Namun, ada keraguan lain yang menghantui. "Darren memang obsesif, tapi apakah dia benar-benar tega mengirim pembunuh bayaran hanya untuk mengincarku? Atau mungkin ... ini ada maksud lain yang tersembunyi?" bisiknya, rasa takut kembali mencengkeram.Grace menggigit bibirnya, berusaha menenangkan diri. Tetapi semakin lama ia berpikir, semakin banyak bukti yang ia lihat tentang keanehan sikap Darren. Apakah ia terlibat dalam semua ini? Ataukah ada musuh lain yang lebih berbahaya, yang tidak pernah ia duga sebelumnya?"Aku harus bertahan," pikir Grace, sambil berusaha untuk tetap tenang dan melanjutkan pelariannya. Meski hatinya cemas, ia tahu satu hal jika ia berhenti sekarang, itu berarti akhir dari semuanya. "Intinya sekarang aku harus bisa lolos dari mereka! Aku tidak punya pilihan lain!"*Setelah beberapa saat bersembunyi di balik pohon-pohon yang rapat, dengan napas yang masih terengah-engah dan tubuh yang penuh luka goresan, Grace memutus
Pertanyaan Viona membuat Grace hampir saja gelagapan menjawabnya. Wanita itu sesekali melirik ke arah mobil yang sedang direparasi. "Yang penting Anda baik-baik saja, Nyonya," ucap Vio memahami keadaan sang CEO yang sepertinya tidak ingin menjawab pertanyaannya. Suasana bengkel sudah mulai sepi. Hanya terdengar suara alat-alat bengkel yang bergerak ringan, menghadirkan rasa sunyi yang semakin menggelayuti Grace. Pekerjaan penggantian kaca belakang mobil selesai dengan cepat, dan Grace merasa sedikit lega. Setidaknya, satu masalah teratasi. Viona menyelesaikan pembayaran dan menyerahkan kunci mobil kepada Grace. "Semuanya sudah beres, Nyonya. Kaca belakang sudah diganti dan dipasang dengan sempurna," kata Viona, suaranya masih terdengar penuh perhatian meskipun ada rasa heran yang tak terungkap. Grace mengangguk sambil menerima kunci, sedikit tersenyum meskipun senyumnya terasa canggung. "Terima kasih, Vio. Kalau
Rasa bahagia begitu menyelimuti Grace. Pasalnya, Max tidak benar-benar mandul seperti apa yang dinyatakannya. Dan sekarang, wanita itu sangat senang karena bisa segera mengobati putra semata wayangnya dengan calon bayi yang sedang ia kandung.Sebisa mungkin ia ingin kabur secepatnya sekarang juga mengingat sekarang nyawanya di Italia sedang dalam bahaya. Namun, Ia teringat kembali pada pesan Dokter Emily yang mengatakan kandungannya kemungkinan masih dalam keadaan rentan. Yang artinya masih bisa terjadi keguguran."Aku tidak boleh gegabah sekarang. Aku harus menunggu beberapa bulan untuk menguatkan calon bayi ini," ucap Grace lirih sembari mengusap perutnya yang masih datar. "Untungnya Max juga tidak banyak pertanyaan. Walaupun aku tau dia sedikit curiga ..."Wanita itu memeluk dirinya sendiri, merasakan tubuhnya yang masih menyisakan goresan. Beruntungnya saat di rumah Grace bisa menutupinya dengan dengan foundation.Grace kini sedang duduk
Pagi yang cerah menyelimuti kediaman Chelsea. Di halaman depan, Kenan, pria dengan postur tegap berusia 28 tahun, sedang mengelap kaca mobil dengan kain microfiber. Gerakan tangannya terampil, menampakkan kebiasaannya yang teliti dan profesional. Namun, meski tubuhnya bekerja, pikirannya mengembara. Tawaran Chelsea untuk menjadi bodyguard pribadinya terus menghantui pikirannya sejak semalam.Langkah kaki halus terdengar mendekat. Kenan mengangkat wajah dan melihat Chelsea berjalan ke arahnya dengan senyum tipis. Wanita itu terlihat anggun dalam pakaian kasual, kemeja putih dan celana panjang krem yang membuatnya tampak segar namun tetap elegan."Selamat pagi, Ken," sapa Chelsea lembut."Selamat pagi, Nyonya," balas Kenan sambil menurunkan kain yang dipegangnya. "Ada yang bisa saya bantu?"Chelsea menggeleng kecil, lalu menyandarkan punggungnya ke bodi mobil. "Tidak ada yang khusus, hanya ingin berbicara denganmu. Tentang tawaran yang aku ajuk
Saat Grace menatap jendela, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang tegas di lantai yang membuatnya menoleh seketika. Max, suaminya, muncul dari arah tangga dengan mengenakan setelan jas abu-abu rapi. Dasi biru tua yang kontras melengkapi penampilannya yang selalu tampak sempurna. Grace tersenyum kecil melihatnya, meskipun ia tahu Max mungkin sedang terburu-buru seperti biasa."Selamat pagi, Max," sapa Grace lembut sambil berdiri dari kursinya."Pagi, Baby," balas Max sambil merapikan kerah jasnya di depan cermin dinding. "Kamu sudah bangun lebih dulu pagi ini. Apa ada sesuatu yang penting?" tanyanya tanpa menoleh.Grace menggeleng sambil berjalan mendekat. "Tidak ada yang penting. Aku hanya menerima telepon Chelsea yang membahas Kenan. Oh, apa kamu sudah sarapan? Aku bisa siapkan sesuatu yang cepat kalau mau."Max menoleh dan memberikan senyum tipis. "Terima kasih, Baby. Tapi, aku agak buru-buru. Ada rapat pagi ini di kantor ya
Kedua pasang suami istri di ruang itu saling bertanya-tanya. Felly sendiri merasa melupakan anak perempuan keluarga Dicaprio."Apa?! Aduh, bagaimana ini? Anak itu pasti mengomel bila tidak diikutkan," ucap Felly dengan ekspresi cemas."Tenang saja, Mi. Chelsea pasti tidak marah. Dia pasti bisa memahami," timpal Grace menenangkan mertuanya."Lain kali Mami harus mencatat nama Chelsea di kepala Mami," seloroh Alex terbahak. Pria itu sadar bila usia sudah menguras daya pikir mereka."Wah, Papi bisa saja!" sahut mereka semua tergelak.Setelah hidangan pembuka disajikan, Alex membuka percakapan. "Jadi, ulang tahunku kali ini akan menjadi sesuatu yang berbeda. Aku ingin acara ini menjadi kenangan yang tak terlupakan, bukan hanya untukku, tapi untuk semua tamu yang hadir."Grace tersenyum sambil menatap Alexander. "Itu ide yang luar biasa, Pi."Alexander bersandar di kursinya dengan tangan terlipat. "Aku sudah meminta asis
Ballroom hotel mewah itu dipenuhi dengan kilauan lampu gantung dan dekorasi elegan bernuansa hitam dan emas. Para tamu yang hadir mengenakan pakaian terbaik mereka, menambah kesan glamor acara malam itu. Alexander berdiri di pintu masuk ballroom dengan setelan tuksedo hitam yang rapi, menyambut setiap tamu dengan senyuman hangat dan genggaman tangan yang penuh wibawa. Grace, yang mengenakan gaun merah anggur dengan desain sederhana namun memukau, berdiri di samping Max. Di sudut lain ballroom, Chelsea masuk dengan Kenan di sisinya. Kenan mengenakan jas hitam yang dipilih khusus untuk malam itu, membuatnya terlihat berbeda dari biasanya. Meskipun ia merasa canggung berada di antara para tamu kaya dan berpengaruh, Kenan menjaga sikapnya tetap tenang."Astaga ... ini sangat mewah, Nyonya," ujar Kenan sambil melihat sekeliling ballroom, mencoba menenangkan dirinya.Chelsea tersenyum kecil, meski matanya tampak gelisah. "Papi selalu menyukai aca
Ternyata Darren selalu memancing amarah Chelsea dengan merendahkan Kenan. Meski wanita cantik itu terus menghindar, namun mantan suaminya tidak melepaskannya begitu saja. Chelsea pun heran siapa yang memberi Darren undangan? "Ah, Chelsea, aku melihat kamu sangat menikmati pesta malam ini," katanya dengan nada yang menyebalkan. Chelsea menghela napas panjang. "Darren, aku tidak ingin ada masalah lagi malam ini. Bisakah kamu pergi dan biarkan aku sendiri?" Namun, Darren justru tertawa kecil. "Masalah? Aku hanya ingin ngobrol santai. Atau mungkin bodyguard-mu ini terlalu posesif sehingga kamu tidak bisa berbicara dengan orang lain?" Kenan, yang sejak tadi berdiri siaga, menatap Darren tajam. "Tugas saya melindungi Nyonya Chelsea, bukan untuk mendengarkan omong kosong Anda, Tuan Darren yang terhormat." Darren menyeringai, menikmati reaksi Kenan. "Wah, luar biasa sekali. Kamu benar-benar serius dengan pekerjaan ini, ya? Sayang sekali, Chelsea, aku tidak tahu kalau selera pria ba
Bab156#Di depan klinik OBGYN milik Dr. Emily, Grace mengembuskan napas panjang. Langit mulai gelap, lampu jalanan menyala, dan udara dingin mulai terasa menusuk kulit. Sambil meraih ponselnya dari tas, Grace terkejut melihat notifikasi dari aplikasi bank."Pembayaran dari kartu debit Anda telah berhasil."Ia mengerutkan kening, membaca notifikasi itu berulang kali. "Pembayaran makanan di kafe Fourth Avenue?" gumamnya pelan. "Apa Leon menggunakan kartu ini untuk membayar makan malam? Apa dia bersama Stella sekarang?"Grace memiringkan kepala, mencoba mengingat apakah ia memberi izin Stella untuk membawa Leon makan di luar malam ini. Namun, ingatannya kosong. Rasa penasaran mulai bercampur dengan kekhawatiran. Ia segera mencari kontak Stella dan menekan tombol panggil.Di tempat lain, Stella yang sedang berada di mobil bersama Brian hampir melompat dari kursinya ketika ponselnya tiba-tiba berdering. Nama "Nyonya Grace" tertera di layar.
Alfonso menatap lurus ke meja di depannya, tangan kanannya menggenggam secangkir kopi yang kini mulai dingin. Carlos duduk di depannya, dengan ekspresi wajah yang tidak jauh berbeda darinya. Serius dan penuh perhitungan. Seolah otaknya sedang memikirkan sesuatu yang cukup rumit."Semua sudah kita atur," ujar Carlos dengan suara rendah. "Grace tidak akan pernah menyangka apa yang akan terjadi nantinya."Alfonso mengangguk perlahan, lalu menambahkan, "Dan polisi tidak akan bisa menemukan jejaknya. Semua akan terlihat seperti kecelakaan biasa. Kau yakin sudah siap?"Carlos memutar gelas kopinya pelan. "Seperti yang kau lihat, kita hanya perlu menunggu waktu yang tepat."Keduanya terdiam sejenak. Suasana di kafe pinggir jalan itu terasa damai, namun percakapan mereka penuh dengan ketegangan. Hanya bunyi langkah pengunjung dan suara kendaraan yang sesekali melintas memecah keheningan."Hah ... setelah dipikir-pikir, sudah lama kita tidak
Edward berdiri cemas di ruang tamu rumah Alika. Pandangannya terpaku pada ponsel yang ada di tangan. Sejenak ia ragu mengabarkan tentang hilangnya Leon dan Alika dari pengawasannya. Mungkin hanya butuh beberapa detik, namun rasanya sudah seperti berjam-jam baginya untuk menentukan keputusan.Leon dan Alika hilang, mereka belum kembali juga. Setiap detik yang berlalu menambah kekhawatiran dalam dirinya. Tak bisa menunggu lebih lama, Edward memutuskan untuk segera menghubungi Brian."Brian, ini Edward. Aku butuh bantuanmu, Leon dan Alika ... mereka hilang! Aku tidak tahu di mana mereka!" Suaranya terdengar panik dengan raut cemas.Brian seketika terhenyak "Apa?! Kamu serius? Mereka hilang? Kenapa kamu bisa kehilangan mereka?!"Kemarahan Brian pun semakin menjadi. Sang dokter tidak bisa menerima kenyataan bila Leon justru hilang dari pengawasan sang bodyguard."Aku baru sadar mereka mungkin masuk ke dalam lorong, Brian! Aku tidak tau ke mana ujung lorong ini, namun aku yakin keduanya mas
Hanya ada cahaya senter yang mereka pegang, menerangi jalan yang tampaknya tak ada ujungnya. Udara di dalam lorong pun terasa pengap, seolah-olah tempat itu telah lama terlupakan. Dengan langkah hati-hati, mereka mulai berjalan memasuki lorong yang semakin dalam. Suara langkah kaki mereka terdengar bergema, seakan keduanya sedang berjalan di ruang yang kosong dan sunyi. "Ini... aneh, kan? Tidak ada suara sama sekali. Seperti dunia yang terpisah dari yang lain," kata Alika. Leon menatap lorong dengan waspada, suara sedikit bergetar, "Ya ... seperti kita sudah meninggalkan dunia luar dan masuk ke tempat yang tidak seharusnya kita tahu. Tapi aku heran, mengapa ada lorong ini di dalam rumahmu?" Alika menggendik bahu, "Entahlah, aku sendiri juga tidak tau jika ada lorong tersembunyi di dalam kamarku. Aku pun baru tau setelah memindahkan lemari itu." "Lalu, apakah kita akan terus mengikuti jalan ini?" Sa
Leon sejenak terdiam, namun sembari berpikir. Ia tidak begitu suka dengan ide adanya pengawasan, tetapi melihat wajah sedih Alika tadi, dan mendengar persetujuan dari Brian, ia akhirnya setuju meskipun dengan berat hati.Anak tampan menyunggingkan senyum kecil, "Baiklah Om, kalau itu syaratnya, aku ikut. Tapi aku berharap tidak ada yang aneh."Mendengar Leon mau bersepakat dengan tawaran yang diberikannya, Brian sedikit merasa lega. Selain itu, Leon pun sudah tersenyum lagi padanya."Ayo, bawa aku ke kamar, Aunty!" pinta Leon tampak riang.Stella turut mengulas senyum, "Oke, Sayang."Dengan wajah sumringah, Leon bergegas bangkit dari kursi rodanya setelah tiba di kamar. Anak tampan itu berdiri di samping jendela, menatap pemandangan luar dengan penuh harapan. Ia merasa lega setelah mendapatkan kepastian. Sekarang, dia hanya perlu menghubungi Alika dan memberitahukan berita baik itu. Tangannya menggenggam ponsel, lalu dengan
Di Jerman, Rumah Sakit Chartie. Alika dan Leon berdiri di dekat jendela dalam kamar rumah sakit. Keduanya tampak berdiskusi dengan penuh harapan. Leon tampaknya antusias ke rumah Alika setelah gadis itu banyak menceritakan tentang tempat tinggalnya. "Ayo, Leon, kita pergi ke rumahku sebentar tidak jauh dari sini. Aku ingin menunjukkan beberapa hal padamu," ajak Lika dengan penuh binar.Memang, tempat tinggal Alika tidak jauh dari rumah sakit. Namun, kendala yang di hadapi keduanya adalah meyakinkan Brian dan Stella agar bisa mengijinkan Leon.Sementara Leon terlihat sedikit cemas namun tetap berharap bisa pergi. "Iya, aku ingin pergi, tapi … kita harus minta ijin dulu, kan? Aku tidak yakin Om Brian mengijinkannya, Lika," kata Leon ragu."Kita coba saja dulu. Kalau kita tidak mengatakannya, kita tidak tau hasilnya."Leon mengangguk-angguk. "Benar katamu. Ayo, kita cari mereka!"Keduanya kemudian mendekati Brian dan Stella ya
Chelsea membantu Kenan bangkit dengan keraguan. Bukan karena ia tidak ingin bersentuhan dengan sang pria. Namun, Chelsea berusaha menjaga jarak agar debaran jantungnya tidak terdengar."Semoga saja dia tidak mendengarnya," batin sang wanita bergerak kikuk, lalu melihat Kenan, menyodorkan tangan dengan gemetaran, "Kamu tak apa, Ken? Maaf ..."Kenan yang melihat uluran tangan lalu kemudian melihat ke wajah Chelsea, keduanya tampak canggung."Saya tidak apa-apa, Nyonya,"ucap Ken lalu berguling, bangkit dengan tegap. Kini, keduanya berhadapan. "Ya sudah, kalau kamu baik-baik saja. Oh ya, segera ganti bajumu, aku mau ke mall nanti," kata Chelsea. Setelah mengatakannya, Chelsea bergegas menjauh dari Kenan. Ia berusaha menutupi rona kemerah-merahan pada pipinya. "Duh ... Kenapa aku seperti ini ...?" batin Chelsea mondar-mandir di dalam kamar. "Tenang, Chelsea. Kamu pasti hanya kaget."Wanita itu menolak bahwa
Seorang pria yang baru saja selesai menerima telepon langsung melangkah masuk ke dalam rumah. Pria itu segera menuju kamarnya yang berada di belakang.Sejak sang CEO menjadikannya bodyguard, Chelsea memfasilitasi Kenan agar tinggal bersamanya. Bukan karena apa, namun itu ide Chelsea agar Kenan lebih mudah melindunginya."Sepertinya hari ini Nyonya Chelsea tidak keluar rumah," gumam Kenan duduk di tepi ranjang. Setelahnya pria itu menghela napas, lalu bangkit membuka jendela kamar. Ia bisa menghirup udara segar yang masuk ke dalam hidung. Tubuhnya menggeliat sejenak, meregangkan otot-otot."Berarti aku tidak ada kegiatan hari ini," monolognya lagi dengan kedua tangan yang terus bergerak olah raga ringan. "Apa sebaiknya aku berenang saja, ya? Tapi ... kira-kira Nyonya mengijinkan tidak, ya?"Kenan tampak kebingungan dengan keinginannya, yang nantinya tidak sejalan dengan jawaban Chelsea. Benar, di rumah Chelsea sudah difasilitasi ko
Ruang kerja Max terasa lebih sunyi dari biasanya. Di balik meja kerjanya yang besar, Max duduk dengan punggung tegak, tatapannya tajam menembus jendela kaca yang memperlihatkan pemandangan gedung bertingkat yang ramai. Christ baru saja mengetuk pintu ruangannya. Meskipun pria itu selalu datang dengan informasi yang bisa diandalkan, kali ini Max merasa gelisah. Ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya, sesuatu yang membuatnya meragukan apa yang akan Christ katakan padanya."Masuk!" titah Max dari dalamTak berselang lama, Christ masuk dengan langkah mantap, meskipun wajahnya nampak sedikit kelelahan. Ia tahu Max sedang berada dalam kebingungannya, dan ia harus segera menjelaskan apa yang sudah dia temukan.Sang asisten menarik bangku, lalu duduk di kursi di depan meja Max. Suasana hening sejenak sebelum Max membuka suara. "Apa yang kamu dapatkan, Christ?" tanya Max dengan penuh harap.Christ menatap sang CEO yakin. Ia suda