Dilan masih mendekap Dini yang terisak dalam pelukannya. Dilan memang tak habis pikir, apa yang terjadi dengan Dini. "Apa kamu takut dengan menjadi saksi ini?"Dilan mencoba menerka. Dini menggeleng. Kembali mendongak ke wajah Dilan yang kini telah mendaratkan kecupan di keningnya. "Kamu jangan takut, Din, aku akan selalu ada di sampingmu. aku akan terus mendampingimu, apapun masalah yang kauhadapi."Aku tidak takut soal itu," jawab Dini pelan."Lalu apa?"Dini masih diam dan sesenggukan."Apa ini ada hubungannya dengan ucapanmu di meja makan tadi?" Dilan mendaratkan ciumannya di ubun-ubun Dini. Bau segar rambut Dini membuatnya lebih lama dengan memejamkan matanya. "jika sampai rumah ini sudah tidak boleh kita tempati lagi, aku janji akan membelikanmu rumah dengan menyicil KPR, atau mungkin beli tanah kapling duluh. Aku ada tabungan kalau hanya untuk tanah satu kapling. Kita akan bangun rumah, walau rumah kecil ghak apa-apa, asal kita selalu bersama. Yang penting tamannya aja banyak b
"Selamat malam, Pak. Maaf mengganggu tidur Anda." Salah satu dari dua orang itu membuka ucapannya. Lalu mengangsurkan sebuah amplop. Dilan mengambilnya ddan ememgangnya dengan hati-hati dengan sesekali menatap kedua orang itu dengan tatapan selidik. Yang satunya berambut biasa, yang satunya berambut sebahu."Bapak bisa baca, itu surat dari kepolisian. Mulai hari ini kami harus menjaga Nyonya Dini. Walau kami tak terus terang seperti duluh. Bagaimanapun juga kasus Nyonya Dini kini makin serius, jadi kami harus lebih berhati-hati.""Kok cepat sekali, Pak kami mendapat eprlindungan. Kami bahkan belum memasukkan gugatan atas kasus meninggalnya Bian."Yang berambut panjang tersenyum, berusaha menetralkan kecurigaan Dilan. "Pak Danu kemarin menyerahkan diri. Satu-satunya saksi hidup hanyalah Nyonya Dini. Setelah kejadian penculikan sebulan yang lalu, kami harus lebih hati-hati untuk menjaganya. Bagaimanapun juga orang tua Pak Danu memiliki kekuasaan dan kedatangan Pak Danu untuk menyerahka
Terdengar adzan Subuh menggema."Udah Subuh, sholat, yuk!' ucap Dini beranjak dari pelukan Dilan dengan wajah memerahnya.Dilan geleng-geleng. Baru juga ingin itu,.. kok Subuh sudah datang, gumannya."Din, nanti kita ulang lagi ya?" teriak Dilan menunggu Dini ke kamar mandi."Apanya?" Dini pura-pura tak mengerti sambil menyimpan senyum di bibirnya."Yang tadi.""Yang mana?""Ih, kamu sok ghak ngerti ya." Gemes Dilan dengan menjitak Dini pelan"Ghak janji ya, habis sholat aku mau lihat tanamanku.""Dini,...!"Dini terkekeh. Dia bahkan segera pergi setelah mencium punggung tangan Dilan selesai sholat Subuh. Dilan yang merasa keinginannya di ubun-ubun masih bisa menahannya saat dilihatnya Dini sudah asik dengan bunga-bunganya. Melihatmu bahagia, aku juga merasakan kebahagiaan itu, Din. Hanya hal sepele saja, aku bahkan berbulan bisa menahannya. Kenapa sekarang tidak?Waktu seperti cepat berlalu, Dilan hanya senang berayun di taman, menggulir handphon-nya dengan sesekali menjepret wajah D
Gadis itu mendekat. "Hai, Dilan, bagaimana khabarmu?" sapanya dengan senyum ramah dan menggoda. Dini merasakan tenggorokannya kering seketika.Dilan tersenyum, "Baik. Maaf Minggu lalu aku tidak bisa datang," ucap Dilan akhirnya, sebuah ucapan yang membuat Dini tertegun.Dini mengamati keduanya. Jadi benar, mereka janjian ketemu minggu lalu? Bisa-bisanya Dilan masih mengejarku sementara dia sudah janjian bertemu dengan gadis lain? bathin Dini berkecamuk."Iya, aku sampai menelponmu, tapi telponmu ghak aktif. Aku pikir kamu matikan, tapi lama aku telpon balik juga masih ghak aktif. Akhirnya aku ke sini saja. Ketemu Tante giani. Di sini pun kamu ghak ada. Akhirnya aku diajak Tante pergi.""Aku lagi pergi. Di sana sulit sinyal." Ucapan Dilan membuat Dini ingat, Dilan memang mengejar dia ke rumahnya."O, pantes." Gadis itu menyibakkan poninya dengan sesekali melihat Dini yang masih diam di sisi Dilan dengan wajah ditekuk. Sisil juga merasa heran dnegan gamis mewah yang dikenakan Dini yang
Dini memandangi jalanan yang dilalui taxi dengan tatapan kosong. Pikirannya kalut setelah meninggalkan rumah Dilan. Hati dan pikirannya bercampur aduk, membuatnya tidak memperhatikan supir taxi yang terus mencuri pandang ke arahnya. Sesekali, lelaki itu melirik ke kaca spion, memperhatikan wajah Dini yang tertutup cadar."Pak, ke kanan saja," ucap Dini dengan suara pelan namun tegas, mengarahkan tujuan perjalanannya."Baik, Mbak," jawab supir taxi itu, melirik sekilas melalui kaca spion. Tangan kirinya memegang kemudi, sementara tangan kanannya bergerak pelan untuk menyentuh layar ponselnya yang terpasang di dashboard.Dini mendengar lelaki itu berbicara, meskipun dengan suara pelan, seperti memberi kode pada seseorang melalui panggilan telepon. Kata-kata yang diucapkan terasa janggal di telinga Dini, namun ia terlalu lelah untuk memikirkannya lebih jauh. Hatinya masih diliputi rasa suntuk dan kecewa. Pikirannya sibuk memikirkan apa yang terjadi di rumah Dilan.Ketika taxi berhenti di
Saat pintu terbuka, pemuda itu menyunggingkan senyumnya. Firdaus menelisik setiap jengkal pemuda yang kini tengah berdiri di hadapannya. Rambutnya yang lurus penuh model dengan tertata nyentrik hampir menutup alisnya yang sebelah. Tubuh tinggi proporsionalnya masih tampak seperti seorang anak masih kuliahan dengan wajah tampan mirip artis Korea. Sepertinya bukan orang jahat, pikir Firdaus. Tapi bagaimana bisa melihat orang jahat dan tidak? Sekarang saja preman tidak pasti berewokan dan garang seperti duluh. Tampang kece dan tak berdosa bisa menjadi senjata mereka menjadi preman, bahkan pembunuh bayaran."Assalamualaikum, Tante!" Sapa pemuda itu dengan sopannya. Matanya yang agak sipit, menyisir ke dalam. Mencari gadis yang dia buntuti tadi.Ini bahkan memberi salam, guman Firdaus. Ah, bukankah orang penculik juga kadang menyembunyikan identitas mereka dengan berhijab? Lagi-lagi Firdaus berasumsi. Sementara Dini yang ngumpet di belakang dapur tak jauh dari ruang tamu, lamat mendengark
Rupanya Haidar yang datang. Dia lalu menuju meja makan sambil tersenyum pada Dilan dan Dini. Pria tinggi besar itu menaruh bawaannya di dalam kulkas, dan menyalami Dilan. Mereka memang sudah pernah bertemu sebelumnya."Maaf, ya, ulahku kapan hari ke kamu," ucap Haidar yang ikut duduk di meja makan, di dekat umminya."Ghak apa, santai saja. Aku bahkan yang harus berterimakasih kepadamu karena selama ini kamu telah menjaga Diniku."Mendengar kata Diniku, sedikit rasa sakit di hati Haidar, apalagi saat melihat Dilan menatap Dini. Dia dapat merasakan besar cinta lelaki itu pada gadis yang selintas hadir di kehidupan keluarganya."Kamu pasti sudah makan kan?" Firdaus mengalihkan perhatian Haidar. Dia tau betul, ada yang aneh dalam diri Haidar yang melihat Dilan begitu mesra menatap Dini."Sudah Ummi. Sama warga lain di masjid.""Dibilangi ghak usah bawa ke rumah, kok, dagingnya.""Ghak enak juga, Ummi. Dikirain kita sombong ghak mau daging qurban. Itu juga sudah aku kasihkan ke orang yang
Dilan dan Dini yang sudah masuk ke rumah, disongsong oleh Bi Ima. Dini masih tengok-tengok ke depan rumahnya. Menengok barangkali mobil yang mengikuti mereka masih mengintai."Cari siapa, Den?" tanya Bi Ima.Dini menggeleng. "Hanya khawatir saja, Bu. Tadi seperti ada yang mengikuti kami.""Jangan terlalu khawatir, nanti hidup kamu ghak tenang.""Iya juga si, Bu.""Daging yang dari rumah besar, saya taruh freser, Den, demikian juga dengan daging dari kelurahan sini. Itu ada masakan kambing gule sama sate dari rumah besar, barangkali mau makan.""Iya, Bu. Makasih. Ibu sudah makan?" tanya Dini."Sudah, Den.""Bu, aku kan panggil Ibu ya, bisakah Ibu panggil saja saya Dini? Ghak usah, Den. Ini bukan di rumah besar, Bu. Ini di rumah kita."Wanita setengah tua itu matanya mengaca, lalu memeluk erat Dini. Dini balas memeluknya dan menepuk punggungnya pelan."Anakku saja tidak semulia hatimu, Dhuk," ucapnya dengan isak.Dini masih menepuk punggungnya. Dia ingin keluarga ini benar akan menjadi
Mata Dini sudah mengaca. Dilan hanya bisa merengkuhnya, membenamkan wajahnya dalam dekapannya. "Kita akan cari rumah kontrakan yang mungkin bisa untuk mengembangkan usahamu sekaligus bisa untuk kita tempati," janji Dilan, "kamu jangan lagi menangis." diciumnya kening wanita yang kini terisak di pelukannya."Nanti kalau diminta orangnya lagi gimana? Susah lagi kan?" protes Dini.Dilan terkikik. "Iya juga ya," cetusnya."Nah, kurang pinter juga kamu ya, Mas.""Iya, iya, Dek. Yang pinter kan cuma kamu. Terlebih kamu pinter mencuri."Dini mendorong dada Dilan. "Maksud Mas apa?""Aduh!" Dilan yang tidak menyangka sampai berpegangan di bibir tempat tidurnya. "Kamu ini ya,.. nggak lagi sedidh, nggak lagi senang, sukanya bikin aku mau celaka terus."Dini cemberut. "Habisnya, kamu ngomong begitu." Matanya sudah kembali mengaca. "Emang aku mencuri apa kamu.""Kamu kan mencuri hatiku, Dek.""Hih! Rasain ini." Dini sudah menghujani Dilan yang turun dari tempat tidurnya dengan tabokan bantal. "A
Dini yang membuka kunci rumah, segera mempersilahkan Profesor Satya dan Amira, istrinya masuk."Silahkan masuk, Pak, Bu."Memasuki rumah, sepasang suami istri itu sudah berdecak kagum. Wanita yang masih cantik di usianya yang sudah setengah baya tu bahkan berkeliling matanya menatap seluruh ruangan itu."Terus terang kami pangling dengan rumah kami sendiri. Bukan karena catnya yang kalian ganti ini, tetapi karena penataan dan pernak pernik ruangan yang kalian terapkan, sangat cantik," puji Amira.Dilan tersenyum memandang Dini, "Semua ini dia yang ngatur, Bu. Saya mana mengerti yang begituan. Cuma izin Bapak saja waktu ganti cat. Itu pun saya juga baru tau setelah selesai ngecatnya." Dialna merasa tak enak hati. "Untung Bapak setuju, kalau tidak bisa berabe."Tawa pun menggema. "Rumah tambah bagus kok nggak suka, ya nggak mungkin, Dilan," tutur Satya."Kamu memang pintar, Din," puji Amira lagi. "Sama bunga aja kamu telaten. Apalagi dengan nata beginian. Mencerminkan banget siapa dirimu
"Assalamualaikum, Din. Mana Bu Astri?" sapa pria itu, yang ternyata Pak RT."Ke Pak Kyai, Pak," jawab Dini sambil menggeser jilbabnya yang tadi dia pakai asalan. "Mau narik iuran kampung?"Pak RT terkekeh kecil. "Iya, Din. Seperti biasanya. Ini tadi saya baru tau kalau Bu Astri sudah kembali dari rumahmu, Din. Makanya saya datang sekalian."Dini mengangguk, lalu tanpa banyak basa-basi mengeluarkan uang dari dompetnya yang tadi ditaruh di sofa setelah berbelanja, dan menyerahkannya kepada Pak RT.Hampir mau keluar, Pak RT menoleh ke arah Dini. "Oya, Nak Dini. Selamat, ya. Kamu sudah berhasil melewati Barata dengan menjadi saksi itu. Kasihan Nak Aziel. Sekarang dia bisa hidup tenang setelah misteri kematiannya terungkap."Dini terdiam sesaat, ada semburat kesedihan di wajahnya. Ia menghela napas pelan. "Iya, Pak. Kita doakan saja keputusan hakim adil. Vonisnya belum keluar."Pak RT mengangguk mantap. "Tapi Bapak sudah lihat jalannya sidang yang ditayangkan live dari TV Pesantren. Insya
"Bapak siapa?" tanya Dini, menelisik pria berkulit sawo matang yang terlihat keras itu."Saya hanya mau lihat, apa rumah ini sudah bagus." "Kalau sudah bagus, kenapa ya Pak?" "Tolong bukakan pintuny. Saya mau masuk," ucap lelaki itu dengan sikap sombongnya. Seolah-olah dialah pemilik rumah itu. "Ada perlu apa ya, Pak?" Dini masih curiga dengan pria yang tidak begitu dikenalnya. Ditatapnya penuh selidik. Terkadang dia merasa tak asing dengan wajah itu, namun dia juga ghak terlalu yakin. "Saya hanya ingin tau, apa rumah bakal mantu saya sudah bener- bener bagus. Saya sudah mengeluarkan uang banyak untuk itu. Saya harus pastikan agar nanti kalau ada kerabat yang datang tidak malu-maluin.""Berarti Anda,..?" Dilan menerka."Kamu dapat menebak saya. Saya Pak Mail juragan buah dari kampung sebelah. Saya bapaknya Fatimah.""Oala, Pak,..kirain siapa tadi." Dilan langsung menyalami pria itu.Dilan lalu berbisik ke Dini. Dini yang orang sini malah yang tidak tau. Dilan memang tau hubungan c
Dilan sudah siap-siap, siapa tau Dini akan menipunya kembali. Namun yang ada Dini malah membuka kimononya. "Mau aku tipu lagi?""Aku sudah pakai jurus jika kamu melakukan itu lagi.""Mana jurusnya?""Ini,.." Dilan menarik pinggang Dini, dan meraih tengkuknya dengan bibir yang sudah menyentuh bibir Dini.Paginya. Pagi sekali Dilan sudah mengajak Dini naik motor Fahmi yang duluh sering dipakainya."Mau ke mana sih, Mas, pagi sekali? Dingin lagi udaranya.""Mau ke pasar Subuh. Biar rambutku kering di jalan. Malu nanti dilihat Fahmi ketauan aku mandi basa. Kemarin sih ya, kita ghak bawa hairdyer.""Kenapa malunya sama Mas Fahmi, bukan sama Ibu?" cibir Dini."Dia kan temanku Dek. Belum nikah lagi. Ya, malulah."Dilan sudah menstarter motornya. Sekali, dua kali, masih tak bisa. Sampai akhirnya Fahmi keluar. Dan benar saja, untuk yang pertama kali dilihat Fahmi adalah rambutnya Dilan."Ghak dingin, subuh-subuh udah keramas. Aku aja sampai Dhuhur baru mandi.""Ih, kamu ya,..!" timpuk Dilan ma
Dini mendekat, senyumnya tetap ramah meskipun bisa melihat raut kesal di wajah perempuan paruh baya di depannya. Wanita itu, mengenakan blus batik dengan tas selempang kecil yang sudah sedikit lusuh, tampak mengangkat setangkai bunga dengan ekspresi tak percaya."Masak iya, bunga begini semahal itu?" keluhnya, matanya menyipit menatap kelopak bunga seakan-akan menyalahkannya atas harga yang dipasang.Dini, yang sudah terbiasa menghadapi berbagai macam pelanggan, tetap tenang. Ia melirik sekilas ke arah bunga di tangan wanita itu, kemudian tersenyum."Ada yang bisa saya bantu, Bu?" ulangnya, suaranya lembut, nyaris berbisik seperti belaian angin sore yang masuk melalui celah pintu toko bunga miliknya.Wanita itu menatapnya lebih dekat, seakan baru menyadari sesuatu. "Ini Mbak Dini, ya?" tanyanya dengan raut penasaran.Dini mengangguk kecil. "Iya, Bu. Ada yang bisa saya bantu?"Wanita itu mendengus kecil, masih tak rela dengan harga yang tercantum di pot tanaman itu. "Ini, Mbak. Masak i
Dini baru saja menghembuskan napas lega ketika seseorang menepuk pundaknya. Dia menoleh dan melihat sosok Pak Pramono tersenyum padanya."InsyaAllah ada titik terang di sidang ini. Dan kenangan ada di pihak kita," ucap Pak Pramono sambil mengusap kepalanya dengan sayang.Dini menunduk, air mata menggenang di pelupuknya. Begitu banyak hal yang telah terjadi, begitu banyak fitnah yang menimpanya. Namun kini, satu per satu kebenaran mulai terungkap."Selamat, Kak Dini!"Suara ceria Kanaya membuyarkan lamunannya. Gadis itu mendekat dengan senyum lebar, lalu memeluk Dini erat. Di belakangnya, Davin ikut tersenyum sambil mengangguk sopan."Aku tahu Kak Dini tidak mungkin melakukan semua itu. Aku percaya sejak awal," bisik Kanaya, membuat Dini makin terharu.Namun, tak semua orang menunjukkan ekspresi yang sama. Giani, mertua Dini, hanya melipat tangan di dada. Wajahnya datar, tapi sorot matanya menunjukkan ketidakpuasan. Dalam hatinya, ia bergumam, "Aku pikir dia akan dipenjara selamanya."
Sekelompok pemuda pemudi datang menghampirinya."Mbak ingat kami?"Dini mencoba mengingat kembali.Seorang cewek mendekat. "Kemarin kami mau dekati Mbak, tapi saya lihat Mbak mendekati pria itu, sementara kami juga diajak ngobrol sama Pak Pramono dari kubu mana kami ini dan mau membela siapa.""Mbak, .. bukannya yang kasih minum aku ya,.." tebak Dini."Bener, Mbak. Kami mengikuti perkembangan kasus Mbak. Dari mulai Mbak diculik sampai kemarin di pengadilan. Rasanya kami berdosa jika kami membiarkan Mbak Dini hanya berjuang sendiri mengungkap hal yang seharusnya diungkap," ucap cewek itu.Seseorang datang mendekat sambil berdehem. Sepertinya dia satu diantara orang suruan Barata."Mbak Dini, sebentar ya," ucap dia permisi.Diin mengangguk dengan memperhatikan tngkah gadis yang sesekali melirik ke arahnya."Pak, tenang saja, kami tidak akan mengingkari perjanjian kita," ucap cewek itu, Ailin yang kemudian menepi dan menggiring orang yang mendekat sambil berdehem itu."Ingat, kami telah
"Selamat siang, adik-adik!" Dua orang lelaki menghadang sekelompok pemuda dan pemudi yang sedang menunggu bis yang lewat."Selamat siang, Pak! Ada yang bisa kami bantu?" tanya Mashad, ketua kelompok pecinta alam yang terdiri dari beberapa Mahasiswa dan mahasiswi PTN itu."Aku bisa minta sesuatuke kalian? tanya salah seorang diantara mereka yang lebih mendekat."Apa itu, Pak?""Sebelumnya perkenalkan, saya dari pihak terdakwa yang besuk lusa kalian akan menjadi saksinya."Sekelompok pemuda pemudi itu bersitatap. Mereka baru menyadari perkataan Pramono dan pesannya tadi agar mereka berhati-hati. Pramono bahkan menawarkan sebuah tempat tinggal untuk mereka tempati bersama, namun mereka menolak karena kesibukan mereka yang tak memungkinkan untuk diam di satu tempat dengan bersama."Lalu tujuan Bapak mencegat kami, mau apa?""Kami menawarkan sesuatu agar kalian bisa berbuat banyak hal dengan uang yang akan kami beri.""Lalu yang bapak inginkan apa?""Begini," Lelaki itu kemudian mengungka