Pertemuan yang tidak disengaja, biasanya akan memunculkan pertemuan-pertemuan lainnya. Begitu juga dengan pesan masuk pagi ini. Oliv memberitahu bahwa dia sedang berada di kota kami.Dia tahu kota tempat tinggal kami barangkali pernah bertanya dengan Putri? Entahlah.Aku dan Putri sudah kembali ke rumah sejak kemarin. Ketika kuberitahu padanya bahwa Oliv mengajak kami datang ke acara keluarganya, Putri benar-benar antusias. Namun, dia urung ikut karena acara tersebut bertepatan dengan acara lain yang harus dia ikuti.Aku merasa tak nyaman jika menolak. Apalagi undangan ini dikirim langsung oleh si empunya acara. Kulihat pekerjaan juga telah selesai, sehingga tidak ada alasan lain untuk tidak hadir.Oliv mengirimkan lokasi acara dilaksanakan. Perlu waktu kisaran tiga puluh menit jika dilihat dari Gmaps untuk sampai ke tujuan. Sebuah rumah bercat putih tampak begitu megah di depanku dengan gaya arsitektur ala eropa. Setelah memberitahu bahwa aku salah satu tamu undangan dalam acara ters
Orang tua Oliv saling berpandangan satu sama lain. Aku menatap wanita itu tak percaya dengan ucapannya barusan. Apa maksudnya? Aku tidak salah dengar 'kan?"Calon pacar?" kata sang mama. Tampaknya juga tidak menyangka. Ya, sebenarnya wajar jika ini dipertanyakan. Oliv mengangguk dengan mantap, sedang aku membatu. Suasana menjadi hening seketika. Lalu wanita itu lantas tertawa. "Ih, kenapa jadi serius, sih nanggapinnya? Oliv cuma becanda aja!" Ah, ternyata bercanda, batinku. Eh, kenapa harus kupermasalahkan?"Tapi kalau serius juga gak papa," balas mamanya kemudian. Tawa berderai Oliv sehabis membercandai orang tuanya berhenti. Kini raut mukanya berganti dengan kedipan mata cepat beberapa kali. "Mama apaan, sih. Oliv cuma becanda, tau!" Ekspresinya berubah menjadi multitafsir antara kesal atau yang lainnya. "Kenapa? Memangnya kamu gak mau dengan Nak Zaki?" goda sang mama. Oliv refleks melirik padaku yang sejak tadi diam.Aku yang tidak ingin ambil pusing langsung memperintahkan isi
Setelah kejadian itu, aku merasa hubungan kami kembali canggung lagi. Kami hanya berbicara seperlunya, walaupun Putri tidak berlaku jutek seperti dulu. Aku sudah meminta maaf dan dimaafkan, tapi ternyata tidak cukup mengubah apa yang sudah kukatakan.Aku ingin Putri juga menghargai perasaanku. Pernyataan yang sejak dulu menjelaskan bagaimana aku sebenarnya tidak ikhlas dan masih dibayang-bayangi bahwa kisah ini akan berakhir bahagia.Hubungan ini begitu rumit dengan segala drama di dalamnya. Tidak hanya menyangkut dua orang yang berjuang untuk memengaruhi, sedangkan yang dipengaruhi sudah menentukan pilihan bahkan sebelum pertandingan dimulai. Namun, ada ikatan pernikahan yang dibangun dan kepercayaan orang tua yang ikut terlibat masuk.Sebagai manusia biasa, Tuhan adalah kunci yang maha membolak-balikkan hati. Aku hanya bisa berdoa agar diberikan jalan terbaik di setiap langkah yang kuambil.Lalu seperti yang sudah dibicarakan sebelumnya, aku dan Putri akan mengikuti program hamil. Ha
Aku termenung. Kuletakkan kembali surat itu ke dalam kotak dan menutupnya.Aku mencoba mengkonfirmasi perasaan yang kurasakan sekarang. Gelenyar aneh merayap dalam hatiku. Namun, aku tahu ini berbeda dengan yang kurasakan pada Putri.Seperti ... tidak ingin kehilangan teman yang paling mengerti.Mendadak kepalaku pening. Kupijat pelipis dan mengubah posisi demi menyandarkan diri ke headboard ranjang. Ketika memejamkan mata, bayangan Putri dan Oliv secara bergantian hinggap di isi kepala.Tak perlu waktu dua minggu untukku tahu bahwa rasa yang kumiliki pada Oliv bukanlah cinta. Aku jadi terpikir. Beginikah juga yang dirasakan Putri padaku? Aku menghela napas dalam. Diliputi rasa bersalah ketika ingat telah memaksa Putri untuk menerimaku. Sekarang aku seperti punya alasan lain tidak mempertahankan hubungan kami lagi. Putri tidak mencintaiku, tapi Oliv sebaliknya. Aku ingin belajar mencintai Oliv.***Pagi ini untuk mengawali suasana baik dengan Putri, aku turun memasak ke dapur. Aku
Aku sudah lama mendengar nama Putri Nur Hasanah dari cerita teman-teman di toko ini. Dia digambarkan sebagai seorang terdidik, anggun, berambut sepinggang, dan memiliki mata yang menampilkan ketenangan. Mereka bahkan memujinya sempurna sebagai wanita. Aku belum pernah bertemu Putri sebelumnya. Setahuku selama bekerja, dia malah belum pernah ke toko. Lantas darimana teman-temanku tahu tentang Putri? Entahlah. Aku memilih untuk tidak peduli. Bagiku pekerjaan yang lebih utama daripada memikirkan seseorang yang tidak juga dapat digapai. Aku baru selesai mengecek persediaan sak semen sampai kejadian di hari itu membawaku pada takdir tidak terduga. Aku melihat Putri secara langsung dan terpesona. Benar-benar si pemilik magnet yang kuat. Rambutnya yang hitam lurus tergerai dengan indah. Kulitnya kuning langsat berpadu dengan dress putih yang elegan. Alis rapi, bulu mata lentik, bibir dengan lipstik nude, dan sapuan warna di kelopak matanya adalah perpaduan yang harus kuakui. Cantik. Kuki
Satu hari pernikahan, setidaknya aku tahu Putri tidak mencintaiku. Tidak masalah, kukira ini hanya urusan waktu.Aku bangun pukul lima pagi dan bergegas untuk solat subuh. Setelah menyalakan lampu, aku dapat melihat Putri yang masih terlelap. Dia terlihat dua kali lebih tenang dalam keadaan begitu, juga tidak merasa terganggu dengan cahaya yang seharusnya menusuk mata. Napasnya naik turun beraturan di antara kedamaian. Tanpa sadar aku tersenyum melihatnya.Aku mengusap wajah gusar. Mendadak perkataan Putri tadi malam kembali menghantam dadaku. Harus kuakui rasanya begitu nyeri. Sisi lain, aku harus tetap bersikap baik pada istriku. Katanya kebaikan selalu menang. Aku berharap ini juga akan berlaku padaku."Dik, bangun, solat subuh," kataku sambil menggelar sajadah. Tidak ada respons dari wanita itu."Dik.""Lima menit lagi, Mas," jawabnya setengah sadar."Dik?""Enggh!"Baiklah, aku memilih untuk membiarkan Putri dan solat sendirian. Dapat kumengerti dia kelelahan karena acara semalam
"Mas, jangan pegang aku!" Putri menyentak tanganku kuat. Dia masih enggan untuk menantang mataku yang kini berubah kelabu. Aku merasa cemas sekaligus sedih luar biasa."Jelasin ke Mas." Hanya satu itu permintaanku."Mas lebay! Aku gak kenapa-kenapa. Mataku cuma kemasukan sesuatu!" katanya sambil mengucek kedua mata, "lagian gak usah sok perhatian deh, Mas. Aku bisa mengurus diriku sendiri, kok."Setelah mengatakan itu, Putri langsung pergi ke kamarnya, sedangkan aku masih tak bergerak dari tempat. Hanya memerhatikan punggung wanita itu hingga menghilang dari pandangan. Dan tidak usah ditanya, kami memang tidur secara terpisah di rumah ini.Aku hanya tak mengerti kenapa memberikan kejelasan singkat begitu susahnya bagi Putri. Naluriku mengatakan telah terjadi sesuatu padanya sama seperti di hari pertama pernikahan. Ada yang sedang tidak beres, tapi aku tidak tahu apa. Kuembuskan napas kasar, lalu berjalan menuju kamarnya. "Dik, kamu baik-baik aja 'kan?"Tidak ada jawaban."Sudah makan
Hubunganku dengan Putri masih sama seperti biasa. Kami hanya mengobrol jika penting. Selebihnya bagai orang asing yang dipaksa untuk tinggal serumah.Akhir pekan ini, kami akan pulang ke rumah orang tua Putri. Suatu saat, ketika semuanya membaik, aku juga ingin memperkenalkan Putri dengan ibuku. Meski hanya gundukan tanah, Ibu pasti senang melihatku sudah menikah.Putri tampak cantik dalam balutan dress putih di bawah lutut yang kontras dengan kulit kuning langsatnya. Tak lupa dia padukan itu dengan sepatu hak tinggi berwarna hitam. Wajahnya dipoles dengan make up tipis, sedangkan rambut wanita itu sedikit melambai ketika berjalan ke arahku yang tengah menunggunya.Di mobil, Putri mengambil duduk di sebelahku. Tidak lama setelahnya, kulajukan mobil dalam keheningan di antara kami berdua.Tidak mungkin kami pulang dengan tangan kosong. Untuk itu beberapa kali kami singgah demi membeli beberapa makanan khas di kota ini. Putri juga secara khusus memintaku untuk berhenti di toko kue keri
Aku termenung. Kuletakkan kembali surat itu ke dalam kotak dan menutupnya.Aku mencoba mengkonfirmasi perasaan yang kurasakan sekarang. Gelenyar aneh merayap dalam hatiku. Namun, aku tahu ini berbeda dengan yang kurasakan pada Putri.Seperti ... tidak ingin kehilangan teman yang paling mengerti.Mendadak kepalaku pening. Kupijat pelipis dan mengubah posisi demi menyandarkan diri ke headboard ranjang. Ketika memejamkan mata, bayangan Putri dan Oliv secara bergantian hinggap di isi kepala.Tak perlu waktu dua minggu untukku tahu bahwa rasa yang kumiliki pada Oliv bukanlah cinta. Aku jadi terpikir. Beginikah juga yang dirasakan Putri padaku? Aku menghela napas dalam. Diliputi rasa bersalah ketika ingat telah memaksa Putri untuk menerimaku. Sekarang aku seperti punya alasan lain tidak mempertahankan hubungan kami lagi. Putri tidak mencintaiku, tapi Oliv sebaliknya. Aku ingin belajar mencintai Oliv.***Pagi ini untuk mengawali suasana baik dengan Putri, aku turun memasak ke dapur. Aku
Setelah kejadian itu, aku merasa hubungan kami kembali canggung lagi. Kami hanya berbicara seperlunya, walaupun Putri tidak berlaku jutek seperti dulu. Aku sudah meminta maaf dan dimaafkan, tapi ternyata tidak cukup mengubah apa yang sudah kukatakan.Aku ingin Putri juga menghargai perasaanku. Pernyataan yang sejak dulu menjelaskan bagaimana aku sebenarnya tidak ikhlas dan masih dibayang-bayangi bahwa kisah ini akan berakhir bahagia.Hubungan ini begitu rumit dengan segala drama di dalamnya. Tidak hanya menyangkut dua orang yang berjuang untuk memengaruhi, sedangkan yang dipengaruhi sudah menentukan pilihan bahkan sebelum pertandingan dimulai. Namun, ada ikatan pernikahan yang dibangun dan kepercayaan orang tua yang ikut terlibat masuk.Sebagai manusia biasa, Tuhan adalah kunci yang maha membolak-balikkan hati. Aku hanya bisa berdoa agar diberikan jalan terbaik di setiap langkah yang kuambil.Lalu seperti yang sudah dibicarakan sebelumnya, aku dan Putri akan mengikuti program hamil. Ha
Orang tua Oliv saling berpandangan satu sama lain. Aku menatap wanita itu tak percaya dengan ucapannya barusan. Apa maksudnya? Aku tidak salah dengar 'kan?"Calon pacar?" kata sang mama. Tampaknya juga tidak menyangka. Ya, sebenarnya wajar jika ini dipertanyakan. Oliv mengangguk dengan mantap, sedang aku membatu. Suasana menjadi hening seketika. Lalu wanita itu lantas tertawa. "Ih, kenapa jadi serius, sih nanggapinnya? Oliv cuma becanda aja!" Ah, ternyata bercanda, batinku. Eh, kenapa harus kupermasalahkan?"Tapi kalau serius juga gak papa," balas mamanya kemudian. Tawa berderai Oliv sehabis membercandai orang tuanya berhenti. Kini raut mukanya berganti dengan kedipan mata cepat beberapa kali. "Mama apaan, sih. Oliv cuma becanda, tau!" Ekspresinya berubah menjadi multitafsir antara kesal atau yang lainnya. "Kenapa? Memangnya kamu gak mau dengan Nak Zaki?" goda sang mama. Oliv refleks melirik padaku yang sejak tadi diam.Aku yang tidak ingin ambil pusing langsung memperintahkan isi
Pertemuan yang tidak disengaja, biasanya akan memunculkan pertemuan-pertemuan lainnya. Begitu juga dengan pesan masuk pagi ini. Oliv memberitahu bahwa dia sedang berada di kota kami.Dia tahu kota tempat tinggal kami barangkali pernah bertanya dengan Putri? Entahlah.Aku dan Putri sudah kembali ke rumah sejak kemarin. Ketika kuberitahu padanya bahwa Oliv mengajak kami datang ke acara keluarganya, Putri benar-benar antusias. Namun, dia urung ikut karena acara tersebut bertepatan dengan acara lain yang harus dia ikuti.Aku merasa tak nyaman jika menolak. Apalagi undangan ini dikirim langsung oleh si empunya acara. Kulihat pekerjaan juga telah selesai, sehingga tidak ada alasan lain untuk tidak hadir.Oliv mengirimkan lokasi acara dilaksanakan. Perlu waktu kisaran tiga puluh menit jika dilihat dari Gmaps untuk sampai ke tujuan. Sebuah rumah bercat putih tampak begitu megah di depanku dengan gaya arsitektur ala eropa. Setelah memberitahu bahwa aku salah satu tamu undangan dalam acara ters
Besoknya orang tua Putri menghubungi kami. Tadinya mereka akan datang ke rumah sekalian menginap. Sayangnya darah tinggi Pak Bahar akhir-akhir ini sering kambuh, sehingga Putri lebih menyarankan untuk beristirahat.Mengetahui kondisi sang ayah membuat Putri uring-uringan. Dia kelihatan melamun hingga satu suap nasi tak sampai menyentuh bibirnya. Aku sendiri mengerti keresahan itu. "Mau menjenguk bapak?" Aku menawarkan diri. Memecah sunyi yang sejak tadi menghampiri kami. Kulihat sayu di matanya.Putri menggeleng. "Nanti dulu deh, Mas. Aku keknya belum siap ketemu mereka.""Perasaan berdosa pasti ada. Aku ngerasa udah ngebohongin mereka terlalu banyak," katanya kemudian. Pandangan kami bertemu untuk beberapa saat.Aku menghela napas. Ikut merasakan ketidaknyamanan yang dibawanya di meja makan. Namun, menjenguk orang tua merupakan perkara lain dan tidak bisa disamakan dengan masalah-masalah sebelumnya. Di sisi lain, aku juga tidak ingin memaksakan kehendak Putri. Aku ingin dia bisa me
Putri menolak ajakan Oliv untuk menginap di tempatnya. Menurutnya, akan lebih praktis jika menginap di hotel sekitaran rumah sakit saja. Pun Rizal juga masih belum sadar dari koma. Jadi, dia ingin memastikan untuk selalu berada dalam jangkauan kekasihnya itu. Oliv menghargai keputusan Putri. Dia menganggap perbuatan semacam itu sebagai pertanda seberapa tulus cinta yang dimiliki.Aku ... agak tersinggung sebenarnya.Putri memilih tinggal menemani Rizal. Artinya, aku akan pulang sendirian. Aku hanya berdoa agar orang tua Putri tidak menanyakan yang macam-macam atau semuanya akan berantakan. Oliv ternyata benar-benar mengantarku ke bandara. Aku sempat menerima beberapa pertanyaan selama dalam perjalanan. Hubunganku dan Putri rupanya tidak alami sebagaimana rekan kerja biasa."Kalian serius ke sini karena ada urusan kerja?" tanyanya yang membuatku kaget. Dia menatapku dengan penuh arti."Kenapa memangnya?" Aku malah balas bertanya. Oliv mengusap lehernya canggung. Mungkin dia merasa ti
Aku tidak menyangka Oliv akan merepotkan dirinya demi memesan sarapan untuk kami lewat layanan pesan antar. Sebelumnya tidak ada yang meminta, murni inisiatifnya sendiri. Beberapa menit yang lalu notifikasi ponselku berdering. Nama Oliv tertera di sana dalam tiga pesan berurutan.[Kamu belum sarapan 'kan?][Aku punya rekomendasi bubur ayam dekat rumah sakit. Rasanya enak banget. Gak pelit topping lagi.][Oiya, aku udah mesanin dua porsi buat kamu sama Putri. Kayaknya ga sampai lima menit lagi datang deh. Kamu tunggu di luar, ya. Udah kubayarin juga, kok.]Oh?Tanpa sadar aku tersenyum tipis. Lekas kuketikkan balasan.[Padahal kamu gak perlu repot-repot, Liv. Tapi makasih sudah perhatian. Saya sangat menghargainya.]Centang dua biru.Oliv mengirimiku stiker dengan ekspresi tersenyum. Tidak lama setelahnya, pesan dari pengantar makanan masuk. Aku beranjak pergi keluar dari rumah sakit meninggalkan Putri yang masih nyaman mengobrol dengan orang yang tidak kukenal. "Oliv mesanin bubur b
Berita kecelakaan dan pingsannya Putri membuatku terkejut berkali-kali lipat. Hal pertama yang dapat kupikirkan adalah meminta pegawai yang kompeten lewat layanan hotel untuk datang. Aku sama sekali tidak berpengalaman dengan kejadian semacam ini. Jadi aku hanya duduk di tepi ranjang, membantu apa yang diinstruksikan sambil harap-harap cemas karena hingga sepuluh menit berlalu wanita itu tak kunjung sadarkan diri.Hujan semakin deras di luar sana. Aku pikir harus melakukan sesuatu sekarang. Paling tidak, aku harus dalam keadaan sangat tenang ketika mengambil keputusan. Jadi, kutarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya perlahan. Di detik berikutnya, ingatanku bangkit pada sosok Oliv. Segera kutelepon wanita itu. Suaranya yang agak nyaring terdengar di telinga tidak lama setelah panggilan tersambung."Ada apa, Zaki?" katanya.Sejenak aku memperhatikan Putri yang masih larut dalam tenangnya. "Kamu bisa ke hotel Grand Mentari sekarang?""Hah? Emangnya ada apa?!" Oliv langsung menyamb
Aku memberi Oliv nomor telepon. Wanita itu juga melakukan hal yang sama pada Putri. Dia berkata, kami harus bertemu kembali entah dalam waktu dekat atau kapan saja. Kulihat senyum dan lambaian tangan hangat sejenak Oliv masuk ke kafenya."Kayaknya Oliv suka sama Mas, deh." Ucapan Putri membuatku refleks menoleh. Dia memberi ekspresi seolah meledek. Agak menyakiti hatiku sekaligus membuat penasaran. Aku mulai mempertanyakan."Tahu dari mana?" "Cara dia natap Mas itu beda tau gak. Dia juga perhatian sama Mas."Aku merenung, tidak langsung menjawab. Kulihat Oliv bersikap wajar sebagaimana seseorang yang sudah lama tidak bersua. Tidak ada gelagat yang aneh. Dia memang begitu sejak pertama kali kami bertemu."Ada-ada saja kamu ini.""Cie ...." Putri berubah menjadi tukang goda. Aku begitu malas memikirkan atau sekadar menanggapi pernyataan Putri. Bagiku Oliv hanya teman dan tidak lebih."Ayo kita kembali ke hotel." Aku memilih untuk mengakhiri obrolan kami. Namun, belum sempat beranjak, Ol