap suaminya yang masih menyimpan ketegangan.
“Aku sudah mengundang keluarga Sabrina Walongsono. Dia akan datang besok malam bersama semua keluarganya. Siapkan saja jamuan mewah. Kita akan melakukan perjodohan.”
Nyai menggeleng keras. Walongsono adalah keluarga ningrat setara dengan kasta Kasoemo. Nyai sangat khawatir jika nanti Pandu membawa masalah, hubungan baik keluarga akan hancur dalam semalam.
“Romo. Jangan pertemukan Pandu. Ini terlalu cepat. Kita sebaiknya menunggu waktu yang tepat.” Balasan Nyai tidak mendapat respons Romo. Lelaki penguasa desa itu meninggalkan istrinya begitu saja. Nyai hanya diam sembari menarik napas panjang. Peraturan Romo adalah segalanya.
Di dalam kamar, Pandu mengamati semua arah rumahnya dari jendela. “Aku tidak akan bisa kabur. Aku harus memikirkan cara.”
“Raden. Waktunya makan malam.”
Pandu menatap tegang pintu kamarnya. Dia perlahan mendekat, sedikit memperlihatkan senyumannya.
“Aku mengetahui sebuah cara untuk kabur.”
Pandu berdiri tegak, menanti pintu terbuka. Mbok yang sudah mengasuhnya sejak kecil perlahan masuk ke dalam sambil membungkuk. Umurnya sudah sangat tua. Mencapai 70 tahun.
“Mbok. Bantu Pandu. Bawa Pandu keluar dari rumah ini, Mbok.”
Pandangan sendu terlihat jelas. Mbok hanya menatap, tanpa berkata.
“Mbok, Pandu harus menemui Arum. Hatiku tersiksa, Mbok.”
Mbok meremas dadanya. Jantung tuanya itu berdetak kencang, membuatnya tidak berdaya. Namun, dia melihat penderitaan Pandu dengan jelas.
“Ikuti Mbok,” jawabnya singkat.
Kedua bola mata Pandu membesar, tidak percaya. Dia memeluk Mbok dengan erat. “Terima kasih, Mbok,” balasnya semringah.
“Setelah menemui Arum, kembalilah, Raden,” pinta Mbok dengan suara lemah. Membantu Pandu keluar, sama saja membuat dirinya akan terusir dari sana. Semua itu Mbok abaikan. Rasa tidak tega kepada Pandu, tidak bisa dia tahan.
Pandu menganggukkan kepala. Dia meraih jaket hitamnya, memakai dengan segera. Dia tidak sabar bertemu dengan Arum.
Mbok keluar dari kamar, memanggil semua pelayan untuk mengikutinya. Pandu perlahan mengamati kanan kiri, lalu bergegas menuju halaman belakang saat suasana rumah sudah sepi. Mbok terus mengalihkan perhatian pelayan agar Pandu bisa berhasil kabur.
Rumah teman semasa kecilnya itu semakin terlihat. Kedua mata Pandu berbinar. Tapi, kakinya menjadi kaku. Rumah sederhana kenangan indah dirinya bersama Arum telah hancur.
“Arum!” teriaknya kencang. Dia berlari memasukinya. Pandu semakin tidak percaya. Romo yang sangat disayanginya dan terlihat dermawan serta ramah selama ini, ternyata sama seperti penjahat.
“Arum, kamu di mana?” ucapnya lemas. Pandu meluruh ke lantai. Dia berusaha mengatur hatinya. Dalam kekecewaan, Pandu berusaha berdiri tegak. Dia meninggalkan rumah Arum diselimuti kesedihan.
“Arum, apa yang terjadi?” Pandu melangkah tanpa arah, menelusuri jalanan dengan pandangan kosong. Hanya wajah Arum seorang yang ada di dalam pikirannya. “Arum, ke mana kamu?” gumamnya lemas tiada henti.
“Mas, awas!” teriak seorang wanita menarik Pandu dengan tiba-tiba saat akan tersambar mobil yang melintas di pertigaan.
“Buk!”
Tubuh mereka tergelundung ke pinggir jalan. Kepala Pandu yang terkena sudut trotoar, membuatnya merintih kesakitan. Darah mulai mengalir deras dari jidat Pandu.
“Mas, sadarlah!” Sang wanita memeluk Pandu, mengamati wajah tampannya yang kini lebam.
“Bawalah aku, Nyonya,” ucap Pandu mengejutkan sang wanita.
“Apa?”
“Pandu, kenapa dia bersama Mawar? Apakah dia membutuhkan wanita?” Seseorang sangat terkejut melihat Pandu bersama wanita penghibur yang selalu saja disewanya.
Kedua mata laki-laki masih saja mengamati Pandu yang terus berada didekapan Mawar dari balik pohon. Mawar adalah wanita yang cukup dekat dengannya. Parasnya sangat cantik. Apalagi lekukan tubuhnya seperti biola. Sangat sempurna. “Pandu, kenapa denganmu?” batin laki-laki itu terus mengamati dengan saksama. “Aduh, gimana ini. Tidak ada orang sama sekali,” gumam sang wanita yang menyelamatkan Pandu dengan panik. Kedua mata iris cokelatnya mengamati semua arah, hingga menemukan dokar di sudut jalan. Dia bangkit, berlari memanggil pengendara dokar yang asik menikmati rokok. “Pak, ada yang sakit. Antar aku ke rumah sakit. Nanti aku kasih uang banyak,” ucap Mawar memberikan kedipan matanya. “Iya, Neng,” jawab pengendara menelan saliva melihat wanita seksi dengan dandanan menor di hadapannya. Pengendara itu berjalan cepat mengikuti Mawar, hingga spontan melotot melihat sosok Pandu di hadapannya. “Raden Pandu? Kok bisa di sini? Gawat ini kalau ketahuan
Arum semakin tidak mengerti dengan situasi rumit yang terjadi. Dia bergemetar mendengar keinginan wanita yang sama sekali tidak dikenalnya.“Nyai, aku mohon. Aku hanya ingin pulang. Kita berpisah di sini saja.” Arum merasa lega. Nyai akhirnya mengarahkan tangan agar para pesuruh garang itu menyingkir dari hadapannya.“Aku mau mengantarmu. Ini sudah sangat malam. Tidak baik gadis perawan berjalan sendirian. Ayo, Nduk. Kita masuk ke dalam mobil. Jangan takut. Aku tidak akan menculikmu.”Arum diam beberapa saat. Apakah dia harus menerima tawaran itu? Sementara, memang sepertinya sudah tidak ada angkot yang akan lewat karena malam semakin larut. Arum perlahan menganggukkan kepalanya. Nyai Niye tersenyum, mengarahkan tangannya agar Arum masuk ke dalam mobil sedan mewah berwarna hitam miliknya.Di dalam mobil, kedua mata Arum masih saja mengedar. Dia terpana melihat mobil mewah yang dinaikinya. Pandangannya terhenti saat melihat Nyai Niy
Ciuman hangat semakin terasa. Bibir wanita tercantik yang sudah dinikmati semua pria itu, terasa hangat. Baru kali ini dia merasakan ciuman penuh rasa yang membasahi bibirnya. Ciuman dengan perasaan tulus. Sedikit lumatan lembut dari Pandu, semakin membuat Mawar mendesah.“Arum, aku sangat menginginkanmu,” desah Pandu pelan. Ciumannya semakin dalam. Pandu menatap wajah Mawar dengan tersenyum. Sang wanita tidak kuasa menahannya. Bibirnya terus bermain indah melayani Raden tertampan yang meluapkan bayangan cintanya.“Kekasihku. Berikan bibir merekahmu. Aku tak kuasa menahannya. Selama ini, aku selalu membayangkanmu. Ijinkan malam ini aku memilikimu.”Tengkuk leher Mawar semakin dicengkeraman jemari kuat Raden. Pandu sangat bahagia dengan bayangannya bersama Arum. Kegilaannya bagaikan kisah Majnun yang haus akan cinta dan hasrat untuk sang kekasih. Lidahnya semakin melesak masuk ke dalam. Bayangan sosok Arum sudah menghantuinya di tubuh Mawa
Arum hanya terdiam. Mulutnya tertutup rapat. Bagaimanapun juga, dia tidak bisa melarikan diri dari masalah ini. Saras hanya memandangnya. Hingga beberapa detik, dia meninggalkan kamar Arum. Dalam batinnya, Sarah mengetahui Arum memendam amarah.“Aku pastikan, kau perlahan akan mulai menerima dan menikmati kedudukanmu nanti, Arum,” batin Saras terus berlalu.“Sumpah sudah mulai terwujud. Apakah kekasihku Pandu memang akan kehilangan nyawa saat aku benar-benar menikahi lelaki itu?” Arum bangkit dari duduknya. Dia berjalan cepat mendekati jendela kamarnya.“Brak!” Dia membukanya dengan keras. Tangisan pecah dia keluarkan di sana. Suara jeritan yang melengking, telah bercampur di udara. “Argh! Pandu …”Sekar yang melihat kesedihan Arum dari jendela kamarnya, hanya bisa memandang pasrah keponakannya itu. “Arum, bertahanlah,” batinnya berselimut resah.***Yogyakarta, waktu tengah
Acara lamaran tidak terduga segera dilaksanakan. Keluarga besar Soewojo semakin tersenyum melihat sosok Arum yang akhirnya muncul.“Adakah keajaiban yang bisa membawaku pergi dari sini?” batin Arum menunduk dalam kesedihan.Ketakutan bercampur gemetar mengiringi langkah Arum. Sedikit polesan di wajahnya, semakin menambah kecantikan alaminya. Masih dengan menunduk, Arum duduk tepat di hadapan pria mapan berumur jauh lebih tua darinya. Namun, ketampanan masih saja terlihat di sana.Tubuhnya tegap. Kumis tipis semakin menambah aura kegagahan yang pasti membuat hawa terpana jika mendapat lirikannya. Umur yang sudah memasuki usia matang di atas tiga puluh tahun, semakin membuatnya terlihat menawan.“Sangat cantik mempesona. Lihatlah pilihanmu itu, Wojo. Ibu tidak menyangka kau bisa memilih gadis yang pas untuk menggantikan posisi Mariati.” Nyai Niye selalu saja tersenyum. Sementara, Wojo semakin tidak menyangka. Sindiran ibunya itu bena
Sabrina meremas secarik kertas berisikan kalimat romantis yang dituliskan Pandu untuk Arum. Dia semakin memendam amarahnya. “Aku tidak akan pernah membuat mereka bertemu di sana. Aku akan mencegahnya,” gumamnya masih dipenuhi amarah kecemburuan.Sabrina dari dulu sudah dijodohkan dengan sosok Pandu. Saat bersekolah, Sabrina selalu saja merasakan cemburu saat melihat Pandu bersama Arum. Saras saat itu cukup kaya saat suaminya masih hidup dan bekerja menjadi seorang dokter terkenal. Pandu selalu senang melihat Ayah Arum menolong semua orang yang sakit. Hingga dia menemui Romo dan mengatakan keinginannya untuk menjadi seorang dokter. Pandu sangat senang Romo menyambut cita-citanya dengan baik.Namun, sejak kematian Ayah Arum, Pandu semakin sedih melihat Arum harus berhenti dari sekolah. Sekolah hanya kalangan elit yang bisa masuk ke sana. Saras sudah tidak bisa membiayai Arum seorang diri. Apalagi Saras saat itu bekerja untuk Nyai Ani di rumah megahnya.
Pandu dengan tegas akan menerpa semua bahaya yang menghadang. Tidak peduli dinding sangat tinggi akan menghalanginya, rasa cinta semakin kuat untuk merobohkan semua itu. Pandu akan memupuskan tradisi turun temurun keluarga akibat kasta yang sama sekali tidak beralasan untuk memaksakan cinta.“Kau sudah mengibarkan bendera perang yang sangat kejam sahabatku,” ucap Ardi. Dia hanya menatap sahabatnya itu yang diselimuti cinta membara.“Aku tidak peduli semua panah akan menembus ke dalam jantungku. Aku akan berusaha mengakhiri peperangan ini,” balas Pandu dengan sedikit senyuman. “Berikan surat yang aku tuliskan itu, saat kau berhasil masuk menemuinya, Ardi. Itulah yang akan kita lakukan sebelum pernikahan itu berlangsung. Bukankah kau membawanya?” lanjut Pandu membuat Ardi terperanjat.“Surat? Aku akan mengambilnya,” balas Ardi. Dengan segera dia merogoh kantong jaketnya. Namun, tidak menemukannya. “Aku …
Nyai bangkit dari sujudnya. Dia terus mengetuk pintu rumah Wati.“Wati, aku mohon! Kau seorang ibu. Kau pasti akan melakukan hal yang sama jika berada di posisiku!” teriaknya keras tanpa henti.Wati yang berada di belakang pintu, terus berpikir. Wati tidak ingin terlibat terlalu jauh dalam masalah Nyai. Dia tidak mau masa depan Sunarsih terancam. Bagaimanapun juga, kekuasaan Nyai bisa melakukan segalanya.Wati memutuskan untuk membuka pintu kembali. Nyai melebarkan kedua matanya, terus memohon agar Wati bisa membantunya.“Wati, kau seorang ibu sama seperti diriku. Bagaimana jika kau berada di posisiku? Wati … aku mohon.”“Masalahnya bisa selesai dengan cepat. Kau hanya merestui hubungan mereka, maka kau akan mendapatkan anakmu kembali. Bisakah kau melakukan itu?”Nyai terdiam saat Wati memberikan sarannya. Wati semakin memberikan pelototannya, menunggu jawaban Nyai yang tak kunjung terlontar dari mu
Nyai Ani dan Saras saling berpandangan. Mereka tidak percaya dengan kejadian yang sama terulang kembali. Mereka saling berpandangan, kemudian menatap tegang sang pelayan yang masih mendudukkan kepala. Hingga Ibu Arumi pun berlari datang bersujud di hadapan Nyai Ani dan Saras."Maafkan saya, Nyai. Anak saya bersalah. Tolong jangan marah dengan anak saya. Nyai ... saya yang bertanggung jawab. Saya sudah mengatakan kepada Arumi agar tidak mendekati Raden Putra. maafkan saya. Tolong jangan pecat saya karena saya sangat membutuhkan pekerjaan ini. Sekali lagi maafkan saya."Nyai Ani tersenyum. Saras pun juga ikut tersenyum. Mereka segera mendekati pelayan itu dan menariknya hingga berdiri."Tunjukkan aku di mana mereka. Tidak aku sangka, ternyata Putra menyukai wanita yang memiliki nama persis dengan nama anakku, Arum. Aku sangat terharu mendengarnya," balas Saras masih saja tersenyum haru."Ini sudah takdir kita tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Cinta kembali hadir di dalam rumah i
"Paman?" Putra terkejut melihat Ardi berada di belakangnya. Dia segera tersenyum sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak terasa gatal. Wajahnya masih bersemu ketika melihat gadis itu. Ardi tersenyum dan menggelengkan kepalanya, mengingat sosok Pandu saat pertama kali bertemu dengan Arum. Ardi sudah bercerita semua kisah Pandu dan Arum kepada Putra. Kejadian barusan, sama persis dengan sosok Putra."Kau menyukainya?" tanya Ardi sekali lagi sambil mengangkat salah satu alisnya."Entahlah, Paman. Ketika aku melihatnya. Jantungku tiba-tiba bergetar. Dia seperti bidadari. Wajahnya secerah awan. Senyumannya membuatku tidak bisa mengalihkan pandangan darinya. Bahkan, sampai sekarang pun aku memikirkannya. Bayangan wajahnya itu selalu ada di dalam pikiranku. Padahal aku baru menemuinya hanya beberapa menit saja. Hmm, siapa dia, Paman? Aku ingin sekali bertemu dengannya.""Hahaha. Itu adalah namanya cinta. Yah ... kau mencintainya. Cinta pandangan pertama. Ibunya baru bisa aja bekerja menj
"Romo datang?" Sunarsih seketika terpaku. Apalagi Romo dan Nyai Ani membawa beberapa kain dan perhiasan. "Maafkan kami datang dengan mendadak. Kami mendengar dari pelayan jika kalian akan menikah. Aku ada beberapa kain kebaya. Sebenarnya aku ingin memberikannya kepada Arum. Ini adalah kain dari ibuku. Aku berniat untuk memberikannya kepada Arum saat dia sudah melahirkan. Tapi ternyata takdir berkata lain dan aku berpikir ingin memberikannya kepada kalian, karena kalian adalah dua wanita yang sangat hebat."Mawar dan Sunarsih saling berpandangan. Mereka tidak menyangka, seseorang yang sangat mereka takuti sekaligus benci datang dengan pandangan lain. Senyuman terpampang di wajah angkernya selama ini.Nyai Ani menyodorkan kain itu dengan tersenyum. Mawar dan Sunarsih akhirnya tersenyum dan menerima. Mereka tidak percaya dengan semua ini."Aku tidak bisa berkata apa pun. Yang jelas, aku sangat bahagia," ucap Sunarsih. Dengan mendadak, dia mendekati Romo dan memeluknya. Semua orang terk
"Bagaimana ini bisa terjadi? Kenapa seseorang yang sangat gagah seperti dirinya bisa menjadi seperti ini? Aku benar-benar tidak percaya, Hendra. Apakah kakakmu bisa sembuh? Aku harus bagaimana menghadapi kakakmu yang seperti ini?" ucap Saras kemudian meneteskan air matanya."Ibu hanya perlu mendekatinya saja. Katakan apa pun yang bisa membuat kakakku mengerti jika dia harus menjalin kehidupan ini. Kematian Pandu sudah dilupakan oleh pihak hukum, karena kondisi Kakak yang seperti ini. Mereka berharap Kakak bisa menjadi sosok seperti semula kembali. Tapi ... sepertinya itu susah, Ibu. Bahkan sekarang ibuku, Mustika, dan semua adiknya pun sangat bersedih. Tidak ada kebahagiaan lagi yang berada di rumah." Hendra menatap sang kakak dengan sangat sendu. Tubuhnya yang semakin kurus, membuatnya tidak memiliki tenaga yang cukup. Dia resah bagaimana jika dia nanti pergi dari dunia ini. Siapa yang akan menjaga keluarganya?"Baiklah, aku akan mencoba mendekatinya." Sarah mendekati Wojo yang masih
Mereka semua terkejut saat Joko tiba-tiba masuk dan mengatakan hal seperti itu. Sunarsih seketika menganga, menatap Joko dengan sangat tampan menggunakan kemeja putih, berjalan menghampirinya. Dia menatap Sunarsih dan menutup mulutnya. Sunarsih terpaku seketika."Apa ..."Joko saat itu selalu memandang Sunarsih. Sifatnya yang sangat lucu dan tomboy, mengingatkan dia kepada Sabrina. Namun, Joko harus menutup hatinya untuk Sabrina yang sudah pergi. Joko perlahan-lahan sering menemui Sunarsih dan berusaha membuka hatinya. Hingga dia paham hatinya sedikit bergetar. Ketika mendekati Sunarsih yang selalu paham dengan dirinya.Joko selalu bercerita apa pun kepada Sunarsih. Dia sangat kesepian, tidak sengaja bertemu Sunarsih di taman. Sejak saat itu mereka selalu mengobrol dan akrab. Joko terus berpikir sepanjang hari, hingga dia akhirnya memutuskan untuk melamar Sunarsih."Walah, masa aku mendapatkan lamaran dengan cara seperti ini? Hah, tiba-tiba saja datang lalu ngomong, mungkin aku. Hah,
Bagai tersambar petir. Perasaan Saras seketika hancur. Dia tidak menyangka perasaannya selama ini akhirnya terjawab. Beberapa hari sebelumnya dia selalu memandang Arum, dan sudah merasakan akan kehilangan anaknya untuk selamanya. Ternyata sekarang dia akan menghadapi hal itu. Sebuah pertanda yang selalu dia lihat, dari perkataan Arum dan Pandu. Seolah-olah mengetahui mereka tidak akan hidup lama lagi. Tanpa sadar mereka ungkapkan selama ini. Saras selalu menepis semua yang ada di pikirannya. Namun, ternyata benar. Dan terlebih lagi, dia teringat sumpahnya dan sumpah Nyai Ani, yang kini terjawab sudah."Tidak! Tolonglah dokter. Lakukan apa pun untuk menyelamatkannya. Aku mohon kepadamu dokter. Biarkan anakku hidup, karena aku belum bisa membahagiakannya. Aku mohon dokter," ucap Saras dengan lemas. Nyai Ani yang terus menangis memeluknya. Begitu juga dengan Wati dan Sunarsih yang tidak kuasa mendengar. Tidak bisa menumpu tubuhnya yang mendadak lemas, Sunarsih hampir tumbang. Joko yang b
Suara letusan peluru tiba-tiba terdengar cukup keras. Arum menatap Pandu yang tersenyum ke arahnya, membelai pipinya dengan perlahan, lalu memeluknya."Kau sangat cantik, Arum," ucap Pandu pelan.Arum mengernyitkan kedua alisnya semakin dalam. Menatap Pandu yang tiba-tiba pucat. Hingga dia merasakan basah di kedua tangannya. Perlahan, Arum bergetar saat melihat jemarinya tiba-tiba dipenuhi dengan cairan darah segar yang keluar dari punggung Pandu. "A-pa ...," ucap Arum pelan. Dia tidak bisa berkata. Mulutnya tercekat, bahkan napasnya terhenti seketika, seakan dia tidak bisa bergerak. Tubuhnya kaku. "Mas ..." Arum kembali menatap kedua mata Pandu yang masih memperlihatkan senyuman dan cinta tulusnya kepada Arum."Tidak ada hal di dunia ini yang lebih indah selain dirimu. Wanita yang tidak akan pernah tergantikan sampai kapanpun. Wanita yang selalu ada di hatiku. Wanita yang selalu aku cintai. Aku sangat ... mencintaimu. Kau tidak tergantikan," bisik Pandu masih dengan tersenyum. Arum
Wojo terdiam, menunggu Arum untuk mengatakan jawaban yang sudah ditunggunya. Arum tersenyum menganggukkan kepala dan berkata, "Aku akan menjadi istrimu dan mendampingimu sampai kapanpun. Tapi aku mohon kita pergi dari sini dan melupakan semuanya," balas Arum masih dengan tersenyum, namun meneteskan air matanya. Menahan hatinya yang terasa sesak. Padahal dia sama sekali tidak ingin berkata seperti itu. Namun, apa boleh buat. Tindakannya itu benar-benar meluluhkan lelaki yang semula memendam amarah."Ini tidak benar! Hah, benar benar sangat menyakitkan. Aku tidak akan pernah melepaskan istriku untuk lelaki lain. Bisakah aku hidup bahagia jika aku berpisah dengannya? Lebih baik aku kehilangan nyawa, dari pada aku melihat dia bersama dengan lelaki lain. Aku tidak akan pernah membiarkannya," batin Pandu. Dia berjalan mendekati Arum. Menariknya, kemudian menggelengkan kepalanya dengan perlahan."Tidak adakah cara lain yang bisa aku lakukan selain memohon untuk berada di sisimu. Tidak adakah
Pandu terkejut. Dia segera menghampiri Hendra yang masih terengah-engah mengatur napasnya. Apa yang dikatakan Hendra barusan membuatnya ketakutan. Pasti keluarganya dan keluarga Wojo sudah melakukan perdebatan sengit, dan tentu saja keluarga Wojo pasti akan memenangkan perdebatan itu."Hendra. Tenangkan dulu dirimu. Berbicaralah dengan baik. Kenapa kau ini? Ada apa sebenarnya?" balas Pandu dengan sangat panik. Hendra masih menekan dadanya yang terasa sesak. Tenaganya benar-benar terkuras. Saat itu, Hendra segera mengendarai mobilnya dan mencari Pandu ke rumah Ardi saat mengetahui sesuatu terjadi dengan sangat mengerikan. Ardi segera mengatakan di mana keberadaan Pandu. Sementara Ardi segera menuju ke kediaman Kasoemo untuk menangani masalah itu."Kakakku marah besar, Pandu. Dia berada di kantor wartawan itu, memporak-porandakan kantor itu. Lalu, mengancam semua wartawan yang berada di sana termasuk pemilik kantor itu. Dia sangat marah. Hah, setelah berhasil membuat semua orang takut,