Pur terduduk di bibir ranjangnya. Ada penyesalan mendalam jauh di lubuk hatinya. Pantas dulu Bapak tak merestui hubungannya dengan Ira. Filling orangtua terkadang jarang salah. Dia telah dibutakan cinta, sehingga tak pernah melihat sisi buruk Ira.
Dia menyesal, bila mengingat dulu selalu membiarkan Asih dizolimi Ira setiap hari. Bahkan Pur ikut mendukung tindakan Ira. Padahal Asih perempuan yang baik. Bahkan sejak kedatangan Ira ke rumah mereka, Pur dengan tega mencabut semua hak Asih karena hasutan Ira.
Mendadak ada rasa rindu teramat sangat kepada Asih dan Fatin. Tapi bagaimana caranya meminta maaf. Kesalahan Pur sudah sangat besar dan sulit untuk dimaafkan. Bahkan selama mereka pisah, sama sekali Pur tak memberi nafkah Fatin. Asih pun tak pernah menuntut dan mempertanyakan kepada Pur. Asih memang sudah tak ingin lagi berhubu
Hari ini Bang Naldi akan datang. Semua persiapan sudah dilakukan. Bapak sama Ibuk sangat antusias mempersiapkan semuanya. Sementara aku? Aku masih bingung dengan perasaanku sendiri. Namun, Bapak, Ibuk dan Nawang berhasil meyakinkanku untuk menerima Bang Naldi. Kata Bapak, mungkin dengan menerima Bang Naldi bisa mengobati rasa sakitku atas apa yang sudah dilakukan Mas Pur. Juga untuk menghindari banyaknya fitnah yang akan menerpaku.Aku belum memberitahu Fatin akan hal ini. Aku bingung cara menyampaikan padanya. Sejauh ini, hubungannya dengan Bang Naldi sangat baik. Bang Naldi juga berhasil mengambil hati Fatin. Namun aku belum bilang, kalau Bang Naldi berniat menjadi Ayah sambung baginya."Buk, rombongan Bang Naldi sudah datang," kata Bayu memberi tahu kami. Bapak dan Bayu sudah di teras lebih dulu menunggu kedatangan kel
Akhirnya tiba juga hari H pernikahanku dan Bang Naldi. Acara yang kami buat sederhana, hanya mengumpulkan keluarga besar dan tetangga-tetangga dekat saja. Bagiku yang penting rumah tanggaku kali ini bisa sakinah, mawaddah dan warahmah hingga maut yang memisahkan kami.Syukurlah tak ada halangan, Rika yang tadinya menentang pun tampak hadir juga di acara penting kami ini. Itu memang yang kuharapkan. Bagi Bang Naldi, Rika tetaplah adik kandungnya, tentu akan menjadi ganjalan bila Rika tak datang. Sepertinya dia mulai menerima kalau Bang Naldi itu Abangnya.Hari semakin malam, hatiku semakin berdebar. Ini malam pertamaku dengan Bang Naldi. Dan malam ini juga aku dibawa pulang ke rumah keluarga Bang Naldi. Begitulah adat suku Mandailing kata Bang Naldi.★★★KARTIKA DE
"Naldi, tolong dulu belikan bika ambon buat kami bawa pulang besok," kata Wak Soraya pada Bang Naldi, saat kami tengah duduk di cakruk yang ada di samping rumah Bou."Berapa banyak Wak?" tanya Bang Naldi."Sepuluh kotak, ini uangnya. Sini ada yang mau Uwak bilang," kata Wak Soraya, seraya menyerahkan beberapa lembar uang ratusan ribu ke tangan bang Naldi.Wak Soraya membisikkan sesuatu ke telinga Bang Naldi, aku tak dapat mendengar apa yang dikatakannya sama Bang Naldi. Yang jelas, selama Wak Soraya membisiki, Bang Naldi terus melihat ke arahku dan tersenyum penuh arti.Keningku melipat melihatnya, hal rahasia apa yang dibisikkan Wak Soraya. Kalau rahasia, kenapa harus di depanku membisikkann
"Bang Naldi!" Serentak mata kami melihat ke sumber suara yang memanggil.Raut wajah Bang Naldi yang tadinya selalu menyungging senyuman, langsung berubah ketika tau siapa yang memanggilnya.Dengan wajah yang tersenyum sumringah, Rika mendekat ke arah kami. Aku melirik wajah Bang Naldi yang tampak sangat tak senang dengan kehadiran Rika."Kamu nguntit Abang?!" ketus Bang Naldi kepada Rika yang cengengesan tanpa rasa bersalah."Nggak! Orang Rika ikut di dalam mobil kok," katanya sok polos sembari memilin ujung rambutnya dengan senyuman yang dibuat semanis mungkin."Gak mungkin! Pasti kamu nguntit!" Bang Naldi tak mempercayainya. Matanya sampai mel
"Jeng, kami pulang ya. Sekali-sekali main ke rumah. Udah lama loh, gak main ke rumah," kata Mama berpamitan."Insha Allah Jeng. Nanti akan sering main kesana." Ibu dan Mama saling berpelukan.Hari ini kami akan kembali pulang ke rumah orangtua Mas Bayu setelah pernikahan Mbak Asih usai digelar kemarin.Aku sudah sejak beberapa hari di sini. Sementara Mama, Papa juga Mas Bayu baru datang sehari sebelum hari H. Karena pekerjaan yang gak bisa ditinggal."Ibuk jaga kesehatan ya, kalau ada apa-apa cepat kabari Nawang," kataku, kupeluk malaikat tak bersayapku ini dengan erat."Iya. Ibuk udah sehat. Kamu lihat sendiri kan? Asalkan lihat ana
Sepertinya Mas Bayu mulai memahami perasaanku. Mudah-mudahan dengan munculnya Karin, tak merusak kebahagiaan yang baru saja kurasakan dengan Mas Bayu."Sebentar," kata Mas Bayu. Dia merogoh saku celananya, ternyata ada panggilan di gawainya."Halo Ma." Ternyata Mama yang menelepon."Kan sudah ada Mama dan Papa. Lagian kasian Nawang ditinggal sendiri," sahut Mas Bayu. Entah apa yang dikatakan Mama. Mas Bayu diam sesaat mendengarkan suara Mama. Aku tak bisa mendengarnya, karena Mas Bayu tidak mengaktifkan speaker."Ya sudah, Bayu kesana. Masih di ruangan IGD kan?" Mas Bayu mematikan sambungan teleponnya setelah mendengar jawaban Mama."Yuk kita ke
"Sebentar, Mas telpon Deni dulu. Mas mau minta dia ke rumah orangtua Karin," kata Mas Bayu. Mas Bayu mengeluarkan gawainya, lalu melakukan panggilan video ke Bang Deni, salah satu staff sekaligus sahabatnya."Halo Den, lu masih ingat rumah Karin kan?" Mas Bayu langsung to the point."Karin … mantanmu?" tanya Bang Deni.Mas Bayu sepertinya sengaja melakukan panggilan video, biar aku juga bisa ikut mendengar apa yang mereka bicarakan. Sepertinya Mas Bayu sangat bersungguh-sungguh membuktikan dirinya telah berubah. Tak ada hal lagi yang harus ditutupinya di depanku."Iya," jawab Mas Bayu dengan nada malas."Inget gak alamatnya du
"Mas, kita mau kemana?" tanyaku heran."Ikut saja," katanya.Mas Bayu malah menarik tanganku untuk merangkulnya erat. "Mas mau bawa kamu ke suatu tempat.""Suatu tempat?" tanyaku."Iya. Jangan banyak tanya, nanti jadi gak surprise," kata Mas Bayu, bikin aku penasaran saja.Mas Bayu menggenggam tanganku erat. Jantungku berdegup kencang, rasa bahagia seketika merajai hatiku."Tapi udah mau malam, ntar Tama nangis."Mas Bayu menepikan motornya. Dia mengeluarkan gawainya, lalu seperti mengirim pesan pada seseorang