"Permisi. Ini pesanan tambahannya," seorang pelayan memberikan sebuah paket dessert ke Riana. Ada kertas pesan di nampannya.David langsung mengambil dan membacanya. Ini buat kamu, Riana. Dari Jo.Pandangan David mengedar ke sekitar. Tampak di dekat pintu masuk ada Jo dan beberapa kliennya di sana. Jo yang bertatapan dengan David hanya melempar senyum sinis."Pesan dari mantanmu," David memberikan kertas itu pada Riana. Tak membaca pesan itu, Riana malah langsung berdiri."Kita pulang aja," pinta Riana."Oke," David berdiri. Mengikuti keinginan Riana untuk pulang.Saat akan masuk ke dalam mobil, seseorang meraih tangan Riana. Ternyata, itu adalah Jo. Napas Jo tersengal-sengal. Sepertinya dia buru-buru mengejar Riana."Kamu mau kemana sama dia?" tanya Jo menginterogasi."Apa urusannya sama kamu? Kita bukan siapa-siapa, Jo!""Kamu orang yang kusukai Riana.""Tapi aku nggak suka kamu!" balas Riana tegas."Tapi kamu juga nggak suka orang itu kan?""Siapa? Aku? Riana suka aku kok," David
Riana berlari menghampiri ibunya. Jo mundur. Memberikan ruang agar Riana bisa berdekatan dengan ibunya. "Ibu kenapa? Jo ngapain Ibu?""Kenapa kamu nggak cerita ke Ibu?""Cerita apa? Riana baik-baik aja kok Bu.""Jangan bohong, Nak! Kamu terlibat hutang kan?"Riana membelalak seketika. Bagaimana bisa ibunya tahu? Riana langsung menatap Jo tajam. Brengsek kamu, Jo!"Nggak, Bu! Riana nggak punya hutang apa-apa. Riana masih kerja kayak biasanya," bohong Riana menenangkan ibunya."Kenapa kamu ambil hutang Nak? Apa karena ibu? Iya?""Nggak, Bu! Riana nggak pernah ambil hutang apa-apa! Demi Allah!" Riana menitikkan air mata sambil terus berusaha menenangkan ibunya."Jangan bohong kamu! Argh!" ibu Riana memegangi dadanya. Wajahnya begitu kesakitan menahan nyeri."Ibu? Bu! Ibu! Ibu!"Riana kacau melihat ibunya tak sadarkan diri. Jo berniat memeriksa ibu Riana tapi David mendorongnya. David melemparkan kunci mobilnya ke Riana lalu menggendong ibunya keluar. Walau kalut, Riana langsung berlari k
"Lepasin tanganku!" Riana berusaha melepaskan diri dari genggaman tangan Jo tapi Jo malah menariknya pergi dan masuk ke dalam lift hotel yang jadi lokasi reuni kampus mereka."Kita mau ke mana Jo?!" Riana masih berusaha melepaskan diri. Sayangnya, genggaman tangan Jo sangat kuat. Membuat tangannya jadi sakit.Jo benar-benar baru melepaskannya saat mereka masuk ke dalam salah satu kamar hotel. Riana terkesiap melihat Jo yang mulai menggila. Pria ini sudah bukan Jo yang selama ini dikenalnya."Jo! Bukain pintunya Jo!""Aku cuma mau ngobrol bentar sama kamu Riana?" pinta Jo."Ngobrol apa? Terus kenapa harus di kamar hotel?""Biar kamu nggak kabur! Pasti kamu nggak mau kan ngobrol sama aku?""Udah tau gitu. Masih nanya!" jawab Riana ketus."Aku minta maaf, Ri. Aku beneran bingung. Gimana lagi caranya biar kamu mau nerima aku!""Tapi gara-gara kamu ibuku jadi masuk ICU! KAMU ITU EGOIS JO!" air mata Riana kembali meleleh. Ingatan dan rasa sakit hatinya kembali mencuat dalam dada."Riana, a
"Lhoh? Kok gelap?" Jo bingung saat masuk kembali ke kamar. Saat akan menyalakan lampu, seseorang memeluk erat dari belakang dan menghentikan gerakan tangan Jo."Jangan dihidupin lampunya, Jo," ujar Risa dengan suara yang sudah disetting seperti suara Riana dengan alat bantu pengubah suara."Kenapa, Ri? Nanti nggak bisa---""Bisa kok," Risa menarik tangan Jo dan mendorongnya ke atas kasur. Dengan cekatan tangannya membuka kemeja yang dikenakan oleh Jo."Ri?" Jo merasa bingung sekaligus gerah mendapati tindakan seperti itu. Namun, kegerahan Jo berubah menjadi hawa nafsu saat bibirnya bersentuhan dengan bibir Risa yang dia kira adalah bibir Riana.Jo meladeni pagutan yang dilayangkan oleh Risa di bibirnya. Semakin lama semakin memanas. Kedua tangannya pun ikut bergerak menjelajahi tubuh Risa dalam kegelapan. Memunculkan suara-suara desahan.Risa menjejalkan permen ke dalam mulut Jo lewat ciuman panas mereka. Jo menelan permen itu dan menjadi semakin gerah. Tak heran Jo langsung membantin
"Ta-tapi aku kan yang beli!" Riana berusaha merebut kembali morning pill yang baru saja dibelinya. Namun, David malah membuangnya ke tempat sampah."DAVID!" teriak Riana.David menyerahkan dua lembar seratus ribuan ke pegawai apotek lalu menarik Riana keluar apotek. Dia mendorong Riana masuk ke dalam mobil."Apa-apaan sih kamu?!" Riana menatap marah David."Kamu yang apa-apaan! Kamu mau bunuh anak di kandunganmu?!""Aku nggak bunuh David! Pil itu cuma buat sel telur di tubuhku nggak sampai dibuahi oleh sp*rm*mu! Cuma itu! Nggak ada yang dibunuh di sini!" jelas Riana ilmiah sesuai dengan apa yang dibacanya di situs berita barusan."Apa salahnya memang kalau kamu mengandung anakku?!""Ya….ya…." Riana bingung harus menjawab seperti apa. Haruskah dia bilang tak ingin punya anak?"Ya apa?!" bentak David tak sabar. Riana langsung memejamkan mata ketakutan."Selama kita nikah siri, apapun yang terjadi, kamu nggak boleh minum obat-obat aneh macam itu!" tegas David."Tapi---""Nggak ada tapi-t
Riana terlentang menguasai kasur. Sejak menikah, David tak pernah masuk ke dalam kamar. Hanya sebatas pulang dan mengambil baju. Setelah itu, pergi lagi. Entah kemana. Riana tak tahu.Hal itu membuat Riana menyesal kenapa dirinya harus menangis saat disuruh David pindah kamar. Padahal, David tak pernah mendekatinya sama sekali. Mencolek pun tidak."Haaaah…. Mungkin aku yang berlebihan? Apa aku minta maaf aja ya?" pikir Riana menyesal.Ya, memang sih jika dipikir-pikir, dirinya diberi obat perangsang. Secara otomatis sudah menyusahkan David. Dia cukup beruntung karena David mau menikahinya."Nggak! Kenapa aku ngebela dia? Dia kan udah gituin aku," Riana menggelengkan kepala kuat-kuat. Saat ini logika dan hatinya sedang bertarung. Haruskah menerima keberadaan David sebagai suaminya dengan ikhlas atau tetap memusuhi David dalam diam."Ah! Susah amat sih?! Kayak ngerjain UN matematika aja!" Riana memukuli boneka unicorn miliknya. Bonekanya kini berjajar jadi tiga. Tambahan satu saat David
Tak hanya mencuci jari telunjuknya. Riana juga mencuci wajahnya. Walau saat ini tengah musim dingin. Dia merasa sangat gerah. Kedua tangannya bergerak-gerak mengipasi wajah.Butuh waktu agak lama baginya agar bisa kembali tenang. Namun, saat dia keluar kamar mandi, hatinya kembali berdebar. Semuanya karena David. Laki-laki galak itu sudah menungguinya di luar lalu meraih tangannya dan memasangkan plester luka di jarinya."Udah nggak sakit kan?" tanya David dengan tatapan serius."Iya. Kan cuma luka kecil juga," Riana menarik tangannya lalu berjalan kembali di meja.Riana berniat melanjutkan kembali makan kepitingnya. Namun, piring kepitingnya sudah tak ada."Kepitingku mana?""Makan yang lain dulu.""Tapi aku mau kepitingku," Riana menunjukkan muka memelas. Tapi memang dasarnya David itu keras. Dia tak menanggapi ucapan Riana. Sebaliknya, dia malah menaruh makanan lain di piring baru dan menyodorkannya ke Riana."Makan!" tegas David. Saking kagetnya Riana sampai cegukan.Riana pun mem
David bangun. Menatap Riana yang tubuhnya gemetaran. Dengan wajah menahan tangis, Riana menoleh dan menatap David. Meminta penjelasan."Kamu… kamu bohong sama aku?" air mata Riana jatuh seketika.David memilih diam. Tak menanggapi Riana. Membiarkan gadis itu melanjutkan tangisannya.Masih basah di ingatan David saat malam mereka di hotel. Ya, tadinya David memang sudah sangat frustasi. Sudah membopong Riana ke kasur dan bertekad untuk menuruti permintaan Riana yang masih dalam pengaruh obat.Namun, David teringat lagi ucapan Riana yang hanya ingin memberikan mahkota kesuciannya pada suaminya saja. Bukan yang lain. Sekuat tenaga David mencoba mengedepankan otaknya. Menghadapi semua godaan yang diberikan Riana padanya dan berbalik arah membopongnya ke kamar mandi.Tubuh Riana langsung dia letakkan ke kamar mandi. Shower mandi dia nyalakan dan arahkan pada Riana. Sekeras mungkin. Membuat Riana kehabisan napas dan tak sadarkan diri. Setelahnya David terduduk lemas di lantai. Dia masih me
"Pagi, Rafa!" Riana menyapa dengan hangat. Jalan pagi berdua dengan David membuat mood Riana naik drastis.Rafa yang baru keluar kamar tertegun menatap mamanya yang tampak bersemangat. Sudah hampir sebulanan mamanya tampak lesu seperti orang tak ingin hidup. Kata Mbok Shinta, itu karena adiknya tak jadi lahir. Calon adiknya di perut mamanya menghilang dan gara-gara itu mamanya jadi sedih.Mendengar kabar itu, Rafa juga sedih. Tapi, mamanya sudah sangat sedih. Jadi, dia memutuskan untuk tidak tampak bersedih dan melakukan kegiatan sehari-hari dengan lebih mandiri. Intinya, Rafa bertekad lebih mandiri dan tidak bergantung pada mamanya agar tidak menambah duka dan beban pikiran mamanya."Udah mandi? Mau Mama mandiin?" tanya Riana dengan senyum cerah."Mama lagi seneng ya?" tanya balik Rafa. Hatinya ingin memastikan mamanya memang baik-baik saja.Riana tersipu malu sambil memegangi pipinya," Hehehe, senenglah. Kan lihat Rafa pagi ini."Rafa semakin melongo dengan tingkah aneh mamanya itu.
Dulu, saat bangun dari tidur, aku selalu takut melihat ke sisiku karena ada dirimu di sana. Aku sangat takut. Tiap kali berdua denganmu, jantungku seperti berhenti berdetak. Pikiranku selalu berdoa agar suatu saat bisa terlepas darimu.Nyatanya, setelah waktu berlalu. Aku malah berharap selalu bisa berada di sisimu. Hatiku selalu merasa lebih tenang, jika kamu bersamaku.Seperti saat ini. Waktu pagi datang. Kedua kelopak mataku terbuka. Aku langsung menoleh ke samping, mencarimu. Senyumku otomatis berkembang saat indera penglihatanku menangkap bayang dirimu ada di sisiku.Sudah banyak hal yang kami lalui bersama. Suka duka menjalani kehidupan sehari-hari yang terasa seperti naik roller coaster. Aneh. Sejujurnya aku takut naik roller coaster dan tentunya kehidupan seperti roller coaster saat bersama denganmu juga membuat jantungku tak bisa berdetak tenang barang sesaat. Namun, semuanya tak terasa menakutkan saat bersamamu.Memang ada kalanya kesedihan yang teramat menyakitkan membuatku
Ekor mata Riana melirik-lirik gugup ke arah David. Dia tak berani langsung menoleh. Apalagi sekarang adegan panas di layar sedang berjalan.Masih terus melirik-lirik, Riana pura-pura mengambil popcorn yang ada di antara dirinya dan David. Tentu dengan pikiran agar terlihat natural. Namun, jari-jarinya tak bisa menemukan tempat popcorn yang diinginkannya."Kok? Harusnya kan di sini?" gumam Riana. Niatnya pun berubah. Jari-jarinya bergerak menelusuri sekitaran tubuh David. Bodohnya, dia melakukannya sambil tetap melirik. Tidak langsung menoleh."Eh? Kok? Menonjol?" Riana terkaget lalu akhirnya menoleh. Tampak David sudah berdeham-deham saja menatap ke arahnya.Kedua mata Riana membelalak lebar. Gara-gara asal meraba saat mencari popcorn, jarinya malah memegang junior David. Bukan popcorn yang dia cari!"Maaf, David!" buru-buru Riana menarik kembali tangannya. Mukanya sangat panas. Bahkan, suhu dingin AC di bioskop tak bisa meredam hawa panas yang menjalari wajahnya. Yang bisa Riana laku
Sepulang dari menjenguk Risa, David mengajak Riana makan. Dia membelokkan mobilnya ke arah Cihampelas Mall."Kok ke mall?" Riana menatap David bingung."Ke Mujigae. Kamu suka korea-koreaan kan?""Hmm, iya sih. Tapi, kamu doyan?""Kalau sama kamu mah, apa saja bisa jadi enak. Yang penting kamu makannya banyak. Oke?" David membuka pintu mobil lalu keluar. Setelah itu, dia berlari ke tempat Riana berada untuk membukakan pintu mobil buat Riana."Makasih," Riana memegangi erat jemari David sambil melangkah keluar mobil.David terus menggandeng tangan Riana sampai tiba di tempat makan. Dia memesan hampir semua aneka makanan di buku menu yang disediakan oleh pramusaji."David! Siapa yang mau makan itu semua?" Riana melongok pada tab menu pemesanan yang diklik oleh David. Matanya membelalak melihat banyaknya makanan yang David pilih."Kamu. Tugasmu sekarang makan banyak," David menekan tombol order untuk mengakhiri pesanan.Riana terpaksa mengikuti ucapan David. Toh, orderan sudah terlanjur d
Entah ini sudah hari ke berapa aku berada di rumah sakit. Aku tak tahu. Atau mungkin tepatnya tak ingin tahu.Luka di tubuhku sudah mendingan. Seharusnya aku sudah bisa pulang ke apartemenku. Tapi, aku tak mau pulang. Tempat itu hanya akan mengingatkan pada kenangan-kenangan manis yang ternyata hanyalah tipuan. Memikirkannya saja membuat air mataku meleleh.Padahal, aku sudah sangat percaya. Kukira memang sudah benar-benar mau menerimaku. Nyatanya, dia hanya menipu dan merampas semua kenangan indah yang dia berikan padaku secara sepihak. Bahkan, janin dalam kandunganku ikut dia rampas. Betapa dia sangat tidak memiliki hati. Anak di kandunganku kan anaknya juga. Tapi kenapa dia tega melakukan itu? Membuat janin yang belum genap tiga bulan itu sirna dari dunia. Sungguh sangat jahat dirimu, Jo. Harusnya aku menyadari ini semua dari awal. Tapi, semua sudah terlambat. Dari awal, batin dan pikiranku sudah tertutupi oleh cinta butaku padamu, Jo. Jika saja… jika saja aku masih bisa berpikir j
Sudah seminggu lebih waktu berlalu sejak kejadian itu. Kejadian yang sangat memilukan. Bagiku dan Riana.Hari-hari kami di rumah jadi sepi. Riana lebih suka mengurung diri di kamar. Jarang makan. Wajahnya jadi lebih pucat dan tirus.Aku tahu. Ini pasti sangat berat untuknya. Ibunya sudah menginap di rumahku. Bahkan, Sena. Kubiarkan mereka menemani Riana. Karena kupikir, lingkungan yang lebih ramai, bisa membuat dirinya lebih ceria.Memang saat bersama orang lain, dia sudah bisa menanggapi dengan baik. Walau hanya beberapa patah kata dan senyum simpul. Menurut laporan psikolog yang tiap harinya kutugaskan untuk membantu terapi Riana, kondisi Riana memang masih membutuhkan proses. Dikarenakan Riana tipe perasa. Butuh waktu lebih lama menuntaskan rasa duka."Kira-kira ada alternatif lain tidak untuk membantunya?" tanyaku pada sang psikolog. Sejujurnya aku juga tak sanggup jika tiap malam mendengar Riana menangis sendirian. Hatiku selalu ikut teriris mendengarnya. Aku pun sudah tak bisa b
"David...." panggil Riana lemah."Iya, Sayang," David mencoba mencari wajah istrinya yang masih tersembunyi dalam dadanya. Tangannya bergerak mengusap-usap rambut dan pelipis istrinya."Rumah sakit…. Aku mau ke rumah sakit," rengek Riana. Tangannya meremas kaos polo David yang berwarna hitam pekat."Iya. Ayo," David langsung menggendong Riana keluar kamar. Riana menelusupkan kepalanya dalam dekapan dada David. Memang hatinya masih tak tenang karena obat yang baru ditelannya. Tapi, sudah ada David di sisinya. Bukankah semuanya akan berjalan baik-baik saja kan?"Bos, yang di luar sudah beres," Jono tampak tergopoh-gopoh menghampiri David."Jo di dalam. Jalankan sesuai perintahku tadi," pesan David."Iya, Bos," Jono menyanggupi perintah bosnya.David melangkah menuruni tangga. Dia berjalan membawa Riana masuk dalam mobil Jeep."Pak, ke rumah sakit terdekat," ujarnya pada sopir sewaan yang dari tadi menunggu."Siap, Bos," jawab sang sopir.Sepanjang perjalanan, David terus memangku Riana.
David terbangun dari kantuknya. Perjalanan panjang menuju lokasi Riana disekap membuatnya semakin lelah. Tanpa dia sadari, dirinya sudah terlelap begitu saja tadi."Jam berapa sekarang?" tanya David pada Joni yang ada di sisinya."Jam sembilan, Bos. Sekitar dua puluh menit lagi sampai," jelas Joni.Butuh waktu sehari penuh bagi David untuk mendapatkan lokasi Riana berada. David harus mencari info dari geng preman maupun kepolisian sekitar. Sangat beruntung, David belum pernah memiliki masalah dengan pihak kepolisian. Makanya, urusannya bisa berjalan lebih lancar dan bisa menemukan posisi Riana meski hanya berbekal plat nomor mobil saja.Jalan yang mereka lalui semakin lama kasar. Berulang kali ban mobil Jeep yang David kendarai seolah-olah meloncat melayang terbang saking terlalu sering bersentuhan dengan jalan bebatuan tak rata.David menatap ke belakang. Anak buahnya mengikuti dengan mobil di belakang. Dia kembali menoleh ke depan. Berulang kali dia menghembuskan napas penuh kegelis
Aku pikir aku mati. Ya. Saat ini kematian benar-benar dekat denganku. Malaikat pencabut nyawa ada di sisi. Walaupun aku sudah meraung-raung memohon, tak ada kepeduliannya yang tersisa untukku. Sebaliknya, mulutku malah dibungkam dengan lakban hitam.Hanya tangisku yang bisa kuandalkan. Entah sudah berapa liter air mata kucucurkan. Mataku pun sudah lelah. Tapi, hanya ini protes yang bisa kulakukan. Tak ada yang lain.Aku tak berdaya. Tak bisa melakukan apapun. Jo mengikatku begitu kencang. Tak mau menerima sedikit pun penjelasan dariku. Malah, dia meminumkan obat aneh padaku.Aku tak tahu obat apa itu. Tapi, dia memaksaku meminumnya. Jemarinya menjejalkan buliran pil berwarna putih itu ke dalam mulut dengan kasar. Aku berusaha untuk melawan, memuntahkannya. Tapi, jari-jarinya mendorong masuk pil itu ke pangkal tenggorokanku dan mengguyurnya dengan air mineral sebanyak mungkin. Aku pun tersedak bersamaan dengan pil dan air mineral yang menelusup masuk dalam tenggorokanku."Bagus!" itula