Arthur melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, matanya terus melirik Grace yang terbaring lemah di kursi penumpang. Nafasnya berat, tubuhnya berkeringat, dan wajahnya pucat. Arthur menekan gas lebih dalam, mempercepat laju menuju rumah sakit kenalannya."Grace ... bertahanlah! Sebentar lagi kita akan sampai. Tahan dulu ...," ucap Arthur sesekali melirik ke arah spion mobilnya."I-iya ... urgh," rintihnya sembari menekan perutnya yang terasa semakin nyeri.Tak berselang lama mereka berdua tiba juga di depan rumah sakit. Arthur segera keluar dari mobil, menggendong Grace dengan hati-hati. "Tolong! Ada pasien darurat!" serunya kepada petugas medis "Iya, Pak. Tunggu sebentar!" sahut salah satu petugas medis sembari membawa sebuah ranjang beroda untuk pasien.Setelah itu, Grace dibaringkan dibantu oleh Arthur, dan mereka segera mendorongnya ke ruang IGD. Arthur mengikuti di belakang, wajahnya tegang. Tak lama kemudian, seorang wanita
Malam semakin larut, langit gelap menyelimuti kawasan kota, dan angin dingin bertiup menusuk tulang. Di sebuah jalan sepi yang dikelilingi oleh pepohonan rindang, Diego dan Ruben berdiri di samping hamparan ilalang setinggi pinggang, terlihat gelisah dan frustrasi. Wajah Diego memerah, matanya menyala penuh amarah."Lari ke mana dia?!" bentak Ruben, suaranya menggema di malam yang sunyi. Ia berkacak pinggang seraya mengatur nafasnya.Diego mengangkat bahu dengan ekspresi tak peduli. "Mana aku tahu? Kita mengejarnya bersama-sama tadi!"Ruben berjalan mondar-mandir, menendang kerikil di depannya dengan kesal. "Seharusnya kau lebih teliti memperhatikan arah larinya.""Bagaimana mungkin dia bisa berlari dalam kondisi seperti itu?" tanya Diego mengalihkan "Bukan persoalan larinya, dasar bodoh! Tapi, kau seharusnya memperhatikan!" sanggah Ruben dengan ekspresi marah, seolah semua ini kesalahan Diego.Diego mendengus sambil melipa
Di Rumah sakit Chartie, Brian menatap bingung dengan ponselnya yang menghitam kembali. Ia tidak bisa menelpon Grace meskipun Brian sudah melakukannya berulang kali.Brian melangkah lebih dekat ke ruang ICU, melihat Alika menatap nanar pada sosok yang sedang terbaring di dalam sana. Pria itu menghela napas berat, "Sudah. Alika paham kan, kenapa Om melarang Leon pergi keluar?" tanya Brian penuh ketegasan.Tatapan Alika kosong, melihat sahabatnya dengan kedua mata berkaca-kaca. Gadis itu tidak mampu menjawab bahkan bersuara. Sejujurnya Bryan pun merasakan kesedihan melihat Alika yang terlihat syok saat mengetahui Leon keadaan yang seperti itu namun hal itu perlu ia lakukan agar kedua anak itu bisa mengambil makna dari kejadian yang sudah terjadi. Terkadang anak-anak memang perlu untuk pendidikan yang lebih keras untuk mendisiplinkan. Bukan karena orang tuh orang dewasa kejam namun mengingatkan bahwa keselamatan lebih utama dan t
Kediaman Chelsea tampak sunyi, hanya suara jarum jam di dinding yang terdengar berirama, memecah keheningan malam. Di dalam kamar Chelsea, lampu tidur yang redup menerangi ruangan dengan cahaya lembut. Chelsea duduk di tepi ranjangnya, memegang bantal kecil sambil memeluknya erat. Ia merasa gelisah, pikirannya dipenuhi oleh satu nama yakni Kenan, bodyguard yang selalu menemaninya."Astaga ... kenapa aku tidak bisa tidur?" Chelsea bertanya pelan pada dirinya sendiri. Ia mendongak menatap langit-langit kamar, berharap menemukan jawaban di sana. Namun, pikirannya tetap berputar tanpa henti."Apa yang sebenarnya terjadi padaku?"Ia bangkit dari ranjang dan berjalan ke arah jendela. Tirai tipis melambai lembut karena angin malam yang masuk dari celah jendela. Chelsea memandang keluar, matanya menatap kosong ke kegelapan malam yang dipenuhi gemerlap lampu kota."Kenan," ia berbisik, namanya terasa asing tapi begitu akrab di bibirnya. "Kenapa a
Restoran itu dipenuhi nuansa mewah dan dekorasi elegan membuat suasana romantis yang menenangkan. Para pelayan berseragam hitam putih bergerak dengan lihai, melayani tamu-tamu yang berbincang santai. Chelsea masuk lebih dulu, mengenakan senyum percaya diri yang menutupi kegugupan yang menggerogoti hatinya."Di sini, Nyonya?" tanya Kenan seraya memandangi sekeliling.Chelsea menoleh lalu tersenyum. "Iya, Kenan. Kenapa?"Kenan menggeleng. "Ah, tidak apa-apa." Namun, pikiran Kenan berputar sesaat. "Kesannya ... restoran ini seperti tempat untuk berkencan ... apa nyonya Ingin bertemu dengan seorang pria?" batinnya.Kenan mengikutinya dari belakang, merasa sedikit tak nyaman berada di tempat seperti ini. Sebagai seorang bodyguard, ia terbiasa bertindak sebagai pelindung, memastikan keamanan majikannya, bukan duduk sebagai tamu di tempat mewah seperti ini.Chelsea berhenti di sebuah meja dekat jendela besar yang menawarkan pemandangan kota
Langit kota sore itu dipenuhi awan kelabu, seperti suasana hati Freya yang gelisah. Duduk di kursi berlapis kulit di ruang kerjanya, ia menekan pelipisnya dengan keras, mencoba mengusir rasa sakit kepala yang tak kunjung reda. Pikiran tentang Grace, Ruben, dan Diego terus berkecamuk di benaknya, membuatnya semakin frustrasi."Sial!" Freya mengumpat sambil memukul meja. "Akhir-akhir kepalaku terus-menerus sakit! Pasti gara-gara aku terlalu banyak pikiran! Belum lagi punya dua anak buah yang bodoh dan menyebalkan!"Freya tahu sesuatu tidak beres. Ia sudah memberi perintah yang jelas kepada kedua anak buahnya. Tapi mengapa semuanya terasa salah? Seolah kedua anak buahnya memang tak begitu kompeten untuk urusan seperti ini. "Ah, yang penting mereka berdua sudah menyekap Grace. Untuk sekarang aku bisa sedikit santai dan ... aku harus ke dokter dulu untuk memeriksa kepalaku."Ia akhirnya memutuskan untuk berkonsultasi ke dokter langganannya. Freya
Pagi itu, Max sedang berdiri di depan cermin besar di kamarnya. Jas berwarna abu-abu tua yang elegan melekat sempurna pada tubuhnya. Wajahnya yang tampan terlihat tenang, namun pikirannya sibuk mempersiapkan strategi yang akan disampaikan dalam rapat hari ini. "Aku harus fokus! Aku tak mau acara penting seperti ini terganggu oleh pikiran-pikiran yang sedari kemarin mengusikku!" batin Max segera menarik nafas panjang lalu mengembuskannya."Ah, sudah jam segini ternyata." Jam di dinding menunjukkan pukul 07:55 ketika ketukan di pintu kamar terdengar."Masuk," ujar Max singkat.Christ membuka pintu, mengenakan setelan formal dengan raut wajah profesional seperti biasa. "Tuan, kata sopir, mobilnya sudah siap. Kita bisa berangkat sekarang," katanya sembari melirik arloji."Oke, ayo kita berangkat."Max mengangguk kecil, mengambil berkas-berkas yang telah disiapkannya di meja, lalu berjalan keluar kamar. Keduanya menuju lift, lal
Setelah makan siang yang memuaskan, Max mengikuti Anthony menuju mobil yang akan membawa mereka ke rumah sakit Chartie. Sepanjang perjalanan, suasana di dalam mobil terasa lebih tenang. Max, yang biasanya penuh keyakinan, tampak berpikir. Sementara itu, Christ duduk di kursi depan, sesekali menoleh ke belakang untuk memastikan segalanya berjalan lancar."Anthony ... bagaimana kondisi Tuan Elvis sekarang?" tanya Max, memecah keheningan.Anthony, yang duduk di sebelahnya di kursi belakang, menatap jendela mobil sebelum menjawab, "Cukup stabil, tapi beliau masih harus banyak istirahat. Ini sudah minggu kedua papa dirawat di sana. Jujur saja, papa selalu membicarakanmu sebelum aku bertemu denganmu, Max."Max sedikit tersenyum, mencoba merespons dengan sopan. "Aku merasa terhormat. Aku berharap pertemuan ini bisa membuatnya lebih semangat."Anthony mengangguk, wajahnya menunjukkan rasa syukur. "Haha ... aku juga berharap begitu."Ket
Setelah membaca pesan misterius yang ia terima, Grace berusaha menghilangkan keresahan di hati.Ia langsung bangkit, melangkah keluar ruangan. Grace berencana langsung pulang ke rumah dan memberesi barang penting yang akan ia bawa, termasuk visa dan pasport.Setelah perjalanan beberapa menit, Grace sedikit terkejut saat melihat mobil Max ada di rumah, pasalnya saat dia ke kantor, Max memang belum berangkat. "Apa dia libur?" gumamnya mulai tak tenang.Langkah kakinya terhenti saat suara bariton yang ia kenali, menyapa, "Baby, kenapa kembali? Kamu tidak jadi ke kantor?"Grace melepas sepatu hak tingginya dan berjalan ke arah suara itu. Max sedang duduk di sofa, mengenakan kemeja santai dan celana panjang. Wajahnya tampak penasaran, tetapi ia tersenyum ketika melihat Grace. "Hei, sayang," sapanya lembut. Grace mendekat dan duduk di sampingnya. "Aku hanya mampir sebentar tadi. Rasanya aku ingin istirahat." Max menggeleng pelan.
Persiapan Grace benar-benar matang, mulai dari berpamitan kepada dua orang meskipun secara tidak langsung. Namun, setidaknya ia bisa meredakan rasa sesak dalam hatinya.Pagi ini, Grace melangkah masuk ke kantor, sepatu hak tingginya mengeluarkan bunyi ketukan teratur di lantai marmer. Wajahnya terlihat tegas, meskipun matanya menyimpan kelelahan yang sulit disembunyikan. Di meja resepsionis, Vio—sekretaris pribadinya—sudah menunggu. Satu jam yang lalu, Grace sudah mengirim pesan padanya. Wanita itu selalu siap kapan pun Grace membutuhkan. "Vio, kamu sudah cek semua dokumen yang aku minta tadi?" tanya Grace langsung, tanpa basa-basi. Sang sekretaris berdiri dan mengangguk. "Sudah, Nyonya. Semuanya sudah siap di meja Anda. Apa ada tambahan yang perlu saya urus lagi?" Grace mengangguk kecil, lalu melangkah menuju ruang kerjanya. Vio mengikuti di belakangnya, membawa tablet dan sejumlah dokumen penting. Ketika mereka tiba di
Setelah beberapa saat pertemuannya dengan Arthur, mobilnya melaju perlahan di sepanjang jalan yang lengang. Grace menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Ia tahu ke mana tujuannya malam ini—ke rumah orang tuanya, Victor dan Evelyn. Ketika mobilnya berhenti di depan pagar, Grace mematikan mesin dan duduk diam selama beberapa detik. Ia menatap rumah itu, mengingat momen-momen masa kecilnya. "Maaf, Ma... Pa..." bisiknya pelan. Air mata hampir saja mengalir, tapi ia buru-buru menghapusnya. "Aku tidak punya pilihan." Setelah menarik napas panjang, Grace keluar dari mobil dan berjalan menuju pintu depan. Ia mengetuk pintu beberapa kali sebelum akhirnya Evelyn membukanya. “Grace?” Evelyn memandang putrinya dengan sedikit terkejut. “Kamu tidak bilang mau datang.” Grace tersenyum kecil. “Ma, aku cuma ingin mampir. Sudah lama kan, aku tidak ngobrol sama Mama sama Papa.”
Bab227#Setelah menghabiskan waktu untuk berbulan madu. Keduanya kini mengakhiri masa libur mereka.Chelsea tersenyum kecil, memandangi wajah suaminya yang tetap fokus mengemudi. Meski ia tahu perjalanan mereka menuju rumah masih panjang, hatinya terasa ringan. Ada rasa nyaman yang tak terjelaskan, seolah semua percakapan mereka sepanjang perjalanan ini menjadi semacam pengikat. Mobil terus melaju melewati jalan-jalan yang mulai ramai. Chelsea bersandar di kursinya, menyandarkan kepala ke bahu Kenan. “Aku tidak sangka perjalanan ini cepat usai, Ken.” Kenan menoleh sedikit, menatapnya lembut. “Aku juga merasa begitu. Tapi kan, kita sudah sepakat. Ini bukan yang terakhir.” “Janji, ya?” Chelsea mendongak, menatap suaminya dengan mata berbinar. Kenan tersenyum kecil, lalu mengecup keningnya. “Janji. Nanti kita buat rencana lagi.” Chelsea tersenyum puas. Ia memejamkan mata, mencoba menikmati perjalanan pulang mereka
Chelsea menahan senyumnya, lalu melipat kedua kakinya di atas ranjang. “Tentang kamu. Masa lalumu. Kamu jarang bahkan tidak pernah cerita, Ken. Aku tahu kamu tidak suka bicara soal itu, tapi aku mau tau. Apa kamu pernah merasa ... ya, kesepian?” Kenan menghela napas perlahan, lalu menoleh ke arah jendela yang masih memperlihatkan sedikit kilauan bintang. Udara malam dari celah jendela terasa dingin, tapi juga menenangkan. Ia menyandarkan punggungnya ke kepala ranjang, mencoba mengatur kata-kata dalam pikirannya. “Masa kecilku, ya?” Kenan akhirnya membuka suara. “Itu tidak pernah jadi sesuatu yang aku banggakan, Chelsea. Aku tidak pernah punya keluarga yang utuh. Mama meninggal beberapa waktu yang lalu. Beliau mungkin masih menyisakan luka yang dalam akibat papaku. Aku bahkan hampir tidak ingat wajahnya. Papa ..."Kenan berhenti sejenak, menelan ludah. “Papa pergi sejak Anna bayi. Ia lebih pilih hidup dengan wanita lain yang dianggapnya lebi
Mendengar ungkapan Kenan, tentu saja membuat Chelsea penasaran, siapa yang mengajari suaminya itu. Kenan pura-pura berpikir sebentar, lalu tersenyum jahil. “YouTube.” Chelsea langsung memukul punggung sang pria, seraya mendengus geli. "Oh, pantas saja. Kukira kamu serius belajar dari chef terkenal atau gimana. Ternyata hasil tutorial."“Tapi yang penting hasilnya enak, kan?” Kenan membalas sambil menatap Chelsea yang sedang sibuk menyantap spaghetti buatannya. Chelsea mengangguk kecil sambil menyuapkan lagi spaghetti ke mulutnya lagi. “Enak sekali, Ken. Kalau gini pun aku tidak bingung kalau pelayan pulang kampung, hehehe ...” tawanya.“Ya, aku kan suami yang serba bisa,” jawab Kenan santai, tapi senyumnya tetap lebar. Chelsea hanya menggeleng-geleng pelan, mencoba menahan tawa. “Iya, iya. Suami serba bisa. Tidak salah aku nikah sama kamu.” Kenan tertawa kecil, tapi kemudian menatap Chelsea dengan lembut. “Aku c
Angin dingin khas pegunungan perlahan menyelinap di sela-sela kulit. Chelsea menarik syal yang melingkar di lehernya, mencoba menghangatkan diri. Di hadapan mereka, villa yang mereka sewa untuk beberapa hari ke depan berdiri megah. Bangunannya bergaya rustic modern, dengan dominasi kayu cokelat tua yang berpadu dengan kaca besar yang memantulkan pemandangan hijau di sekitarnya. Di belakang villa, pegunungan menjulang tinggi, membingkai lanskap alami yang seperti lukisan. “Ken, aku tidak tau kalau tempat ini akan seindah ini …” Chelsea berujar, suaranya pelan namun penuh kekaguman. Kedua mata tak henti-henti memindai setiap detail villa. Balkon kayu yang menghadap langsung ke lembah, kolam renang kecil yang airnya jernih seperti kaca, hingga taman kecil di samping villa yang dihiasi dengan bunga-bunga musim semi yang sedang mekar. Kenan terkekeh kecil. “Aku tau. Makanya aku tidak kasih lihat detail fotonya ke kamu waktu pesan.” Che
Chelsea menatap Kenan, bibirnya sedikit terbuka, seakan ingin bicara. Tapi, seperti ada sesuatu yang membekukan lidahnya. Pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi kepalanya seakan berlomba-lomba keluar, tetapi tidak ada satu pun yang berhasil terucap. Mata Kenan yang tenang menatapnya dengan lembut. "Chelsea, ada sesuatu yang mau kamu ucapkan?" tanyanya lagi, suaranya rendah, penuh perhatian.Chelsea menelan ludah, mencoba mencari kata-kata yang tepat. Tapi akhirnya, hanya sebuah senyuman kecil yang berhasil keluar. "Tidak, aku cuma ... cuma kepikiran saja," katanya pelan.Mengangguk lirih, meskipun demikian, Kenan terlihat tidak sepenuhnya percaya. Tapi, seperti kebiasaannya, dia tidak memaksa. "Kalau begitu, jangan pikirkan terlalu berat, ya. Kita harus saling berbagi." Kenan menepuk punggung tangan Chelsea dengan lembut, lalu berdiri, "Tidur yang nyenyak. Besok kita jalan pagi-pagi."Chelsea hanya mengangguk, meski hatinya tidak bena
Suara Kenan membuyarkan lamunan Chelsea. Nada bicara lembut, seperti biasa, tetapi cukup untuk membuat Chelsea menyadari bahwa ia sudah terlalu jauh tenggelam dalam pikiran.Chelsea mengerjap cepat, menoleh Kenan yang duduk di sampingnya dengan sorot mata penuh perhatian. "Aku tidak apa-apa," jawabnya cepat. Kenan menatapnya sejenak, jelas tahu ada sesuatu yang mengganjal. Tapi seperti biasa, dia tidak memaksa. "Kalau ada apa-apa, bilang saja. Aku di sini, oke?"Chelsea mengangguk pelan. Dia tahu Kenan tulus, namun ada sesuatu yang belum bisa dia ungkapkan. Belum sekarang, pikirnya.“Eh, ngomong-ngomong soal bulan madu, Kak Chelsea sudah ada ide mau ke mana?” Anna tiba-tiba menyela, memecahkan keheningan yang sempat tercipta. Gadis itu menatap mereka dengan mata berbinar, seperti anak kecil yang menunggu cerita dongeng. Chelsea menghela napas kecil. "Belum ada, Anna. Aku masih bingung."Anna langsung berseru, "Yah, ke