"Ada apa, Zaki?" tanya Pak Bahar sesaat aku kembali duduk menemaninya.
"Cuma orang salah alamat, Pak," bohongku. Setelahnya Pak Bahar tampak bersungut kesal seolah ini bukan yang pertama kali terjadi.Aku bersiap untuk menutup rapat kisah hari ini, bahkan pada Putri sekali pun. Mawar itu kuberikan pada tukang ojek agar membawanya pergi sejauh mungkin. Sebelummya aku sudah mengambil foto beberapa hal terkait dengan penyelidikanku nantinya.Selepas mengobrol dengan Pak Bahar, aku segera menghubungi toko bunga pesananku. Aku sangat yakin logo yang ada di buket bunga misterius itu sama dengan logo toko bunga yang kupesan.Aku menunggu pihak toko membalas pesan. Tidak lama kemudian, mereka mengatakan bahwa bunga itu memang berasal dari toko mereka. [Siapa pengirimnya?][Maaf, tapi kami tidak bisa memberikan identitas pembeli][Ini penting, menyangkut rumah tangga saya. Ada orang iseng yang mengirimkan bunga dengan kartu ucapan yang bisa membuat kami salah paham] Aku menjelaskan panjang lebar. Pihak toko hanya membaca pesanku untuk waktu yang cukup lama. Kupikir mereka sedang berdiskusi karena situasi ini cukup darurat.Aku harap-harap cemas karena lima menit setelahnya masih belum ada balasan. Aku sudah punya niatan untuk datang langsung ke toko itu demi mencari penjelasan. Namun, penasaranku terbayarkan karena pada menit berikutnya pihak toko membalas pesanku.[Pembeli bunga atas nama Aliwafa31]Tertegun. Aku memutar otak dengan keras. Menurutku jika orang dengan nama Aliwafa ini sekadar main-main, mana mungkin dia akan memakai nama asli sebagai username.[Batalkan pengiriman bunga ke alamat saya besok. Silakan berikan bunga itu kepada orang lain]Pada akhirnya semua bertambah kacau. Putri rupanya benar menyembunyikan sesuatu padaku. Secepatnya akan kubongkar rahasia wanita itu agar mengerti kenapa sikapnya selama ini selalu menyakiti hati. Namun, betapa pun dia bersikap demikian, aku juga selalu siap menjadi tempatnya pulang.***Kulihat Putri sudah bisa berjalan lebih leluasa. Dia mengetok pintu kamar hanya untuk menyuruhku makan malam. Parahnya sejak tahu aku selalu di kamar, dia juga tidak pernah masuk ke sini. Bisa jadi sedang menghindariku terlebih ada banyak hal tak terduga hari ini.Aliwafa .... Nama itu seperti berdengung di kepalaku terlebih ketika menatap wajah Putri yang tengah menyendokkan nasi ke piringku. Wanita yang tampak tenang itu berbanding terbalik dengan apa yang ada di dalamnya. Dia sosok yang penuh misteri.Malam ini mengawali kembali kami tidur di ranjang yang sama. Putri tidur lebih dahulu, sedangkan aku memastikan dia benar-benar sudah tertidur. Aku ingin sekali mengecek ponsel wanita itu, mengetahui apakah ada Aliwafa dalam kontaknya.Aku hampir terlena ketika mendengar dengkuran halusnya. Putri sudah terlelap dengan baik. Jadi, segera kuambil ponselnya. Hal mudah bagiku untuk membobol ponselnya. Aku pernah melihat dia memakai keamanan sidik jari. Kalau saja bangun, pasti wanita itu akan sangat marah aku sudah menyentuh tangannya.Segera kucari di kontaknya nama Aliwafa. Lucunya tak kutemukan nama itu, sedangkan rasanya tak mungkin sosok itu tidak ada kaitannya dengan Putri. Akhirnya aku beranjak ke aplikasi W******p. Di sana ternyata pesanku rupanya sudah tertimbun, digantikan pesan-pesan lain. Salah satu pesan menarik perhatianku. Obrolan itu disematkan oleh Putri dengan nama Rizal.Ini semakin membingungkan untukku. Namun kemudian balik tergugu saat membaca obrolan mereka. Terlebih ucapan Putri yang membuatku begitu sesak.[Aku selalu berdoa supaya kita bisa sama-sama lagi, Zal. Pernikahan ini seharusnya gak pernah ada][Put, aku cinta sama kamu. Seharusnya aku yang diposisi suamimu][Aku juga cinta kamu. Aku bakalan cari cara supaya kamu bisa diposisi itu. Aku janji]Membacanya membuat hatiku benar-benar nyeri. Katakanlah Aliwafa murni dari keisengan. Tapi bagaimana dengan Rizal dan keistimewaan yang diberikan Putri padanya?Kesimpulan yang bisa kutangkap laki-laki itu adalah kekasih Putri. Terlihat dari bagaimana keduanya saling mencurahkan kasih sayang di atas pernikahanku yang menurut mereka seharusnya tidak pernah ada.Dari foto profilnya kupikir laki-laki itu seorang dokter. Dia memakai jas putih dengan wajah yang sama tenangnya seperti Putri. Mungkinkah dulu mereka satu rumah sakit? Tidak ingin terlalu hanyut dalam kesedihan, aku segera menyalin nomor telpon Rizal. Lalu kembali meletakkan ponsel wanita itu ke tempat semula. Aku takut Putri terbangun terlebih daritadi dia terus merubah posisi tidurnya.Sekarang pertanyaannya. Aku harus apa?Kusandarkan diri di headboard ranjang. Secara intens menatap wajah Putri, tidak pernah menyangka hubungan kami lebih rumit dari yang kubayangkan. Ini tak lagi tentang cara membuatnya jatuh cinta. Aku bahkan kesusahan memikirkan penyelesaian masalah ini. Belum lagi harus menghadapi Putri besok dan di masa yang akan datang.***Entah fajar yang menyingsing terlalu cepat, atau aku yang tak dapat tidur nyenyak. Aku bangun dalam keadaan berantakan luar dalam. Selesai solat subuh dan membersihkan badan, aku memilih untuk menikmati jalanan dari balkon.Cukup lama aku berdiam diri di sana. Pukul 6.30, Putri mencariku dan menyuruh untuk sarapan. Ketika sampai di ruang makan, hanya ada Bu Indah yang tengah menata sajian di atas meja."Putrinya mana, Bu?" tanyaku."Ke kamar. Katanya sih ada urusan."Aku tak lagi melanjutkan obrolan. Pikiranku melayang ke mana-mana. Salah satunya mengenai ucapan Bu Indah dulu."Bu, Putri memang tidak pernah pacaran sebelumnya?"Tidak ada keraguan. Bu Indah mengangguk mantap. "Iya, gak pernah pacaran. Orang ibu sama bapak melarang. Lagian buat apa pacaran segala. Tidak bermanfaat.""Kalau yang melamar Putri?" Kalimat itu mencelos keluar dari mulutku.Sekilas Bu Indah menatapku, lalu tampak mengingat-ingat sesuatu. "Pernah ada satu orang, sih, yang melamar Putri. Kayaknya dulu dokter, tapi bapak menolak. Bapak pengennya Putri menikah sama orang yang bisa nerusin bisnisnya."Hahaha. Aku hampir tertawa sumbang, mendadak merasa hanya menang dalam urusan bisnis saja."Kenapa bertanya?""Cuma penasaran, Bu."Aku yakin orang yang di maksud itu sebenarnya Rizal, kekasih Putri. Rizal melamar Putri, tapi mendapatkan penolakan dari Pak Bahar. Hubungan keduanya terus berlanjut sembunyi-sembunyi. Sayangnya Putri kemudian dijodohkan denganku.Ya, memang harus kuakui tak mudah menaklukan Pak Bahar. Dia sosok yang keras kepala dan suka memaksa. Tapi sekalinya muncul kepercayaan darinya, maka orang itu akan diperlakukan sangat istimewa.Putri baru tiba di ruang makan. Menampilkan raut muka masam padaku yang meski disembunyikan tetap saja kelihatan. Dia seperti menampilkan kesan: kamu apakan buket bungaku kemarin? Aku marah tahu!Lucunya tidak sampai lima menit, ketika dia duduk di depanku, senyumnya bangkit. Tidak salah lagi, pasti dia dulunya mantan anak teater."Mas, habis ini aku boleh pergi ke luar gak? Aku mo ketemuan sama temen," tanyanya.Kenapa susah sekali untuk percaya?"Mas yang temani." Mumpung ada Ibu, aku tidak akan mudah mengiyakan permintaannya."Mas, ih. Mana bisa gitu. Ntar yang ada malah canggung.""Namanya siapa? Yang mau kamu temui itu, Dik?" Putri tampak kehabisan kata-kata."Ibu mau panggil Bapak dulu buat sarapan, ya."Putri terselamatkan oleh Bu Indah yang pergi mendatangi suaminya."Bukan urusan Mas," ketusnya."Urusan saya. Kamu istri saya.""Gak peduli."Kami sama-sama saling sinis.Sekembalinya Bu Indah, yang juga diiringi Pak Bahar aku kembali menanyakan hal yang sama. Aku mengambil kesempatan yang bagus. Sekali ini aku ingin membuat wanita itu kalah. Kira-kira apa yang akan dilakukannya?"Dik, mau ketemu siapa?" Aku bahkan sengaja memperkeras suara.Putri sepertinya tambah tak suka padaku. Tapi dia sudah siap dengan jawaban yang untuk kesekian kali membuat keningku berkerut dalam."Cewek, Mas. Namanya Alwafa."***Jangan lupa berlangganan ges.Salam sayang,Olia❤Kalau dugaanku benar, Aliwafa dan Alwafa adalah orang yang sama. Maka ini waktu yang tepat untuk mencari tahu siapakah sosok itu."Mas yang temani, ya?" kataku sungguh-sungguh."Loh, masih belum selesai juga masalah yang tadi?" Bu Indah menarik kursi untuknya duduk, sedangkan Pak Bahar kelihatan heran."Ada masalah apa?" katanya ikut menimbrung.Seharusnya Putri tidak akan menolak jika permintaan langsung datang dari sang ayah. Aku tersenyum hangat, menatap Pak Bahar dengan rasa penuh hormat. Putri pikir mungkin hanya dia yang bisa bermain-main."Gak ada yang serius, kok, Pak. Putri mau pergi ketemu kawannya. Saya cuma khawatir apalagi kaki Putri belum sepenuhnya pulih. Jadi saya mau menemani dia ke luar.""Loh, suami perhatian gini kenapa ditolak, Put? Mama aja gak pernah digituin sama ayah." Aku semakin melebarkan senyum ketika tahu mendapatkan dukungan dari Bu Indah.Pak Bahar tidak merasa tersinggung dengan ucapan istrinya barusan. Laki-laki pemilik kumis tebal itu memilih mengangg
Aku dapat mengingat dengan jelas wajah laki-laki itu. Seseorang dengan jas putih dan wajah sangat tenang. Dia persis seperti yang kulihat di WhatApps Putri. Aku bahkan berani bertaruh uang atas keyakinan ini. Aku ingin sekali menghampiri dan jujur mengenai kekecewaan yang kurasakan. Sayangnya aku harus segera mengecek pekerjaan yang sempat tertunda. Kali ini akan kubiarkan dia lolos. Kedua kali, entahlah. Tapi aku sudah memikirkan untuk mengajaknya minum kopi bersama nanti.Dua hari terlewati. Sampai saat ini aku tidak ada niatan untuk menjemput Putri. Aku menginginkan agar wanita itu yang tidak memintanya lebih dahulu. Sayangnya tidak ada pesan apapun yang masuk. Aku mencoba untuk berpikir positif. Barangkali berpisah sementara waktu seperti ini adalah jalan terbaik. Aku juga harus meluruskan pikiran yang kusut antara pekerjaan dan pernikahan.Syukurnya makan dan tidurku mulai membaik lagi. Setidaknya aku harus membanggakan hal ini karena artinya telah berhasil bertahan di antara s
"Enggak," balas Putri cepat."Maka dari sekarang sampai tiga bulan ke depan kamu harus mikirin saya. Kalau gak bisa, ya sudah paksakan saja." Aku berusaha mencairkan suasana tegang kami. Tapi ternyata semakin bertambah tegang."Kalo aku gak mau?""Mas bikin mau. Bisa karna terpaksa, begitu peribahasa lama.""Apa, Mas? Peribahasa dari mana? Ngaco!"Sehabis itu dia tertawa. Barangkali menganggap ucapanku tadi lucu. Melihat itu aku bagai menyelami sisi lain Putri. Selama ini wanita itu hanya terus bersungut sebal padaku."Kamu manis banget Dik, kalau ketawa begitu," pujiku."Mana ada!" Dia kembali lagi ke wujud asalnya.Aku tersenyum. Harusnya kusimpan sendiri saja manisnya diam-diam. Di dalam sini, ada desir yang tidak bisa kujelaskan. Rasanya hangat, mendebarkan, sekaligus menyenangkan."Dari sekarang cobalah untuk banyak tersenyum, Dik." Aku memberikan nasihat. "Jangan lupa juga buat melibatkan Mas terus dalam urusanmu."***Kulihat Putri tengah merawat tanaman-tanamannya. Pemandangan
Aku tidak mengerti kenapa masalah ini bisa membuat Putri merasa sangat tak nyaman. Memang artinya salah satu dari kami perlu mengosongkan ruang kamar dan tidur bersama. Tapi ini seharusnya bukan masalah besar. Ya, seharusnya begitu."Mas, aku gak mau pindahin barang-barangku ke kamar kamu," tukasnya dengan lantang."Terus Mas yang pindah?" Aku memberikan pengertian, tapi dia malah menggeleng kuat."Aku juga gak mau Mas pindah ke kamarku."Alisku bertaut heran. "Terus gimana? Setidaknya kamu harus mau kalau gak mau ibu sama bapak curiga.""Ya cari cara lain dong Mas. Pokoknya aku gak mau satu kamar sama Mas."Aku tersenyum miring, mendekatkan wajah ke arahnya. "Kenapa emangnya sampai tidak boleh sekamar? Sudah mulai takut jatuh cinta sama saya, ya?""Apa sih, Mas. Ya enggaklah!" Dia menarik diri dariku. Pasang badan seolah nyawanya tengah terancam.Aku terkekeh melihat sikapnya yang menggemaskan itu."Ya ... pokoknya aku gak mau satu kamar sama Mas!" kukuhnya."Kasih saya alasan," bala
Aku baru saja masuk mobil ketika Putri mengirimkan pesan. Dia memberitahu kalau ibu sudah berada di rumah kami bersama bapak juga. [Mas kok gak ada di toko?] tanyanya kemudian. Astaga aku lupa memberitahu sedang ada urusan di luar.[Mas di luar, Dik. Sebentar lagi pulang.][Gak ada masalah 'kan di rumah?] Lanjutku. Aku membalas dan langsung disambut dengan centang biru.[Enggak, sih, Mas. Cuma tadi Ayah nanyain Mas.][Apa katanya?][Mungkin ada yang mau diomongin?]Aku mulai menebak.[Tapi kalau Ayah ngomong yang aneh-aneh, gak usah diladenin, Mas.]Sayangnya tidak ada satu opsi pun yang muncul di kepalaku. Namun, bisa jadi tidak jauh-jauh dari masalah toko seperti biasa. Aku bersiap untuk pulang. Sejenak menatap sekeliling parkiran rumah sakit yang lumayan ramai. Lalu mengirimkan pesan kepada Putri dan segera mengakhiri obrolan kami.Aku tiba di rumah tepat pukul sebelas. Ketika itu, orang yang pertama menyambutku adalah Pak Bahar. Laki-laki paru baya yang tengah menonton berita te
Sepulangnya Pak Bahar dan Bu Indah keesokan harinya, aku dan Putri hanya saling diam di ruang tamu. Di depan kami ada tiket liburan yang sejak lima menit lalu hanya kami pandangi. Aku sebenarnya tidak menolak karena artinya bisa memperdekat hubungan dengan Putri. Sayangnya wanita itu kelihatan tidak memiliki minat apapun pada acara bulan madu kami."Kita beneran pergi?" tanyanya."Mas terserah kamu aja, Dik, gimana baiknya," jawabku sebaik mungkin. Dia menghela napas dalam."Aku gak pengen pergi sih Mas. Tapi mama minta bukti, mau gak mau kita harus pergi liburan."Aku melirik Putri, mulai menekuri tiap wajahnya yang tampak tegang. "Kenapa gak bilang aja sama Pak Bahar kamu gak pengen pergi?"Maksudku, ya, setidaknya sesekali dia harus menolak. Bukankah ini juga yang menjadi masalah Putri? Aku ingin dia berani mengambil keputusan untuk mengatakan tidak pada orang tuanya.Namun, secara keras dia menggeleng. "Gak, Mas. Aku gak mau bilang ke mereka. Lagian udah jelas mereka bakalan tetap
Makan sambil menikmati bintang-bintang yang bertaburan di langit malam, juga hamparan lautan di seberang sana. Aku tersenyum tipis bisa melepaskan semua pikiran, terutama terbawa alunan musik santai yang sengaja diputar. Setidaknya aku tidak perlu pusing tentang pekerjaan yang biasa kulakukan dua hari ke depan.Putri tampak senang dengan hidangan yang ada. Sebagai penikmat makanan sejati, kurasakan tulusnya ekspresi itu sampai padaku. Wanita dalam balutan sweter warna army itu tidak berhenti untuk tersenyum selepas mencipipi makanannya. Ada berbagai hidangan laut di hadapan kami."Enak?" tanyaku spontan.Dia mengangguk. "Banget malah. Ikannya masih seger banget, sih!"Aku ikut merasakan demi memastikan ucapan Putri. Benar, rasa sup ikan itu sangat nikmat. Rasa yang pas dengan ikan yang masih segar merupakan perpaduan yang sangat baik. Pada akhirnya aku juga bersiap untuk mulai menghabiskan semuanya.Setelahnya kami memilih untuk pergi ke tepi pantai lagi. Tidak hanya di sore hari, mala
Melihat antrean di belakangku yang lumayan. Aku diminta untuk mempercepat pembayaran. Arti lainnya adalah tidak ada waktu lagi untuk berbicara lebih jauh dengan wanita itu. Aku pasrah dan berakhir pergi dari kafe dengan rasa penasaran yang masih tinggi.Apakah aku salah orang atau dia hanya tidak mengingatku?Ponselku berdering kemudian. Sebuah panggilan masuk dari Putri. Setelah tersambung, suaranya langsung terdengar dari seberang sana."Mas di mana?" katanya sebelum aku sempat mengucap salam."Di luar, Dik? Kenapa?""Gak papa, Mas. Lanjutkan aja." Ada jeda sejenak di sana. "Aku minta maaf ya hari ini gak bisa nemenin, Mas.""Kenapa?" Aku mengernyit, kembali bertanya."Gak kenapa-napa kok, Mas.""Kamu baik-baik aja 'kan?""Iya, aku baik-baik aja, Mas."Aku yang khawatir."Kamu lagi di mana, Dik?""Di hotel, sih, ini, Mas.""Mau Mas belikan sesuatu?" "Enggak perlu repot-repot, Mas.""Enggak repot, kok, Dik.""Enggak, Mas." "Bilang Mas kalau mau sesuatu." Aku berkata cepat."Kubilang
Aku termenung. Kuletakkan kembali surat itu ke dalam kotak dan menutupnya.Aku mencoba mengkonfirmasi perasaan yang kurasakan sekarang. Gelenyar aneh merayap dalam hatiku. Namun, aku tahu ini berbeda dengan yang kurasakan pada Putri.Seperti ... tidak ingin kehilangan teman yang paling mengerti.Mendadak kepalaku pening. Kupijat pelipis dan mengubah posisi demi menyandarkan diri ke headboard ranjang. Ketika memejamkan mata, bayangan Putri dan Oliv secara bergantian hinggap di isi kepala.Tak perlu waktu dua minggu untukku tahu bahwa rasa yang kumiliki pada Oliv bukanlah cinta. Aku jadi terpikir. Beginikah juga yang dirasakan Putri padaku? Aku menghela napas dalam. Diliputi rasa bersalah ketika ingat telah memaksa Putri untuk menerimaku. Sekarang aku seperti punya alasan lain tidak mempertahankan hubungan kami lagi. Putri tidak mencintaiku, tapi Oliv sebaliknya. Aku ingin belajar mencintai Oliv.***Pagi ini untuk mengawali suasana baik dengan Putri, aku turun memasak ke dapur. Aku
Setelah kejadian itu, aku merasa hubungan kami kembali canggung lagi. Kami hanya berbicara seperlunya, walaupun Putri tidak berlaku jutek seperti dulu. Aku sudah meminta maaf dan dimaafkan, tapi ternyata tidak cukup mengubah apa yang sudah kukatakan.Aku ingin Putri juga menghargai perasaanku. Pernyataan yang sejak dulu menjelaskan bagaimana aku sebenarnya tidak ikhlas dan masih dibayang-bayangi bahwa kisah ini akan berakhir bahagia.Hubungan ini begitu rumit dengan segala drama di dalamnya. Tidak hanya menyangkut dua orang yang berjuang untuk memengaruhi, sedangkan yang dipengaruhi sudah menentukan pilihan bahkan sebelum pertandingan dimulai. Namun, ada ikatan pernikahan yang dibangun dan kepercayaan orang tua yang ikut terlibat masuk.Sebagai manusia biasa, Tuhan adalah kunci yang maha membolak-balikkan hati. Aku hanya bisa berdoa agar diberikan jalan terbaik di setiap langkah yang kuambil.Lalu seperti yang sudah dibicarakan sebelumnya, aku dan Putri akan mengikuti program hamil. Ha
Orang tua Oliv saling berpandangan satu sama lain. Aku menatap wanita itu tak percaya dengan ucapannya barusan. Apa maksudnya? Aku tidak salah dengar 'kan?"Calon pacar?" kata sang mama. Tampaknya juga tidak menyangka. Ya, sebenarnya wajar jika ini dipertanyakan. Oliv mengangguk dengan mantap, sedang aku membatu. Suasana menjadi hening seketika. Lalu wanita itu lantas tertawa. "Ih, kenapa jadi serius, sih nanggapinnya? Oliv cuma becanda aja!" Ah, ternyata bercanda, batinku. Eh, kenapa harus kupermasalahkan?"Tapi kalau serius juga gak papa," balas mamanya kemudian. Tawa berderai Oliv sehabis membercandai orang tuanya berhenti. Kini raut mukanya berganti dengan kedipan mata cepat beberapa kali. "Mama apaan, sih. Oliv cuma becanda, tau!" Ekspresinya berubah menjadi multitafsir antara kesal atau yang lainnya. "Kenapa? Memangnya kamu gak mau dengan Nak Zaki?" goda sang mama. Oliv refleks melirik padaku yang sejak tadi diam.Aku yang tidak ingin ambil pusing langsung memperintahkan isi
Pertemuan yang tidak disengaja, biasanya akan memunculkan pertemuan-pertemuan lainnya. Begitu juga dengan pesan masuk pagi ini. Oliv memberitahu bahwa dia sedang berada di kota kami.Dia tahu kota tempat tinggal kami barangkali pernah bertanya dengan Putri? Entahlah.Aku dan Putri sudah kembali ke rumah sejak kemarin. Ketika kuberitahu padanya bahwa Oliv mengajak kami datang ke acara keluarganya, Putri benar-benar antusias. Namun, dia urung ikut karena acara tersebut bertepatan dengan acara lain yang harus dia ikuti.Aku merasa tak nyaman jika menolak. Apalagi undangan ini dikirim langsung oleh si empunya acara. Kulihat pekerjaan juga telah selesai, sehingga tidak ada alasan lain untuk tidak hadir.Oliv mengirimkan lokasi acara dilaksanakan. Perlu waktu kisaran tiga puluh menit jika dilihat dari Gmaps untuk sampai ke tujuan. Sebuah rumah bercat putih tampak begitu megah di depanku dengan gaya arsitektur ala eropa. Setelah memberitahu bahwa aku salah satu tamu undangan dalam acara ters
Besoknya orang tua Putri menghubungi kami. Tadinya mereka akan datang ke rumah sekalian menginap. Sayangnya darah tinggi Pak Bahar akhir-akhir ini sering kambuh, sehingga Putri lebih menyarankan untuk beristirahat.Mengetahui kondisi sang ayah membuat Putri uring-uringan. Dia kelihatan melamun hingga satu suap nasi tak sampai menyentuh bibirnya. Aku sendiri mengerti keresahan itu. "Mau menjenguk bapak?" Aku menawarkan diri. Memecah sunyi yang sejak tadi menghampiri kami. Kulihat sayu di matanya.Putri menggeleng. "Nanti dulu deh, Mas. Aku keknya belum siap ketemu mereka.""Perasaan berdosa pasti ada. Aku ngerasa udah ngebohongin mereka terlalu banyak," katanya kemudian. Pandangan kami bertemu untuk beberapa saat.Aku menghela napas. Ikut merasakan ketidaknyamanan yang dibawanya di meja makan. Namun, menjenguk orang tua merupakan perkara lain dan tidak bisa disamakan dengan masalah-masalah sebelumnya. Di sisi lain, aku juga tidak ingin memaksakan kehendak Putri. Aku ingin dia bisa me
Putri menolak ajakan Oliv untuk menginap di tempatnya. Menurutnya, akan lebih praktis jika menginap di hotel sekitaran rumah sakit saja. Pun Rizal juga masih belum sadar dari koma. Jadi, dia ingin memastikan untuk selalu berada dalam jangkauan kekasihnya itu. Oliv menghargai keputusan Putri. Dia menganggap perbuatan semacam itu sebagai pertanda seberapa tulus cinta yang dimiliki.Aku ... agak tersinggung sebenarnya.Putri memilih tinggal menemani Rizal. Artinya, aku akan pulang sendirian. Aku hanya berdoa agar orang tua Putri tidak menanyakan yang macam-macam atau semuanya akan berantakan. Oliv ternyata benar-benar mengantarku ke bandara. Aku sempat menerima beberapa pertanyaan selama dalam perjalanan. Hubunganku dan Putri rupanya tidak alami sebagaimana rekan kerja biasa."Kalian serius ke sini karena ada urusan kerja?" tanyanya yang membuatku kaget. Dia menatapku dengan penuh arti."Kenapa memangnya?" Aku malah balas bertanya. Oliv mengusap lehernya canggung. Mungkin dia merasa ti
Aku tidak menyangka Oliv akan merepotkan dirinya demi memesan sarapan untuk kami lewat layanan pesan antar. Sebelumnya tidak ada yang meminta, murni inisiatifnya sendiri. Beberapa menit yang lalu notifikasi ponselku berdering. Nama Oliv tertera di sana dalam tiga pesan berurutan.[Kamu belum sarapan 'kan?][Aku punya rekomendasi bubur ayam dekat rumah sakit. Rasanya enak banget. Gak pelit topping lagi.][Oiya, aku udah mesanin dua porsi buat kamu sama Putri. Kayaknya ga sampai lima menit lagi datang deh. Kamu tunggu di luar, ya. Udah kubayarin juga, kok.]Oh?Tanpa sadar aku tersenyum tipis. Lekas kuketikkan balasan.[Padahal kamu gak perlu repot-repot, Liv. Tapi makasih sudah perhatian. Saya sangat menghargainya.]Centang dua biru.Oliv mengirimiku stiker dengan ekspresi tersenyum. Tidak lama setelahnya, pesan dari pengantar makanan masuk. Aku beranjak pergi keluar dari rumah sakit meninggalkan Putri yang masih nyaman mengobrol dengan orang yang tidak kukenal. "Oliv mesanin bubur b
Berita kecelakaan dan pingsannya Putri membuatku terkejut berkali-kali lipat. Hal pertama yang dapat kupikirkan adalah meminta pegawai yang kompeten lewat layanan hotel untuk datang. Aku sama sekali tidak berpengalaman dengan kejadian semacam ini. Jadi aku hanya duduk di tepi ranjang, membantu apa yang diinstruksikan sambil harap-harap cemas karena hingga sepuluh menit berlalu wanita itu tak kunjung sadarkan diri.Hujan semakin deras di luar sana. Aku pikir harus melakukan sesuatu sekarang. Paling tidak, aku harus dalam keadaan sangat tenang ketika mengambil keputusan. Jadi, kutarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya perlahan. Di detik berikutnya, ingatanku bangkit pada sosok Oliv. Segera kutelepon wanita itu. Suaranya yang agak nyaring terdengar di telinga tidak lama setelah panggilan tersambung."Ada apa, Zaki?" katanya.Sejenak aku memperhatikan Putri yang masih larut dalam tenangnya. "Kamu bisa ke hotel Grand Mentari sekarang?""Hah? Emangnya ada apa?!" Oliv langsung menyamb
Aku memberi Oliv nomor telepon. Wanita itu juga melakukan hal yang sama pada Putri. Dia berkata, kami harus bertemu kembali entah dalam waktu dekat atau kapan saja. Kulihat senyum dan lambaian tangan hangat sejenak Oliv masuk ke kafenya."Kayaknya Oliv suka sama Mas, deh." Ucapan Putri membuatku refleks menoleh. Dia memberi ekspresi seolah meledek. Agak menyakiti hatiku sekaligus membuat penasaran. Aku mulai mempertanyakan."Tahu dari mana?" "Cara dia natap Mas itu beda tau gak. Dia juga perhatian sama Mas."Aku merenung, tidak langsung menjawab. Kulihat Oliv bersikap wajar sebagaimana seseorang yang sudah lama tidak bersua. Tidak ada gelagat yang aneh. Dia memang begitu sejak pertama kali kami bertemu."Ada-ada saja kamu ini.""Cie ...." Putri berubah menjadi tukang goda. Aku begitu malas memikirkan atau sekadar menanggapi pernyataan Putri. Bagiku Oliv hanya teman dan tidak lebih."Ayo kita kembali ke hotel." Aku memilih untuk mengakhiri obrolan kami. Namun, belum sempat beranjak, Ol