BAB 14
PERMOHONANSetiap permohonan meliputi harapan.Satu hal yang tidak kusadari, bahwa adikku sudah beranjak dewasa dan mampu memahami setiap permasalah hidup ini, hanya saja aku selalu bertindak sendiri dan masih menganggap mereka adalah bayi kecilku. Aku begitu terkejut saat mengetahui bahwa Riyan tahu semuanya dan baru menyadari bahwa aku sudah membuat masalah ini menjadi runyam. Seharusnya tidak pernah kumenginjakkan kaki di rumah Pak Romo.Sehingga harus terlibat terlalu jauh. Kini saatnya orang tua itu meminta, setidaknya saat dia meminta hal itu, Pak Romo mengikis keegoannya demi putra satu-satunya. Aku begitu naif menganggap jika orang tua itu tidak akan bertindak lebih jauh, jelas dia punya kuasa, kapan saja dia ingin mencelakai kami, dia pun bisa seperti halnya menyingkirkan debu. “Riyan, maafkan Kakak. Berarti kamu mendengar semuanya? Kakak bertemu Pak Romo hanya ingin menyelamatkan rumah peninggalan Papa dan juga..., juga diri Kakak“Bagaimanapun konsekuensinya, aku harus mengambil keputusan dalam hidup sendiri. Meski berat, mungkin ini garis takdir untuk jalan hidupku.”Pondok itu Papa yang membangunnya untuk kumpul keluarga kala senja. Berubah fungsi saat aku kuliah dan menjadikannya tempat kumpul dengan anak-anak sekitar kampung untuk mengajarkan bahan pelajaran kepada mereka. Aku ingin membagikan ilmu kepada mereka saat mereka tidak bisa merasakan bangku sekolah sekaligus mengisi waktu luang dengan mengajak anak-anak kampung belajar bersama. Namun, kini pondok itu telah rata dengan tanah, aku syok sedangkan Ibu menjerit histeris tidak percaya jika alat berat itu sudah menghancurkan separuh halaman rumah ini. “Hentikan! apa-apaan kalian, siapa yang menyuruh kalian?” jerit Ibu yang sudah berlari menghadang alat berat itu bekerja. Para tetangga yang melihat hanya diam saja, kerumunan orang-orang itu seakan menambah sesak. Tidak ada satu pun dari mereka yang berani menghad
"Baiklah jika sudah setuju, aku ingin Rumi menikah dengan anakku Zaki besok malam sebagai imbasnya, maka aku akan membiayai sekolah adik-adikmu sampai sarjana dan membiayai kehidupan ibumu. Kau tidak perlu ragu dengan kuliahmu, sampai kau ingin lanjut master pun akan kubiayai. Tapi satu hal yang tidak akan diizinkan, kau tidak boleh bekerja dan hanya harus fokus mengurus Zaki serta bujuk dia untuk berlatih jalan. Ingat! sampai dia bisa kembali berjalan seperti dulu.""Anda tidak boleh begitu, Tuan! Itu sama saja anda mengurungku. Kenapa aku harus menghabiskan waktuku dengan anak anda, Tuan. Kenapa anda tidak mengirim putra anda ke rumah sakit atau menyewa perawat untuk merawatnya, kenapa harus aku." Aku berteriak melepaskan semua penat yang seakan siap meletus sedari tadi pagi. Aku lelah menahannya. "Ya sudah, jika kau tidak mau. Aku akan menelepon anak buahku untuk melanjutkan merobohkan rumahmu." Pak Romo mengambil ponselnya yang berada di atas meja. Aku mendongak
Rasa benci ini sudah mengakar, tidak akan bisa berubah jadi suka. Kehadirannya saja sudah jelas membawa luka. Aku tidak akan pernah bisa menerimanya menjadi bagian dari hidup ini. Malam ini aku sah menjadi menantu dari seorang saudagar kaya di kampung ini, serta menjadi istri dari seorang pria yang tidak kucintai sama sekali.Prosesi akad dilakukan sesederhana mungkin,karena semuanya serba mendadak tapi tata riasnya aku suka. Acara selesai jam sebelas malam dan kini keluargaku meninggalkan diriku di rumah besar ini bersama dua pria berjiwa dingin. Aku menatap kaku ke arah kaca, pria yang kini sudah sah menjadi suamiku tampak masih tetap duduk diatas kursi rodanya menatap ke arah jendela. Tatapannya kosong, begitupun saat dia mengucapkan ikrar pernikahan, dia mengucapkannya dengan mantap tetapi dengan tatapan yang kosong. Aku menghapus riasan, tetapi tidak membuka jilbab karena aku masih merasa risih dengan keadaan yang sekarang. Suasananya begitu kaku, aku tid
Jika kau lelah dengan semua keadaan ini, janganlah mengeluh, semoga Tuhan meluaskan kesabaran untukmu.Pagi hari, Kediaman Romo Sujadmiko.Bunyi alarm dari ponsel membangunkanku tepat di pukul 5 pagi, aku bangkit dan segera menuju kamar mandi untuk bergegas salat subuh. Kulihat Kak Zaki masih tertidur pulas di atas ranjang agungnya. Aku mendesah pelan, baru hari pertama aku merasa tak ada gunanya. Namun, mengingat kembali akan perjanjian malam itu, aku pun harus menerima semuanya. Seperti pada umumnya aku melakukan aktivitasku sehari-hari. Setelah selesai salat subuh, aku mengecek jadualku hari ini, ternyata ini hari Sabtu, aku tak punya kuliah atau pun janji untuk bertemu dosen hari ini. Aku segera berberes dikamar, ingin kubangunkan Kak Zaki, tapi aku takut jika dia akan marah padaku. Jadi aku mengurungkan niatku sambil duduk di meja belajar yang berada di dekat tempat tidur Kak Zaki. Aku mengamati tumpukan buku yang ada di rak buku meja belajar
Pada akhirnya akan ada hati yang terluka atas pernikahan ini. Dan mereka tak akan peduli itu kecuali bagi yang merasakannya.Hidup di rumah yang besar bagaikan orang asing, apalagi memiliki seorang suami yang sangat dingin dan juga cuek. Aku berharap semoga batas kesabaranku kali ini tak habis. Aku mengetuk pintu kamar, tidak ada jawaban. Dan kuketuk sekali lagi tetap saja tidak ada jawaban. Aku masuk saja dan melihat bahwa Kak Zaki sedang di pojok favoritnya, sedang membaca buku sambil bertopang dagu. Kupikir dia tidur sehingga tidak menyahuti ketukan pintuku. Ternyata dia sedang menulis. Dia melirik ke arahku sekilas dan aku berjalan ke arahnya. "Kak, Bapak memanggil turun untuk makan bersama," ujarku perlahan sambil tetap berdiri di hadapannya. Dia tak menggubrisku, Kak Zaki masih sibuk dengan buku yang dibacanya. Aku tehenyak sesaat,sebab buku yang dipegangnya adalah buku yang ingin kubaca tadi pagi. Sepertinya dia meyadari jika buku itu sempat ku
Aku terkejut ternyata sosok Bang Kemal berdiri dihadapanku dengan membawa sebuah amplop. Dirinya pun terkejut begitu. Senyumku pudar begitu mengetahui dia yang datang. "Rum? se..., sedang apa di sini?" tanyanya bingung. Aku terdiam dan menunduk. Tak henti kumainkan jari jemariku dikala aku sedang panik seperti ini. Terdengar suara Bapak dari dalam, menanyakan siapa yang datang. Bibirku kelu ingin menyebutnya. Aku dan Bang Kemal hanya menatap tanpa saling berbicara. Banyak penjelasan yang ingin kuceritakan kepadanya, tetapi hal itu tak mungkin untuk kuceritakan disini. Tiba-tiba saja Bapak sudah ada di antara kami." Kemal, Sedang apa berdiri di situ. Sudah lama sekali tidak melihatmu, Nak. Dan Rum, kenapa tidak menyuruh Kemal masuk." Pak Romo memeluk Bang Kemal sembari menyuruhnya masuk. Aku hanya mengulas sedikit senyum saat Pak Romo bertanya kepadaku, karena memang aku begitu terkejut dengan kehadiran Bang Kemal. "Kebetulan, kami sedang sarapan, Rumi
Sebuah janji yang kuikrarkan dalam hati, sesungguhnya untuk menghalalkan sang bidadari yang sudah mengisi hati ini sejak lama. Namun, aku takut untuk mengatakannya sebab menjaga dirinya. Sudah menunggu waktu yang tepat, yaitu mengatakan niatku untuk menikahinya setelah wisuda. Niat ini sudah lama terpendam, demi dirinya yang sudah kucinta sejak lama. "Rum, bisa nanti temani aku ke toko buku, aku ingin membelikan sesuatu."Butuh keberanian saat aku mengajak Rumi untuk menemani ketoko buku, sebab aku belum pernah sekali pun mengajaknya pergi berduaan. Biasanya jika kami jalan bersama selalu ada temanku atau teman Rumi yang ikut bersama kami. Kalaupun berdua itu pun untuk membahas tentang kuliah dan skripsi bersama dosen pembimbing.Aku lupa sejak kapan bisa menyukai Arumi. Bagiku dia adalah perempuan paket lengkap. Dari segi ibadah, paras, perilaku dan juga aku memang menyukainya sedari dulu. Pembawaannya juga sederhana, malu dan iman menjadi pakaia
‘saat aku mulai menerima keadaan, kenapa dia harus muncul dan mengganggu pikiranku’Aku merasa tidak enak dengan Bang Kemal, entah mengapa perasaan ini jadi tidak menentu. Bukankah seharusnya tidak boleh, sebab aku sudah bersuami. Kutatap Bang Kemal yang diam saja sejak Pak Romo memperkenalkan diriku sebagai istri Kak Zaki. Sementara Kak Zaki tidak bergeming sedikitpun, tak acuh padaku. Suasana meja makan saat itu sangat hening, hanya ada suara dentingan sendok yang beradu dengan piring. Pak Romo makan dengan lahap, begitupun dengan Kak Zaki dan juga Bang Kemal. Apa hanya aku saja yang jadi tidak berselera makan.“Alhamdulillah, Rum. Masakanmu benar-benar enak, iyakan Zaki?” Pak Romo memuji masakan ini, aku hanya tersenyum membalasnya. Sementara Kak Zaki hanya berdeham malas merespon pertanyaan Papanya. Pak Romo yang tahu bagaimana sikap Zaki tidak mempermasalahkannya. Dia melirik ke arah Bang Kemal yang baru selesai makan. “Bagaimana Kemal, n
WISUDA POV ZAKI. Sejak keluar dari rumah hingga sampai di pelataran auditorium kampus, aku tidak melepas genggaman ini dari tangan Rumi. Dirinya sampai mengomel karena aku tidak melepas pegangan tanganku padanya. “Sebentar aja, Kak, Rumi mau ke toilet,” ucapnya padaku yang berusaha melepas pegangan tangannya. “Yaudah, aku ikut. Aku tunggu di luar.” Dia melotot menatapku, kuabaikan saja berpaling menatap ke arah lain. “Astaga, Kak Zaki. Rumi cuma ke situ, toiletnya dekat.” “Emang salah kalau aku ikut? Ya aku mau jagaian kamu,” balasku tak mau kalah, seulas senyum kuberikan untuknya sebagai peredam amarahnya, tetapi tampaknya tidak berhasil. Kuabaikan lirikan Rumi yang seolah ingin memakanku hidup-hidup. Rumi melangkahkan kakinya dan kuikuti berdampingan dengannya. Tangannya kugenggam erat agar dia tidak menjauh dariku.
PRIA LAIN“Kalian berdua sama pentingnya di hati ini. Nggak mungkin aku harus memilih” Pagi ini aku bangun lebih awal, sebab jam 8 nanti ada undangan dari Bang Kemal untuk menghadiri acara wisudanya. Masalah kemarin sudah selesai, nggak diperpanjang dan berlarut. Kami sama-sama minta maaf. Kak Zaki sudah menjelaskan padaku tentang Tiara. Perasaan itu berubah sejak lama, saat Tiara mengabaikannya, tidak ingin tahu tentang dirinya. Kalaupun Tiara merasa kehilangan Kak Zaki, harusnya Tiara mencari bukan malah menghilang tanpa kabar. Dia katakan kalau Tiara banyak berubah, bukan seperti wanita yang dikenalnya dulu. memang sejak dulu Tiara ambisius, tetapi sekarang jadi lebih terobsesi ingin kembali pada Kak Zaki, padahal Kak Zaki sudah menolaknya. “Kakak, pakai baju ini?” tanyaku saat melihat Kak Zaki mengeluarkan kemeja batik berwarna hijau botol dengan celana hitam berbahan kain. Dia menatapku sekilas
PROBLEM“Terima kasih karena sudah peduli dan khawatir” Aku menghela napas pelan berjalan lunglai melewati tiang-tiang koridor perpustakaan. Napas ini sesak, bukan karena Kak Zaki, tetapi lebih kepada diri sendiri. Mulai dari pergi menuju kampus kesialan sudah mengikutiku. Ban taksi online yang bocor di tempat sepi, membuat sopir taksi tersebut kewalahan melakukan pergantian ban sendiri dengan peralatan seadaanya. Begitu tiba di kampus dosen pembimbing sudah tidak ada lagi, beliau pergi karena menunggu terlalu lama. Entah bagaimana nanti aku menemuinya karena sudah membuatnya menunggu. Aku mengutuki diri, mungkin ini adalah salah satu pelajaran karena mengingkari dan mengabaikan ucapan Kak Zaki. Dia melarangku pergi, tetapi aku paksa untuk pergi, alhasil begini hasilnya. Allah langsung menegurku dengan berbagai rentetan kejadian di luar kuasa diri. Getaran dari dalam tas membuat langkahku terhenti, menepi se
SALAH PAHAM “Siapa, Kak,” tanyaku dari dalam sambil berjalan ke arah pintu. Langkah kaki ini terhenti begitu pintu kubuka lebar. “Kak,” lirihku pelan menatap Tiara berpelukan dengan Kak Zaki, dirinya tesenyum ke arahku sambil mengedipkan sebelah matanya. “I miss you,” bisiknya sengaja di depanku sambil melirik. Kak Zaki menoleh, dia segera melepaskan pelukan wanita itu dan berjalan pelan ke arahku perlahan. “Rum,” desisnya sembari meraih tangan ini. Namun, tanpa diduga tangan yang berusaha meraih tangan ini kutepis begitu saja, refleks karena merasa kecewa dengan apa yang sudah kulihat. Kutatap kedua netra Kak Zaki yang terlihat seperti memohon. “Rum, dengar sebentar, Sayang,” ucapnya lembut sambil memegang tanganku lagi. Mata ini sudah memupuk air yang siap
UNGKAPAN Aku masuk terlebih dahulu membiarkan Kak Zaki yang masih diteras memandang ke arah jalan, seolah tengah menunggu seseorang. Mulai dari membereskan ruang tamu juga sisa piring yang masih ada di wastafel belum aku bersihkan. Oh ya, aku lupa mengecek ponsel yang belum sempat kuperiksa tadinya. Kubuka ponsel dan melihat beberapa banyak pesan masuk dan panggilan tidak terjawab dari Bang Kemal juga Riyan. [Rum, kamu baik-baik aja, kan?] [Apa Zaki melarangmu datang?] Jariku berhenti tepat di pesan tersebut begitu membacanya, seolah Bang Kemal tahu apa yang terjadi. Pantas saja tatapan pria itu tidak sedikitpun terusik dengan apa yang Kak Zaki lakukan, dia masih terlihat santai di saat Kak Zaki melakukan aksi konyolnya tadi. [kamu nggak bisa di hubungi, nggak terjadi apa-apa, kan?] [Nanti aku sama Riyan mau datang ke rumah menjenguk kamu.] Ak
DEBAT KUSIRPOV KEMALAku menunggu Riyan di meja pantry yang ada di dapur Rumi. Sambil main ponsel melihat dokumentasi kegiatan yang baru dilakukan hari ini bersama pihak yayasan chariety peduli rumah singgah. Aku tersenyum senang melihat wajah-wajah semringah anak-anak rumah singgah yang senang mendapat bantuan dari para relawan. Selain itu juga sebagai pendiri rumah singgah, yayasan tersebut mengucurkan dana berupa bantuan untuk membangun bangunan sekolah semi permanen agar dindingnya tidak beralaskan kardus lagi. Aku banyak mengucap syukur, setidaknya apa yang kulakukan bisa memberikan mafaat bagi orang lain. Melihat foto kegiatan para pengajar terbesit rasa sedih walau hanya sedikit, karena Rumi tidak hadir. Namun, aku mencoba menepisnya. Bukannya Rumi tidak mau datang, pasti ada sebabnya kenapa dia tidak bisa hadir. Aku mengulas smirk, menyadari bahwa Rumi bukanlah wanita yang kukenal dulu. Dia sudah bersuami dan pasti dia harus menuruti perkataan suaminya. Sepanjang kegiatan
TARIK MENARIK Selagi aku sibuk di dapur membuka barang belanjaan yang dibawa Riyan, kubiarkan mereka bertiga di ruang tamu. Sambil membuka layar televisi agar suasana tidak terlalu hening. Dari dapur bisa kuperhatikan apa yang sedang ketiganya lakukan. Kak Zaki masih tetap dengan posisinya fokus menatap layar televisi, Bang Kemal lebih memilih membaca buku yang ada di atas nakas sebelah sofa. Yah, memang di sebelah sofa itu selalu kusiapkan beberapa buku yang sering kubaca, sengaja di letakkan di sana agar tidak berulang mengambil ke kamar. Sementara Riyan sama dengan Kak Zaki, fokus menonton acara kesukaan keduanya, apalagi kalau bukan berita tentang sepak bola. Sesekali kudengar keduanya mengobrol. Membincangkan berita yang disampaikan presenter televisi tentang acara bola tersebut. Sedikit merasa lega, karena akhirnya Kak Zaki tidak diam saja, bisa mengobrol dengan Riyan membincangkan hal yang dia sukai. Supaya suasana mencair tidak mencekam seper
SURAM“Sebentar ya, Bang, Rumi buatkan minum dulu,” ucapku tersenyum lalu meninggalkan keduanya di ruang tamu. Sepeninggalanku keduanya tidak banyak bicara, sesekali curi-curi pandangan ke arah mereka, tetapi keduanya masih diam membisu, tidak seperti biasanya. Aku hanya berharap semoga apa yang kutakutkan tidak terjadi, masalah pertengkaran aku dan Kak Zaki semoga saja tidak menjadi masalah bagi hubungan perteman mereka. Semoga Kak Zaki bisa bersikap biasa saja kepada Bang Kemal. “Ini Bang, silakan di minum,” ucapku mempersilakan Bang Kemal. Kubuatkan dua teh hangat untuk dirinya dan juga Riyan, sekaligus ada camilan roti kaleng yang sudah kutaruh dipiring agar mempermudah keduanya untuk mengambilnya. “Terima kasih, Rum,” balasnya sambil tersenyum. Aku ambil duduk di single sofa yang letaknya tidak jauh dari Kak Zaki dan Bang Kemal. Namun, belum juga duduk lenganku tertahan. “Kamu mau ke mana, Sayang?” tanya Kak Zaki tiba-tiba. Aku terhent
COMTEMPLATION“Dirinya terlalu samar untuk diriku yang butuh kejelasan.”Masih dengan posisi yang sama, meringkuk memeluk lutut sambil merenungi kesalahanku hari ini. Tangis belum juga reda dan dada masih terasa sesak. Kuliirik jam yang berdentang menunjukkan pukul 9 tepat, tanpa sadar berada di posisi ini sudah dua jam lebih. Ponselku berdenting, sebuah pesan masuk dari Bang Kemal.[Rum, sudah di mana?]Begitulah bunyi pesan itu yang tampil di layar bar tanpa membuka aplikasi pesan itu langsung terbaca. Karena terlalu hanyut dengan perasaan ini membuatku lupa mengabari Bang Kemal. [Maaf ya, Bang. Rumi nggak bisa hadir. Kasihan Kak Zaki nggak ada yang temani.]Seperti itulah alasanku, setelah itu kumatikan ponsel tidak ingin diganggu oleh siapapun. Aku masih ingin meresapi perasaan ini, memikirkan bagaimana caranya untuk meminta maaf kepada Kak Zaki. Keras dan angkuhnya itu belum bisa terpatahkan. Kak Zaki terlalu samar untuk kutelus