Jika untuk hidupnya saja dia tidak bisa tegas, memimpin dirinya saja dia tidak bisa, lalu bagaimana mungkin aku membiarkan adikku menikah dengannya?" Lachi terdiam seribu bahasa, tertohok sekaligus terpukau oleh perkataan sang suami. Kekhawatiran Danzel ternyata sangat dalam pada adiknya, pria yang menjadi suaminya ini jelas sangat mencintai adiknya.Mungkin cara Danzel menunjukkan kasih sayang pada Zendaya yang salah karena selalu mengandalkan emosi. "Aku berbohong jika mengatakan Nathan tak suka pada Zendaya. Dia suka, dan aku mengetahuinya. Tetapi aku berlagak tidak tahu, memberi Nathan gertakan halus supaya dia tidak punya keberanian mengungkapkan perasaannya atau berpikir memiliki Zendaya." Lachi melorotkan mata horor. Dia terkejut karena cukup senang sebab Nathan punya perasaan yang sama pada Zendaya. Namun, lebih terkejut oleh pengakuan Danzel. Wow! Ternyata suaminya adalah dalang kenapa Nathan memilih memendam perasaannya pada Zendaya.
"Menyingkir!" ketus Danzel saat akan melewati Zendaya, setelah dia dibantu berdiri oleh Lachi. Dia tahu Zendaya ingin menertawakannya, dan itu sangat menjengkelkan sekaligus memalukan. Dang it! Gelarnya sebagai bos dingin terinjak-injak sudah. "Habibi, jangan gitu dong ke adik kita," seru Lachi lembut. Akan tetapi tak menghampiri Danzel karena dia sedang membereskan kekacauan yang sang suami timbulkan. "Humm." Danzel berdehem dingin, buru-buru beranjak dari sana. Namun lagi-lagi …-Bug' Danzel menabrak tembok, cukup kuat sehingga suara benturan terdengar ke tempat Zahra dan Zendaya. Lachi yang melihat seketika menganga lebar, berkacak pinggang sembari menunjukan raut muka tak percaya. Lachi tidak bisa berkata-kata. Sungguh! Danzel buru-buru beranjak dari sana. Meskipun habis menabrak tembok, dia tetap stay cool–berjalan ke arah lift dengan tampang dingin. "Ahahahaa …." Setelah kakaknya benar-benar menghilang dari pandangan, tawa Zendaya langsung memenuhi ruangan. Dia sangat sena
Seseorang masuk dalam toilet yang sama dengan Lachi, orang itu langsung mengunci pintu. Hal tersebut membuat Lachi panik luar biasa. Pria itu mendekat sedangkan Lachi berlari menuju pintu toilet untuk kabur. Akan tetapi, pria itu menarik pinggang Lachi–membuat dia berakhir menabrak dada bidang pria tersebut. Lachi melotot pada pria tersebut, memukul pundaknya kemudian mendorongnya supaya dia bisa bebas dari rangkulan sang pria. "Ck, tolonglah!" pekik Lachi pelan, berbisik supaya tak ada yang mendengar. Siapa tahu ada seseorang di luar. "Apa?" Suara bariton mengalun, terdengar rendah dan serak–nada yang dalam sehingga Lachi merinding disko mendengarnya. "Ngapain Habibi ke sini? I-ini toilet perempuan dan … bagaimana jika ada yang melihat, Habibi?" pekik Lachi tertahan, berkeringat dingin sebab khawatir ada yang mengetahui atau melihat Danzel masuk dalam toilet ini. "Ini perusahaanku, terserah aku ingin menggunakan toilet di manapun. Dan-- kau juga milikku," ucap Danzel
Tertawa tetapi dia tetap terlihat tampan dan memposa. Deg deg deg Lachi tanpa sadar meletakkan tangan di depan dada, merasakan debaran jantung yang menggila hanya karena tawa sang suami. Pupil matanya membesar, terus menatap ke arah Danzel yang masih tertawa, bibir Lachi terbuka sedikit–saking terpesona oleh suami sendiri. Sedangkan Danzel, dia langsung menghentikan tawa ketika menyadari istrinya termenung. Oh hell! Apalagi sekarang? Setelah tadi mendadak berubah menjadi A' hihihi, sekarang Lachi berubah menjadi patung? Danzel bangkit lalu berjalan mendekati Lachi. Dia mencondongkan tubuh, mendekatkan wajah ke arah wajah sang istri. Niatnya untuk memperhatikan manik Lachi, terlihat sangat cantik karena pupil yang membesar. Dia seperti bola kristal terindah. Namun--Melihat Danzel mendekat dan mencondongkan tubuh ke arahnya, Lachi reflek memonyongkan bibir. Danzel pasti ingin menciumnya. Yah, tentu saja! Tuk' Alih-alih mendapatkan ciuman seperti yang Lachi bayangkan, pria itu ma
"Kita pulang naik taksi online saja deh," sungut Zendaya, mengeluarkan handphone dari tas untuk memesan taksi online. Lachi juga melakukan hal yang sama, mengeluarkan handphone karena ada bunyi notifikasi. Ada tiga notifikasi pesan yang muncul. Dua dari nomor tak dikenal dan satu dari nomor sang suami. Lachi membuka pesan dari Danzel. Akan tetapi dia tak membaca, dia malah memblokir nomor tersebut. "Kamu pikir kamu saja kali yang bisa marah. Aku juga! Bete banget punya laki modelan musang king begini. Dia marah kalau aku dekat dengan lawan jenis sedangkan dia …- monyet!" gerutu Lachi pelan, suaranya terdengar berbisik sehingga Zendaya yang di sampingnya tak mendengar dengan jelas. "Ingin pergi keluar kota dengan perempuan lain, trus nggak bilang-bilang ke aku. Ouh, bagus sekali. Kayak aku nggak punya hati ajah." Sembari menggerutu, Lachi membuka pesan dari salah satu nomor tak dikenal tersebut. Ternyata dari Angel. Entah perempuan ini mendapat nomornya dari siapa. [Hari ini ak
"Kau cukup bawel har …-" komentar Danzel, akan tetapi perkataannya terhenti begitu saja karena bus tiba-tiba berjalan. Hell! Kenapa Danzel panik? Danzel mendadak diam, menyender ke kursi lalu bersedekap secara cool–menutupi rasa tidak nyaman yang melanda dirinya. "Habibi kenapa diam?" tanya Lachi, menyembulkan kepala dari bawah kepala Danzel–atas pangkuan pria itu, sembari menengadah menatap bingung ke arah sang suami. "Hum." Danzel berdehem singkat sebagai jawaban. "Aih." Lachi menarik tubuhnya, meringsut ke jendela bus sembari menatap sang suami semakin heran. Mendadak hum? Ouh tidak! Hum-nya lebih singkat dibandingkan hum biasa. Dingin! Danzel dingin! "Apa masih jauh?" tanya Danzel tiba-tiba, tak menoleh sedikitpun pada Lachi dan hanya fokus menatap lurus ke arah depan. "Baru lima menit kita jalan, Habibi." Lachi menjawab santai, menyender enak-enakan ke kursi. Namun, diam-diam dia terus memperhatikan sang suami. Ada yang aneh dari gestur tubuh Danzel, pria itu terliha
Akhirnya mereka sampai di tujuan. Karena kondisi yang masih mabuk perjalanan, Lachi buru-buru membawa Danzel ke kamar penginapan. Karena pagi, dini hari, semua orang juga langsung menuju tempat peristirahatan. Lachi membantu Danzel untuk berjalan ke arah ranjang. Pria itu duduk menyender ke kepala ranjang, membiarkan Lachi mengganti pakaiannya. "Minum air hangat ini dulu, Mas. Biar perutnya lebih nyaman," ucap Lachi, membantu Danzel minum. Danzel menurut, meminum air hangat pemberian Lachi. Benar kata Lachi, perutnya lebih nyaman setelah meminum air tersebut. 'Damn it! Rencanaku balik menyerangku. Oh Shit!! terbalik karena malah Mochi yang merawatku. Fucking jerk!' umpat Danzel, memijit pangkalan hidung dengan menampilkan raut muka dingin. Meskipun sayu, akan tetapi matanya membidik tajam–aura intimidasi bahkan menguar darinya. Rencananya untuk menjadi sosok Hero atau pria gentleman di hadapan Lachi hanc
"Kak X, kenapa kita ke penginapan?kenapa bukan paviliun? Aaa … di sini tidak nyaman," adu Zendaya pada sang kakak. Bukan karena tempat yang tak nyaman, tetapi karena matanya yang tak ingin melihat kemesraan Donita dan Nathan. "Apa yang tidak nyaman?" tanya Danzel dengan nada datar akan tetapi menatap adiknya secara lekat. Hal tersebut membuat Zendaya deg deg kan sekaligus gugup. "Ya … tidak nyaman. Aku tidak punya teman, kamarku dan kalian jauh," jawab Zendaya sembari menggaruk telinga secara pelan, menutupi kegugupan karena takut Danzel tahu apa yang membuat dia ingin pindah dari tempat ini. "Humm." Danzel berdehem singkat sebagai jawaban. Zendaya seketika menahan senyum, senang karena Danzel selalu menuruti kemauannya. Dingin dingin begini, kakaknya tetaplah kakak terbaik bagi Zendaya. Walau dia akui dia takut pada sang kakak. "Tumben kamu diam," tanya Zendaya dengan berbisik pada Lachi. Sahabatnya tersebut terlihat makan, lahap tetapi terlihat menahan kemarahan. Zendaya takut