"Tuan Muda Arsenio."Sang pemilik nama lantas berbalik badan, ketika seseorang memanggilnya dari arah belakang. Kali ini bukan Bastian, melainkan seorang wanita cantik, berpakaian casual, rambut di kuncir ke atas. Memakai sepatu boots warna hitam, senada dengan setelan pakaiannya. Tinggi wanita itu kira-kira 165 cm. Arsenio mengelus dagunya lembut, menatap lekat wanita tersebut dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ini kali pertama Arsenio melihat gadis tersebut. Mungkin? Atau bisa saja sudah saling bertemu, hanya saja ia lupa akan hal tersebut?"Siapa kau? Mengapa kau memanggilku dengan sebutan Tuan Muda?" Arsenio menatapnya lebih tajam. Menelisik lebih jauh, wanita yang tiba-tiba datang dan berlagak seperti sudah lama mengenal. "Jangan katakan, kau adalah pengawal baru yang diperintahkan ayah untuk mengawasi diriku?"Dia mengangkat jari telunjuknya, sedang menerka-nerka, menerawang kemungkinan yang terjadi karena siapa lagi kalau bukan ayahnya? Namun, wanita itu menggeleng cepat. T
Beberapa hari telah berlalu. Gadis cantik, yang menjadi utusan Sistem Mafia Terkuat itu, tinggal di bawah atap yang sama dengan Arsenio. Sempat menjadi pertanyaan besar di benak Alexander Guan, tentang Arsenio yang tiba-tiba mengajak seorang wanita datang ke rumah. Namun, bukan Arsenio jika tidak bisa berkilah.Arsenio mengakui, bahwa Freya, adalah teman semasa sekolahnya dulu. Freya baru saja diusir dari rumahnya karena sudah telat lima bulan tidak bayar uang sewa. Freya hidup sebatang kara. Orang tuanya sudah lama meninggal dunia. Itulah mengapa, Arsenio membawa Freya ke rumahnya. Pintar bukan?"Tuan, ingin pergi kemana?" tanya Freya, melihat Arsenio menuruni anak-anak tangga dengan langkah tergesa-gesa. Meskipun berperan sebagai teman semasa sekolah, Freya tetap memanggil Arsenio dengan embel-embel 'Tuan'. Hal tersebut, dikarenakan Freya beralasan ingin menjadi sketaris pribadi Arsenio. "Aku ingin ke penjara. Melihat, para pecundang itu menghadapi mautnya!" Arsenio membalasnya s
Arsenio telah menyelesaikan misinya, yaitu menghabisi nyawa Malik. Meskipun tidak berjalan sesuai yang diinginkannya, tetapi Arsenio tetap puas. Karena fokusnya bukan hanya pada Malik saja, ada Leonardo yang menjadi targetnya juga. Arsenio tidak menyesali tindakannya yang saat itu lebih memilih bertarung dengan Leonardo ketimbang Malik. Pada hakekatnya, ia ingin menjajal sampai di mana kemampuan pemuda yang sangat ditakuti di Apple Blossom City itu.Arsenio kini menatap lekat Anindira, yang duduk di pojokan penjara sambil memeluk kedua kakinya."Ambilkan dia makan!" titah Arsenio tiba-tiba.Anindira memutar bola matanya cepat. Menjatuhkan tatapan tidak percaya, pada pemuda yang sedang berdiri dengan ekspresi angkuh di depan penjara."Sudah beberapa hari, dia tidak makan dan minum. Pastinya dia kelaparan dan kehausan. Jadi, kalian ambilkan makanan dan minum untuknya!" Bibirnya memang berkata pada dua bodyguard yang berjaga di sana. Namun, ekor matanya melirik Anindira yang berada di
Suasana berbeda.PLAKKKK ...PLAKKKK ....Tamparan keras dilayangkan Around kepada anak buahnya yang baru saja memberi laporan buruk. Ada dua pria yang tubuhnya saja besar, tapi kerjanya tidak becus, sedang berdiri tertunduk di hadapan Around.Pria baya itu tidak bisa menahan diri, tangannya langsung mengayun cepat. Memberi tanda merah di pipi anak buahnya. "Kalian! Menjaga satu orang wanita saja tidak bisa! Sebenarnya, apa yang kalian lakukan sampai-sampai perempuan lemah itu tidak ada di kamarnya, ah?! Dia tidak bisa bergerak, lantas bagaimana bisa dia meninggalkan ruangannya?!" bentak Around dengan nada tinggi. Sampai air liurnya membuncah keluar."Maafkan kami, Bos. Bastian datang dan langsung menghajar kami, sampai pingsan," beber salah satu anak buahnya, di bawah tekanan. Suaranya terputus-putus dan bermandikan keringat."Benar, Bos. Lihat wajahku! Bengkak karena pukulan Bastian!" Satunya lagi pun bersaksi, bahkan dia menunjukkan bagian mata kirinya yang sudah membiru. Sedangka
Berlanjut ..."Kita akan pergi kemana?" tanya Anindira, menatap keheranan Arsenio yang duduk di sebelahnya.Ada sedikit perasaan tidak nyaman dan canggung, duduk satu mobil dengan pria yang sangat dibenci oleh Around. "Menemui ibumu," balas Arsenio sekedarnya saja. Tanpa menoleh sedikitpun.Suasana hatinya saat ini sedang tidak baik-baik saja. Terutama, saat mendapati fakta, bahwa Anindira memiliki hubungan lebih dengan Leonardo, sungguh membuat ia merasa panas.Menganggap pertanyaan Anindira seperti angin lalu, yang masuk dari telinga kanan dan keluar dari kiri."Kau bersungguh-sungguh dengan ucapanmu? Jadi, kita akan ke rumah sakit, sekarang?" Mata indah itu, berbinar-binar tanpa bisa ditutupi.Sedangkan Arsenio hanya meraung seperti anak kucing yang kelaparan tanpa berkata. Melipat kedua tangan di atas dada dan mengalihkan pandangannya ke sisi berbeda.Anindira menaikkan sebelah alisnya. Dirasa ada sedikit keanehan dari sikap Arsenio sekarang. Lebih terlihat, seperti orang yang se
BERLANJUT ...Suasana malam yang hening. Seorang bocah laki-laki berusia tujuh tahun, tengah duduk telungkup di pojok kamar. Tubuh mungilnya bergetar hebat laksana digoncang badai di laut lepas. Ia menutupi wajah dengan kedua tangan kecilnya, tak sanggup menatap seisi kamar, yang hanya ditemani redupnya cahaya rembulan dari balik jendela. Di luar kamar. Terdengar jelas sedang terjadi keributan antar dua orang. Pria dan wanita dewasa, saling beradu argumen, entah siapa yang lebih dulu memulainya? Berkali-kali terdengar benda berbahan kaca dilempar sangat kuat.PRAAKKK ...Suara nyaring dari pecahannya membuat bocah itu semakin ketakutan di kamarnya. Bibir mungil itu tak kuat berucap. Netranya hanya dapat terpejam. Ingin tertidur lelap. Namun, keributan di luar sana memaksanya untuk terjaga."Dasar wanita tidak berguna! Mati saja kau!""Kau laki-laki brengsek! Pengkhianat besar!""Kau yang pengkhianat, wanita tidak tahu diuntung!" BRAAK ...Suara nyaring kembali terdengar. Kali ini e
BERLANJUT ...****Pagi harinya."Ayo, Tuan, pukul saya!" tantang Freya sambil menggerakkan tiga jarinya. Siap menerima segala serangan yang datang. Arsenio menyeringai penuh semangat, "dengan senang hati."BRUK ...Arsenio mengangkat sebelah kakinya tinggi-tinggi, lalu mengarahkan tendangan keras ke wajah Freya. Namun, gadis itu mampu menangkis menggunakan sebelah tangannya."Tendangan Anda masih lemah. Anda harus lebih berusaha keras untuk mendapatkan stamina yang lebih besar lagi, Tuan," ucap Freya berkomentar.Arsenio mengangguk sambil menurunkan kakinya, lalu membuang napas panjang. "Baiklah. Terima kasih untuk arahanmu, Freya."Arsenio tersenyum kecil, nyatanya berlatih bela diri tak meluluh dengan pria saja. Wanita juga bisa. Contoh kecilnya, adalah Freya."Apa, Anda ingin berlatih bela diri lagi, Tuan?" tawar Freya hati-hati, sembari menyeka keringat di kening menggunakan handuk kecil yang melingkar di lehernya. Hal serupa pun dilakukan Arsenio. Namun, ia sembari meneguk air
Setelah kurang dari tiga puluh menit membelah keramaian jalanan beraspal Sky Blue City, laju mobil pun berhenti tepat di depan sebuah gedung pencakar langit, yang banyak dijadikan impian untuk didatangi.Arsenio tak menahan diri lagi. Keluar dari mobil, mengayunkan kakinya mengambil langkah cepat, memasuki gedung tersebut dengan raut wajah sedikit tegang. "Tuan Muda." Beberapa staf yang tak sengaja berpapasan di lobby pun membungkuk setengah badan, sembari tersenyum kecil.Kini sudah tidak menjadi rahasia umum lagi, Arsenio yang tidak lain adalah pewaris Keluarga Guan.Arsenio membalasnya dengan anggukan kepala. Mengerjapkan mata cepat. Dia begitu terburu-buru. Langkahnya dipercepat menuju lift VVIP. Freya masih setida mendampingi, sedangkan dua Bodyguard, diminta untuk naik lift yang lain.***Lantai sembilan belas. Pintu pun terbuka, bersamaan dengan kedatangan Arsenio ke ruangan, yang di dalamnya terpasang banyak layar monitor. Ada yang berukuran kecil hingga paling besar, berada
Hari berikutnya. Arsenio menaklukkan X One di Bandara internasional, yang hendak melarikan diri ke luar negeri. Di hari itu juga, Organisasi yang selama ini dipimpin X One pun ditaklukkan. Mereka tidak bisa berkutik lantaran pemimpin mereka telah ditangkap.Pada akhirnya, Arsenio pun menjadi penguasa Tiga Wilayah Bagian, seperti yang telah kakeknya janjikan. Sebagaimana seharusnya, pewaris utama keluarga Guan, yang akan memimpin Tiga Wilayah Bagian. Sejak hari itu, Arsenio mulai berbenah. Dia membentuk Organisasi Naga Merah yang lebih kuat lagi, kokoh dan sedikit berbeda dari yang dipimpin Alexander Guan sebelumnya.Arsenio membuat banyak perubahan di mana-mana. Berkat kontribusinya itu, semua orang di Tiga Wilayah Bagian tersenyum. Tidak ada yang tidak mengenal Arsenio sekarang.Arsenio pun mulai mempersiapkan pernikahannya dengan Anindira. Tepat dua bulan setelah Luke Mallory tiada. Pernikahan yang telah nantikan itu akan segera terwujud.Satu hari sebelum pernikahan. Malam harinya
"Kejutan!" Suara Elsa begitu nyaring dan sangat melekat di telinga Arsenio.Siapa yang menduga, bom yang dimaksud Luke Mallory sebelum ia menghembuskan napas terakhirnya, adalah Elsa. Arsenio tidak habis pikir. Jika ia tahu, mungkin gadis itu sudah berpindah dunia kemarin. "Ada apa dengan ekspresimu, Kak? Apa kau terkejut melihatku seperti ini?" sambungnya berpura-pura polos, seolah tak terjadi apa-apa.Dia memah pandai bermain sandiwara. Kemarin Elsa berlagak layaknya seseorang yang sangat menderita. Mampu, menarik simpati Arsenio dan yang lainnya. Namun, sekarang? Elsa seperti serigala yang menyusup ke dalam gerombolan domba, lalu siap menerkam mereka.Arsenio bergeming. Dia terlalu cepat untuk mempercayai seseorang tanpa mencari tahu asal usulnya lebih jauh. Sampai akhirnya ia berada di ujung jurang karena rasa kepercayaannya itu, tapi semua ini tidak bisa ia sesali terus menerus. "Kenapa kau diam, Kak? Bukankah kau selalu saja banyak bicara ini dan itu? Kau terus saja berkata, b
Arsenio berlari ke ruang perawatan. Dia mendapat kabar bahwa Elsa telah sadar. Dia bersyukur karena operasi pengangkatan cip itu berhasil. Bruk ...Pintu dibuka secara kencang, hingga menciptakan suara nyaring, sontak membuat dua gadis di dalamnya tersentak kaget."Arsenio ...""Kak Arsenio ..."Keduanya menyebut nama sang pria di waktu bersamaan. Terdengar kompak. Arsenio bernapas lega setelahnya. Lantaran dua wanita yang ia sayangi, ternyata baik-baik saja.Terutama saat melihat senyuman Anindira, selalu membuat hatinya tenang. "Kalian baik-baik saja bukan?" tanya Arsenio pada keduanya. "Iya, Kak Arsenio."Anindira ingin menjawab juga. Namun, dia kalah cepat dengan Elsa yang sudah lebih dulu berucap. Anindira pun hanya diam dan menunggu giliran ia berkata.Pandangan Arsenio lurus pada Anindira dan begitu juga senyuman. Ya, meskipun tangannya mengelus kepala Elsa."Lantas bagaimana dengan Kak Arsenio? Apa kakak berhasil menyelamatkan teman-temanku? Aku mendengar cerita Kak Anindir
"Kapan pengirimannya?" Terlihat Luke Mallory sedang berada di sebuah ruangan, lebih disebut sebagai gudang karena banyak tumpukan kardus terbengkalai di sana.Jaring laba-laba menjadi penghias di setiap sudut ruangan. Lubang angin pun sudah tertutup debu yang sangat tebal.Lantai yang dipijak pun bukan dari keramik, melainkan masih lapisan pasir. "Pengirimannya akan dilakukan sore ini, Bos. Ketua Bulan Darah, yang akan mengantarnya sendiri," jawab salah satu anak buahnya, tertunduk ke bawah."Bagus. Para investor kita sudah banyak menanyakan soal anak-anak itu, yang akan mereka pekerjaan sebagai penari di club-club malam."Luke Mallory tersenyum sinis. Mengayunkan kakinya santai sambil menyesap sepuntung rokok yang hendak habis."Lantas, apa kalian sudah mendapatkan informasi tentang Arsenio?"Tiba-tiba dia membahas soal Tuan Muda keluarga Guan itu. Setiap saat dirinya tidak bisa tidur, terus saja terbayang-bayang bajah pemuda tiga puluh tahun, yang telah membunuh Leonardo. "Kami be
"Sebenarnya, Kak Arsenio ini, siapa? Mengapa kakak bisa masuk ke rumah besar itu? Memangnya rumah itu, milik kakak juga?"Pertanyaan Elsa, sontak membuat Arsenio menghela napas berat. Sebenarnya dia ingin menyembunyikan identitasnya yang tidak lain adalah Pewaris Utama Keluarga Guan, dari Elsa. Namun, sepertinya keadaan yang telah memaksa ia untuk berkata jujur."Rumah mewah itu milik ayahku. Sebenarnya aku ini, pewaris utama keluarga Guan. Arsenio Bagas Guan. Putra satu-satunya Alexander Guan," beber Arsenio ragu. Dia tidak yakin momentumnya pas untuk mengungkapkan identitas. Elsa menatapnya sangat lama dan tanpa kata, seolah kalimat tadi adalah mantra yang mengutuknya menjadi patung batu. "Elsa?" Panggilan Arsenio menyadarkan gadis cantik dua puluh tahun itu, dari diamnya. "Mengapa sejak awal Kak Arsenio tidak jujur padaku?" Elsa mengubah posisi duduknya yang semula sedikit menghadap Arsenio, kini melihat keluar jendela."Aku tidak suka orang yang berkata bohong," sambungnya kesa
Arsenio pun kembali ke rumah. Kemarin malam ia tidak pulang karena menemani Elsa. "Tuan Muda. Kemana saja Anda kemarin malam?" tanya Bastian, yang langsung mencecar. "Tuan, terus mencari Anda. Mengapa ponsel Anda tidak aktif? Sebenarnya pergi kemana Anda, Tuan Muda?"Arsenio menghela napas panjang, "ada hal yang sedang kuurus. Sekarang aku minta padamu untuk mencari informasi tentang Organisasi Bulan Darah.""Bulan Darah?" Bastian menautkan sebelah alisnya. "Bukankah organisasi itu sudah hilang. Lantas, untuk apa, Anda mencari informasi tentang mereka lagi?""Aku akan jelaskan nanti. Sekarang, aku ingin menemui ayah. Di mana Ayah?" "Tuan Alexander ada di ruangannya." Setelah mendengar kalimat itu, Arsenio buru-buru menaiki anak-anak tangga, menuju lantai dua.Arsenio pun langsung masuk ke ruangan itu tanpa mengetuk pintunya lebih dulu."Ayah," kata Arsenio terkesan buru-buru."Arsenio. Kemana saja kamu, Nak?" tanya Alexander Guan cemas. Sampai bangu dari tempat duduknya. "Aku ber
Entah mengapa, Arsenio merasa ingin berlama-lama di tempat ini. Seolah sesuatu sedang menunggunya dan takdir ingin dirinya menemukan itu.Arsenio pun mengunjungi ayahnya dan mengatakan bahwa ia akan pulang setelah makan siang. Sesaat setelah itu, Arsenio melihat sesuatu yang membuat aliran darahnya mendidih lagi. "Hei, kalian yang berkelahi di sana! Apa yang kalian lakukan di depan umum seperti ini?!" "Ayo cepat pergi!!" ucap seorang pelaku mendorong rekannya untuk kabur dari sana.Arsenio berseru. Namun, sebelum ia bisa melanjutkan aksinya, dua pria yang lagi-lagi sedang mengeroyok anak kecil itu, pergi. Kali ini bukan gadis yang Arsenio selamatkan sebelum."Hei kalian--Ck!!" Arsenio berdecak dengan kepalan tangan meninju udara. Tindakannya itu, mendapat teguran dari dua pria berseragam keamanan. Dari yang Arsenio lihat, sepertinya mereka sedang melakukan patroli rutin. "Kau?! Lagi-lagi membuat keributan di sini, apa tak kapok?!" ucap salah seorang petugas keamanan itu yang ter
Hari berikutnya. Arsenio pun melaju dengan kecepatan tinggi dengan motornya. Sudah cukup lama ia tidak berpacu di atas kuda besinya itu. Semenjak menjadi Tuan Muda keluarga Guan, ia tidak lagi mengendarai motor.Arsenio membelah keramaian kota Sky Blue City. Menyalip kendaraan yang ada di depannya dengan mudah.Setelah berpacu kecepatan di jalanan selama tiga puluh menit, Arsenio pun menghentikan laju motornya tepat di depan gerbang pemakaman keluarga. Arsenio turun dari motor, tidak lupa dia membawa satu buket bunga mawar putih yang sangat indah dan harum.Arsenio berjalan memasuki makam dan berhenti tepat di samping pusaran yang bertuliskan nama Clarissa di atasnya. Dia membuka kacamata hitam yang sedari tadi melekat di wajahnya. "Selamat pagi, Bu. Maafkan Arsenio yang baru mengunjungi ibu lagi."Arsenio meletakkan buket bunga itu di atas makam Clarissa. Sekuat tenaga dia memendung emosi, yang coba menerobos pertahanannya."Ibu suka mawar putih bukan? Kali ini Arsenio bawakan mawa
Satu Minggu berikutnya. Kondisi Arsenio telah pulih sepenuhnya. Bastian pun mengajak Arsenio untuk menemui anak-anak di tempat sosial, yang dibangun oleh Alexander Guan.Arsenio berjalan santai sambil melihat-lihat sekelilingnya, yang dipenuhi suara tawa anak-anak. Koridor ini, mengingatkan Arsenio pada sekolah dasarnya dulu. Hanya saja, saat ia bersekolah tidak ada tawa yang seperti ini. Setiap kali dirinya berjalan, maka teman-teman sebayanya langsung menghindar. Seolah dirinya monster yang tidak pantas untuk didekati. Melihat anak-anak bisa tertawa lepas tanpa beban, meskipun tidak memiliki orang tua, membuat Arsenio merasa tenang. Ada kebahagiaan yang sulit ia gambarkan dalam lembaran kata-kata. Setidaknya di tempat ini, mereka tidak merasa kesepian. "Tuan Alexander Guan membangun tempat ini, tepat satu bulan setelah meninggalnya Nyonya Clarissa. Tuan Alexander Guan, sangat terluka saat itu, terlebih lagi dia harus berpisah dengan putranya, yaitu Anda, Tuan Muda. Sebelum memban