Rupanya Haidar yang datang. Dia lalu menuju meja makan sambil tersenyum pada Dilan dan Dini. Pria tinggi besar itu menaruh bawaannya di dalam kulkas, dan menyalami Dilan. Mereka memang sudah pernah bertemu sebelumnya."Maaf, ya, ulahku kapan hari ke kamu," ucap Haidar yang ikut duduk di meja makan, di dekat umminya."Ghak apa, santai saja. Aku bahkan yang harus berterimakasih kepadamu karena selama ini kamu telah menjaga Diniku."Mendengar kata Diniku, sedikit rasa sakit di hati Haidar, apalagi saat melihat Dilan menatap Dini. Dia dapat merasakan besar cinta lelaki itu pada gadis yang selintas hadir di kehidupan keluarganya."Kamu pasti sudah makan kan?" Firdaus mengalihkan perhatian Haidar. Dia tau betul, ada yang aneh dalam diri Haidar yang melihat Dilan begitu mesra menatap Dini."Sudah Ummi. Sama warga lain di masjid.""Dibilangi ghak usah bawa ke rumah, kok, dagingnya.""Ghak enak juga, Ummi. Dikirain kita sombong ghak mau daging qurban. Itu juga sudah aku kasihkan ke orang yang
Dilan dan Dini yang sudah masuk ke rumah, disongsong oleh Bi Ima. Dini masih tengok-tengok ke depan rumahnya. Menengok barangkali mobil yang mengikuti mereka masih mengintai."Cari siapa, Den?" tanya Bi Ima.Dini menggeleng. "Hanya khawatir saja, Bu. Tadi seperti ada yang mengikuti kami.""Jangan terlalu khawatir, nanti hidup kamu ghak tenang.""Iya juga si, Bu.""Daging yang dari rumah besar, saya taruh freser, Den, demikian juga dengan daging dari kelurahan sini. Itu ada masakan kambing gule sama sate dari rumah besar, barangkali mau makan.""Iya, Bu. Makasih. Ibu sudah makan?" tanya Dini."Sudah, Den.""Bu, aku kan panggil Ibu ya, bisakah Ibu panggil saja saya Dini? Ghak usah, Den. Ini bukan di rumah besar, Bu. Ini di rumah kita."Wanita setengah tua itu matanya mengaca, lalu memeluk erat Dini. Dini balas memeluknya dan menepuk punggungnya pelan."Anakku saja tidak semulia hatimu, Dhuk," ucapnya dengan isak.Dini masih menepuk punggungnya. Dia ingin keluarga ini benar akan menjadi
"Din,.." Dilan mencekal tangan Dini."Ada apa sih, Dilan?""Maksud kamu pergi gimana?""Ya, pergi ke kamar atas lah, mau pergi kemana lagi ayang aku bisa dalam keadaan begini?"Dilan membuang nafasnya elga. Kirain mau ke mana lagi? gumannya dalam hati."Emang kamu pikir mau ke mana?""Enggak, enggak, aku ghak mikir kamu ke mana, kok.""Aku kan harus tinggal di atas. Sesuai kesepakatan kita. Ummi sama Abi sudah pulang sekarang."Diantara lega, Dilan masih tidak terima dengan apa yang dilakukan Dini. "Din, jangan lakuin ini, dong. Aku ghak ingin tidur tanpa kamu di sisiku," ucapnya sapai memohon."Kenapa kamu ghak ajak Sisil saja, dia telah mencoba rebahan di kamar itu dan mengatakan kalian pasti melewati hal indah di sana," bentak Dini dengan menatap tajam Dilan."What?" Dilan hampir tak percaya dengan yang diucapkan Dini. "Dia masuk kamar kita?""Bukannya kamar kalian?" ralat Dini.Dilan menggelengkan kepalanya, "Bisa-bisanya kamar ini dimasuki orang lain, Din. Karena itu kamu sembuny
"Memangnya kamu nunggu siapa, sih?" tanya Erka dengan duduk di depan Dilan dan emnatap sahabatnya itu intens."Sisil," jawab Dilan singkat dan tenang. Namun,..."Apa?" Teryata membuat Erka sampai terbelak." Bisa-bisanya kamu janjian sama dia. Kamu kan tau dia itu menyukaimu. Kenapa kamu main api, katamu istrimu sudah ada di sini?" Dilan memang pernah mengirim pesan WA saat sampai di rumah setelah dari desanya Dini yang mengatakan kalau Dini ke sini. Itu saking senangnya Dilan sampai bercerita ke sahabatnya itu."Justru ini aku ngurus sesuatu agar dia gak lagi mengharapkanku," ucap Dlan dengan masih menengok ke arah pintu."Bagaimana kalau Dini tau kalian ketemuan? Menurutmu dia ghak meradang?""Dia ghak akan perduli, Ka." Suara Dilan nampak putus asa. Dia memang merasa suntuk sekali setelah perdebatannya dengan Dini tadi di kamar atas, saat Dini mengatakan bahwa urusannya dengan Dilan hanya sebatas kasus Aziel selesai.'Maksud kamu?" Erka tak habis pikir dengan perkataan Dilan yang
Dilan menatap Sisil. Dia sudah bermaksud mau mempertanyakan keberadaan Sisil di kamarnya, namun melihat apa yang terjadi dengan Sisil sebelum ini, Dilan sulit memulai kata-katanya."Pikirku aku menebus kesalahanku tak datang kapan hari saat aku janji ngajari kamu sholat, la kok kamu datangnya malam, aku jadi ghak enak, kan?" akhirnya kata-kata itu yang terucap oleh Dilan."Oala, itu, toh?" Sisil menyibakkan rambut poninya yang terjuntai di mukanya, "kapan-kapan bisa, santai aja. Kita bisa ketemuan lagi di rumah besar. Atau kalau kamu ghak keberatan, aku bisa ke rumahmu. Ngomong aja sama istrimu, kita perlunya cuma itu, aku yakin dia ghak bakalan cemburu. Lagian kalau aku di sana, dia ghak jadi salah paham sama kamu."Dilan tersenyum masam. Emang dia ghak cemburu, Sil. Karena dia tak ada perasaan apapun padaku, bathin Dilan.Sementara Sisil juga menyimpan senyumnya dengan menatap Dilan penuh kekaguman. Dia menjadi tak ragu untuk tetap mendekati Dilan setelah dia dan maminya memastikan
Dini tak bisa tidur, memikirkan langkah apa yang bisa dia ambil agar tidak hanya berdiam diri di rumah ini. Sebentar-sebentar dia menggulir handphonenya. Dia menemukan blog pribadinya yang menjual bunga di saat dia dalam keadaan belum sadar betul.Kenapa aku tak melanjutkan usaha ini saja seperti kebanyakan usaha penduduk di daerahku? Mungkin meneruskan di sini duluh. Jika nanti terjadi sesuatu aku bisa memikirkannya lagi daripada aku hanya bengong tak ada kegiatan, pikir Dini. Lalu mengguliir terus handphone-nya, menacari perkembangan usaha itu agar bisa mengerjakannya dengan profesional. Namun kemudian dia mendengar suara mobil datang. Dengan pelan dia melihat ke luar saat orang yang dikenalnya membuka pintu pagar dan memasukkan mobilnya di garasi. Hati Dini merasa tersayat melihat sosok itu. Sosok yang ternyata bisa membilurkan luka di hatinya dengan rasa cintanya. Kenapa aku terusik olehnya kini? Dan ternyata memikirkan itu menjadi rasa sakit di hatiku, guman Dini pelan. Namun a
Nampak Dini ragu. "Kalau gitu besuk saja, Bu. Aku bisa ke sana tanpa orang menanyakan Dilan. Dia kan waktunya kerja." Dini ememang tak ingin orang tau huubngannya ayng renggang denga Dilan.Ima hanya diam. Dia dapat mengerti dengan apa yang diucapkan Dini melihat hubungannya yang akhir-akhir ini menjahui Dilan.Setelah makan, Dini kemudian beranjak ke kamarnya dengan Dilan. Dibukanya laci yang kuncinya ada di sepatu Dini. Nampak Dini ragu memandangi uang yang dimasukkan di wadah tertutup itu. Itu adalah sisa uang belanja selama ini yang dia taruh di lacinya. Pikirnya daripada keperluan mereka juga ghak banyak. Mungkin sewaktu-waktu dibutuhkan.Aku pakai duluh ghak ya? Dini ragu. Bagaimanapun sikapnya terhadap Dilan membuatnya ragu untuk mengambil. Akhirnya Dini meletakkannya di kembali dengan menaruh kuncinya di atas meja rias.Nunggu sampai Jum'at saja. Mudah-mudahan orderan bunganya bertambah, biar bisa jadi uang ongkos untuk naik bis, pikirnya lagi. Lalu bersemangat memposting bung
Dini sudah berada di bis. Dari tadi dia melihat pria berbusana rapi yang seolah terus mengikutinya. Bahkan saat Dini berpindah tempat duduk dengan sengaja. Dini merapalkan do'a. Lalu menelpon kakaknya. Namun nomer itu tak bisa dihubungi. Yang menjawab hanya opeator. "kak, tolong jawab," kembali Dini berusaha menelpon. Namun lagi-lagi ak ada jawaban. Di sana memang tak ada sinyal.Kembali Dini menoleh. Nampak orang itu kemudian membuang mukanya. Tolong aku, Tuhan! Kasus ini sudah ada titik terang, jangan biarkan aku kauambil duluh sebelum aku menaruh Danu di penjara atas kematian Aziel. Aku tak rela Aziel tidak emndapatkan keadilan. Sejenak wajah Aziel muncul di benak Dini. Pemuda pendiam dan hanya tersenyum samar itu seolah kini memandang Dini lekat. Namun tiba-tiba dia mendengra tawa, tawa yang khas, bersama sekelebat candanya yang hangat dan menggoda. Dini memejamkan matanya. sebulir air menetes di pipinya. Maafkan aku, Ziel. Kenapa aku harus menukar cnamu untuk orang lain? maafkan
"Selamat siang, adik-adik!" Dua orang lelaki menghadang sekelompok pemuda dan pemudi yang sedang menunggu bis yang lewat."Selamat siang, Pak! Ada yang bisa kami bantu?" tanya Mashad, ketua kelompok pecinta alam yang terdiri dari beberapa Mahasiswa dan mahasiswi PTN itu."Aku bisa minta sesuatuke kalian? tanya salah seorang diantara mereka yang lebih mendekat."Apa itu, Pak?""Sebelumnya perkenalkan, saya dari pihak terdakwa yang besuk lusa kalian akan menjadi saksinya."Sekelompok pemuda pemudi itu bersitatap. Mereka baru menyadari perkataan Pramono dan pesannya tadi agar mereka berhati-hati. Pramono bahkan menawarkan sebuah tempat tinggal untuk mereka tempati bersama, namun mereka menolak karena kesibukan mereka yang tak memungkinkan untuk diam di satu tempat dengan bersama."Lalu tujuan Bapak mencegat kami, mau apa?""Kami menawarkan sesuatu agar kalian bisa berbuat banyak hal dengan uang yang akan kami beri.""Lalu yang bapak inginkan apa?""Begini," Lelaki itu kemudian mengungka
Dini yang menghampiri Danu, segera meneluarkan unek-uneknya. "Aku memaafkanmu, aku pikir kamu udah bener-bener insaf, Kak. Kenyataannya, kamu hanya ingin menjebakku."Danu yang tak menyukai Dilan di samping Dini, sebenar-sebentar menatap pegangan tangan mereka. "Aku tidak menjebakmu, Din. Mulanya aku justru yang ingin mengakuinya dengan ihlas. Namun melihat sikapmu yang sdelah tak perduli dengan perasaanku, aku tak bisa membuatmu melenggang begitu saja, sementara aku yang akan merasakan dinginnya jeruji besi.""Memang itu kesalahanmu, kenapa duluh kamu ghak nyadar kalau itu resikonya?""Aku ghak sengaja, Din. Kamu tau itu. itu hanya karena didorng rasa inginnnya aku memilikimu.""Aku sudah bilang mengenai hal itu kan? Aku tak bisa bersamamu.""Itu bukan alasan, Din. kalau kita bersama, rasa itu akan tumbuh, karena aku tulus mencintaimu."Dini menggelengkan kepalanya."Belum terlambat, Din. Tinggalkan lelaki itu. Aku akan mengakui kesalahanku. Aku mungkin hanya setahun dua tahun di pen
Sekelompok pemuda dan pemudi datang. Model mereka yang laki-laki kebanyakan rambutnya panjang, membuat banyak mata memperhatikan. Terlebih cara berpakaian mereka yang nyentrik."Siapa kalian? Semua ada prosedurnya. Ikuti duluh prosedurnya. Dan sidang hari ini ditunda sampai di sini duluh. Dilanjutkan besuk kembali." Pak Hakim Ketua menginstruksikan."Kami hanyalah sekelompok orang yang ingin menegakkan keadilan Pak.""Baiklah, saya hargai usaha kalian. Besuk, kalian bisa kembali ke sini lagi. Sementara itu kalian harus berhati-hati untuk menjaga diri."Seorang gadis mendekat ke Hakim Ketua. "Terimakasih banyak, Pak."Gemuruh pengunjung sidang merasa kecewa karena sidang harus dilanjutkan besuk. Mereka penasaran dengan sekelompok pemuda pemudi yang datang ingin menjadi saksi.Sementara Pramono dan pengacaranya mendekati sekelompok pemuda dan pemudi yang datang hendak menjadi saksi. Kanaya yang selalu di dekat papanya ikut mendekat. Perbincangan pun terjadi diantara mereka."Kalian sia
Setelah waktu rehat, kembali Dini maju ke depan untuk menghadapi pertanyaan Pembela Danu."Saudari Dini,.. tolong dijawab iya dan tidak saja." Pembela mendekati Dini. Menatapnya dengan tatapan tajam."Apa Anda mengenal saudara Danu?" Dia memulai pertanyaannya."Iya.""Anda mengidolainya kan seperti yang tadi Anda katakan?""Maaf itu duluh. Setelah,..""Dijawab dengan iya atau tidak," bentak Pembela.Dilan yang melihatnya mengepalkan tangannya. Sesak dirasakan pria tinggi itu, demikian juga dengan Astri dan lainnya dari keluarga Dini, selain Giani dan Ajeng."Tidak, sekarang.""Anda plin plan. Tadi mengatakan sendiri mengidolai, sekarang tidak." Pembela itu mencibir. Seringai licik terpancar dari wajahnya."Pertanyaan Anda yang tak bisa hanya dijawab iya dan tidak," bantah Dini dengan hati yang panas."Apakah Anda tau Danu mencintai Anda?""Iya.""Bahkan sangat mencintai Anda?"Dini mendongak dengan sekilas menatap Danu yang juga menatapnya. "Iya!" Dini mulai jengkel dengan menjawab se
Di meja makan sederhana itu, suasana tampak tegang meski suara piring dan sendok beradu sesekali mengisi kekosongan. Astri, seorang ibu yang selalu tahu gelagat anaknya, memandang Dini dengan cemas. Dini hanya memutar sendok di atas nasi tanpa benar-benar memakannya. Wajahnya pucat, jelas dia sedang menghadapi beban berat."Makanlah, Dhuk," ujar Astri lembut, mencoba membangkitkan selera makan Dini. Suaranya penuh kasih, seperti ingin menyelimuti hati putrinya yang rapuh.Dini hanya tersenyum tipis, tetapi matanya tetap tertunduk. Sesaat kemudian, Dilan mendekat, membawa ketenangan yang Dini butuhkan. Wajahnya tenang, gerak-geriknya tegas, tetapi kelembutan terlihat dari caranya memperhatikan Dini."Dek, ayo makan." Dilan mengambil sendok, menyendokkan nasi ke piring Dini, lalu menyuapinya. Tatapan matanya penuh cinta, namun kini dibalut kekhawatiran. Dini tidak menolak, tetapi air matanya mulai menetes tanpa bisa ditahan.Melihat itu, Dilan menghentikan gerakannya. Dengan hati-hati,
Aziel...Namanya masih terngiang di kepalaku, berputar seperti gema dalam ruangan kosong. Semua terjadi begitu cepat. Suaranya yang menyebut Allah menjadi kalimat terakhir yang kudengar darinya. Seakan dunia berhenti bersuara ketika tubuhnya terkulai. Perawat yang berdiri di sisinya hanya memandangiku dengan sorot mata penuh iba, lalu mengucapkan kalimat itu:"Maaf, Mbak, dia sudah pergi selamanya."Aku tidak bisa merespons. Tubuhku kaku, seperti terikat oleh ribuan tali yang tak terlihat. Seorang mbak di kemah itu yang menemani sejak tadi kini merangkulku, tubuhku gemetar di pelukannya. "Yang sabar, ya, Dik. Dia pasti bahagia di sana. Tolong ikhlaskan."Ikhlaskan? Kata itu seperti pisau yang menusuk pelan, tapi berulang-ulang. Aku mencoba membuka mulut, memanggil namanya, Aziel. Kata itu keluar lirih, disertai air mata yang sudah tak bisa kubendung."Jangan pergi... Kita pasti akan menikah. Kita akan sekolah bersama..." ucapku di antara isak tangis. Tapi kalimatku menggantung. Dunia
Dini mengusap airmata yang tiba-tiba saja mengalir. Ingatan dia pada Aziel membuatnya menangis. Salahkah aku jika aku masih menangisinya, sementara ada suamiku yang begitu menyayangiku? Bathin Dini dengan kembali menitikkan airmata saat dia meras tak adil pada Dilan karena hatinya masih terbagi."Tolong diteruskan," perintah Pak Hakim saat melihat Dini menunduk.Aku dan Aziel menatap ke arah datangnya suara yang ternyata ada di belakang kami. Aziel terperanjak dengan tangan mengepal. Kata-kata tak senonoh itu bahkan tak pantas untuk didengar seekor jangkrik yang kebetulan lewat."Danu?" ucapku spontan manakala seseorang yang di belakang kedua orang itu, menampakkan wajahnya."Kamu pikir kamu bisa dimiliki orang lain, sebelum aku mencicipimu?" ucapnya dengan wajah merah padam. Aku bahkan seolah tak mengenalinya lagi. Sosok yang duluh amat kuhormati bahkan kuidolai, kini bisa mengatakan semua itu."Jaga ucapanmu!" bentak Aziel."Kamu telah menolakku, Dini. Aku datang dengan baik-baik me
"Ibu sehat?" tanya Dilan. Lalu mencium punggung tangan wanita di depannya."Sehat, Nak. Lihat, nih," ucap Astri tersenyum."Ibu sudah tidak sabar pingin ketemu Dini, Dilan, sampai pas aku telpon kamu semalam, Ibu pingin ngomong sama Dini."Kapan Mas telpon?" tanya Dini pada Fahmi."Tadi malam," jawab Fahmi. yang segera membuat mata Dini membelalak menatap Dilan yang hanya cengingisan di depannya."Jadi Mas Fahmi yang telpon, Mas? Yang kamu sembunyikan itu?""He,he, he,.. kejutan, Dek.""Ih, bisa-bisanya ya, kamu,.." Dini sudah menimpuk Dilan dengan tas kecil yang dibawanya."Dini,..apa-apaan sih kamu, sama suami kamu ghak sopan begitu?" tegur Astri."Ya, begitu itu, Bu, anak Ibu. Ghak sopan sama suami."Dini makin menggertakkan giginya. Dilan hanya ngakak tertawa."Ibu,..!" Dini segera memeluk Astri. "Aku kangen sekal sama Ibu,""Ibu juga, Nak. Kamu baik-baik saja, kan?"Dini hampir saja bercerita tentang kejadian semalam, tapi Dilan memegang tangannya, "Kami baik-baik saja, Bu. Aku
Pria itu mengulurkan air mineral untuk Dini dan Dilan. "Mas, nggak kenapa-napa?" suara beratnya terdengar.Dilan menoleh dan tersenyum kecil. "Nggak apa-apa, Pak. Saya cuma kaget aja.""Maaf, Mas. Saya tadi telat datang karena ada keperluan mendadak," ujar pria itu.Dini memandang pria itu dengan tatapan bingung. "Mas, ini siapa?"Dilan membantu Dini bangkit, kemudian beralih menatap pria tersebut. "Dia? suruan Papa, Din.""Suruan Papa?" Dini mengerutkan dahi, bingung dengan istilah yang baru saja keluar dari mulut suaminya.Dilan tertawa kecil, mencoba menenangkan istrinya. "Maksudnya dia ini yang jaga kita, Din. Nggak usah khawatir. Sekarang kita masuk ke dalam aja, ya."Dini masih ingin bertanya lebih banyak, tapi melihat tatapan serius Dilan, ia memilih untuk menurut. Mereka berjalan menuju kamar resort dengan pria tadi mengikuti di belakang, memastikan semuanya aman."Terimakasih, Pak. Bapak bisa pergi sekarang. Insyaallah ghak ada apa-apa."Setelah masuk ke kamar, Dilan mengun