Setelah rapat selesai, Aeera buru-buru merapikan dokumen kemudian cepat-cepat beranjak dari ruangan tersebut. Namun, langkahnya berhenti, menoleh gugup dan canggung pada seorang pria yang juga ingin keluar–secara bersamaan dengan Aeera. "Silahkan," ucap Alarich, mempersilahkan Aeera keluar lebih dulu dari ruangan tersebut. Aeera sadar dia melanggar etika jika keluar lebih dulu dari Big Boss-nya. Namun, karena dia sudah dilanda perasaan malu dan canggung, Aeera memutuskan menuruti perkataan Alarich–buru keluar dari sana dengan air muka panik dan pipi memerah padam. "Cih." Alarich berdecis geli secara pelan, menatap makhluk menggemaskan tersebut lalu segera mengikuti langkah istrinya–melangkah santai tepat di belakang Aeera, mengawasi gerak gerik istrinya dengan tatapan intens. "Tuan, ada masalah?" tanya Bian, setelah berada di sebelah Alarich. Ia perhatikan Aeera dan Alarich sejak pagi seperti saling menjaga jarak. Interaksi keduanya singkat dan seperlunya. "Tidak," jawab Alarich
Aeera menatap genggaman tangan Alarich pada tangan mungilnya, seulas senyuman muncul di bibir–merasa hangat dan bahagia hanya karena tangannya digandeng oleh Alarich. Dia pikir Alarich hanya bercanda untuk mengajak keluar dirinya, ternyata Alarich benar-benar membawanya keluar. Umm … bisakah ini dikatakan kencan malam? Setelah tadi Alarich membawanya keliling kota, sekarang dia dan pria tampan ini sedang mengantri membeli sate. Permintaan Aeera sendiri sebab ketika melihat menjual sate di pinggir jalan, Aeera tiba-tiba menginginkannya. Aeera sudah melarang Alarich untuk ikut turun dari mobil, tetapi suaminya tersebut cukup bandel–keukeh menemani Aeera, bahkan rela ikut ngantri. Bug'Seseorang tiba-tiba saja menyenggol pundak Aeera, membuat keseimbangan Aeera goyah. Untuk Alarich dengan cepat menahan pundak Aeera, menangkap istrinya tersebut lalu dengan cepat melayangkan tatapan tajam pada pria berbadan gendut yang menyenggol Aeera. "Sialan!" maki Alarich marah, memanggil pria gen
"Makan sate-mu," ucap Alarich, memakan dengan santai nasi di piring Aeera. Aeera menatap suaminya, memandangi pria di sebelahnya dengan sorot kagum. Senyuman manis mengulas di bibir, merasa terkesan oleh perlakuan Alarich. Simpel, tetapi dia senang. Pria yang sampai sekarang ini ia ragukan tujuannya menikahi dirinya, selalu bisa membuat Aeera kehilangan kata-kata. Dia pria yang sigap dan gentle! Setelah maid datang membawa piring dan membuka bungkus satenya, Aeera mengambil satu tusuk lalu meletakkannya di piring Alarich. Hal tersebut membuat Alarich menoleh padanya, menatap aneh serta bingung pada Aeera. "Untuk?" ucap Alarich, mengangkat tusuk sate–menanyakan keberadaan sate tersebut di piringnya. "Ucapan terimakasih," jawab Aeera pelan, malu-malu dan salah tingkah. Setelah itu, dia lanjut memakan sate miliknya–begitu lahap dan bersemangat. Alarich menatap istrinya, tersenyum tipis kemudian berhenti makan. Dia makan supaya Aeera makan sate tersebut, bukan karena dia lapar. Namu
"Ahaha … enggak dong, Dien. Nggak mungkin aku jatuh cinta pandang pertama pada Big Boss sendiri …-"'Bagus, Aeera. Katakan yang lebih buruk lagi supaya Kak Karl semakin salah paham.'Aeera memperlihatkan senyuman tipis ke arah Nadien, tetapi dalam hati dia mengumpati sepupu suaminya tersebut. 'Kamu pikir kamu pintar? Nggak, kamu makhluk terbodoh yang pernah kutemui.' batin Aeera, kesal setengah mati pada Nadien. "Ada peraturan yang mengharuskan staf tidak boleh memandang Big Boss lebih dari tiga detik. Dan aku … tipe staf yang lumayan patuh pada peraturan. Kebetulan kan Big Bosnya rada menyeramkan, daripada dipecat hanya karena natap lebih dari tiga detik mending aku fokus pada pekerjaanku saja kan?" jawab Aeera, mendapatkan kekehan geli dari mertua dan para neneknya. "Betul juga." Ranti mengomentari, "jadi selama bekerja, kamu dan staf lain tak berani curi-curi pandang pada Karl?" Aeera menganggukkan kepala, membenarkan perkataan Ranti. Benar, dan itu fakta! Jelas ada beberapa sta
"Sudah lama?" tanya Aeera dengan datar, mengambil tempat untuk duduk di sebuah meja yang dihuni oleh seorang perempuan. Mata Shila menatap berang ke arah Aeera. "Apaan sih, Aeera?" "Kita musuhan kan?" datar Aeera. Shila menggelengkan kepala. "Aku tidak pernah merasa kalau kita bermusuhan. Udah dong!" pekik Shila, antara ingin menangis dan kesal melihat tingkah tengil Aeera. "Yaudah.""Yaudah apa?" Shila melongo dengan raut muka memelas, bingung bercampur muram. "Yaudah, baikan." Aeera memajukan tangan, mengajak Shila berjabat tangan dengan dirinya. "Maaf …," lanjutnya secara nada rendah dan serak, bersama dengan raut muka yang berubah sendu. "Maaf juga …," ucap Shila. Meskipun masih tak tahu di mana letak kesalahannya–masih belum tahu kenapa Aeera sempat marah padanya, dia tetap meminta maaf. Mungkin dia telah melakukan kesalahan yang fatal sehingga Aeera bisa sangat marah padanya. "Aku minta maaf, Shil." Shila mengangguk kuat, "iya, aku maafin. Tapi … tolong sebutkan apa kesa
Wanita itu menumpahkan minyak di lantai. "Kamu ngapain tumpahin minyak di lantai?" tanya Shila yang juga melihat Nadien menumpahkan minyak. Shila buru-buru mengambil tepung lalu berjalan cepat ke arah Nadien. Nadien terlihat kaget, tak disangka jika Shila ada di sana. Dia pikir tempat ini kosong dan Aeera maupun Shila yang berniat memasak masih berada di ruang keluarga. "A--aku …-" Nadien bingung untuk menjelaskan. Aeera mengepalkan tangan, rasanya darah dalam dirinya mendidih–marah luar biasa sebab dia tahu apa tujuan Nadien. Pastinya untuk mencelakai kandungannya. Dengan marah, Aeera berjalan ke arah Nadien. Setelah Nadien dekat, Aeera melepas sendal kemudian secara geram dan kesal langsung memukul sendal tersebut ke kepala Nadien. Bug'"Auuu." Nadien meringis, spontan memegang kepala dan langsung menatap kaget ke arah Aeera. "Kamu pengen bunuh anakku yah?!" marah Aeera. Kali ini benar-benar marah; mata melotot dengan guartan merah, napas memburu dan dada naik turun. Wajahnya
Untuk menatap Alarich saja, Aeera sudah tak mampu. Sedangkan Alarich, dia tak mengatakan apapun. Hanya memberi isyarat pada Aeera untuk mengikutinya, setelah itu beranjak dari sana. "Shila …." Aeera menatap malu ke arah sahabatnya tersebut. Shila sejujurnya sama terkejutnya dengan Aeera. Akan tetapi dia jua menahan tawa secara bersamaan, merasa konyol karena pembicaraannya dengan Aeera yang sangat berfaedah tersebut didengar oleh Alarich. Ah, pasti sahabatnya ini sangat malu. "I--iya, silahkan saja. Aku sekalian pulang dengan dia," jawab Shila, menunjuk kaku ke arah Bian. Aeera menganggukkan kepala, segera berdiri lalu segera beranjak dari sana. Namun, saat akan melewati Bian, Aeera sengaja menginjak kaki pria itu. Mengingat Bian adalah calon suami Shila, Aeera sedikit kesal. Hais, Bian tak mengatakan apapun padanya padahal mereka cukup dekat sebagai partner kerja. "Nyonya, apa salah …-" "Bodo amat, Pak Bian. Bodo!" potong Aeera dengan nada meninggi, tanpa menoleh ke arah Bian–di
"Aku hanya akan makan setelah mendengarmu mengatakan secara langsung isi pesan yang kau kirim padaku. Silahkan katakan secara langsung, Dek." Pipi Aeera seketika memerah padam, bersemu secara jelas sebab tak bisa mengendalikan perasaan gugup yang sedang melanda. Kepalanya tertunduk sedikit sebab tak berani bertatapan dengan mata elang sang suami. "Ja--jangan makan jika begitu," ucap Aeera buru-buru, melepas diri dari pelukan Alarich lalu berjalan cepat untuk keluar dari kamar. Alarich mengejar, hampir saja berhasil menangkap Aeera yang telah keluar dari kamar. Namun …-"Ya, Ampun!!" Ruqayah spontan meletakkan tangan di atas dada, terkejut karena Aeera tiba-tiba keluar dari kamarnya–posisi setengah berlari, kemudian disusul oleh Alarich yang sepertinya sedang mengejar. "Kalian ini!" tegurnya. "Kalian sedang apa, Humm?" lanjut Ruqayah mengomeli. Sebenarnya dalam hati dia merasa geli. Langkah! Ini fenomena langka, di mana cucunya yang dingin kedapatan lari-lari seperti seekor kucing