"Ekhmm." Zavier berdehem. Nara buru-buru menutup buku sketsanya lalu langsung menoleh panik ke arah Zavier. "Jadi aku seperti setan di matamu?" ujar Zavier rendah, memutar kursi Nara agar perempuan itu menghadap sepenuhnya ke arahnya. Kemudian Zavier mencondongkan tubuh, mengikis jarak antara dia dan Nara.Nara menggelengkan kepala secara panik. "Enggak, Kak, enggak," jawab Nara cepat. "Oh yah?" Zavier menaikkan sebelah alis. Dia merampas buku sketsa Nara lalu membuka gambar tadi, "ini?""Ah itu …-" Nara merampas buku tersebut lalu berniat menyembunyikannya. Akan tetapi Zavier lebih dulu mengambilnya, "Kak Zavier, bukuku mau dibawa ke ma …-" Brak'Zavier tidak mendengarkan perketaan Nara, keluar dari kamar dengan menutup pintu secara kuat. Nara hanya bisa menatap nanar pintu, dalam hati berdoa agar bukunya tidak dibuang oleh Zavier. ***Zavier sekarang berada di ruang kerjanya, melihat apa saja gambar yang telah Nara buat di buku ini. Buku sketsa ini sudah lama, jadi sudah banyak
"Bagus." Zavier menepuk-nepuk pelan pucuk kepala Nara, mengacak jua dengan ringan setelah itu beranjak dari sana–menbiarkan Nara untuk mengerjakan tugasnya. Nara menoleh pelan ke arah suaminya yang saat ini sudah duduk di ranjang. Nara menghela napas secara lega, syukurlah Zavier telah pergi. Hah, dia menahan napas ketika tadi pria itu berada di belakangnya. Nara sangat takut pada Zavier!Nara menoleh ke arah laptop, menatap pekerjaannya yang masih jalan setengah. Nara tiba-tiba saja menatap ke atas, memperhatikan anakan rambut sendiri. Mendadak seulas senyuman kecil muncul di bibirnya. Mengingat Zavier menyentuh rambutnya dan bahkan mengusapnya secara acak, entah kenapa Nara merasa senang. "Cik, aku sudah gila." Nara menepuk pelan bibirnya yang tersenyum, dia mendengus beberapa kali sembari berupaya mencegah sebuah perasaan senang dalam hatinya hanya karena rambutnya dipuk-puk oleh Zavier. "Haisss … aku kenapa sih?!" monolognya lagi, menggaruk pipi cukup kuat karena kesal dengan ha
"Kamu tidak apa-apa kan jika Abim punya pacar?""Cih." Nara berdecis geli, "jelas aku baik-baik saja dong. Ngapain aku harus kenapa-napa?""Oke, itu baru Nara." Lex mengacungkan jempol pada Nara, "tapi aku tidak setuju jika kamu bersikap baik pada Tamara. Perempuan itu perusak, dia bisa menghancurkan pertemanan kita, Nara." "Ya, jika hancur maka hancur saja, Lex." Nara berkata pelan, "aku memang punya feeling jika Tamara suatu saat akan mengadu domba antara kita. Tapi … terserah pada kalian, jika suatu saat dia mengadu domba kita, kalian punya pilihan ingin percaya padanya atau tidak. Kehancuran pertemanan ini bukan ada pada Tamara, tapi ada ditangan kita sendiri. Kita memilih terhasut padanya atau … tetep saling mempercayai. Jika hancur, berarti kita memang layak hancur."Mendengar perkataan Nara tersebut, Karina langsung menghentikan aktivitasnya. Dia postingan menatap Nara, sorotnya sendu dan raut mukanya cemas. Nara benar! Semua tergantung mereka, jika mereka saling mempercayai
"Hadir, Pak-- Mas, Kak," jawab manekin tersebut spontan, membuat Sereya dan pengunjung lain kaget luar biasa. "Nara?!" pekik Sereya kaget, melototkan mata menatap adiknya yang berdiri di sebelah manekin pria. Nara nyengir lebar, menatap kakaknya dan Zavier secara bergantian. Hatinya meringis menatap Zavier dan Sereya yang jalan berduaan dari jarak dekat, tetapi raut mukanya sangat tak mendukung–terpasang begitu konyol dan kaku.Zavier menatap tangan mungil Nara yang menggenggam tangan manekin pria di sebelahnya. Zavier mendekati Nara, memukul pelan punggung tangan istrinya yang menggenggam tangan manekin laki-laki tersebut kemudian segera menarik Nara untuk menjauh dari sana. 'Kasar sekali.' batin Nara, mengusap punggung tangannya yang dipukul oleh Zavier sembari menatap berang ke arah laki-laki tersebut. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Zavier dengan nada dingin, menatap tajam ke arah istrinya. "Membeli ini," jawab Nara sembari menunjukkan belanjaannya pada Zavier. "Cik."
Setelah berbelanja, Sereya pamit dsn dia pulang dengan Kenan. Sekarang Nara bersama Zavier, pria itu akan mengantarnya pulang. Dug'Nara membuka pintu mobil secara kasar kemudian langsung duduk di dalam. Dia sangat dongkol, moodnya hilang karena harus terjebak dengan Zavier dan Sereya. Bukan hanya staf di toko tadi yang mengatakan suaminya serasi dengan Sereya, masih banyak orang lain yang mengatakan Sereya dan Zavier serasi. 'Kalau mereka serasi, kenapa bukan mereka saja yang menikah, Tuhan? Kenapa aku?!' keluh Nara, duduk menyender di dalam mobil. Dia menyalakan AC mobil lalu memasang kipas wajah. Sial! Bagi Nara ini terlalu panas dan apinya terlalu besar--terlalu menyala dan membakar. Klek'Tiba-tiba pintu mobil dibuka, sontak Nara menoleh ke arah seseorang yang membuka pintu–menatap berang ke arah Zavier. "Pindah," ucap pria itu dengan datar. Nara menggaruk pipi, menatap ke arah lain sekilas kemudian kembali menatap Zavier. "Pindah kemana, Kak?" "Ke depan," ucap Zavier singk
Dia langsung turun dari ranjang, menatap Zavier dengan raut muka bercampur aduk. "Selamat malam, Mas--Kak," sapa Nara, nyengir lebar ke arah Zavier. Dia sangat gugup dan takut, sialnya dia tidak bisa mengetahui apakah Zavier marah atau tidak. Wajah pria ini terlalu flat. Zavier melangkah masuk dalam kamar. Sejenak dia memperhatikan kekacauan yang Nara buat di kamar, dia menghela napas lalu mengambil sebuah laptop yang terletak begitu saja–terbuka dan menghadap ranjang. "Aa-- tunggu, Kak." Nara berlari cepat ke arah Zavier lalu merebut laptop tersebut dari suaminya. Pada layar terdapat gambar wajah Zavier, Nara menggunakannya sebagai penonton konsernya tadi. Jika Zavier tahu maka Nara bisa dalam masalah besar. "Aku akan membereskan kamar. Kakak tidak perlu melakukannya," ucap Nara kemudian. "Silahkan. Rapikan seperti semula," ucap Zavier datar, berjalan ke arah ranjang dan memilih duduk di sana. Nara mulai membersihkan kamar, merapikan kekacauan yang dia buat. Nara membereskan bo
Zavier mengerutkan kening, memperhatikan istrinya secara lekat. Apa hubungan petir dengan Nara magang di perusahaannya? "Kata nenek nenek dulu, kalau satu keluarga berada di satu tempat yang sama, mereka bisa disambar petir," kejas Nara, menjawab kebingungan Zavier. "Huh." Zavier mendengus. Sudah dia duga, hanya bagian dari pikiran absurd istrinya. Tuk' Zavier menyentil kening Nara cukup kuat kemudian menatap datar ke arah istrinya yang saat ini menduselkan kening ke lutut Zavier. Tangan Nara ditahan oleh Zavier jadi dia tidak punya tempat untuk mengusap kening, dan kebetulan lutut suaminya menganggur. "Anak sepertimu lumayan berbahaya jika dibiarkan berkeliaran di tempat asing. Sudah benar aku menempatkanmu di perusahaan Daddy," ucap Zavier datar, masih menatap intens pada Nara. Melihat tingkah Nara yang seperti ini, memang sudah tepat jika dia menempatkan istrinya di perusahaannya. Dengan begitu Zavier bisa mengawasi Nara, sekaligus mendidik perempuan ini agar membentuk karakt
Setelah mengobrol singkat dengan dosen pembimbing lapangan istrinya, Zavier beranjak dari ruangan tersebut. Dia berniat kembali ke ruangannya untuk menemui Kenan dan Nara, tetapi langkah Zavier terhenti secara tiba-tiba. Zavier mengamati seorang perempuan yang mengomel tak jelas di depannya. "Argkkk … aku tidak menyangka aku ditolak masuk ke perusahaan ini hanya karena aku make lipstik merah menyala. Apa yang salah dengan lipstik merah? Sialan, siapa sih yang bikin peraturan bodoh ini? Sebagai perempuan, aku merasa terdiskriminasi. Cik," omel perempuan tersebut dengan nada jengkel. Tanpa dia sadari dan ketahui pemilik perusahaan ini memperhatikannya dan tengah tersenyum tipis ke arahnya. "Aku yang membuat peraturan," sahut suara bariton yang seksi dari bekalangnya, membuat perempuan tersebut menoleh kagat. Dengan mudah perempuan tersebut mengenali siapa laki-laki dihadapannya. Akan tetapi dia menahan diri dan berupaya untuk tenang. "Amanda," sapa Zavier tenang, menatap datar pad
"Sungguh kau tak ingin ku antar, Tuan?" tanya Bian. Alarich menganggukkan kepala kemudian segera masuk dalam mobil. Bian hanya menghela napas, mengacungkan pundak karena sudah tahu apa yang akan Alarich lakukan. Tentu saja mengikuti Aeera pulang. Ini sudah menjadi rutinitas Alarich semenjak Aeera bekerja di sini. Dan benar! Sekarang Alarich sedang memantau Aeera. Mobilnya tak jauh dari tempat Aeera menunggu taksi. "Sangat cantik," gumam Alarich, terus memandang gasdinya. Saat taksi datang dan Aeera masuk, Alarich langsung bersiap-siap untuk mengikuti. Tibanya di sebuah gang, Aeera turun. Begitu juga dengan Alarich. Biasanya Alarich hanya mengantar hingga gang ini karena mobilnya tak bisa masuk ke dalam. Bisa saja, tetapi gangnya cukup sempit dan Alarich tak suka ribet. Kali ini Alarich memutuskan turun, mengikuti Aeera dengan berjalan tak jauh dari belakang perempuan itu. Alarich perlu tahu seperti apa lingkungan pujaan hatinya tinggal dan seperti apa rumah yang Aeera tempati.
Semenjak hari pertama dia bertemu dengan Aeera, Alarich selalu mengawasi perempuan itu. Dia rasa dia telah jatuh cinta pada perempuan itu dan tergila-gila pada sosok gadis cantik itu. Tahun berganti dan Alarich semakin terjebak oleh perasaan yang dia miliki. Bukan hanya memiliki tingkah lucu, humoris dan menyenangkan, faktanya perempuan yang telah berhasil membuatnya jatuh cinta tersebut seorang yang bertanggung jawab pada pekerjaannya. Dia perempuan cerdas, kompeten dan kreatif. Alarich semakin tenggelam! Sialnya sudah jalan dua tahun lebih dia memantau Aeera, akan tetapi dia tak kunjung punya keberanian untuk mengutarakan perasaan. Hell! Mendekati Aeera secara terang-terangan saja dia tak berani. Pecundang! Alarich memang pecundang! Dulu dia pernah ditolak dan itu menghantui Alarich. Ditolak perempuan yang tak dia sukai saja rasanya sangat menjengkelkan. Apalagi jika Alarich ditolak oleh pujaan hatinya. Lebih sialnya, tiga bulan ini dia diluar negeri. Selain untuk mengurus
--Karl Alarich Adam & Aeera Grizella-- "Ck." Suara decakan kesal terdengar di bibir seorang pria yang sedang duduk di balik setir, sedang mengemudi. Pria tersebut begitu mempesona, sangat tampan dan berkarisma. Dia pria setuju pesona dan love dreams bagi banyak kaum hawa. Bukan hanya dianugerahi ketampanan, dia juga seorang yang sangat sukses–pengusaha yang ditakuti serta berasal dari keluarga terpandang. Hidupnya mendekati kata sempurna! Sayangnya, pria tampan ini digosibkan telah menyimpang. Karena diusia yang ke tiga puluh dua tahun, tak ada issue tentang dirinya yang berkencan dengan perempuan. Dia bersih dari gosip apapun mengenai lawan jenis sehingga banyak orang berspekulasi jika dia seorang homo. Sejujurnya dia bukan pria seperti yang digosibkan. Dia hanya tidak punya waktu untuk meladeni kaum hawa, serta-- fakta jika dia pernah ditolak seseorang. Itulah yang membuat pria tampan ini memilih hidup sendiri–tanpa pasangan. Dertttt' Suara handphone berdering, dia menoleh lal
Hari yang ditunggu pun tiba, Nathan dan Zendaya melangsungkan pernikahan dengan meriah. Sekarang, keduanya telah sah menjadi sepasang suami istri. Keluarga besar Nathan–dari sang Mama, terlihat begitu bahagia. Begitu juga dengan keluarga Zendaya yang penuh suka cita serta keharuan. Tristan dan istri keduanya, maupun Angel tak diundang. Sekalipun mereka ingin mengacau, mereka tidak bisa karena pernikahan Nathan dilakukan di sebuah hotel mewah, dijaga ketat oleh banyak penjaga. Mereka diblacklist dari daftar tamu undangan, sesuai permintaan Preya–yang masih memiliki dendam pada suaminya. Preya juga tidak mau hari bahagia putranya rusak oleh kehadiran Erika dan putrinya. Lagipula makhluk gatal seperti mereka, tak pantas menghadiri acara putranya. Sejak tadi, Danzel terus memandang ke arah adiknya–memperhatikannya dengan lekat. Tatapannya begitu sendu, manik berkaca-kaca sebab merasa sedih tanpa sebab. Sewaktu kecil hingga dia besar, adiknya selalu menyusahkannya. Anak itu cerewet dan p
Sedangkan Victoria yang sudah buntu, menatap penuh harap pada Liora. "Liora, apa kamu bersedia menikah dengan adikku? Apapun akan kuberi padamu asal kamu bersedia membantuku untuk menikah dengan Devson." Liora termenung, menundukkan kepala dengan raut muka sedih. Sedangkan Lachi yang memahami perasaan perempuan itu memilih diam, dia takut salah bicara. Namun, mengejutkannya tiba-tiba saja Liora menganggukkan kepala. "Aku bersedia. Tapi … bawa aku pergi dari sini," ucap Liora, menatap Victoria dengan sendu. "Se-sebenarnya aku sedang bersembunyi dari Angel. Kemarin dia menjebak Tuan Danzel dengan sebuah obat terlarang. Aku tidak tahu apa yang terjadi secara lengkap, tetapi Angel sendiri yang berakhir meminum minuman itu. Dia menghubungiku untuk menyelamatkannya dan aku …-Liora terdiam sejenak. Lachi menggaruk pipi tak enak karena sejujurnya dia tahu kenapa Angel lah yang berakhir meminum jebakannya sendiri. Dia bahkan mendengar percakapan Liora dengan Angel, dan dari sana Lachi bisa
"Karena kebaikan hatinya, Tristan membawa Erika dan putrinya ke rumah. Awal, dia menjadikan Erika sebagai pelayan di rumah kami," cerita Preya pada Nara, mengenai kedatangan Erika dan Angel di keluarga Luis. Nara yang lebih dulu mengungkit Erika, yang ternyata pernah berniat merusak keluarga Nara dan Zavier. Lalu Erika dipecat, diblacklist dari perusahaan manapun serta dari tempat kerja yang berada dinaungan perusahaan Adam. Mendengar itu, Erika tak menyangka. Dia kira Erika yang Nara katakan berbeda dari Erika yang ada di keluarga Luis. Namun, itu Erika yang sama. "Dari awal aku tidak pernah suka pada Erika, sejak Tristan membawanya ke rumah. Katakanlah aku perempuan yang cemburuan. Namun, aku hanya mengikuti feeling sebagai seorang istri dan perempuan yang mencintai suaminya. Benar saja, perempuan itu tidak baik dan dia berhasil menghancurkan rumah tanggaku. Aku tidak menyalahkan dia sepenuhnya, perpisahanku dengan Tristan juga terjadi karena Tristan sendiri. Coba saja dia tegas,
"Dalam rangka apa kau memberiku bunga, Mochi?" tanya Danzel, mengecup kening Lachi. Setelah sebelumnya sang istri menyalam tangannya. "Dalam rangka mencintai Habibi," jawab Lachi dengan nada jelas, nyengir setelahnya karena dia malu-malu. Sial. Padahal dia sudah berlatih berjam-jam di depan cermin. Hanya agar terkesan anggun, tak malu-malu serta tak gugup sedikitpun ketika memberikan hadiah berupa buket bunga primrose ini pada sang suami. Namun nyatanya dia tetap gugup dan malu. "Hum?" Danzel menaikkan sebelah alis, langsung menggendong istrinya secara bridal style–membawa istrinya ke kamar. Ah, masa bodo jika Lachi bermaksud menciptakan adegan romantis. Sungguh, persetan! Toh, di mata Danzel, istrinya tetap terlihat tengah menggodanya. Yah, ini godaan yang manis! Danzel meletakkan bunga pemberian Lachi di atas nakas kemudian membaringkan istrinya di ranjang. "Habibi, tunggu! A-adegan ini tidak ada dalam skenario hayalanku. Harusnya bukan begini. Menjauh dulu," pekik Lachi, meng
"A--aku hanya iseng, tidak ada artinya kok." 'Cinta terpendam.' batin Nathan, terkekeh pelan sembari mengacak pucuk kepala Zendaya secara gemas. Nathan tahu artinya karena salah satu kalung yang dia berikan pada Zendaya–setiap ulang tahunnya, punya bandul bunga mawar putih. Hampir saja dia lupa akan hal itu, dan untuknya dia mengingat. Namun, benarkah Zendaya memberikan kalung ini atas dasar ungkapan cinta terpendam yang perempuan ini rasakan padanya? Atau memang hanya iseng? ***"Nyonya Xavier."Mendengar namanya di panggil, Lachi yang sedang memilih bunga langsung menoleh ke arah seseorang yang memanggilnya. Lachi mengerutkan kening, bingung dan cukup aneh melihat Liora bersama Victoria mendatanginya. "Oh, iya?" ucap Lachi, meletakkan bunga primrose ke tempat semula. Dia menghadap kepada Victoria dan Liora yang telah berada di sebelahnya. "Nyonya sedang membeli bunga untuk Tuan yah?" tanya Liora sembari tersenyum canggung. Lachi membalas dengan senyum tipis, menganggukkan kep
Tangan Donita terangkat ke arah Zendaya, melayang untuk menampar pipi Zendaya. Namun, pergelangan tangannya tertahan. Bahkan dihempas kasar lalu berakhir dirinya yang terkena tamparan. Plak'"Ahck." Donita menoleh kasar ke sebelah, segera memengang pipi yang terkena tamparan. Donita mendongak, menatap seseorang yang telah menampar pipinya dengan sangat kuat–tak punya hati. "Nathan?" pekik Donita tak percaya, menatap sosok pria tinggi yang berada di sebelah Zendaya. Zendaya menoleh ke arah sebelahnya, mendongak untuk melihat Nathan. Pria tersenyum memasang mimik dingin, melayangkan tatapan tajam yang menghunus tepat ke arah Donita. "Kau akan mendapat yang lebih buruk dari ini jika seandainya tanganmu menyentuh kulit wanitaku," ucap Nathan dingin, mengatupkan rahang–menahan gejolak marah karena perempuan ini berniat menyakiti Zendaya.Zendaya yang masih syok karena Donita berniat menamparnya kemudian tiba-tiba ada Nathan di sini yang mengambil peran melindunginya. Kini semakin syok