Di Negara Italia, Perusahaan Phoenix Enterprises. Hari menjelang siang, kebetulan Steve dan Agatha datang bersamaan secara tidak sengaja ke perusahaan itu.Keduanya tampak terkejut saat berpapasan satu sama lain, dan bertemu dengan cara tidak terduga."Hai, Agatha!" sapa Steve terlihat turun dari mobil. Ia melihat Agatha yang juga baru saja menutup pintu mobilnya.Wanita itu terperanjat, sekilas ia mengingat-ingat. "Wah, Steve!" Senyum senang tersungging seketika di wajah cantik sahabat Grace saat ia sudah mengingatnya. "Tidak menyangka akan bertemu denganmu di tempat ini! Apa kamu mau bertemu Grace?" tanyanya."Hm, ya, aku mencarinya," pria itu tersenyum tipis, "dan Kamu? Apa kamu akan pergi dengannya? Kenapa kamu terlihat cantik sekali."Pujian Steve membuat Agatha tersipu malu. Wanita itu seketika berusaha menyembunyikan pipinya yang menjadi merah merona.*Ah tidak, kamu bisa saja," balas Agatha merendah. "Ayo, kita naik!"Keduanya lantas langsung menaiki lift dari basement parkir
Sesaat Steve tampak serius dengan ponselnya. Ia baru saja mengirim pesan pada anak buahnya agar membawa mobil Agatha ke tempat makan itu. Setelah mengirim pesan, Steve kemudian mendongak, fokus kembali pada sang wanita.Di dalam gedung resto tempat acara makan siang Steve dan Agatha, keduanya juga bertemu sosok pria yang berjalan dengan Christ. Pria itu adalah Max.Ya, Steve dan Agatha bertemu Max. Max pun demikian, pria itu menggeleng lirih. Seharusnya ia tidak perlu bertemu dengan pria yang menyukai istrinya. "Huh, malas sekali bertemu dengannya! Membuat moodku buruk saja," gerutunya lirih." Kenapa harus bertemu di sini?" Agatha pun juga membatin.Keduanya lantas berdiri menyapa pria tampan tersebut. "Hai, Max!" sapa Steve menyodorkan tangan saat di depan pria itu.Tetapi ... Max enggan membalasnya. Wajahnya terlihat datar dengan kedua tangan ia masukkan ke dalam saku. Christ yang berada di belakang Max, tertunduk sekilas seolah menyapa."Tuan Steve, Nona Agatha," ucap Christ mewak
Memanglah Max melarang Chelsea pergi bila wanita itu ingin menceraikan Darren, namun hal itu sepertinya tidak akan mudah bagi sang adik.Seperti siang ini, Darren menahan Chelsea pergi karena pria itu tidak ingin menandatangani gugatan yang dilayangkan padanya. Darren meremas dan merobek-robek kertas di tangan. Sorot matanya tajam, rahangnya mengeras, dengan kepalan kertas di genggamannya."Sudah aku katakan berapa kali, Chelsea, aku tidak akan menceraikanmu!"Pria itu langsung menarik tangan Chelsea, dan suara nyaring tangan yang mengenai kulit membuat semua penghuni rumah itu tersentak, termasuk sang ART dan supir yang mendengarnya.PLAK!Tamparan keras mendarat pada pipi Chelsea saat keduanya bertikai di dalam kamar dengan pintu terbuka. Pintu yang tidak tertutup, karena Chelsea yang hendak pergi ke kantor Max setelah menyerahkan kertas gugatan itu. Tapi nyatanya, belum sempat ia melangkah, Darren murka dan hal itu tidak terhindarkan.Denyutan di kepala sontak datang tiba-tiba. Ras
Setelah pulang dari kantor milik Max, Chelsea langsung masuk ke dalam mobil dan memberi perintah agar sang supir membawanya ke kantornya.Sepanjang perjalanan terasa sangat sepi hingga satu nada panggilan dari sang papi, setelah ia mengubah mode hening, melenyapkan lamunan wanita itu."Papi ...?" Chelsea menghela napas, ingin rasanya ia mengabaikan panggilan itu. Akan tetapi, mana mungkin?Jemarinya mulai menggeser ikon hijau hingga terdengar suara pria paruh baya. "Hallo, Chelsea, ada apa dengan ponselmu. Mengapa kamu baru menerima telepon papi?"Chelsea menepuk dahinya. Baru saja ia melupakan ponselnya dalam mode senyap. "Ah ya, Pi. Maaf, Chelsea lupa mengubahnya ..." kekehnya terbahak.Ken bisa mendengar tawa bahagia itu. Baru ini selama ia menjadi supir Chelsea, melihat wanita itu tertawa lepas."Ada di mana kamu?" tanya Alexander."Chelsea mau ke kantor, Pi, barusan dari kantor Max. Ada apa?""Ah begitu, jadi Max ada di kantornya?" balas Alex. "Ya sudah mungkin Grace juga ada di
Kedua bola mata Grace terbelalak saat melihat putra kesayangannya terduduk di kursi roda. Wanita itu menatap haru dengan mata berkaca-kaca. Pandangan Leon yang semula menerawang jauh lorong rumah sakit, beralih riang ketika melihat sosok wanita yang ditunggunya selama ini. Hatinya seketika berbunga-bunga. "Mommmyyy ...!" seru Leon menyibakkan selimut kemudian berlari merentangkan dua tangan menghampiri sang ibu. "No, Leon tidak boleh lari!" Grace langsung menangkap bocah 7 tahun itu dalam pelukannya. Ia bahkan berjongkok untuk mengimbangi tinggi badan anak itu. Memeluk sangat erat, bahkan ia menghiraukan tatapan penghuni atau pengunjung lainnya. Suasana haru seketika menyelimuti rombongan itu. Arthur, Stella, dan Edward bisa merasakan kebahagian yang tercipta antara pertemuan ibu dan anak. "Kenapa Mommy lama sekali ..." Isak tangis bocah dalam pelukan wanita itu terdengar lirih, meski hatinya sangat bahagia. "Iya, maaf ya, Sayang." Grace mencium kepala sang anak, menghi
Setelah mendapat jawaban setuju dari Agatha, Steve tampak sangat bahagia. Agatha menerima pernyataan cinta dari pria tersebut.Steve juga demikian. Pria itu nampak berseri-seri dan berikrar akan selalu setia pada sang wanita. "Kapan kamu mengenalkanku pada orang tuamu, Tha?"Agatha yang mendengarnya semakin tercengang. "Haa, secepat itu, Steve?"Pria itu mengangguk, "Tentu saja, aku sudah lama menantikan ini."Senyumnya tampak tulus dengan mata berbinar senang. Hatinya benar-benar dipenuhi seolah taman bunga dengan pemandangan pelangi, sangat indah.Permintaan ini tentu saja sangat buru-buru untuk Agatha, karena keluarganya yang berada di luar negeri. "Aku tidak bisa menjawab sekarang Steve, karena orang tuaku terlalu sibuk mengurus bisnis mereka," jawab Agatha."Baiklah, kalau begitu kita menikah saja dulu. Kita catatkan pernikahan di kantor catatan sipil, gimana?Agatha tampaknya tidak bisa menolak permintaan Steve. Di luar negeri tentu saja hal seperti ini sudah menjadi hal biasa.
Pertengkaran kembali terjadi di rumah Chelsea. Wanita itu sungguh tidak tahan dengan perilaku Darren yang semakin menjadi. Setelah Darren melayangkan tamparan tempo lalu, kini pria itu kembali mengulangi dan lebih parah lagi.Wajah serta mata Chelsea tak terhindarkan dari pukulan tangan sang suami. Darren seperti kesetanan saat melakukan hal tersebut."Sudah aku katakan padamu, Chelsea! Berapa kali aku harus mengulangnya? Aku tidak sadar melakukan itu!" bentak Darren dengan suara tinggi. Ia bahkan tidak mau mengakui bila melakukannya dalam keadaan sadar.Chelsea yang sudah tidak tahan pun pilih bungkam dan berurai air mata. Ia bahkan tidak mampu lagi berteriak untuk menyatakan kekesalannya."Cukup, Darren! Kita akhiri saja semuanya ..." pintanya dengan suara hampir tak terdengar.Pria itu masih saja menolak dengan perceraian yang diajukan sang istri. Darren tidak mau menceraikan Chelsea. "Selamanya aku tidak akan mengabulkan itu! Meski kamu atau siapapun memohon, aku tidak akan melepa
Kennan bergegas jongkok, meraih Chelsea agar dengan mudah ia gendong. "Bertahanlah, Nyonya!" ujarnya panik sambil berusaha bangkit berdiri. Namun, kakinya tiba-tiba dipegang oleh Darren yang entah sejak kapan memutar tubuh, meskipun masih dalam keadaan berbaring tengkurap.Kennan terkejut, ia menoleh cepat ke arah tangan Darren yang melingkar di kakinya. "Lepas!" Pegangan tangannya pada tubuh Chelsea menguat. "Tidak! Kamu tidak berhak membawa istriku pergi, mengerti?!" tolak Darren sambil memperkuat pegangannya, juga mendongak ke atas, sehingga bisa melihat tubuh lemas Chelsea yang terkulai lemah. Rasa cemburu seketika berkobar, kala melihat istrinya menyenderkan kepala pada dada bidang Kennan. Napasnya terdengar berburu dengan raut merah padam, tangan kirinya ikut memperkuat genggaman. "Kamu tidak aku ijinkan membawa pergi istriku!" tegurnya menghardik, "Dia milikku! Hidup dan matinya adalah bersamaku!" Kennan mendengkus, kesal melihat tingkah Darren. "Dasar lelaki tidak berkeprim
Kegelapan langit malam berubah merah menyala karena ledakan mobil Kenan yang masuk ke jurang. Serpihan body mobil pun berterbangan hingga menjadi bagian terkecil. Semua orang mengalihkan wajah, menutup mata dengan lengan masing-masing."Tidak Keennn ..." Chelsea meratapi terduduk di atas tanah. Tatapannya kosong pada nyala api di angkasa.Arthur memegang pundak Chelsea, menguatkan wanita itu, "Semua akan baik-baik saja, Chel. Kenan pasti selamat ..."Meski sejujurnya Arthur juga ragu akan ucapannya. Jurang dan ledakan sebesar itu mana mungkin tidak menghancurkan tubuh seseorang.Christ berlari ke tepian jurang, lalu menatap ke bawah. Namun, tak ada siapapun di sana. Hanya ada pecahan puing yang berserakan dan masih menyisakan bara api yang berkobar. Kemudian ia berbalik badan lalu menggeleng lirih.Isyarat Christ semakin membuat Chelsea semakin histeris. "Tidak! Kembali padaku Kenaannn ...!"Tangisan Chelsea yang t
Setibanya di basecamp yang tersembunyi, Chelsea merasa ada sesuatu yang sangat salah. Tempat itu sangat kacau dan suasana mencekam memenuhi udara. "Apa ini tempatnya, Arthur?" tanya Chelsea penuh keraguan. "Hm, benar ini tempatnya." Belum juga kedua mata Chelsea memindai tempat itu, tiba-tiba ... Brak! Freya dan Kenan keluar dari bangunan sepi dengan pencahayaan minim. Meski demikian, sorot mata Chelsea mampu menangkap siluet bayangan sang suami. "Kenan ...?!" Chelsea hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Seruan Chelsea ternyata mampu mengalihkan perhatian kedua orang itu, terutama Kenan. Ia lebih terkejut saat melihat Chelsea juga berada di sekitar tempat itu. Area yang tidak sebaiknya dituju. Namun, di balik semua rasa takut dan kecemasan Chelsea, hatinya semakin teriris saat kenyataan yang lebih pahit terbuka di hadapannya. Di sana, di tengah kekacauan, dia melihat Kenan—dengan jelas berdiri di sisi Freya. Sekarang tampak seperti musuh yang berdiri di samp
Grace dengan suara penuh amarah, "Kenan! Kau datang kemari hanya untuk jadi pengkhianat! Tidak tahu malu!" Berdiri tegak, Kenan menatap Grace dengan dingin, "Aku memilih sisi yang benar, Grace. Ini bukan tentang kamu atau aku lagi, ini tentang apa yang seharusnya terjadi." Grace tertawa sinis, "Cih! Sisi yang benar? Kau menjual dirimu kepada Freya, itu yang kamu sebut benar? Jangan lebih rendah dari itu, Ken!" "Aku tidak membutuhkan pembenaran darimu, Grace. Semua ini sudah berjalan terlalu jauh. Tidak ada yang bisa menghentikanku sekarang." Freya, yang sejak tadi diam dan menyaksikan percakapan itu, akhirnya berbicara dengan suara penuh kebencian. Grace tertawa remeh pada Freya, seolah mengejek wanita ular itu. "Apapun yang kau lakukan, kau tidak akan pernah bisa mengalahkanku. Karena kau tidak pernah dicintai sampai mati! Kau tak akan pernah tau apa itu cinta!" ucapnya penuh penekanan, "kasihan sekali!" Suasana di antara kedua wanita itu semakin mencekam. Freya ingin seka
Max tampak berjalan mondar-mandir di ruang kantor yang gelap, ekspresinya tegang dan penuh amarah. Matanya yang tajam menatap beberapa anak buah Christ yang berdiri cemas di hadapannya."Bagaimana bisa kalian belum menemukan lokasi Freya?!" bentaknya, suaranya keras dan penuh amarah. "Kalian cuma membuang-buang waktu! Ini sudah terlalu lama, aku ingin jawaban sekarang!"Anak buah Christ, yang satu bernama Markus dan yang satunya lagi disebut Simon saling pandang, tampak bingung dan tertekan."Ma-Maaf, Tuan ... kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi kami belum menemukan petunjuk pasti," jawab Markus, suaranya terbata-bata.Max menggeram, berjalan mendekat dan berdiri tepat di depan mereka. "Berusaha? Itu bukan jawaban yang aku cari! Jika kalian tidak bisa melaksanakan perintah sederhana ini, lebih baik aku cari orang lain yang bisa!"Simon mencoba menenangkan situasi. "Kami benar-benar sudah berusaha, Tuan. Kami akan terus menca
Kenan terlihat tegang, tapi mencoba menurunkan egonya. "Freya, aku tahu aku salah. Aku tidak mencari pembenaran. Aku hanya ingin tahu di mana basecamp-mu. Aku punya rencana ... rencana untuk melancarkan keinginanmu." Namun, diam-diam, tanpa melibatkan siapa pun. Kenan akan pastikan akan membebaskan Grace. Ini adalah kesempatan terakhirnya untuk menebus semua kesalahan." Mendengar ketulusan Kenan, dan betapa pria itu juga memenuhi keinginannya mendapatkan lokasi Grace, Freya terdiam sejenak, mempertimbangkan kata-katanya. "Kau tidak akan menjadi pengkhianat di dalam basecamp-ku, kan?" "Kau bisa percaya padaku, Freya. Aku akan lakukan apa saja untuk memastikan semuanya berjalan lancar. Kau akan dapatkan semua yang kau inginkan." Dalam hati Freya melewati banyak perdebatan. Kemudian suara Freya berubah, sedikit lebih lembut. "Baiklah, aku beri kau satu kesempatan lagi. Basecamp-ku ada di kawasan Charlottenburg, dekat Stasiun Zoologischer Garten. Tapi ingat, Kenan. Satu langkah s
Kenan berdiri di tengah kota. Kebingungan jelas tergambar di wajahnya. Ia melirik kiri-kanan, mencari-cari tanda yang bisa mengarahkannya pada basecamp Freya.Gedung-gedung tinggi dan hiruk-pikuk suara kendaraan membuatnya merasa semakin terasing. Tidak ada petunjuk yang jelas, dan dia semakin merasa hilang."Bagaimana kalau aku meneleponnya?" ragu Kenan dalam kebimbangan.Setelah beberapa menit, Kenan mengeluarkan ponsel. Tatapannya tersentak saat melihat banyaknya panggilan tak terjawab dan deretan pesan dari sang istri."Maafkan, aku sayang ..." gumamannya terhenti dengan kedua bola mata berkaca-kaca, terharu, "Benarkah Chelsea hamil? Dia hamil ..."Rasanya Kenan benar-benar dilema. Di saat ia sudah menghancurkan semua, mahkluk kecil kini sedang bersemayam di rahim sang istri."Apa yang harus aku lakukan?" Kenan mengusap wajah kasar, "Argh!!"Namun, dengan cepat Kenan mengontrol emosinya. Ia harus secepatnya meny
Setelah berhasil membebaskan Anna, Kenan langsung menuju ke bandara dengan mengambil penerbangan tercepat. Semua benar-benar sudah ia persiapkan, pasport dan visa pun sudah dia kantongi di balik jaket."Maafkan aku, Chelsea," ucap Kenan lirih, "Tanpa pesan, tanpa panggilan, tanpa berkomunikasi. Lihatlah, sehening itu caraku mencintaimu sekarang ..."Dengan berat hati ia memandang sendu negara talia dengan lampu-lampu yang menghiasi setiap kota. Ada hati yang sudah ia lukai. Padahal, hati yang selalu membuat dunianya menjadi berisik.**Dengan gemetaran Grace berusaha memasukkan kunci yang justru membuat kunci itu terjatuh ke bawah kakinya."Ah, sial!"Wajah Leon pun tampak jelas ketakutan dan penuh ketegangan. "Ayo, Mom!"Grace mencoba meraih kunci dibawah kakinya, namun Jack terlebih dulu memecahkan kaca mobil dengan ujung senapan.PYAR!"Aaaww ...!" Grace menutup kedua telinga
Di negara Italia. Chelsea duduk termenung di sofa dalam kamarnya. Pagi ini, tubuhnya terasa lelah dan pusing, seolah-olah ada sesuatu yang salah. Rasanya seperti ada beban berat yang menekan dadanya. Namun jauh di dalam hati, ada kecemasan yang lebih besar lagi. Kenan, suaminya, tidak pulang sejak kemarin. Ponselnya pun tidak bisa dihubungi, pesan-pesan yang dikirimkan tak kunjung dibalas. Sejak tadi malam, Chelsea sudah berusaha mencari tahu di mana Kenan berada, tapi tetap tak ada kabar. Rasa cemasnya menjadi semakin memuncak."Memangnya di mana sih dia sekarang," gerutu Chelsea memandang layar ponselnya yang perlahan berubah gelap.Ia bangkit dan berjalan pelan menuju meja, mengambil segelas air. Keringat dingin mengucur di dahinya. Rasanya seperti ada yang aneh dengan tubuhnya, dan perasaan cemas tentang Kenan hanya memperburuk keadaan.Tanpa berpikir panjang, Chelsea memutuskan untuk pergi ke rumah sakit. Ia ingin memastikan semuanya baik-ba
Melihat Stella datang dengan membawa kantong belanjaan, Grace keluar dari rumah, menghampiri sang perawat. "Apa semua sudah kamu beli, Stella?" tanya Grace. "Sudah semua, Nyonya. Perbekalan ini cukup untuk satu minggu ke depan." "Hm, baguslah." Ketiga pasang mata tiga pria dalam mobil seketika berbinar senang, saat melihat Grace dengan mata kepala sendiri. "Itu dia!" tunjuk Nick dengan yakin. "Benar, tepat sekali!" "Keberuntungan kita, dia keluar dengan sendirinya ...!" seru Jack sudah tidak sabar. "Selesaikan dengan cepat, dan jangan meninggalkan jejak!" "Siap, Bos!" Nick, Willy dan Jack langsung merapatkan langkah menuju rumah itu. Baru saja Stella dan Grace masuk ke dalam rumah, tak lama kemudian pintu rumah mereka terbuka dengan sangat keras. BRAK!! Suara dentuman pintu yang ditendang sangat keras membuat Grace dan Leon terkejut setengah mati. Jack, Nick, dan Willy sudah ada di depan pintu. "Hohoho ... Lihatlah siapa yang kita temui ...!" Jack menyeringai si