Grace tidak mungkin mengatakan yang sejujurnya pada Max. Wanita itu langsung mengambil alih kondisi sebelum Max benar-benar marah. Dengan tatapan sedikit kesal, Grace menjawab pertanyaan itu. "Tidak ada Max, aku hanya lelah! Aku ingin cepat tidur," balas Grace enteng. Namun, Max masih tidak percaya. "Bohong! Aku tau kau berbohong!" gertaknya penuh selidik. "Katakan apa yang terjadi?" "Aku sudah berkata jujur! Jika kau tak percaya ya sudah, untuk apa aku paksa kau untuk percaya. Terlalu membuang tenaga!" "Kau marah karena aku meninggalkanmu malam itu?" tanya Max memicing. Sebab, hal itu yang sejak tadi mengganggunya. "Dan sekarang, kau mengabaikanku karena kau sudah mendapatkan lelaki baru?" Grace cepat tanggap dengan pernyataan Max. Situasi ini sangat menguntungkan Grace. "Ya, aku kesal dan marah denganmu! Jadi untuk apa aku mengharapkan pria yang tidak mau menyentuhku!" Max menunjuk
Max menggamati gerakan tangan Grace yang menghabiskan makanan di piringnya. Pria itu seperti tidak biasa dengan perlakuan Grace yang seperti ini. "Besok kita ke rumah papi," kata Max di sela-sela makan. Grace hanya mengangguk tanpa berkata. "Kau tidak bertanya kenapa?" Lagi, Max merasa ada yang berbeda dengan wanita itu. Grace bahkan sekarang jarang melihat dua bola mata Max. Padahal, biasanya Max bisa melihat getaran cinta dalam mata indah itu. "Tatap aku Grace!" Grace kemudian menengadah wajahnya yang tertunduk. Dua pasang bola mata saling bertatapan dalam. "Puas?!" balas Grace penuh penekanan. Setelah makan malam itu, Grace berpamitan dan kembali ke kamarnya. Sementara Max masih termenung di ruang bar. Pria itu mengambil satu botol minuman beralkohol dan menikmatinya sendiri, sambil mengingat kenangan-kenangan bersama wanita itu dulu. "Apa aku harus mela
Tidak butuh waktu lama setelah perjalanan mobil Max kini tiba di depan rumah mewah milik kedua orang tuanya. Pelayan hendak membantu mengeluarkan koper dari dalam bagasi, tetapi mendapat larangan dari Max. "Tidak usah dikeluarkan, Bi!" tolak Max."Baik, Tuan."Grace melongo. "Loh, kenapa?""Biarkan saja di situ!" tegas Max, kemudian beralih pada istrinya. "Ayo, masuk!"Sang ART pun bingung dengan perintah dua majikan yang berbeda. Lantas ia kembali ke dapur melalui pintu samping.Kedatangan Grace dan Max disambut hangat oleh Felly dan Alexander, begitu pula calon pengantin—Chelsea."Hai, Grace," sapa dua orang tua Max.Grace bergantian memeluk sang mertua. "Kami baik, Mi. Mami dan Papi juga sehat, kan?""Ya, kami sangat sehat, Grace!" seru Alex tampak lebih bugar."Iya, apalagi papimu ini tambah semangat saat mendengar Chelsea mau menikah," sahut Felly."Benarkah?" Max menimpali, kemu
Debaran jantung Max makin cepat. Pria itu takut jika Grace bisa mendengar detak jantungnya. Sebelum melangkah, Max menarik nafas dalam kemudian membuangnya panjang, menormalkan embusan napas yang tidak beraturan.Grace yang sejak tadi menepuk-nepuk kasur kosong di sisinya, menunggu dan merasa bingung. "Apa yang terjadi, Max? Kenapa kau diam? Ayo, sini, tidur di sampingku."Max segera merubah wajahnya menjadi datar, setelahnya melangkah mendekati ranjang itu. "Kenapa kau belum tidur?"Grace tau Max menanyakan itu hanya omong kosong untuk mengisi kecanggungan, Max membuat semuanya tampak biasa. Padahal Grace tau, jika Max sedang kikuk."Sudahlah tidak usah bertanya yang tidak ingin aku jawab, kau pasti sudah tahu jawabannya. Ayo, cepat tidur."Meskipun saat ini keduanya berada di ranjang yang sama, tetapi Grace tidak mengambil kesempatan itu untuk melakukan misinya. Karena ia pun juga melihat situasi yang tidak memungkinkan untuk melakukan hal itu, terlebih di rumah kedua mertuanya. Unt
Pernikahan Chelsea dan Darren diadakan di sebuah gedung megah, dikelilingi taman yang dipenuhi bunga warna-warni. Suasana anggun dan romantis menguar dari ornamen kristal dan lampu-lampu berkilauan yang menghiasi ruangan. Setiap sudut ruangan pun dipenuhi dengan karangan bunga segar, aroma manis yang menyelimuti para tamu.Di sisi ruangan luas itu disulap menjadi tempat pesta yang sangat mewah sebagai altar, tempat adik Max dan suaminya mengikrarkan ikatan suci. Max dan Grace duduk di meja utama sebagai keluarga mempelai. "Chelsea sangat cantik," puji Grace kagum dengan kecantikan adik Max.Max yang mendengarnya pun mendekatkan wajah ke telinga wanita itu, berbisik. "Kau juga cantik."Lagi, kesekian kalinya Max memuji Grace. Sepertinya benteng pertahanan Max mulai retak, bisa jadi setelah ini pertahanan pria itu roboh.Grace tersipu malu, sembari bertepuk tangan saat Chelsea melangkah masuk. Gaun putihnya berkilau di bawah cahaya, m
Sepeninggal Max dan Grace, Alex dan Felly sempat mencari pasangan suami istri itu. Namun, supir keluarga Dicaprio mengatakan, jika sang majikan yang dicari sudah pulang lebih dulu.Tiba di rumah, Max dan Grace langsung ke kamar masing-masing. Pasangan suami istri itu tampak terlihat lebih akur. Max naik ke lantai dua, sementara Grace masih menempati di kamar tamu. Sebelum Grace benar-benar masuk ke dalam kamarnya, Max bertanya. "Kau mau makan malam, Sayang?"Grace menoleh kemudian menggeleng. "Tidak, Max. Aku rasa perutku bukan balon," kekehnya."Ya sudah, mandilah," balas Max tersenyum tipis.Pria itu kemudian melanjutkan langkah kakinya, meniti anak tangga menuju kamar sembari melonggarkan dasi, setelah Grace menutup pintu rapat."Hari yang melelahkan," gumam Max yang kemudian melepas jas serta kemejanya.Max sejenak termenung duduk di tepi ranjang, pria itu memikirkan suasana saat di pesta Chelsea. "Mengapa
Max melangkah dengan tatapan semakin menajam, seolah harimau yang siap menerkam mangsa. Kedua tangannya pun terulur menarik kepala Grace, berada di tengkuk belakang wanita itu. Rasa cemburunya mengalahkan rasa takut, hingga membuat Max tidak lagi menghindari tatapan sang istri.Gelombang gairah bergelung dalam pasangan suami istri itu. Ia mengikuti nalurinya, Max menggunakan insting untuk memulai semuanya. Meskipun mereka pernah melakukan malam panas sebelumnya, tetapi masih tercipta rasa malu-malu di antara keduanya."Kau benar-benar sangat cantik," puji Max terdengar mendesis.Grace membalas tersenyum dengan tatapan menggoda.Embusan napas berat Max bisa dirasakan Grace hingga menembus kulit wajahnya. Wanita itu reflek memejamkan mata saat Max semakin mendekatkan muka. Pria tampan itu kemudian mengecup bibir tipis Grace dengan lembut. Ada rasa manis dan mint dalam kecupan hangat itu. Ciuman yang berawal pelan, semakin lama menjadi
Grace yang sedang berpose seksi membuat Max ingin segera menerkamnya. Max merangkak di atas tubuh wanita itu. Kemudian kedua bibir saling berciuman, Max melumat seluruh bibir sang istri hingga bagian terdalam."Oh, Max ..." Desahan lolos begitu saja setelah Max melepasnya ciuman.Puas dengan bagian atas, Max semakin turun hingga perut bagian bawah pun tak luput dari bibir maskulin sang suami."Kau suka ...?" tanya Max di sela-sela gelitikan.Grace hanya bisa merintih nikmat, bukan kesakitan, tapi nikmat tak tertahan.Max mulai menggelitik dengan lidah hingga wanita itu menggeliat, dan terus meliuk. Tak berhenti di situ, Max lantas membuka kedua kaki Grace yang terlihat putih tak tercela. Pria itu menggeleng pelan, mengungkapkan rasa kagumnya."Pantas saja semua pria terpesona padamu, Sayang," ucap Max.Pria itu duduk bertumpu pada kedua kakinya di depan kaki Grace yang terbuka. Ia semakin antusias dengan membungkukk
Di negara Turki, Steve dan Agatha sedang berada di Cappadocia. Salah satu tempat yang menawarkan pemandangan menakjubkan berupa lanskap berbatu dengan balon udara yang menghiasi langit, menciptakan pemandangan yang spektakuler.Pasangan yang berbulan madu di sini bisa menikmati sensasi terbang dengan balon udara sambil melihat keindahan alam Cappadocia dari ketinggian. "Apa kamu menyukainya?" tanya Steve.Wanita yang kini menjadi istrinya itu, bersandar pada dada bidang Steve, lalu mendongak, "Hm, aku sangat menyukainya. Tempat ini sangat menakjubkan!""Aku pun juga begitu. Meskipun aku sudah mengunjungi banyak negara, tapi ini lebih berbeda .... Beda karena ada kamu di sisiku," balasnya kemudian mengecup bibir sang wanita. "Kamu percaya aku begitu mencintaimu?"Dengan cepat Agatha mengangguk, "Aku sangat percaya padamu. Untuk apa aku menerima lamaranmu kalau aku tidak yakin dengan suamiku?"Pria itu tersenyum lembut dan se
Mendengar ucapan Freya, Darren berdecih. Bagaimana ia harus mempercayai wanita itu? Sementara sebelumnya, dirinya dan Freya sedang membuat janji bertemu di resto itu."Apa kamu tidak terlalu licik, Miss Freya? Kamu pikir bisa membohongiku lagi?" sarkas Darren. "Kenapa kamu tadi tidak datang? Huh, dasar wanita penipu!"Keduanya memang hendak bertemu di resto itu. Namun, saat Freya hampir menginjakkan kaki ke dalam, ia melihat kekacauan akibat Darren yang membuat onar. "Apa kamu gila Tuan Darren?! Kamu mau menunjukkan pada Grace jika kita menjalin kerja sama?" Nada suara Freya meninggi satu oktaf.Darren terbeliak, "Jadi kamu melihatnya?"Terdengar gelak tawa membahana dari Freya, "Apa yang tidak kuketahui, Tuan Darren?" sindirnya.Sejenak Darren memupuk dirinya untuk mempercayai ucapan wanita itu lagi. Sulit baginya untuk percaya wanita seperti Freya. Darren pun juga banyak mengetahui tentang sepak terjang Freya di dunia bisnis.
Semua mata tertuju pada sosok pria yang berjalan cepat dengan membawa pecahan botol di tangannya. Kedua mata dengan api dendam, membutakan Darren membunuh wanita yang menjadi target utama, adalah mantan kakak ipar. Namun, sepertinya Darren sudah melupakan itu. Grace melihat semua itu serasa detak jantungnya berhenti sepersekian detik, ketika melihat Darren hendak membunuhnya. "AAAA ...!!" Namun, tiba-tiba saja sebuah tendangan tepat sasaran mengenai tangan Darren sebelum aksi pria itu berjalan lancar, hingga pecahan botol dalam genggamannya terlempar jauh. TRANK! PYAR! "ARGH!! SIALAN!!" umpat Darren membungkuk, memegang pergelangan tangan, "Brengsek! Siapa berani menghalangiku!" Grace langsung berdiri dan menjauhi Darren. Ia melihat sosok pria yang samar-samar ia kenal mendekatinya. "Apa Nyonya terluka?" tanya Kenan. "Ak-aku tidak apa-apa." Grace masih
Setelah menghabiskan malam bergairah, dan obrolan sesaat sebelum keduanya terlelap. Max mengatakan jika saat Grace pergi, Chelsea berada di rumahnya. Pria itu juga mengatakan bila Darren bukan lagi suami sang adik. Sesaat Grace terkejut mendengarnya, tapi apa boleh buat. Semua keputusan ada di tangan Chelsea dan Max. Hingga pagi ini, Grace dibuat sakit kepala entah karena apa ia sendiri juga tidak tahu. "Ada apa dengan kepalamu, Baby?" tanya Max menghentikan pergerakan tangan. Max yang sudah bersiap dengan setelan jas dan kemeja berdiri merapikan dasi, tatapannya sontak terarah pada sang wanita dari pantulan cermin yang duduk di atas ranjang dengan memegang kepala. "Uhm, tidak tau, Max. Kepalaku berdenyut sekali." "Apa tidurmu tidak nyenyak? Atau ... ada yang menganggu pikiranmu?" "Tidak ada, aku tidak pikirkan apapun. Tapi ... tidak apa, nanti aku minum obat saja," ujar Grace segera mengalihkan perhatian sang suami. "Ya sudah, kalau begitu tidak perlu ke kantor." "Hm,
Grace kini sedang bermanja-manja, menghabiskan waktu dengan sang suami. Pasalnya sejak kepulangannya dari Jerman, pria itu tidak sedetik pun melepaskan pelukannya.Keduanya kini sedang berada di atas ranjang dalam kamar luas dengan interior mewah. Grace berusaha melonggarkan kedua tangan sang pria yang berada di tubuhnya."Max, lepas! Sudah berapa lama kamu seperti ini, hm?" geram Grace tidak bisa berkutik."Sebentar lagi, aku masih rindu dengan aroma tubuh ini ..." Max tak hentinya menciumi ceruk leher sang istri dan mengendus aroma shampo pada rambut kepala Grace."Ya ... tapi ini sudah sangat lama, Max. Aku tidak bisa bergerak. Ayolah geser sedikit ..." Sang wanita berusaha mendorong dada bidang suaminya. Namun apa daya, tenaganya jelas kalah dari pria itu."Hanya sebentar, Sayang. Sebentar saja ..." Lagi-lagi Grace tidak bisa menolak permintaan sang pria. "Ya sudah, waktumu hanya sepuluh menit saja, Max! Ingat! Sepuluh menit!"Max terkekeh mendengar celotehan sang istri yang sema
Freya segera menatap ke arah Darren, kemudian tersenyum tipis. "Sepertinya saya harus menerima panggilan telepon terlebih dahulu. Baru kita sambung pembicaraan ini." "Terserah. Karena sepertinya saya juga harus pergi dari sini!" sahut Darren dingin, "jadi saya tidak akan tertarik. Jika Anda berpikir saya akan menunggu Anda kembali." Ia bangkit berdiri, sambil merapikan kedua sisi jasnya dengan raut angkuh. Freya memandang pria yang kini berdiri di hadapannya. "Oleh karena itu, simpan saja pembicaraan omong kosong Anda atau pertanyaan konyol selanjutnya!" Darren berbalik. Lalu, pria itu melangkah tegap meninggalkan Freya yang ternganga lebar, tidak percaya dirinya ditinggalkan seperti sebuah benda tidak berharga. "What the—" Freya menggeram. Ia bahkan terlupa dengan ponselnya yang sedari tadi bergetar, hingga akhirnya berhenti dengan sendirinya. Saat baru tersadar, dirinya dengan cepat menoleh ke bawah, hanya untuk melihat layarnya berubah menjadi hitam. Freya berdeci
Keduanya sama-sama tersentak kaget. Namun, segera mengubah ekspresi wajah masing-masing dengan kikuk menjadi datar dan angkuh, membuat kedua petugas itu curiga, jika mereka saling mengenal. Di tengah kecanggungan, salah seorang petugas justru bersiap membuat kejadian buruk di masa depan, bakal terjadi. "Hey, kalian tidak bisa mendorongku seenaknya seperti ini?!" maki pria itu sambil memutar tubuhnya dan menodongkan jari telunjuk sedikit kasar pada wajah salah seorang petugas, yang berusaha ditepis oleh petugas yang lain. "Jaga sikap Anda, Tuan!""Kalian yang seharusnya jaga sikap!" Darren balas berteriak. Napasnya sedikit tersengal. Ia pun mengatur napas terlebih dulu agar tenang,sebelum meneruskan ucapan, "Aku tidak mengundang kalian untuk datang. Tapi, karena kalian telah lebih dulu datang dan justru mencegat diriku masuk. Maka—""Jangan banyak bicara, Tuan! Lebih baik, Anda segera pergi. Karena kehadiran Anda, tidak diterima di sini!" sahut salah seorang petugas keamanan denga
Grace tiba-tiba menghentikan langkah. Ia juga mengusap tengkuknya yang seketika meremang. Lalu, menoleh cepat ke belakang. Namun, tidak ada aktivitas mencurigakan di sana, membuatnya mengernyitkan dahi. "Sepertinya Aku terlalu berhalusinasi!" Kedua bahunya menggendik. Lalu, kembali berbalik dan meneruskan langkah.Grace mengangguk kecil pada Edward yang berdiri di depan pintu, saat lelaki itu mengangguk hormat padanya dan menyilakan masuk. "Di mana Stella?" "Ada di ruangannya, Nyonya. Mungkin sedang beristirahat. Apa perlu Saya panggilkan?""Tentu. Panggil dia, karena ada beberapa hal yang ingin aku sampaikan, sebelum kepulangan nanti.""Baik, Nyonya!"Grace terus melangkah menuju sang putra, yang ternyata telah terlelap dalam buaian mimpi. Tuan Fufu bahkan tidak lepas dari pelukan, membuatnya sedikit tersenyum simpul, terlebih kala teringat pertanyaan anaknya itu beberapa waktu sebelumnya. Tentang alasan kenapa ia membelikan boneka, alih-alih robot ataupun mainan khas anak laki-lak
"Mommy!" panggil Leon, menghentikan gerakan Grace saat sedang melipat mantel bulu miliknya. Grace juga menoleh ke belakang, ke arah sang putra yang berbaring sambil memeluk sebuah boneka rusa, yang baru saja ia belikan beberapa saat yang lalu. Grace mendekat. Lalu, duduk di tepi brankar. "Yes, Honey. Ada apa?" Tangan kanannya terulur, mengusap lembut poni Leon. "Apa Mommy, mau pulang sekarang?" Mata Leon mengerjap lucu, membuat senyum lebar menghiasi wajah sang bunda. "Mommy mau ketemu sama Dokter Brian dulu, Sayang. Nanti Mommy pasti kembali. Lalu, sorenya Mommy akan pulang," ungkap Grace jujur. Lalu memberikan kecupan sayang di kening ang putra, yang segera memejamkan mata, menikmati kasih sayang tercurah dari ibunya. "Ok. Jangan lama-lama, ya!" pinta Leon, semakin mengeratkan pelukan pada bonekanya, yang baru saja ia nobatkan sebagai Tuan Fufu yang Lucu. "Iya. Jika sudah selesai, Mommy pasti akan kembali." Grace terenyuh melihat kedewasaan sang putra, di usianya yang terbila