Zavier menatap lekat ke arah seorang perempuan yang saat ini masih berbaring, tertidur pulas dan begitu anggun. Wajahnya damai, polos dan tenang. Tak seperti tadi malam; marah, histeris dan memberontak parah. Bibir mungil itu bahkan beberapa kali melontarkan umpatan. Namun sekarang Nara-nya sangat tenang. Dia tidur seperti seorang tuan putri. Siapa sangka, putri yang anggun ini akan sangat barbar jika dia sudah bangun. "Cih." Zavier berdecis pelan, merasa geli ketika mengingat pemberontakan Nara tadi malam.Tangan Zavier terulur untuk menyentuh wajah istrinya. Sejenak jemarinya bermain di atas wajah Nara, menelusuri setiap pahatan sempurna di sana. Zavier meraih handphone miliknya yang berdering di atas nakas. Kenan menghubunginya. "Ada apa?" ucap Zavier datar. Satu tangannya masih bermain di wajah Nara, mengusap lembut alis istrinya. 'Semuanya sudah beres, Za. Dan hari ini pengumuman akan keluar,' lapor Kenan. "Humm." Zavier berdehem kemudian setelah itu mematikan sambungan te
"Kamu nggak ke kampus tetapi giliran ke tongkrongan, kamu bisa. Dasar!" ucap Karina pada Nara. Ini sudah sore dan Nara masih di sebuah cafe sekitar kampus, memilih tetep di sana karena dia enggan bertemu dengan Zavier. Tetapi sejujurnya jika dia di rumah, dia juga tidak akan bertemu dengan Zavier sebab suaminya tersebut sedang berada di kantornya--bekerja. "Aku malas," jawab Nara dengan nada ogah-ogahan. Saat ini dia sedang membalas pesan pada pelanggan gelangnya, ada banyak yang ingin membeli gelang padanya tetapi karena Nara belum bisa membuatnya untuk saat ini, Nara memilih menolak. Nara sudah membuat pengumuman jika dia akan tutup selama beberapa bulan ke depan karena Nara ingin fokus pada kuliahnya. Namun, beberapa pelanggannya tetep memesan."Hari ini pengumuman lokasi magang. Kau tidak penasaran kau ditempatkan di mana?" ucap Lex pada Nara. "Dimanapun aku ditempatkan, aku tidak peduli sama sekali," jawab Nara, lagi-lagi berucap malas. "Ouh iya, yang merah-merah dileher kam
"Hai, Kak Zavier," sapa Nara dengan manis setelah dia masuk dalam mobil. Dia takut dimarahi oleh pria ini oleh sebab itu dia memilih bersikap manis. Zavier tidak menjawab, melayangkan tatapan tajam ke arah Nara kemudian menyalakan mesin mobil–langsung pergi dari sana. 'Anjay, nggak dijawab. Dikacangi!' batin Nara, terdiam dengan tubuh tegang dan kaku. Matanya melotot panik dan jantungnya berdebar jauh lebih kencang dari yang sebelumnya. Setelah sampai di rumah pun Zavier masih mendiaminya. Zavier langsung memilih mandi sedangkan Nara bingung harus melakukan apa. "Ini yang namanya pernikahan? Wow, membosankan sekali," gumam Nara pelan, mendengus kesal kemudian keluar dari kamar.Nara ingin menonton televisi untuk menghilangkan rasa cemas atau canggung yang melandanya. Hidup berdua dengan Zavier adalah hal yang menegangkan bagi Nara. Dia penuh dengan perasaan canggung dan Nara merasa terbatas dalam melakukan apapun. Sejujurnya ini tak menyenangkan! Nara sudah mencari ruang televis
'Itu semua bohong, Ica …-'Nara begitu serius menonton serial India favoritnya, meskipun ini kali ketiga dia mengulang film tersebut tetapi Nara tetap suka. Hal yang paling Nara suka dari film seperti ini adalah bagian ketegangan serta dramatis yang disajikan. Belum lagi sound kematian 'din tanana din tanana din' yang selalu mengiringi adegan menegangkan. Walau ada adegan men-zoom para pemain setiap kali ada konflik dan biasanya durasinya lama, tetapi bagi Nara itu sangat seru. Jika teman-temannya suka Drakor, Nara suka film India. Apapun jenisnya. 'Hiks … Veer.' Perempuan dalam film tersebut menangis. Seperti yang Nara sebut sebelumya, si pemain akan di zoom berkali-kali--sampai membuat yang menonton pusing kepala. Nara tiba-tiba cengengesan. 'Nama suaminya si Veer. Nama suamiku Zavier. Ehehehe apakah aku Icha? Trus yang jadi Tap …-' "Ahck." Nara berhenti membantin, reflek meringis sakit ketika telinganya dijewer oleh seseorang. Cukup kuat dan itu sakit."Apaan sih, Anjir!! Lo ber
"Ekhmm." Zavier berdehem. Nara buru-buru menutup buku sketsanya lalu langsung menoleh panik ke arah Zavier. "Jadi aku seperti setan di matamu?" ujar Zavier rendah, memutar kursi Nara agar perempuan itu menghadap sepenuhnya ke arahnya. Kemudian Zavier mencondongkan tubuh, mengikis jarak antara dia dan Nara.Nara menggelengkan kepala secara panik. "Enggak, Kak, enggak," jawab Nara cepat. "Oh yah?" Zavier menaikkan sebelah alis. Dia merampas buku sketsa Nara lalu membuka gambar tadi, "ini?""Ah itu …-" Nara merampas buku tersebut lalu berniat menyembunyikannya. Akan tetapi Zavier lebih dulu mengambilnya, "Kak Zavier, bukuku mau dibawa ke ma …-" Brak'Zavier tidak mendengarkan perketaan Nara, keluar dari kamar dengan menutup pintu secara kuat. Nara hanya bisa menatap nanar pintu, dalam hati berdoa agar bukunya tidak dibuang oleh Zavier. ***Zavier sekarang berada di ruang kerjanya, melihat apa saja gambar yang telah Nara buat di buku ini. Buku sketsa ini sudah lama, jadi sudah banyak
"Bagus." Zavier menepuk-nepuk pelan pucuk kepala Nara, mengacak jua dengan ringan setelah itu beranjak dari sana–menbiarkan Nara untuk mengerjakan tugasnya. Nara menoleh pelan ke arah suaminya yang saat ini sudah duduk di ranjang. Nara menghela napas secara lega, syukurlah Zavier telah pergi. Hah, dia menahan napas ketika tadi pria itu berada di belakangnya. Nara sangat takut pada Zavier!Nara menoleh ke arah laptop, menatap pekerjaannya yang masih jalan setengah. Nara tiba-tiba saja menatap ke atas, memperhatikan anakan rambut sendiri. Mendadak seulas senyuman kecil muncul di bibirnya. Mengingat Zavier menyentuh rambutnya dan bahkan mengusapnya secara acak, entah kenapa Nara merasa senang. "Cik, aku sudah gila." Nara menepuk pelan bibirnya yang tersenyum, dia mendengus beberapa kali sembari berupaya mencegah sebuah perasaan senang dalam hatinya hanya karena rambutnya dipuk-puk oleh Zavier. "Haisss … aku kenapa sih?!" monolognya lagi, menggaruk pipi cukup kuat karena kesal dengan ha
"Kamu tidak apa-apa kan jika Abim punya pacar?""Cih." Nara berdecis geli, "jelas aku baik-baik saja dong. Ngapain aku harus kenapa-napa?""Oke, itu baru Nara." Lex mengacungkan jempol pada Nara, "tapi aku tidak setuju jika kamu bersikap baik pada Tamara. Perempuan itu perusak, dia bisa menghancurkan pertemanan kita, Nara." "Ya, jika hancur maka hancur saja, Lex." Nara berkata pelan, "aku memang punya feeling jika Tamara suatu saat akan mengadu domba antara kita. Tapi … terserah pada kalian, jika suatu saat dia mengadu domba kita, kalian punya pilihan ingin percaya padanya atau tidak. Kehancuran pertemanan ini bukan ada pada Tamara, tapi ada ditangan kita sendiri. Kita memilih terhasut padanya atau … tetep saling mempercayai. Jika hancur, berarti kita memang layak hancur."Mendengar perkataan Nara tersebut, Karina langsung menghentikan aktivitasnya. Dia postingan menatap Nara, sorotnya sendu dan raut mukanya cemas. Nara benar! Semua tergantung mereka, jika mereka saling mempercayai
"Hadir, Pak-- Mas, Kak," jawab manekin tersebut spontan, membuat Sereya dan pengunjung lain kaget luar biasa. "Nara?!" pekik Sereya kaget, melototkan mata menatap adiknya yang berdiri di sebelah manekin pria. Nara nyengir lebar, menatap kakaknya dan Zavier secara bergantian. Hatinya meringis menatap Zavier dan Sereya yang jalan berduaan dari jarak dekat, tetapi raut mukanya sangat tak mendukung–terpasang begitu konyol dan kaku.Zavier menatap tangan mungil Nara yang menggenggam tangan manekin pria di sebelahnya. Zavier mendekati Nara, memukul pelan punggung tangan istrinya yang menggenggam tangan manekin laki-laki tersebut kemudian segera menarik Nara untuk menjauh dari sana. 'Kasar sekali.' batin Nara, mengusap punggung tangannya yang dipukul oleh Zavier sembari menatap berang ke arah laki-laki tersebut. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Zavier dengan nada dingin, menatap tajam ke arah istrinya. "Membeli ini," jawab Nara sembari menunjukkan belanjaannya pada Zavier. "Cik."