Home / Romansa / MENANTU IMPIAN IBU / Bab 78. Menunggu.

Share

Bab 78. Menunggu.

Author: HaniHadi_LTF
last update Last Updated: 2024-12-02 11:40:25
Dilan menatap Sisil. Dia sudah bermaksud mau mempertanyakan keberadaan Sisil di kamarnya, namun melihat apa yang terjadi dengan Sisil sebelum ini, Dilan sulit memulai kata-katanya.

"Pikirku aku menebus kesalahanku tak datang kapan hari saat aku janji ngajari kamu sholat, la kok kamu datangnya malam, aku jadi ghak enak, kan?" akhirnya kata-kata itu yang terucap oleh Dilan.

"Oala, itu, toh?" Sisil menyibakkan rambut poninya yang terjuntai di mukanya, "kapan-kapan bisa, santai aja. Kita bisa ketemuan lagi di rumah besar. Atau kalau kamu ghak keberatan, aku bisa ke rumahmu. Ngomong aja sama istrimu, kita perlunya cuma itu, aku yakin dia ghak bakalan cemburu. Lagian kalau aku di sana, dia ghak jadi salah paham sama kamu."

Dilan tersenyum masam. Emang dia ghak cemburu, Sil. Karena dia tak ada perasaan apapun padaku, bathin Dilan.

Sementara Sisil juga menyimpan senyumnya dengan menatap Dilan penuh kekaguman. Dia menjadi tak ragu untuk tetap mendekati Dilan setelah dia dan maminya memastikan
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • MENANTU IMPIAN IBU   Bab 79. Menjauh.

    Dini tak bisa tidur, memikirkan langkah apa yang bisa dia ambil agar tidak hanya berdiam diri di rumah ini. Sebentar-sebentar dia menggulir handphonenya. Dia menemukan blog pribadinya yang menjual bunga di saat dia dalam keadaan belum sadar betul.Kenapa aku tak melanjutkan usaha ini saja seperti kebanyakan usaha penduduk di daerahku? Mungkin meneruskan di sini duluh. Jika nanti terjadi sesuatu aku bisa memikirkannya lagi daripada aku hanya bengong tak ada kegiatan, pikir Dini. Lalu mengguliir terus handphone-nya, menacari perkembangan usaha itu agar bisa mengerjakannya dengan profesional. Namun kemudian dia mendengar suara mobil datang. Dengan pelan dia melihat ke luar saat orang yang dikenalnya membuka pintu pagar dan memasukkan mobilnya di garasi. Hati Dini merasa tersayat melihat sosok itu. Sosok yang ternyata bisa membilurkan luka di hatinya dengan rasa cintanya. Kenapa aku terusik olehnya kini? Dan ternyata memikirkan itu menjadi rasa sakit di hatiku, guman Dini pelan. Namun a

    Last Updated : 2024-12-03
  • MENANTU IMPIAN IBU   Bab 80. Ikuti terus!

    Nampak Dini ragu. "Kalau gitu besuk saja, Bu. Aku bisa ke sana tanpa orang menanyakan Dilan. Dia kan waktunya kerja." Dini ememang tak ingin orang tau huubngannya ayng renggang denga Dilan.Ima hanya diam. Dia dapat mengerti dengan apa yang diucapkan Dini melihat hubungannya yang akhir-akhir ini menjahui Dilan.Setelah makan, Dini kemudian beranjak ke kamarnya dengan Dilan. Dibukanya laci yang kuncinya ada di sepatu Dini. Nampak Dini ragu memandangi uang yang dimasukkan di wadah tertutup itu. Itu adalah sisa uang belanja selama ini yang dia taruh di lacinya. Pikirnya daripada keperluan mereka juga ghak banyak. Mungkin sewaktu-waktu dibutuhkan.Aku pakai duluh ghak ya? Dini ragu. Bagaimanapun sikapnya terhadap Dilan membuatnya ragu untuk mengambil. Akhirnya Dini meletakkannya di kembali dengan menaruh kuncinya di atas meja rias.Nunggu sampai Jum'at saja. Mudah-mudahan orderan bunganya bertambah, biar bisa jadi uang ongkos untuk naik bis, pikirnya lagi. Lalu bersemangat memposting bung

    Last Updated : 2024-12-04
  • MENANTU IMPIAN IBU   Bab 81. Ayo masuk!

    Dini sudah berada di bis. Dari tadi dia melihat pria berbusana rapi yang seolah terus mengikutinya. Bahkan saat Dini berpindah tempat duduk dengan sengaja. Dini merapalkan do'a. Lalu menelpon kakaknya. Namun nomer itu tak bisa dihubungi. Yang menjawab hanya opeator. "kak, tolong jawab," kembali Dini berusaha menelpon. Namun lagi-lagi ak ada jawaban. Di sana memang tak ada sinyal.Kembali Dini menoleh. Nampak orang itu kemudian membuang mukanya. Tolong aku, Tuhan! Kasus ini sudah ada titik terang, jangan biarkan aku kauambil duluh sebelum aku menaruh Danu di penjara atas kematian Aziel. Aku tak rela Aziel tidak emndapatkan keadilan. Sejenak wajah Aziel muncul di benak Dini. Pemuda pendiam dan hanya tersenyum samar itu seolah kini memandang Dini lekat. Namun tiba-tiba dia mendengra tawa, tawa yang khas, bersama sekelebat candanya yang hangat dan menggoda. Dini memejamkan matanya. sebulir air menetes di pipinya. Maafkan aku, Ziel. Kenapa aku harus menukar cnamu untuk orang lain? maafkan

    Last Updated : 2024-12-05
  • MENANTU IMPIAN IBU   Bab 82. Lebih dari tiga hari.

    "Kita lebih dari tiga hari, lho, Din , ghak salin tegur sapa. Ingat kan saat sekolah pesantren duluh, kalau sesama muslin salin diam dalam tiga hari, itu kenapa?""Sok jadi ustaz,"ucap Dini sambil naik.Dilan tertawa. Dini sekilas menatapnya. Tawa renyah itu, sudah beberapa hari dia tak mendengarnya. Kenapa Dini kini merasa begitu kangen dan suka mendengarnya. Dasar hatiku! rutuk Dini."Bagaimana kamu tau aku ke sini? Dibilangi Ibu, ya?""Dibilangi hatiku.""Mulai nih gombalnya.""Habis kamu, sih. Sukanya ngambeki aku melulu."Mereka akhirnya sudah sampai di depan rumah. Dini yang tidak sabar mengomeli kakaknya, langsung masuk rumah tanpa salam. Hanya Dilan yang mengucap salam. Yang kemudian disambut dengan ibunya dengan senang."Cari siapa, Din?" tanya ibunya."Ya, cari Mas lah, siapa lagi. Habisnya ditelpon ghak diangkat-angkat.""Kamu kan sendiri tau, Dik, di sini kadang ada sinyal, kadang ghak ada," sahut Fahmi."Walau gitu ghak setengah hari juga, Mas. Coba vek deh hapenya." Dini

    Last Updated : 2024-12-06
  • MENANTU IMPIAN IBU   Bab 83. Bagaimana ini?

    Langkah Dilan terdengar pelan saat memasuki halaman. Sisil yang sejak tadi duduk di bangku panjang, mendongak dan segera berdiri. Matanya menangkap tangan Dilan yang bertaut erat dengan Dini. Ada sesuatu yang menyelip di hatinya, entah apa. Namun, ia memilih untuk mengabaikannya, mengingat nasihat Giani yang terus terngiang dalam pikirannya. Tatapan Dilan begitu ramah, bahkan senyumnya terasa tulus, seolah menghapus kejanggalan yang sempat muncul di benaknya."Sudah lama?" tanya Dilan."Lumayan sih," jawab Sisil, melangkah lebih dekat dengan gerakan yang terlihat dibuat santai.Dilan membalas dengan senyuman kecil. Ia melirik Dini di sampingnya, yang kini mengerucutkan bibir sambil melipat tangan di dada."Kenapa nggak telpon dulu kalau mau ke sini? Untung aku udah sampai rumah," lanjut Dilan, nada bicaranya seperti menyimpan protes tersembunyi.Sisil tertawa kecil. "Sudah, tapi selalu yang jawab operator."Dilan tidak berniat menjelaskan bahwa ponselnya sengaja dimatikan. Bukan hanya

    Last Updated : 2024-12-07
  • MENANTU IMPIAN IBU   84. Jangan pergi!

    Sisil malah menyelonjorkan kakinya yang terlihat betisnya di ruang keluarga yang dekat mushola. Rok yang dia pakai hanya sampai di bawah lutut. Menampakkan kaki putihnya yang indah. Dilan sering membuang pandangannya agar tak melihatnya. Apalagi saat tadi sudah merasakan hal aneh saat bersama Dini.Dilan menguap berkali-kali. Sengaja ditampakkannya agar Sisil segera pulang. Namun tu ternyata tak jua membuat gadis itu beranjak dari duduknya. Dia malah seolah-olah kerasan dengan mengajak Dilan ngobrol."Kalian dari mana sih, kok kamu sepertinya lelah banget?" tanya Sisil dengan membereskan peralatan sholat yang tadi dibawanya dari rumah."Dari desanya Dini," jawab Dilan dengan suara rendah karena suntuk hatinya, sementara tak dapat mengatakan sesuatau agar Sisil bisa pergi dasri rumahnya."Jauh?" Sisil malah antusias bertanya."Lumayan jauh kalau ghak ada yang nemenin bercanda," kelakar Dilan berusaha menampakkan keberadaan Dini. "Untungnya ada seseorang yang bikin aku ghak jadi kesel."

    Last Updated : 2024-12-08
  • MENANTU IMPIAN IBU   Bab 85. Virgin?

    "Kok lama kamu baru pulang, Sil?" sapa Rena begitu putrinya nyampek di rumah."Iya, sampek pegel nih, Mi," ucap Sisil dengan sewot menyelonjorkan kakinya."Emang kerja apa sampek pegel?""Bukan kerjanya, tapi nungguin Dilan yang pegel. Udah gitu dia pulang sama Dini bergandengan mesra lagi.""Gandengan mesra? Bukankah kata mamnya Dilan mereka hanya sementara, bagaimana gandengannya sampai mesra?" Wajah wanita itu sampei kerkerut."Kenyataannya begitu."Bramanto yang baru dari dalam, segera menghampiri ibu dan anak itu. "Perasaanmu kali, Sil.""Ghak tau juga sih, Pi. Cuma aku lihat tadi Dini naik ke atas, kayak naik ke kamar atas. Bukan ke kamar yang dipakai Dilan. Sepertinya mereka ghak sekamar.""Tuh, kan,..Mami bilang juga apa. Percaya Tante Giani deh," ucap wanita yang masih cantik di usianya yang kepala empat itu sambil merangkul putrinya.Sisil seketika senyumnya mengembang. Demikian juga Bramanto yang segera menggandeng putri kesayangannya masuk.Sementara di rumah yang ditempa

    Last Updated : 2024-12-09
  • MENANTU IMPIAN IBU   Bab 86. Dapat job.

    "Pak Rasyid ada sedikit masalah. Jadi digantikan orang lain.""O, begitu ya? ""Maksudnya apa?" bisik Dini."Selama ini Papa mengiringi langkahmu dengan orang suruannya."" Jadi, orang yang menguntit aku itu suruhan Papa?"Dilan mengangguk."Pantas kamu mengetahui rumahnya Haidar. Kapan hari aku sempat berfikir, kenapa kamu sampai tau rumahnya Haidar, darimana coba. Kamu juga datang di saat yang tepat saat aku tak mendapati tukang ojek waktu pulang.""Heem. Papa yang ngabari aku setelah Papa di telpon orang suruannya."Pramono yang mendengar bisik-bisik mereka menyela,"Kenapa, Din, kamu takut?""Ya jelas takut sih, Pa. takutnya dia penculik kayak yang duluh. "Pramono tertawa kecil."Kenapa juga, Mas Dilan ghak ngomong?""Biar kamu ghak ngerasa tidak bebas, Din.""Makasih, Pa. Dini jadi terharu diperhatikan Papa.""Kamu adalah bagian dari Dilan. Dilan adalah putra Papa. Itu sama saja artinya kamu juga bagian dari Papa. Kamu jaga diri baik-baik ya. Segera kasih Papa cucu biar Papa bisa

    Last Updated : 2024-12-10

Latest chapter

  • MENANTU IMPIAN IBU   Menantu Impian Ibu bab 114

    Mata Dini sudah mengaca. Dilan hanya bisa merengkuhnya, membenamkan wajahnya dalam dekapannya. "Kita akan cari rumah kontrakan yang mungkin bisa untuk mengembangkan usahamu sekaligus bisa untuk kita tempati," janji Dilan, "kamu jangan lagi menangis." diciumnya kening wanita yang kini terisak di pelukannya."Nanti kalau diminta orangnya lagi gimana? Susah lagi kan?" protes Dini.Dilan terkikik. "Iya juga ya," cetusnya."Nah, kurang pinter juga kamu ya, Mas.""Iya, iya, Dek. Yang pinter kan cuma kamu. Terlebih kamu pinter mencuri."Dini mendorong dada Dilan. "Maksud Mas apa?""Aduh!" Dilan yang tidak menyangka sampai berpegangan di bibir tempat tidurnya. "Kamu ini ya,.. nggak lagi sedidh, nggak lagi senang, sukanya bikin aku mau celaka terus."Dini cemberut. "Habisnya, kamu ngomong begitu." Matanya sudah kembali mengaca. "Emang aku mencuri apa kamu.""Kamu kan mencuri hatiku, Dek.""Hih! Rasain ini." Dini sudah menghujani Dilan yang turun dari tempat tidurnya dengan tabokan bantal. "A

  • MENANTU IMPIAN IBU   Menantu Impian Ibu Bab 113

    Dini yang membuka kunci rumah, segera mempersilahkan Profesor Satya dan Amira, istrinya masuk."Silahkan masuk, Pak, Bu."Memasuki rumah, sepasang suami istri itu sudah berdecak kagum. Wanita yang masih cantik di usianya yang sudah setengah baya tu bahkan berkeliling matanya menatap seluruh ruangan itu."Terus terang kami pangling dengan rumah kami sendiri. Bukan karena catnya yang kalian ganti ini, tetapi karena penataan dan pernak pernik ruangan yang kalian terapkan, sangat cantik," puji Amira.Dilan tersenyum memandang Dini, "Semua ini dia yang ngatur, Bu. Saya mana mengerti yang begituan. Cuma izin Bapak saja waktu ganti cat. Itu pun saya juga baru tau setelah selesai ngecatnya." Dialna merasa tak enak hati. "Untung Bapak setuju, kalau tidak bisa berabe."Tawa pun menggema. "Rumah tambah bagus kok nggak suka, ya nggak mungkin, Dilan," tutur Satya."Kamu memang pintar, Din," puji Amira lagi. "Sama bunga aja kamu telaten. Apalagi dengan nata beginian. Mencerminkan banget siapa dirimu

  • MENANTU IMPIAN IBU   Menantu Impian Ibu 112

    "Assalamualaikum, Din. Mana Bu Astri?" sapa pria itu, yang ternyata Pak RT."Ke Pak Kyai, Pak," jawab Dini sambil menggeser jilbabnya yang tadi dia pakai asalan. "Mau narik iuran kampung?"Pak RT terkekeh kecil. "Iya, Din. Seperti biasanya. Ini tadi saya baru tau kalau Bu Astri sudah kembali dari rumahmu, Din. Makanya saya datang sekalian."Dini mengangguk, lalu tanpa banyak basa-basi mengeluarkan uang dari dompetnya yang tadi ditaruh di sofa setelah berbelanja, dan menyerahkannya kepada Pak RT.Hampir mau keluar, Pak RT menoleh ke arah Dini. "Oya, Nak Dini. Selamat, ya. Kamu sudah berhasil melewati Barata dengan menjadi saksi itu. Kasihan Nak Aziel. Sekarang dia bisa hidup tenang setelah misteri kematiannya terungkap."Dini terdiam sesaat, ada semburat kesedihan di wajahnya. Ia menghela napas pelan. "Iya, Pak. Kita doakan saja keputusan hakim adil. Vonisnya belum keluar."Pak RT mengangguk mantap. "Tapi Bapak sudah lihat jalannya sidang yang ditayangkan live dari TV Pesantren. Insya

  • MENANTU IMPIAN IBU   Menantu Impian Ibu 111

    "Bapak siapa?" tanya Dini, menelisik pria berkulit sawo matang yang terlihat keras itu."Saya hanya mau lihat, apa rumah ini sudah bagus." "Kalau sudah bagus, kenapa ya Pak?" "Tolong bukakan pintuny. Saya mau masuk," ucap lelaki itu dengan sikap sombongnya. Seolah-olah dialah pemilik rumah itu. "Ada perlu apa ya, Pak?" Dini masih curiga dengan pria yang tidak begitu dikenalnya. Ditatapnya penuh selidik. Terkadang dia merasa tak asing dengan wajah itu, namun dia juga ghak terlalu yakin. "Saya hanya ingin tau, apa rumah bakal mantu saya sudah bener- bener bagus. Saya sudah mengeluarkan uang banyak untuk itu. Saya harus pastikan agar nanti kalau ada kerabat yang datang tidak malu-maluin.""Berarti Anda,..?" Dilan menerka."Kamu dapat menebak saya. Saya Pak Mail juragan buah dari kampung sebelah. Saya bapaknya Fatimah.""Oala, Pak,..kirain siapa tadi." Dilan langsung menyalami pria itu.Dilan lalu berbisik ke Dini. Dini yang orang sini malah yang tidak tau. Dilan memang tau hubungan c

  • MENANTU IMPIAN IBU   Menantu Impian Ibu 110

    Dilan sudah siap-siap, siapa tau Dini akan menipunya kembali. Namun yang ada Dini malah membuka kimononya. "Mau aku tipu lagi?""Aku sudah pakai jurus jika kamu melakukan itu lagi.""Mana jurusnya?""Ini,.." Dilan menarik pinggang Dini, dan meraih tengkuknya dengan bibir yang sudah menyentuh bibir Dini.Paginya. Pagi sekali Dilan sudah mengajak Dini naik motor Fahmi yang duluh sering dipakainya."Mau ke mana sih, Mas, pagi sekali? Dingin lagi udaranya.""Mau ke pasar Subuh. Biar rambutku kering di jalan. Malu nanti dilihat Fahmi ketauan aku mandi basa. Kemarin sih ya, kita ghak bawa hairdyer.""Kenapa malunya sama Mas Fahmi, bukan sama Ibu?" cibir Dini."Dia kan temanku Dek. Belum nikah lagi. Ya, malulah."Dilan sudah menstarter motornya. Sekali, dua kali, masih tak bisa. Sampai akhirnya Fahmi keluar. Dan benar saja, untuk yang pertama kali dilihat Fahmi adalah rambutnya Dilan."Ghak dingin, subuh-subuh udah keramas. Aku aja sampai Dhuhur baru mandi.""Ih, kamu ya,..!" timpuk Dilan ma

  • MENANTU IMPIAN IBU   Menantu Impian Ibu 109

    Dini mendekat, senyumnya tetap ramah meskipun bisa melihat raut kesal di wajah perempuan paruh baya di depannya. Wanita itu, mengenakan blus batik dengan tas selempang kecil yang sudah sedikit lusuh, tampak mengangkat setangkai bunga dengan ekspresi tak percaya."Masak iya, bunga begini semahal itu?" keluhnya, matanya menyipit menatap kelopak bunga seakan-akan menyalahkannya atas harga yang dipasang.Dini, yang sudah terbiasa menghadapi berbagai macam pelanggan, tetap tenang. Ia melirik sekilas ke arah bunga di tangan wanita itu, kemudian tersenyum."Ada yang bisa saya bantu, Bu?" ulangnya, suaranya lembut, nyaris berbisik seperti belaian angin sore yang masuk melalui celah pintu toko bunga miliknya.Wanita itu menatapnya lebih dekat, seakan baru menyadari sesuatu. "Ini Mbak Dini, ya?" tanyanya dengan raut penasaran.Dini mengangguk kecil. "Iya, Bu. Ada yang bisa saya bantu?"Wanita itu mendengus kecil, masih tak rela dengan harga yang tercantum di pot tanaman itu. "Ini, Mbak. Masak i

  • MENANTU IMPIAN IBU   Menantu Impian Ibu 108

    Dini baru saja menghembuskan napas lega ketika seseorang menepuk pundaknya. Dia menoleh dan melihat sosok Pak Pramono tersenyum padanya."InsyaAllah ada titik terang di sidang ini. Dan kenangan ada di pihak kita," ucap Pak Pramono sambil mengusap kepalanya dengan sayang.Dini menunduk, air mata menggenang di pelupuknya. Begitu banyak hal yang telah terjadi, begitu banyak fitnah yang menimpanya. Namun kini, satu per satu kebenaran mulai terungkap."Selamat, Kak Dini!"Suara ceria Kanaya membuyarkan lamunannya. Gadis itu mendekat dengan senyum lebar, lalu memeluk Dini erat. Di belakangnya, Davin ikut tersenyum sambil mengangguk sopan."Aku tahu Kak Dini tidak mungkin melakukan semua itu. Aku percaya sejak awal," bisik Kanaya, membuat Dini makin terharu.Namun, tak semua orang menunjukkan ekspresi yang sama. Giani, mertua Dini, hanya melipat tangan di dada. Wajahnya datar, tapi sorot matanya menunjukkan ketidakpuasan. Dalam hatinya, ia bergumam, "Aku pikir dia akan dipenjara selamanya."

  • MENANTU IMPIAN IBU   Menantu Impian Ibu 107

    Sekelompok pemuda pemudi datang menghampirinya."Mbak ingat kami?"Dini mencoba mengingat kembali.Seorang cewek mendekat. "Kemarin kami mau dekati Mbak, tapi saya lihat Mbak mendekati pria itu, sementara kami juga diajak ngobrol sama Pak Pramono dari kubu mana kami ini dan mau membela siapa.""Mbak, .. bukannya yang kasih minum aku ya,.." tebak Dini."Bener, Mbak. Kami mengikuti perkembangan kasus Mbak. Dari mulai Mbak diculik sampai kemarin di pengadilan. Rasanya kami berdosa jika kami membiarkan Mbak Dini hanya berjuang sendiri mengungkap hal yang seharusnya diungkap," ucap cewek itu.Seseorang datang mendekat sambil berdehem. Sepertinya dia satu diantara orang suruan Barata."Mbak Dini, sebentar ya," ucap dia permisi.Diin mengangguk dengan memperhatikan tngkah gadis yang sesekali melirik ke arahnya."Pak, tenang saja, kami tidak akan mengingkari perjanjian kita," ucap cewek itu, Ailin yang kemudian menepi dan menggiring orang yang mendekat sambil berdehem itu."Ingat, kami telah

  • MENANTU IMPIAN IBU   Menantu Impian Ibu 106

    "Selamat siang, adik-adik!" Dua orang lelaki menghadang sekelompok pemuda dan pemudi yang sedang menunggu bis yang lewat."Selamat siang, Pak! Ada yang bisa kami bantu?" tanya Mashad, ketua kelompok pecinta alam yang terdiri dari beberapa Mahasiswa dan mahasiswi PTN itu."Aku bisa minta sesuatuke kalian? tanya salah seorang diantara mereka yang lebih mendekat."Apa itu, Pak?""Sebelumnya perkenalkan, saya dari pihak terdakwa yang besuk lusa kalian akan menjadi saksinya."Sekelompok pemuda pemudi itu bersitatap. Mereka baru menyadari perkataan Pramono dan pesannya tadi agar mereka berhati-hati. Pramono bahkan menawarkan sebuah tempat tinggal untuk mereka tempati bersama, namun mereka menolak karena kesibukan mereka yang tak memungkinkan untuk diam di satu tempat dengan bersama."Lalu tujuan Bapak mencegat kami, mau apa?""Kami menawarkan sesuatu agar kalian bisa berbuat banyak hal dengan uang yang akan kami beri.""Lalu yang bapak inginkan apa?""Begini," Lelaki itu kemudian mengungka

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status