Setelah mendapat jawaban setuju dari Agatha, Steve tampak sangat bahagia. Agatha menerima pernyataan cinta dari pria tersebut.Steve juga demikian. Pria itu nampak berseri-seri dan berikrar akan selalu setia pada sang wanita. "Kapan kamu mengenalkanku pada orang tuamu, Tha?"Agatha yang mendengarnya semakin tercengang. "Haa, secepat itu, Steve?"Pria itu mengangguk, "Tentu saja, aku sudah lama menantikan ini."Senyumnya tampak tulus dengan mata berbinar senang. Hatinya benar-benar dipenuhi seolah taman bunga dengan pemandangan pelangi, sangat indah.Permintaan ini tentu saja sangat buru-buru untuk Agatha, karena keluarganya yang berada di luar negeri. "Aku tidak bisa menjawab sekarang Steve, karena orang tuaku terlalu sibuk mengurus bisnis mereka," jawab Agatha."Baiklah, kalau begitu kita menikah saja dulu. Kita catatkan pernikahan di kantor catatan sipil, gimana?Agatha tampaknya tidak bisa menolak permintaan Steve. Di luar negeri tentu saja hal seperti ini sudah menjadi hal biasa.
Pertengkaran kembali terjadi di rumah Chelsea. Wanita itu sungguh tidak tahan dengan perilaku Darren yang semakin menjadi. Setelah Darren melayangkan tamparan tempo lalu, kini pria itu kembali mengulangi dan lebih parah lagi.Wajah serta mata Chelsea tak terhindarkan dari pukulan tangan sang suami. Darren seperti kesetanan saat melakukan hal tersebut."Sudah aku katakan padamu, Chelsea! Berapa kali aku harus mengulangnya? Aku tidak sadar melakukan itu!" bentak Darren dengan suara tinggi. Ia bahkan tidak mau mengakui bila melakukannya dalam keadaan sadar.Chelsea yang sudah tidak tahan pun pilih bungkam dan berurai air mata. Ia bahkan tidak mampu lagi berteriak untuk menyatakan kekesalannya."Cukup, Darren! Kita akhiri saja semuanya ..." pintanya dengan suara hampir tak terdengar.Pria itu masih saja menolak dengan perceraian yang diajukan sang istri. Darren tidak mau menceraikan Chelsea. "Selamanya aku tidak akan mengabulkan itu! Meski kamu atau siapapun memohon, aku tidak akan melepa
Kennan bergegas jongkok, meraih Chelsea agar dengan mudah ia gendong. "Bertahanlah, Nyonya!" ujarnya panik sambil berusaha bangkit berdiri. Namun, kakinya tiba-tiba dipegang oleh Darren yang entah sejak kapan memutar tubuh, meskipun masih dalam keadaan berbaring tengkurap.Kennan terkejut, ia menoleh cepat ke arah tangan Darren yang melingkar di kakinya. "Lepas!" Pegangan tangannya pada tubuh Chelsea menguat. "Tidak! Kamu tidak berhak membawa istriku pergi, mengerti?!" tolak Darren sambil memperkuat pegangannya, juga mendongak ke atas, sehingga bisa melihat tubuh lemas Chelsea yang terkulai lemah. Rasa cemburu seketika berkobar, kala melihat istrinya menyenderkan kepala pada dada bidang Kennan. Napasnya terdengar berburu dengan raut merah padam, tangan kirinya ikut memperkuat genggaman. "Kamu tidak aku ijinkan membawa pergi istriku!" tegurnya menghardik, "Dia milikku! Hidup dan matinya adalah bersamaku!" Kennan mendengkus, kesal melihat tingkah Darren. "Dasar lelaki tidak berkeprim
Mobil yang membawa Max dan Christ akhirnya tiba di parkiran rumah sakit. Bergegas Max turun, tepat ketika Christ membukakan pintu penumpang. Lalu, berlari kencang ke arah ruang unit gawat darurat. Tiba-tiba seorang petugas keamanan menghentikan langkahnya. "Maaf, ada yang bisa Saya bantu, Tuan?""Adik Saya—" Suara Max terdengar terengah bersama raut panik yang terlihat jelas. Ia lantas meneguk ludah sebelum meneruskan ucapannya, "Chelsea atau wanita yang dibawa ke rumah sakit ini dalam keadaan tidak sadarkan diri, setelah mendapatkan kekerasan dalam rumah tangga oleh suaminya."Petugas itu pun terkejut. Lalu, segera mengangguk kecil. "Ikuti Saya, Tuan! Nyonya Chelsea saat ini berada di ruang operasi." Ia berjalan mendahului Max yang sempat tercengang. Namun, segera mengikuti, saat mendengar deheman singkat dari Christ. Ketiganya pun tidak terlibat pembicaraan sedikit pun. Hanya suara derap langkah kaki menyusuri lorong yang terdengar seirama. Hingga mereka tiba di depan seorang pri
Pertanyaan Darren sungguh membuat Max semakin murka. Pria itu bahkan tidak menyadari kesalahannya atau dia sedang pura-pura bodoh?Max berdiri di depan Darren dengan tegap, rahangnya mengeras hingga gigi-giginya gemelutuk, tangan pun siap terkepal, "Kau masih tidak menyadari kesalahanmu, Darren?! SIALAN, KAU!!"Darren yang masih mengusap bibirnya karena pukulan Max, tanpa persiapan, pria itu seketika terkejut saat Max menarik kerah bajunya. Kedua wajah pria saling bertatapan tajam, sangat dekat.Melihat wajah Darren, Max sontak teringat wajah sang adik yang sedang dirawat, karena ulah pria di hadapannya sekarang. "Kau masih pura-pura bodoh, Darren! Fuck You!, Dammit!"Tanpa aba-aba Max langsung menghantam perut Darren dengan satu tangannya. Pukulan itu langsung mengenai ulu hati Darren yang langsung membungkuk. "Argh ...! Brengsek mau, Max!" pria itu masih bisa mengumpat.Namun, Max tidak melepaskan Darren begitu saja. Ia masih mencengkram kerah baju itu dan melayangkan pukulan lagi
Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit, Max memutuskan agar Chelsea pulang ke rumahnya lebih dulu. Karena untuk menghindari Darren yang ingin mencari kesempatan guna membalaskan dendamnya yang lebih pada sang adik. Meskipun mendapat penolakan dari wanita itu, namun keputusan Max tetap keputusan, Chelsea tidak bisa menolak ucapan sang kakak.Begitu pula sang supir, Kenan terlihat keluar masuk di area kawasan elite itu. Kedatangan kedua paruh baya, yaitu Alex dan Felly membuat mereka terkejut, saat mendapati anak bungsunya berada di rumah Max. Mengapa mereka tidak tau hal ini?"Chelsea, kenapa kamu ada di sini?" tegur Felly mendapati anaknya sedang duduk di teras samping. Chelsea tidak tau jika kedua orang tuanya akan datang, ia mengamati kolam yang yang berisi ikan di taman samping rumah mewah itu. "Mami!" Kepalanya tertoleh ke kanan. Senyumnya seketika terbit kala melihat sosok yang berada di sana. Bergegas ia bangkit berdiri, lalu berjalan lirih ke arah sang bunda, "Mami kapa
Beban pikiran Grace tentang info yang ia dengar secara tidak sengaja, di ruangan profesor semakin membuatnya ketakutan. Pasalnya, Leon benar tampak sehat di luar, bahkan anak itu terlihat baik-baik saja, tetapi dalam fisik anak itu sedang digerogoti. Jaringan punca dalam tubuh sang anak semakin menipis, Leon sering kali mimisan atau pun memar-memar di setiap tubuhnya.Wanita itu saat ini sedang bersandar pada ranjang rumah sakit dengan Leon yang berada di pelukannya. Detak jantung sang ibu membuat kenyamanan tersendiri bagi Leon sembari menikmati masa-masa kasih sayang Grace."Mommy, kapan mau pergi lagi?" Pertanyaan itu tiba-tiba mencuat begitu saja dari bibir sang anak. Grace sempat tersentak, namun segera mengendalikan lagi reaksi wajahnya. "Mungkinkah Leon juga merasakan?" batinnya tetap mengelus-elus kepala sang anak.Beberapa menit tidak ada jawaban dari Grace membuat Leon mendongak, menatap wajah sang ibu, "Benarkan, Mommy mau pergi lagi?"Raut wajah polos itu tampak sedang me
"Ingat, aku sudah banyak memberimu uang! Sekarang waktunya kau buktikan, balas kebaikanku itu!" Setelah menggertak seseorang di seberang, Freya mematikan telepon itu tanpa menunggu balasan. Tak lama ponsel dalam genggamannya kembali berbunyi. Wanita itu langsung membuka notif dan seketika kedua bola matanya terbeliak."What?!" pekik Freya hingga memperbesar foto yang sedang ia pandangi. Ia bahkan hampir tidak percaya dengan apa yang dia lihat. "Benarkah itu Grace? Tapi dengan siapa dia? Siapa laki-laki di sampingnya?"Senyuman dengan penuh binar langsung memenuhi seluruh wajahnya. Freya sebelumnya hampir putus asa, saat Jack tidak kunjung memberi informasi yang ia inginkan. Namun, apa sekarang? Ia benar-benar melihatnya."Apa dia suami yang di sembunyikan, Grace?" Tawa Freya sontak langsung terbahak sangat keras. Suara melengking menyebar seluruh ruang kerjanya, Siska yang berada di luar pun bisa samar-samar mendengar, padahal ruang kerja itu kedap suara."Akhiryaaa .... Akhirnya ak
Mendengar permintaan Freya di seberang panggilan, membuat Daren berdecak kesal. Pasalnya, belum saja keduanya bekerja sama, Freya sudah meminta pinjaman dana untuk perusahaan wanita itu. "Enak saja kamu belum apa-apa sudah pinjam dana!" geram Darren. "Buat aku bertemu Chelsea dulu, baru aku berikan suntikan dana!""Aku janji, Darren. Setelah ini aku pastikan kamu bertemu dengan istrimu lagi ...."Bujuk rayuan Freya kerahkan untuk menyelamatkan perusahaannya. Hanya Darren penolongnya saat ini."Kapan aku bisa bertemu dengannya?" tanya Darren memastikan. "Kalau kamu saja tidak yakin, bagiamana denganku? Sorry, aku tidak bisa memberimu pinjaman!"Merasakan gelagat Darren akan menutup telepon, Freya cepat memberi tanggapan atas pertanyaan pria itu. Wanita itu sontak berseru."Lusa, Darren! Aku pastikan lusa kamu bisa bertemu dengan Chelsea!" ucap Freya sangat percaya diri. Meski ia sendiri juga tidak yakin, yang terpenting adalah Vi
Di negara Turki, Steve dan Agatha sedang berada di Cappadocia. Salah satu tempat yang menawarkan pemandangan menakjubkan berupa lanskap berbatu dengan balon udara yang menghiasi langit, menciptakan pemandangan yang spektakuler.Pasangan yang berbulan madu di sini bisa menikmati sensasi terbang dengan balon udara sambil melihat keindahan alam Cappadocia dari ketinggian. "Apa kamu menyukainya?" tanya Steve.Wanita yang kini menjadi istrinya itu, bersandar pada dada bidang Steve, lalu mendongak, "Hm, aku sangat menyukainya. Tempat ini sangat menakjubkan!""Aku pun juga begitu. Meskipun aku sudah mengunjungi banyak negara, tapi ini lebih berbeda .... Beda karena ada kamu di sisiku," balasnya kemudian mengecup bibir sang wanita. "Kamu percaya aku begitu mencintaimu?"Dengan cepat Agatha mengangguk, "Aku sangat percaya padamu. Untuk apa aku menerima lamaranmu kalau aku tidak yakin dengan suamiku?"Pria itu tersenyum lembut dan se
Mendengar ucapan Freya, Darren berdecih. Bagaimana ia harus mempercayai wanita itu? Sementara sebelumnya, dirinya dan Freya sedang membuat janji bertemu di resto itu."Apa kamu tidak terlalu licik, Miss Freya? Kamu pikir bisa membohongiku lagi?" sarkas Darren. "Kenapa kamu tadi tidak datang? Huh, dasar wanita penipu!"Keduanya memang hendak bertemu di resto itu. Namun, saat Freya hampir menginjakkan kaki ke dalam, ia melihat kekacauan akibat Darren yang membuat onar. "Apa kamu gila Tuan Darren?! Kamu mau menunjukkan pada Grace jika kita menjalin kerja sama?" Nada suara Freya meninggi satu oktaf.Darren terbeliak, "Jadi kamu melihatnya?"Terdengar gelak tawa membahana dari Freya, "Apa yang tidak kuketahui, Tuan Darren?" sindirnya.Sejenak Darren memupuk dirinya untuk mempercayai ucapan wanita itu lagi. Sulit baginya untuk percaya wanita seperti Freya. Darren pun juga banyak mengetahui tentang sepak terjang Freya di dunia bisnis.
Semua mata tertuju pada sosok pria yang berjalan cepat dengan membawa pecahan botol di tangannya. Kedua mata dengan api dendam, membutakan Darren membunuh wanita yang menjadi target utama, adalah mantan kakak ipar. Namun, sepertinya Darren sudah melupakan itu. Grace melihat semua itu serasa detak jantungnya berhenti sepersekian detik, ketika melihat Darren hendak membunuhnya. "AAAA ...!!" Namun, tiba-tiba saja sebuah tendangan tepat sasaran mengenai tangan Darren sebelum aksi pria itu berjalan lancar, hingga pecahan botol dalam genggamannya terlempar jauh. TRANK! PYAR! "ARGH!! SIALAN!!" umpat Darren membungkuk, memegang pergelangan tangan, "Brengsek! Siapa berani menghalangiku!" Grace langsung berdiri dan menjauhi Darren. Ia melihat sosok pria yang samar-samar ia kenal mendekatinya. "Apa Nyonya terluka?" tanya Kenan. "Ak-aku tidak apa-apa." Grace masih
Setelah menghabiskan malam bergairah, dan obrolan sesaat sebelum keduanya terlelap. Max mengatakan jika saat Grace pergi, Chelsea berada di rumahnya. Pria itu juga mengatakan bila Darren bukan lagi suami sang adik. Sesaat Grace terkejut mendengarnya, tapi apa boleh buat. Semua keputusan ada di tangan Chelsea dan Max. Hingga pagi ini, Grace dibuat sakit kepala entah karena apa ia sendiri juga tidak tahu. "Ada apa dengan kepalamu, Baby?" tanya Max menghentikan pergerakan tangan. Max yang sudah bersiap dengan setelan jas dan kemeja berdiri merapikan dasi, tatapannya sontak terarah pada sang wanita dari pantulan cermin yang duduk di atas ranjang dengan memegang kepala. "Uhm, tidak tau, Max. Kepalaku berdenyut sekali." "Apa tidurmu tidak nyenyak? Atau ... ada yang menganggu pikiranmu?" "Tidak ada, aku tidak pikirkan apapun. Tapi ... tidak apa, nanti aku minum obat saja," ujar Grace segera mengalihkan perhatian sang suami. "Ya sudah, kalau begitu tidak perlu ke kantor." "Hm,
Grace kini sedang bermanja-manja, menghabiskan waktu dengan sang suami. Pasalnya sejak kepulangannya dari Jerman, pria itu tidak sedetik pun melepaskan pelukannya.Keduanya kini sedang berada di atas ranjang dalam kamar luas dengan interior mewah. Grace berusaha melonggarkan kedua tangan sang pria yang berada di tubuhnya."Max, lepas! Sudah berapa lama kamu seperti ini, hm?" geram Grace tidak bisa berkutik."Sebentar lagi, aku masih rindu dengan aroma tubuh ini ..." Max tak hentinya menciumi ceruk leher sang istri dan mengendus aroma shampo pada rambut kepala Grace."Ya ... tapi ini sudah sangat lama, Max. Aku tidak bisa bergerak. Ayolah geser sedikit ..." Sang wanita berusaha mendorong dada bidang suaminya. Namun apa daya, tenaganya jelas kalah dari pria itu."Hanya sebentar, Sayang. Sebentar saja ..." Lagi-lagi Grace tidak bisa menolak permintaan sang pria. "Ya sudah, waktumu hanya sepuluh menit saja, Max! Ingat! Sepuluh menit!"Max terkekeh mendengar celotehan sang istri yang sema
Freya segera menatap ke arah Darren, kemudian tersenyum tipis. "Sepertinya saya harus menerima panggilan telepon terlebih dahulu. Baru kita sambung pembicaraan ini." "Terserah. Karena sepertinya saya juga harus pergi dari sini!" sahut Darren dingin, "jadi saya tidak akan tertarik. Jika Anda berpikir saya akan menunggu Anda kembali." Ia bangkit berdiri, sambil merapikan kedua sisi jasnya dengan raut angkuh. Freya memandang pria yang kini berdiri di hadapannya. "Oleh karena itu, simpan saja pembicaraan omong kosong Anda atau pertanyaan konyol selanjutnya!" Darren berbalik. Lalu, pria itu melangkah tegap meninggalkan Freya yang ternganga lebar, tidak percaya dirinya ditinggalkan seperti sebuah benda tidak berharga. "What the—" Freya menggeram. Ia bahkan terlupa dengan ponselnya yang sedari tadi bergetar, hingga akhirnya berhenti dengan sendirinya. Saat baru tersadar, dirinya dengan cepat menoleh ke bawah, hanya untuk melihat layarnya berubah menjadi hitam. Freya berdeci
Keduanya sama-sama tersentak kaget. Namun, segera mengubah ekspresi wajah masing-masing dengan kikuk menjadi datar dan angkuh, membuat kedua petugas itu curiga, jika mereka saling mengenal. Di tengah kecanggungan, salah seorang petugas justru bersiap membuat kejadian buruk di masa depan, bakal terjadi. "Hey, kalian tidak bisa mendorongku seenaknya seperti ini?!" maki pria itu sambil memutar tubuhnya dan menodongkan jari telunjuk sedikit kasar pada wajah salah seorang petugas, yang berusaha ditepis oleh petugas yang lain. "Jaga sikap Anda, Tuan!""Kalian yang seharusnya jaga sikap!" Darren balas berteriak. Napasnya sedikit tersengal. Ia pun mengatur napas terlebih dulu agar tenang,sebelum meneruskan ucapan, "Aku tidak mengundang kalian untuk datang. Tapi, karena kalian telah lebih dulu datang dan justru mencegat diriku masuk. Maka—""Jangan banyak bicara, Tuan! Lebih baik, Anda segera pergi. Karena kehadiran Anda, tidak diterima di sini!" sahut salah seorang petugas keamanan denga
Grace tiba-tiba menghentikan langkah. Ia juga mengusap tengkuknya yang seketika meremang. Lalu, menoleh cepat ke belakang. Namun, tidak ada aktivitas mencurigakan di sana, membuatnya mengernyitkan dahi. "Sepertinya Aku terlalu berhalusinasi!" Kedua bahunya menggendik. Lalu, kembali berbalik dan meneruskan langkah.Grace mengangguk kecil pada Edward yang berdiri di depan pintu, saat lelaki itu mengangguk hormat padanya dan menyilakan masuk. "Di mana Stella?" "Ada di ruangannya, Nyonya. Mungkin sedang beristirahat. Apa perlu Saya panggilkan?""Tentu. Panggil dia, karena ada beberapa hal yang ingin aku sampaikan, sebelum kepulangan nanti.""Baik, Nyonya!"Grace terus melangkah menuju sang putra, yang ternyata telah terlelap dalam buaian mimpi. Tuan Fufu bahkan tidak lepas dari pelukan, membuatnya sedikit tersenyum simpul, terlebih kala teringat pertanyaan anaknya itu beberapa waktu sebelumnya. Tentang alasan kenapa ia membelikan boneka, alih-alih robot ataupun mainan khas anak laki-lak