POV. 3Zaki tersenyum begitu melihat Kemal masuk ke kamarnya. Sebelum itu memang dirinya sudah diberitahu oleh Arumi bahwa Kemal ingin berbicara dengannya. “Mal, sini,” ujar Zaki begitu Kemal berjalan ke arahnya. Zaki menyuruh Kemal duduk di sebelahnya sambil memandang pemandangan langit pagi lewat jendela kamarnya. “Akh, ternyata begini aja kamar pengantin baru,” ejek Kemal begitu sudah duduk di sebelah Zaki. Zaki menyambutnya dengan tawa yang lebar.“Akh, bisa aja, Mal, biasa aja kalee... nggak ada yang spesial dari pernikahanku, kok.” Kemal tersenyum mendengar jawaban sahabatnya itu. “Memang tidak ada yang spesial, tetapi pasti menakjubkan.” Tawa Kemal membuat Zaki ikut tertawa juga. “Hmmm, sudah lama banget aku nggak tertawa seperti ini, Mal. Biasanya hari-hariku selalu sepi dan membosankan.”Kemal menepuk bahu Zaki seraya untuk menguatkannya. “Tapi sekarang nggak ‘kan? Sudah ada istri, pasti semakin romantis,” ejek K
Sudah Seminggu sejak pernikahanku dengan Kak Zaki, semuanya berjalan baik-baik saja dan yah, seperti biasa Kak Zaki masih dengan sikap dingin dan cueknya. Kami memang tidur tetap dalam satu kamar, tetapi Pak Romo tidak tahu kalau kami tidak berada di ranjang yang sama. Aku cukup tahu diri untuk merebut ranjang milik Kak Zaki, jadi ketimbang adu mulut dengannya, lebih baik aku ambil tempat di bawah atau di sofa. Beruntungnya Kak Zaki membolehkan aku memakai meja belajarnya untuk kugunakan mengetik skripsiku yang tinggal revisi bab terkahir. Masalah hubungan suami istri, aku dan Kak Zaki tidak pernah membahasnya. Untuk memulainya saja bingung harus bicara dari mana. Jadi kami tidak pernah membicarakan masalah pribadi atau apapun itu jika tidak terlalu penting sekali. Komunikasiku dan Kak Zaki juga terbilang cukup jarang. Aku cukup tahu diri, dia tidak menyukai dan menganggap diri ini adalah masalah dalam kehidupannya, jadi aku pun tidak perlu mengubris apa
Akhirnya kami pergi ke rumah sakit yang sudah disiapkan oleh pak Romo untuk terapi Kak Zaki. Hari ini aku, Pak Romo dan Kak Zaki menemui dokter kenalan keluarga tersebut menggunakan mobil yang dikemudikan Pak Supri, sopir pribadi beliau. Selama perjalanan sikap Kak Zaki masih sama, dingin, cuek dan tidak banyak bicara. Sesekali Pak Romo mengajakku bicara menanyakan soal skripsi dan juga kegiatan mengajar di rumah singgah milik Bang Kemal. “Bagaimana kegiatan mengajarmu, Rum? Apakah ada kendala?” tanyanya sambil tersenyum lebar menoleh ke belakang. “Hmm, sejauh ini baik, Pak,” jawabku sekadarnya saja.“Kau senang?” tanyanya dengan mengangkat ujung bibirnya sedikit, seolah ingin memastikan. “Alhamdulillah sangat menyenangkan.” Tawa Pak Romo memenuhi hawa dalam mobil. Dahi ini mengernyit, menelisik ekspresi Pak Romo bagian mana dari jawabanku yang membuat diirnya sampai tertawa seperti itu. Sementara Kak Zaki masih dengan sikap tidak pedulinya,
Hari ini aku bangun lebih cepat, sebelum subuh sudah berberes di dapur. Memasak, mencuci, menyapu dan membereskan rumah. Bukan tanpa sebab, karena tugas baru tengah menunggu yaitu membawa tuan muda itu jalan-jalan pagi. Menurut pemikiranku jalan-jalan pagi paling segar dikerjakan sekitar pukul setengah enam. Hawanya masih segar dan membuat suasana hati juga nyaman. Setelah selesai salat subuh aku berniat membangunkan Kak Zaki untuk melaksanakan salat lalu mengajaknya jalan-jalan. Kusambut hari dengan bersenandung sedikit, aku juga tidak perlu repot untuk memikirkan cara mengajaknya untuk jalan pagi hari ini, sebab sewaktu pulang dari rumah sakit, Pak Romo sudah mewanti-wanti Kak Zaki untuk konsisten melakukan saran dokter kalau ingin sembuh. Hmm, Aku bersyukur, setidaknya nggak perlu mengeluarkan usaha memikirkan cara untuk mengajaknya memulai rutinitas baru. Azan berkumandang tepat pukul 5 pagi, kupercepat kegiatan ini yang hanya tinggal mencuci pirin
Rutinitas baru yang selalu kulakukan bersama Kak Zaki sudah berjalan selama tiga hari. Dan selama itu juga ada saja tingkahnya yang membuatku naik darah menghadapi sikap keras kepalanya. Dirinya tidak hanya menyulitkanku tapi juga dirinya sendiri. bagaimana tidak, selain mulutnya yang mengeluarkan kata-kata pedas, sikapnya juga membuat tandukku ingin keluar menerjangnya. Seperti kemarin, saat aku akan kembali membawanya ke SMA kami, dirinya menolak keras dan ingin ke taman yang ada didekat balai desa. “Jauh, Kak. Lagian ke sana jalan kaki begini keburu siang,” tolakku saat dia bersikeras mengajak ke sana. Kak Zaki melirikku tanpa senyum, lalu menyunggingkan ujung bibirnya seolah mengejek. “Kalau kau tak mau aku sendiri saja,” ujarnya sambil mengerrakkan tuas otomatis. Jalan berbatu begini, tuas otomatis tidak akan berjalan lancar, pengendalinya tidak ada kecuali akan melemparkan tubuh Kak Zaki jatuh ke tanah atau malah mogok di
Dalam seminggu ini terapi Kak Zaki sudah berjalan tiga kali, selama itu juga dirinya tidak ingin kusentuh saat melakukan fisioterapy, mau tidak mau Pak Romo yang turun tangan sesekali Pak Supri yang membantu orang tua itu memopong tubuh anaknya.Diriku? Yah di sini sebagai penonton saja, menonton Kak Zaki yang terkadang meringis sakit saat mulai melangkahkan kakinya. Dengan berpegangan pada pegangan besi di ruangan yang merupakan ruang untuk melatih motorik pasien orthopedi. Awal mula Pak Romo menyuruhku untuk memgang Kak Zaki, akan tetapi belum juga kusentuh tubuhnya dirinya menatap tajam, seolah tidak ingin melihatku. Namun, aku tidak tinggal diam, bertahan saja sampai di mana dia sanggup memelototi diriku, akan tetapi diluar dugaan, pria itu tantrum tidak jelas. Alhasil aku mundur dan hingga saat ini Pak Romolah yang berperan memegangnya saat terapi, beruntung pria tua itu masih sanggup membopongnya, walau terkadang aku dan Pak Supri bertindak sebagai penolon
PENERIMAAN DIRI“Aku bersyukur setidaknya dia sudah bisa menerima keadaan dirinya.”Sudah lebih dari dua bulan Kak Zaki mengikuti terapi, alhamdulillah ada perubahan dalam geraknya. Dia sudah bisa berdiri sendiri dari kursi roda untuk menggapai sesuatu, tapi untuk melangkah sendiri dia belum bisa harus ditopang. Melihat perubahannya yang begitu cepat, Kak Zaki pun antusias, emosinya tidak seperti biasa, dia bisa menahannya. Hari ini adalah jadwalnya untuk terapi, dirinya diam saja tidak banyak mengoceh ketika aku mengganti pakaiannya. Dirinya pun tidak protes saat aku yang memilihkan pakaiannya. Setidaknya dia tidak marah-marah lagi seperti dulu selama bulan ini. aku bersyukur setidaknya jadwalku mengajar juga tidak terganggu oleh jadwal terapinya. Aku sudah meminta kepada Bang Kemal untuk menyesuaikan jadwal masuknya dengan jadwal terapi Kak Zaki. “Kau mengajar hari ini, Rum?” tanya Kak Zaki padaku. Dia sudah terbiasa sepertinya memanggil namaku, pad
NYAMAN“Rasa nyaman itu tidak datang cukup dengan satu kali kebersamaan, ternyata banyak masa yang sudah kami lalui bersama hingga dia merasa nyaman di dekatku, syukurlah”Dua jam sudah berlalu, aku mendorong kursi roda Kak Zaki agar dirinya bisa duduk dengan nyaman sambil mendengarkan nasihat dari dokternya. Terapi sudah selesai, tetapi aku belum memberitahukan kepada Kak Zaki tentang kepergian Pak Romo. Kami berdua duduk di hadapan dokter sambil mendengarkan penjelasan yang akan dokter katakan tentang perkembangan Kak Zaki. “Bu Rumi, sudah dua bulan berjalan, Zaki semakin ke sini semakin mahir menggerakkan kakinya. Ada baiknya di rumah dilatih juga, agar dia terbiasa. Kursi roda digunakan jika memang dibutuhkan saja atau ketika Zaki sedang kelelahan. Kami akan sarankan penggunaan tongkat, tadi sudah di coba oleh Zaki jenis tongkat mana yang nyaman baginya untuk dia gunakan.” “Bagaimana baiknya menurut Dokter saja, saya akan berusaha semaksimal
WISUDA POV ZAKI. Sejak keluar dari rumah hingga sampai di pelataran auditorium kampus, aku tidak melepas genggaman ini dari tangan Rumi. Dirinya sampai mengomel karena aku tidak melepas pegangan tanganku padanya. “Sebentar aja, Kak, Rumi mau ke toilet,” ucapnya padaku yang berusaha melepas pegangan tangannya. “Yaudah, aku ikut. Aku tunggu di luar.” Dia melotot menatapku, kuabaikan saja berpaling menatap ke arah lain. “Astaga, Kak Zaki. Rumi cuma ke situ, toiletnya dekat.” “Emang salah kalau aku ikut? Ya aku mau jagaian kamu,” balasku tak mau kalah, seulas senyum kuberikan untuknya sebagai peredam amarahnya, tetapi tampaknya tidak berhasil. Kuabaikan lirikan Rumi yang seolah ingin memakanku hidup-hidup. Rumi melangkahkan kakinya dan kuikuti berdampingan dengannya. Tangannya kugenggam erat agar dia tidak menjauh dariku.
PRIA LAIN“Kalian berdua sama pentingnya di hati ini. Nggak mungkin aku harus memilih” Pagi ini aku bangun lebih awal, sebab jam 8 nanti ada undangan dari Bang Kemal untuk menghadiri acara wisudanya. Masalah kemarin sudah selesai, nggak diperpanjang dan berlarut. Kami sama-sama minta maaf. Kak Zaki sudah menjelaskan padaku tentang Tiara. Perasaan itu berubah sejak lama, saat Tiara mengabaikannya, tidak ingin tahu tentang dirinya. Kalaupun Tiara merasa kehilangan Kak Zaki, harusnya Tiara mencari bukan malah menghilang tanpa kabar. Dia katakan kalau Tiara banyak berubah, bukan seperti wanita yang dikenalnya dulu. memang sejak dulu Tiara ambisius, tetapi sekarang jadi lebih terobsesi ingin kembali pada Kak Zaki, padahal Kak Zaki sudah menolaknya. “Kakak, pakai baju ini?” tanyaku saat melihat Kak Zaki mengeluarkan kemeja batik berwarna hijau botol dengan celana hitam berbahan kain. Dia menatapku sekilas
PROBLEM“Terima kasih karena sudah peduli dan khawatir” Aku menghela napas pelan berjalan lunglai melewati tiang-tiang koridor perpustakaan. Napas ini sesak, bukan karena Kak Zaki, tetapi lebih kepada diri sendiri. Mulai dari pergi menuju kampus kesialan sudah mengikutiku. Ban taksi online yang bocor di tempat sepi, membuat sopir taksi tersebut kewalahan melakukan pergantian ban sendiri dengan peralatan seadaanya. Begitu tiba di kampus dosen pembimbing sudah tidak ada lagi, beliau pergi karena menunggu terlalu lama. Entah bagaimana nanti aku menemuinya karena sudah membuatnya menunggu. Aku mengutuki diri, mungkin ini adalah salah satu pelajaran karena mengingkari dan mengabaikan ucapan Kak Zaki. Dia melarangku pergi, tetapi aku paksa untuk pergi, alhasil begini hasilnya. Allah langsung menegurku dengan berbagai rentetan kejadian di luar kuasa diri. Getaran dari dalam tas membuat langkahku terhenti, menepi se
SALAH PAHAM “Siapa, Kak,” tanyaku dari dalam sambil berjalan ke arah pintu. Langkah kaki ini terhenti begitu pintu kubuka lebar. “Kak,” lirihku pelan menatap Tiara berpelukan dengan Kak Zaki, dirinya tesenyum ke arahku sambil mengedipkan sebelah matanya. “I miss you,” bisiknya sengaja di depanku sambil melirik. Kak Zaki menoleh, dia segera melepaskan pelukan wanita itu dan berjalan pelan ke arahku perlahan. “Rum,” desisnya sembari meraih tangan ini. Namun, tanpa diduga tangan yang berusaha meraih tangan ini kutepis begitu saja, refleks karena merasa kecewa dengan apa yang sudah kulihat. Kutatap kedua netra Kak Zaki yang terlihat seperti memohon. “Rum, dengar sebentar, Sayang,” ucapnya lembut sambil memegang tanganku lagi. Mata ini sudah memupuk air yang siap
UNGKAPAN Aku masuk terlebih dahulu membiarkan Kak Zaki yang masih diteras memandang ke arah jalan, seolah tengah menunggu seseorang. Mulai dari membereskan ruang tamu juga sisa piring yang masih ada di wastafel belum aku bersihkan. Oh ya, aku lupa mengecek ponsel yang belum sempat kuperiksa tadinya. Kubuka ponsel dan melihat beberapa banyak pesan masuk dan panggilan tidak terjawab dari Bang Kemal juga Riyan. [Rum, kamu baik-baik aja, kan?] [Apa Zaki melarangmu datang?] Jariku berhenti tepat di pesan tersebut begitu membacanya, seolah Bang Kemal tahu apa yang terjadi. Pantas saja tatapan pria itu tidak sedikitpun terusik dengan apa yang Kak Zaki lakukan, dia masih terlihat santai di saat Kak Zaki melakukan aksi konyolnya tadi. [kamu nggak bisa di hubungi, nggak terjadi apa-apa, kan?] [Nanti aku sama Riyan mau datang ke rumah menjenguk kamu.] Ak
DEBAT KUSIRPOV KEMALAku menunggu Riyan di meja pantry yang ada di dapur Rumi. Sambil main ponsel melihat dokumentasi kegiatan yang baru dilakukan hari ini bersama pihak yayasan chariety peduli rumah singgah. Aku tersenyum senang melihat wajah-wajah semringah anak-anak rumah singgah yang senang mendapat bantuan dari para relawan. Selain itu juga sebagai pendiri rumah singgah, yayasan tersebut mengucurkan dana berupa bantuan untuk membangun bangunan sekolah semi permanen agar dindingnya tidak beralaskan kardus lagi. Aku banyak mengucap syukur, setidaknya apa yang kulakukan bisa memberikan mafaat bagi orang lain. Melihat foto kegiatan para pengajar terbesit rasa sedih walau hanya sedikit, karena Rumi tidak hadir. Namun, aku mencoba menepisnya. Bukannya Rumi tidak mau datang, pasti ada sebabnya kenapa dia tidak bisa hadir. Aku mengulas smirk, menyadari bahwa Rumi bukanlah wanita yang kukenal dulu. Dia sudah bersuami dan pasti dia harus menuruti perkataan suaminya. Sepanjang kegiatan
TARIK MENARIK Selagi aku sibuk di dapur membuka barang belanjaan yang dibawa Riyan, kubiarkan mereka bertiga di ruang tamu. Sambil membuka layar televisi agar suasana tidak terlalu hening. Dari dapur bisa kuperhatikan apa yang sedang ketiganya lakukan. Kak Zaki masih tetap dengan posisinya fokus menatap layar televisi, Bang Kemal lebih memilih membaca buku yang ada di atas nakas sebelah sofa. Yah, memang di sebelah sofa itu selalu kusiapkan beberapa buku yang sering kubaca, sengaja di letakkan di sana agar tidak berulang mengambil ke kamar. Sementara Riyan sama dengan Kak Zaki, fokus menonton acara kesukaan keduanya, apalagi kalau bukan berita tentang sepak bola. Sesekali kudengar keduanya mengobrol. Membincangkan berita yang disampaikan presenter televisi tentang acara bola tersebut. Sedikit merasa lega, karena akhirnya Kak Zaki tidak diam saja, bisa mengobrol dengan Riyan membincangkan hal yang dia sukai. Supaya suasana mencair tidak mencekam seper
SURAM“Sebentar ya, Bang, Rumi buatkan minum dulu,” ucapku tersenyum lalu meninggalkan keduanya di ruang tamu. Sepeninggalanku keduanya tidak banyak bicara, sesekali curi-curi pandangan ke arah mereka, tetapi keduanya masih diam membisu, tidak seperti biasanya. Aku hanya berharap semoga apa yang kutakutkan tidak terjadi, masalah pertengkaran aku dan Kak Zaki semoga saja tidak menjadi masalah bagi hubungan perteman mereka. Semoga Kak Zaki bisa bersikap biasa saja kepada Bang Kemal. “Ini Bang, silakan di minum,” ucapku mempersilakan Bang Kemal. Kubuatkan dua teh hangat untuk dirinya dan juga Riyan, sekaligus ada camilan roti kaleng yang sudah kutaruh dipiring agar mempermudah keduanya untuk mengambilnya. “Terima kasih, Rum,” balasnya sambil tersenyum. Aku ambil duduk di single sofa yang letaknya tidak jauh dari Kak Zaki dan Bang Kemal. Namun, belum juga duduk lenganku tertahan. “Kamu mau ke mana, Sayang?” tanya Kak Zaki tiba-tiba. Aku terhent
COMTEMPLATION“Dirinya terlalu samar untuk diriku yang butuh kejelasan.”Masih dengan posisi yang sama, meringkuk memeluk lutut sambil merenungi kesalahanku hari ini. Tangis belum juga reda dan dada masih terasa sesak. Kuliirik jam yang berdentang menunjukkan pukul 9 tepat, tanpa sadar berada di posisi ini sudah dua jam lebih. Ponselku berdenting, sebuah pesan masuk dari Bang Kemal.[Rum, sudah di mana?]Begitulah bunyi pesan itu yang tampil di layar bar tanpa membuka aplikasi pesan itu langsung terbaca. Karena terlalu hanyut dengan perasaan ini membuatku lupa mengabari Bang Kemal. [Maaf ya, Bang. Rumi nggak bisa hadir. Kasihan Kak Zaki nggak ada yang temani.]Seperti itulah alasanku, setelah itu kumatikan ponsel tidak ingin diganggu oleh siapapun. Aku masih ingin meresapi perasaan ini, memikirkan bagaimana caranya untuk meminta maaf kepada Kak Zaki. Keras dan angkuhnya itu belum bisa terpatahkan. Kak Zaki terlalu samar untuk kutelus