Karena kelelahan, Nara baru bangun ketika hari sudah sore. Setelah bangun, Zavier membawa perempuan itu bersantai di balkon. Keduanya layaknya suami istri yang saling mencintai, begitu romantis dengan menyempatkan diri mengisi waktu luang di balkon–berdua. Namun, bagi Nara ini adalah kekangan. Ini penjara! Dia tak boleh ke mana-mana, bahkan untuk berpindah tempat duduk dari sebelah Zavier pun, Nara tidak bisa. Zavier membaca buku bisnis, sangat bermanfaat dan positif vibes. Berbeda dengan Nara yang duduk di sebelahnya dengan sibuk bergosip dengan para teman satu geng's di grup pesan mereka. Setelah petang, Zavier mengajak Nara masuk dalam rumah. Lalu ketika malam, mereka makan bersama. Keanehan Nara rasakan ketika sudah memasuki kamar. Zavier tiba-tiba saja menyuruhnya mengganti pakain. "Wow, seksi sekali gaunnya," gumam Nara yang saat ini berada di walk in closet, menatap pantulan dirinya di sebuah cermin besar yang tersedia di sana. Sejujurnya Nara suka memakai pakaian terbuk
Zavier menatap lekat ke arah seorang perempuan yang saat ini masih berbaring, tertidur pulas dan begitu anggun. Wajahnya damai, polos dan tenang. Tak seperti tadi malam; marah, histeris dan memberontak parah. Bibir mungil itu bahkan beberapa kali melontarkan umpatan. Namun sekarang Nara-nya sangat tenang. Dia tidur seperti seorang tuan putri. Siapa sangka, putri yang anggun ini akan sangat barbar jika dia sudah bangun. "Cih." Zavier berdecis pelan, merasa geli ketika mengingat pemberontakan Nara tadi malam.Tangan Zavier terulur untuk menyentuh wajah istrinya. Sejenak jemarinya bermain di atas wajah Nara, menelusuri setiap pahatan sempurna di sana. Zavier meraih handphone miliknya yang berdering di atas nakas. Kenan menghubunginya. "Ada apa?" ucap Zavier datar. Satu tangannya masih bermain di wajah Nara, mengusap lembut alis istrinya. 'Semuanya sudah beres, Za. Dan hari ini pengumuman akan keluar,' lapor Kenan. "Humm." Zavier berdehem kemudian setelah itu mematikan sambungan te
"Kamu nggak ke kampus tetapi giliran ke tongkrongan, kamu bisa. Dasar!" ucap Karina pada Nara. Ini sudah sore dan Nara masih di sebuah cafe sekitar kampus, memilih tetep di sana karena dia enggan bertemu dengan Zavier. Tetapi sejujurnya jika dia di rumah, dia juga tidak akan bertemu dengan Zavier sebab suaminya tersebut sedang berada di kantornya--bekerja. "Aku malas," jawab Nara dengan nada ogah-ogahan. Saat ini dia sedang membalas pesan pada pelanggan gelangnya, ada banyak yang ingin membeli gelang padanya tetapi karena Nara belum bisa membuatnya untuk saat ini, Nara memilih menolak. Nara sudah membuat pengumuman jika dia akan tutup selama beberapa bulan ke depan karena Nara ingin fokus pada kuliahnya. Namun, beberapa pelanggannya tetep memesan."Hari ini pengumuman lokasi magang. Kau tidak penasaran kau ditempatkan di mana?" ucap Lex pada Nara. "Dimanapun aku ditempatkan, aku tidak peduli sama sekali," jawab Nara, lagi-lagi berucap malas. "Ouh iya, yang merah-merah dileher kam
"Hai, Kak Zavier," sapa Nara dengan manis setelah dia masuk dalam mobil. Dia takut dimarahi oleh pria ini oleh sebab itu dia memilih bersikap manis. Zavier tidak menjawab, melayangkan tatapan tajam ke arah Nara kemudian menyalakan mesin mobil–langsung pergi dari sana. 'Anjay, nggak dijawab. Dikacangi!' batin Nara, terdiam dengan tubuh tegang dan kaku. Matanya melotot panik dan jantungnya berdebar jauh lebih kencang dari yang sebelumnya. Setelah sampai di rumah pun Zavier masih mendiaminya. Zavier langsung memilih mandi sedangkan Nara bingung harus melakukan apa. "Ini yang namanya pernikahan? Wow, membosankan sekali," gumam Nara pelan, mendengus kesal kemudian keluar dari kamar.Nara ingin menonton televisi untuk menghilangkan rasa cemas atau canggung yang melandanya. Hidup berdua dengan Zavier adalah hal yang menegangkan bagi Nara. Dia penuh dengan perasaan canggung dan Nara merasa terbatas dalam melakukan apapun. Sejujurnya ini tak menyenangkan! Nara sudah mencari ruang televis
'Itu semua bohong, Ica …-'Nara begitu serius menonton serial India favoritnya, meskipun ini kali ketiga dia mengulang film tersebut tetapi Nara tetap suka. Hal yang paling Nara suka dari film seperti ini adalah bagian ketegangan serta dramatis yang disajikan. Belum lagi sound kematian 'din tanana din tanana din' yang selalu mengiringi adegan menegangkan. Walau ada adegan men-zoom para pemain setiap kali ada konflik dan biasanya durasinya lama, tetapi bagi Nara itu sangat seru. Jika teman-temannya suka Drakor, Nara suka film India. Apapun jenisnya. 'Hiks … Veer.' Perempuan dalam film tersebut menangis. Seperti yang Nara sebut sebelumya, si pemain akan di zoom berkali-kali--sampai membuat yang menonton pusing kepala. Nara tiba-tiba cengengesan. 'Nama suaminya si Veer. Nama suamiku Zavier. Ehehehe apakah aku Icha? Trus yang jadi Tap …-' "Ahck." Nara berhenti membantin, reflek meringis sakit ketika telinganya dijewer oleh seseorang. Cukup kuat dan itu sakit."Apaan sih, Anjir!! Lo ber
"Ekhmm." Zavier berdehem. Nara buru-buru menutup buku sketsanya lalu langsung menoleh panik ke arah Zavier. "Jadi aku seperti setan di matamu?" ujar Zavier rendah, memutar kursi Nara agar perempuan itu menghadap sepenuhnya ke arahnya. Kemudian Zavier mencondongkan tubuh, mengikis jarak antara dia dan Nara.Nara menggelengkan kepala secara panik. "Enggak, Kak, enggak," jawab Nara cepat. "Oh yah?" Zavier menaikkan sebelah alis. Dia merampas buku sketsa Nara lalu membuka gambar tadi, "ini?""Ah itu …-" Nara merampas buku tersebut lalu berniat menyembunyikannya. Akan tetapi Zavier lebih dulu mengambilnya, "Kak Zavier, bukuku mau dibawa ke ma …-" Brak'Zavier tidak mendengarkan perketaan Nara, keluar dari kamar dengan menutup pintu secara kuat. Nara hanya bisa menatap nanar pintu, dalam hati berdoa agar bukunya tidak dibuang oleh Zavier. ***Zavier sekarang berada di ruang kerjanya, melihat apa saja gambar yang telah Nara buat di buku ini. Buku sketsa ini sudah lama, jadi sudah banyak
"Bagus." Zavier menepuk-nepuk pelan pucuk kepala Nara, mengacak jua dengan ringan setelah itu beranjak dari sana–menbiarkan Nara untuk mengerjakan tugasnya. Nara menoleh pelan ke arah suaminya yang saat ini sudah duduk di ranjang. Nara menghela napas secara lega, syukurlah Zavier telah pergi. Hah, dia menahan napas ketika tadi pria itu berada di belakangnya. Nara sangat takut pada Zavier!Nara menoleh ke arah laptop, menatap pekerjaannya yang masih jalan setengah. Nara tiba-tiba saja menatap ke atas, memperhatikan anakan rambut sendiri. Mendadak seulas senyuman kecil muncul di bibirnya. Mengingat Zavier menyentuh rambutnya dan bahkan mengusapnya secara acak, entah kenapa Nara merasa senang. "Cik, aku sudah gila." Nara menepuk pelan bibirnya yang tersenyum, dia mendengus beberapa kali sembari berupaya mencegah sebuah perasaan senang dalam hatinya hanya karena rambutnya dipuk-puk oleh Zavier. "Haisss … aku kenapa sih?!" monolognya lagi, menggaruk pipi cukup kuat karena kesal dengan ha
"Kamu tidak apa-apa kan jika Abim punya pacar?""Cih." Nara berdecis geli, "jelas aku baik-baik saja dong. Ngapain aku harus kenapa-napa?""Oke, itu baru Nara." Lex mengacungkan jempol pada Nara, "tapi aku tidak setuju jika kamu bersikap baik pada Tamara. Perempuan itu perusak, dia bisa menghancurkan pertemanan kita, Nara." "Ya, jika hancur maka hancur saja, Lex." Nara berkata pelan, "aku memang punya feeling jika Tamara suatu saat akan mengadu domba antara kita. Tapi … terserah pada kalian, jika suatu saat dia mengadu domba kita, kalian punya pilihan ingin percaya padanya atau tidak. Kehancuran pertemanan ini bukan ada pada Tamara, tapi ada ditangan kita sendiri. Kita memilih terhasut padanya atau … tetep saling mempercayai. Jika hancur, berarti kita memang layak hancur."Mendengar perkataan Nara tersebut, Karina langsung menghentikan aktivitasnya. Dia postingan menatap Nara, sorotnya sendu dan raut mukanya cemas. Nara benar! Semua tergantung mereka, jika mereka saling mempercayai
"Sungguh kau tak ingin ku antar, Tuan?" tanya Bian. Alarich menganggukkan kepala kemudian segera masuk dalam mobil. Bian hanya menghela napas, mengacungkan pundak karena sudah tahu apa yang akan Alarich lakukan. Tentu saja mengikuti Aeera pulang. Ini sudah menjadi rutinitas Alarich semenjak Aeera bekerja di sini. Dan benar! Sekarang Alarich sedang memantau Aeera. Mobilnya tak jauh dari tempat Aeera menunggu taksi. "Sangat cantik," gumam Alarich, terus memandang gasdinya. Saat taksi datang dan Aeera masuk, Alarich langsung bersiap-siap untuk mengikuti. Tibanya di sebuah gang, Aeera turun. Begitu juga dengan Alarich. Biasanya Alarich hanya mengantar hingga gang ini karena mobilnya tak bisa masuk ke dalam. Bisa saja, tetapi gangnya cukup sempit dan Alarich tak suka ribet. Kali ini Alarich memutuskan turun, mengikuti Aeera dengan berjalan tak jauh dari belakang perempuan itu. Alarich perlu tahu seperti apa lingkungan pujaan hatinya tinggal dan seperti apa rumah yang Aeera tempati.
Semenjak hari pertama dia bertemu dengan Aeera, Alarich selalu mengawasi perempuan itu. Dia rasa dia telah jatuh cinta pada perempuan itu dan tergila-gila pada sosok gadis cantik itu. Tahun berganti dan Alarich semakin terjebak oleh perasaan yang dia miliki. Bukan hanya memiliki tingkah lucu, humoris dan menyenangkan, faktanya perempuan yang telah berhasil membuatnya jatuh cinta tersebut seorang yang bertanggung jawab pada pekerjaannya. Dia perempuan cerdas, kompeten dan kreatif. Alarich semakin tenggelam! Sialnya sudah jalan dua tahun lebih dia memantau Aeera, akan tetapi dia tak kunjung punya keberanian untuk mengutarakan perasaan. Hell! Mendekati Aeera secara terang-terangan saja dia tak berani. Pecundang! Alarich memang pecundang! Dulu dia pernah ditolak dan itu menghantui Alarich. Ditolak perempuan yang tak dia sukai saja rasanya sangat menjengkelkan. Apalagi jika Alarich ditolak oleh pujaan hatinya. Lebih sialnya, tiga bulan ini dia diluar negeri. Selain untuk mengurus
--Karl Alarich Adam & Aeera Grizella-- "Ck." Suara decakan kesal terdengar di bibir seorang pria yang sedang duduk di balik setir, sedang mengemudi. Pria tersebut begitu mempesona, sangat tampan dan berkarisma. Dia pria setuju pesona dan love dreams bagi banyak kaum hawa. Bukan hanya dianugerahi ketampanan, dia juga seorang yang sangat sukses–pengusaha yang ditakuti serta berasal dari keluarga terpandang. Hidupnya mendekati kata sempurna! Sayangnya, pria tampan ini digosibkan telah menyimpang. Karena diusia yang ke tiga puluh dua tahun, tak ada issue tentang dirinya yang berkencan dengan perempuan. Dia bersih dari gosip apapun mengenai lawan jenis sehingga banyak orang berspekulasi jika dia seorang homo. Sejujurnya dia bukan pria seperti yang digosibkan. Dia hanya tidak punya waktu untuk meladeni kaum hawa, serta-- fakta jika dia pernah ditolak seseorang. Itulah yang membuat pria tampan ini memilih hidup sendiri–tanpa pasangan. Dertttt' Suara handphone berdering, dia menoleh lal
Hari yang ditunggu pun tiba, Nathan dan Zendaya melangsungkan pernikahan dengan meriah. Sekarang, keduanya telah sah menjadi sepasang suami istri. Keluarga besar Nathan–dari sang Mama, terlihat begitu bahagia. Begitu juga dengan keluarga Zendaya yang penuh suka cita serta keharuan. Tristan dan istri keduanya, maupun Angel tak diundang. Sekalipun mereka ingin mengacau, mereka tidak bisa karena pernikahan Nathan dilakukan di sebuah hotel mewah, dijaga ketat oleh banyak penjaga. Mereka diblacklist dari daftar tamu undangan, sesuai permintaan Preya–yang masih memiliki dendam pada suaminya. Preya juga tidak mau hari bahagia putranya rusak oleh kehadiran Erika dan putrinya. Lagipula makhluk gatal seperti mereka, tak pantas menghadiri acara putranya. Sejak tadi, Danzel terus memandang ke arah adiknya–memperhatikannya dengan lekat. Tatapannya begitu sendu, manik berkaca-kaca sebab merasa sedih tanpa sebab. Sewaktu kecil hingga dia besar, adiknya selalu menyusahkannya. Anak itu cerewet dan p
Sedangkan Victoria yang sudah buntu, menatap penuh harap pada Liora. "Liora, apa kamu bersedia menikah dengan adikku? Apapun akan kuberi padamu asal kamu bersedia membantuku untuk menikah dengan Devson." Liora termenung, menundukkan kepala dengan raut muka sedih. Sedangkan Lachi yang memahami perasaan perempuan itu memilih diam, dia takut salah bicara. Namun, mengejutkannya tiba-tiba saja Liora menganggukkan kepala. "Aku bersedia. Tapi … bawa aku pergi dari sini," ucap Liora, menatap Victoria dengan sendu. "Se-sebenarnya aku sedang bersembunyi dari Angel. Kemarin dia menjebak Tuan Danzel dengan sebuah obat terlarang. Aku tidak tahu apa yang terjadi secara lengkap, tetapi Angel sendiri yang berakhir meminum minuman itu. Dia menghubungiku untuk menyelamatkannya dan aku …-Liora terdiam sejenak. Lachi menggaruk pipi tak enak karena sejujurnya dia tahu kenapa Angel lah yang berakhir meminum jebakannya sendiri. Dia bahkan mendengar percakapan Liora dengan Angel, dan dari sana Lachi bisa
"Karena kebaikan hatinya, Tristan membawa Erika dan putrinya ke rumah. Awal, dia menjadikan Erika sebagai pelayan di rumah kami," cerita Preya pada Nara, mengenai kedatangan Erika dan Angel di keluarga Luis. Nara yang lebih dulu mengungkit Erika, yang ternyata pernah berniat merusak keluarga Nara dan Zavier. Lalu Erika dipecat, diblacklist dari perusahaan manapun serta dari tempat kerja yang berada dinaungan perusahaan Adam. Mendengar itu, Erika tak menyangka. Dia kira Erika yang Nara katakan berbeda dari Erika yang ada di keluarga Luis. Namun, itu Erika yang sama. "Dari awal aku tidak pernah suka pada Erika, sejak Tristan membawanya ke rumah. Katakanlah aku perempuan yang cemburuan. Namun, aku hanya mengikuti feeling sebagai seorang istri dan perempuan yang mencintai suaminya. Benar saja, perempuan itu tidak baik dan dia berhasil menghancurkan rumah tanggaku. Aku tidak menyalahkan dia sepenuhnya, perpisahanku dengan Tristan juga terjadi karena Tristan sendiri. Coba saja dia tegas,
"Dalam rangka apa kau memberiku bunga, Mochi?" tanya Danzel, mengecup kening Lachi. Setelah sebelumnya sang istri menyalam tangannya. "Dalam rangka mencintai Habibi," jawab Lachi dengan nada jelas, nyengir setelahnya karena dia malu-malu. Sial. Padahal dia sudah berlatih berjam-jam di depan cermin. Hanya agar terkesan anggun, tak malu-malu serta tak gugup sedikitpun ketika memberikan hadiah berupa buket bunga primrose ini pada sang suami. Namun nyatanya dia tetap gugup dan malu. "Hum?" Danzel menaikkan sebelah alis, langsung menggendong istrinya secara bridal style–membawa istrinya ke kamar. Ah, masa bodo jika Lachi bermaksud menciptakan adegan romantis. Sungguh, persetan! Toh, di mata Danzel, istrinya tetap terlihat tengah menggodanya. Yah, ini godaan yang manis! Danzel meletakkan bunga pemberian Lachi di atas nakas kemudian membaringkan istrinya di ranjang. "Habibi, tunggu! A-adegan ini tidak ada dalam skenario hayalanku. Harusnya bukan begini. Menjauh dulu," pekik Lachi, meng
"A--aku hanya iseng, tidak ada artinya kok." 'Cinta terpendam.' batin Nathan, terkekeh pelan sembari mengacak pucuk kepala Zendaya secara gemas. Nathan tahu artinya karena salah satu kalung yang dia berikan pada Zendaya–setiap ulang tahunnya, punya bandul bunga mawar putih. Hampir saja dia lupa akan hal itu, dan untuknya dia mengingat. Namun, benarkah Zendaya memberikan kalung ini atas dasar ungkapan cinta terpendam yang perempuan ini rasakan padanya? Atau memang hanya iseng? ***"Nyonya Xavier."Mendengar namanya di panggil, Lachi yang sedang memilih bunga langsung menoleh ke arah seseorang yang memanggilnya. Lachi mengerutkan kening, bingung dan cukup aneh melihat Liora bersama Victoria mendatanginya. "Oh, iya?" ucap Lachi, meletakkan bunga primrose ke tempat semula. Dia menghadap kepada Victoria dan Liora yang telah berada di sebelahnya. "Nyonya sedang membeli bunga untuk Tuan yah?" tanya Liora sembari tersenyum canggung. Lachi membalas dengan senyum tipis, menganggukkan kep
Tangan Donita terangkat ke arah Zendaya, melayang untuk menampar pipi Zendaya. Namun, pergelangan tangannya tertahan. Bahkan dihempas kasar lalu berakhir dirinya yang terkena tamparan. Plak'"Ahck." Donita menoleh kasar ke sebelah, segera memengang pipi yang terkena tamparan. Donita mendongak, menatap seseorang yang telah menampar pipinya dengan sangat kuat–tak punya hati. "Nathan?" pekik Donita tak percaya, menatap sosok pria tinggi yang berada di sebelah Zendaya. Zendaya menoleh ke arah sebelahnya, mendongak untuk melihat Nathan. Pria tersenyum memasang mimik dingin, melayangkan tatapan tajam yang menghunus tepat ke arah Donita. "Kau akan mendapat yang lebih buruk dari ini jika seandainya tanganmu menyentuh kulit wanitaku," ucap Nathan dingin, mengatupkan rahang–menahan gejolak marah karena perempuan ini berniat menyakiti Zendaya.Zendaya yang masih syok karena Donita berniat menamparnya kemudian tiba-tiba ada Nathan di sini yang mengambil peran melindunginya. Kini semakin syok