"David! David! Aku mohon David!" Riana menarik-narik baju David. Berharap laki-laki itu berhenti marah dan kembali tenang. Riana tak ingin masalah menjadi semakin runyam.David melepaskan tangan Riana. Tatapannya tajam memandang Riana. "Kamu tunggu di rumah aja!"Tangan David mendorong tubuh Riana agar menjauh. Dia segera menghidupkan mobilnya dan masuk ke dalam.Tak mau menyerah, Riana langsung berlari ke depan mobil David. Kedua tangannya terbentang, berusaha menghentikan David. Segera David menurunkan kaca mobilnya."Minggir!" teriak David galak."Nggak! Aku nggak mau kamu kayak gini David!" tolak Riana tak mau kalah. Riana ingin David tetap seperti David yang dia kenal."Argh!" David memukul setir mobilnya lalu keluar menghampiri Riana."Ayo masuk!" David menarik tangan Riana. Menggiringnya kembali ke dalam rumah."David! Jangan gini!" Riana mencoba melepaskan tangannya dari cengkeraman David. Namun, David tetap menarik Riana agar masuk mengikuti langkahnya."David… bentar.…," Ria
"Halo Manis! Gimana kabar? Katanya udah isi? Duh cepet banget yaow. Bikin iri deh," cerocos Gia saat baru masuk ke ruang rawat inap Riana."Diem banci! Berisik!" amuk David yang baru saja selesai mencuci apel untuk Riana."David, jangan gitu," beritahu Riana sambil bangun dari posisi tidurnya. Saat ini sudah memasuki hari ketiga Riana berada di rumah sakit."Tuh! Dengerin si Manis," Gia mengambil posisi duduk di sebelah kiri Riana. Dia membuka tas berbahan kardus yang sedari tadi ditentengnya. Dua buah puding cokelat disodorkannya pada Riana."Makanan rumah sakit kurang enak kan? Ini aku bawain puding cokelat lumer yang endes bingit!" ujar Gia sambil memonyong-monyongkan bibirnya agar tampak meyakinkan. Riana tertawa melihat Gia yang memang selalu pandai melucu."Makasih ya Kak Gia," ucap Riana sambil menerima puding cokelat yang masih dingin itu. Fla putih yang menghiasi puding itu tampak sangat menggoda. Membuat Riana ingin segera mencobanya."Ngapain kamu panggil banci itu kak?" ko
"Nih," Gia menyodorkan rokok ke David beberapa saat setelah tiba di atap gedung rumah sakit."Mau ngobrol apa?" David menerimanya lalu menyalakan bara api untuk membakar ujung rokok itu. Sudah lama juga dia tak merokok.Gia tak buru-buru menjawab. Bibirnya masih fokus menghisap rokok dan menghembuskan asapnya. Tatapannya mengarah pada bawah bangunan rumah sakit. Dari sana semua pemandangan di bawah tampak lebih kecil. Seperti mainan miniatur rumah-rumahan anak kecil.David menyenderkan punggungnya ke tembok pembatas bangunan. Mengikuti langkah Gia. Menikmati rokok sambil memandangi langit yang akhir-akhir ini sudah mencerah."Rencana nikah kapan kalian?" Gia mulai angkat bicara."Ya secepetnya.""Lu udah mikir soal Rafa belum?" Gia menoleh. Tatapannya serius memandangi David."Gampang.""Jangan ngegampangin lu! Dia bakal syok banget. Mikir Riana nikah ama lu," Gia mengetuk-ngetukkan rokok agar puntungnya jatuh ke bawah."Tapi emang Riana bukan mamanya. Mau nggak mau dia harus tahu.""
Riana menatap David yang hanya berdiam diri saja di dekatnya. Sesekali memainkan hape. Tapi setelah itu akan langsung menjatuhkan kepala di sisi ranjang samping pahanya. Hanya itu aktivitas David setelah Rafa diajak pulang oleh Joni."David, kamu main apa?" tanya Riana saat David mulai fokus dengan hapenya.Ini kesempatan yang bagus buat mulai percakapan, batin Riana. Ya, meski status mereka sudah suami istri, tapi mereka memang jarang mengobrol secara santai. Rasanya aneh juga. Padahal, mereka kan pasangan yang sudah disatukan oleh ikatan pernikahan. Walaupun memang masih pernikahan siri. Tapi tetap harus bisa ngobrol santai soal banyak hal kan, batin Riana."Ini," David menunjukkan layar hapenya ke Riana. Tampak sebuah laman website berbahasa Inggris tentang mendidik anak."Pinjam ya?" Riana mengambil alih hape David. Dengan santai David memberikannya.Riana mulai membaca isi artikel itu. Seputar tentang cara memberi pengertian ke anak soal kematian orang tua tanpa perlu membuat ana
"Udah David," Riana membalikkan badannya yang polos. Segera dipungutinya kembali pakaian dalamnya yang berjatuhan di bawah.Buru-buru Riana memakainya. David membantu Riana memasang kembali hook bra-nya usai merapikan pakaiannya. Namun, bibirnya masih tetap nakal menciumi bahu dan bawah leher Riana."David, ih!" Riana mendorong wajah David lalu membalikkan badan. David hanya tertawa kecil lalu membalik badan Riana agar menghadap padanya. Kini dia membantu Riana mengancingkan pakaian."Udah rapi. Ayo tidur lagi," David menarik Riana agar segera naik ke atas kasur."Kamu tidur di tempatmu sana. Kan udah dikasih ekstra-bed sama rumah sakit.""Nggak. Aku mau di sini aja. Biar bisa peluk-peluk kamu," David langsung mendorong pelan Riana akan berbaring kembali ke kasur. Sebelum Riana sempat protes, dia sudah kembali mengunci Riana dalam pelukannya."Kamu ih. Emang nggak bisa dilawan ya," Riana mentowel hidung David."Nggak lah. Kamu nggak usah coba-coba ngelawan apalagi kabur dariku. Oke?"
Riana mengedepankan rambut panjangnya agar suster berhenti memandangi lehernya saat menyuntik dirinya. Pasti suster itu penasaran dengan tanda-tanda merah yang dibuat oleh David di ceruk lehernya semalam. Memang dasar David! Suka sekali membuat kiss mark di lehernya. Padahal, dia sudah pernah bilang untuk tidak membuat tanda seperti itu. Tapi yang namanya David pasti susah sekali diberitahu! Ih, dasar David jelek! omel Riana dalam hati."Gimana istri saya, Sus?" tanya David yang baru saja masuk ruang rawat inap Riana. David masuk dengan membawa tas berisi pakaian untuk Riana. Seingatnya hari ini Riana sudah bisa pulang ke rumah jika semua hasil pengecekan kesehatan dan kandungannya berjalan normal.Semalam, usai mereka bercumbu mesra, David memang langsung pergi lagi. Ada pekerjaan yang harus dilakukannya sekalian mempersiapkan kebutuhan Riana untuk hari ini. Tentu sebelum pergi, David sudah mengenakan kembali semua pakaian Riana seperti semula. Tanpa meninggalkan jejak percintaan me
"Hmm, ibuku masih di rumah sakit atau udah boleh pulang ke rumah David?" tanya Riana sekaligus mengalihkan topik pembicaraan."Masih di rumah sakit kok. Kamu takut aku ngebuang ibumu?" celetuk David."Nggaklah!" sahut Riana secepatnya," Aku percaya kamu David. Kamu nggak mungkin lakuin hal seperti itu."David tersenyum. Kepercayaan diri Riana membuat hatinya menjadi hangat. Padahal, orang lain pasti akan yakin dia akan membuang ibu Riana karena tidak disetujui untuk menikah."Baguslah.""David, kamu jangan mikir kayak gitu. Aku selalu percaya kalau kamu orang baik kok. Jadi nggak usah punya pikiran kalau aku bakal nuduh kamu lakuin yang jelek-jelek," terang Riana agar David juga percaya bahwa dirinya tak pernah berprasangka buruk pada David."Iya. Makanya aku bilang bagus," pungkas David menutup pembicaraan di antara mereka.Sesampainya di rumah, Riana memandang heran kondisi rumah yang cukup ramai. Tampak beberapa perempuan tua, wara wiri di dapur. Membantu Mbok Shinta memasak.Aroma
Sepanjang acara membaca doa, David hanya diam. Dia tak bisa mengikuti kegiatan berdoa itu sama sekali karena memang tak pernah belajar agama dengan benar. Walau begitu, dalam hati David selalu mengamini doa yang dilantunkan oleh jamaah pengajian yang diundangnya ke rumah. Semua ini David niatkan agar janin di tubuh istrinya benar-benar sehat.Sampai akhir pengajian, David begitu antusias berdoa. Riana yang menatap David dari belakang tersenyum senang. Entahlah. Rasanya melihat suaminya begitu khidmat berdoa menjadi kebahagiaan tersendiri.Pikiran Riana mengingat saat pertama kali dirinya bertemu dengan David. Walaupun wajahnya tampan, ekspresinya sangat galak. Sekali lihat, semua orang bisa tahu bahwa David adalah orang yang kasar dan mudah memukul orang lain jika tidak sepemikiran dengannya. Hal itulah yang dulu menjadi momok bagi Riana tatkala berada di sisi David.Namun, beberapa waktu bersama dengan David. Melalui berbagai banyak hal dengannya. Tak hanya dalam situasi menakutkan t