"Din, kamu kenapa, aku perhatikan sejak kamu dari kamar atas tadi kok diemi aku?" tanya Dilan, namun Dini hanya diam dengan terus menjalankan sholat Maghrib tanpa mengajak Dilan jamaah."Ghak nunggu aku dari kamar mandi, Din? Kita jamaah Maghrib."Dini langsung mengangkat tangannya dengan memulai takbir.Dilan lalu meninggalkannya dengan bergegas mengambil mandi sekalian. Saat dia keluar dari kamar mandi, dia hanya mengenakan handuk dengan dililitkan di pinggangnya. Rambutnya yang tampak basah indah terjuntai di wajahnya, sekilas membuat debar di hati Dini yang memandangnya, terlebih saat melihat tubuh Dilan. Dini lalu meninggalkan kamarnya menuju dapur. Kenapa pikiranku jadi ngeres begini saat melihatnya? rutuk Dini."Masak apa, Bu? Harum sambal terasinya kok sudah tercium?" Dini mendekati Ima yang tengah sibuk di dapur menyiapkan makan malam. Ima hanya tersenyum. Dini lalu membuat teh hangat. Menyiapkan semuanya di meja makan dekat mini bar.Ajeng dan Ibra menuruni tangga. Tampak ju
Dilan masih mendekap Dini yang terisak dalam pelukannya. Dilan memang tak habis pikir, apa yang terjadi dengan Dini. "Apa kamu takut dengan menjadi saksi ini?"Dilan mencoba menerka. Dini menggeleng. Kembali mendongak ke wajah Dilan yang kini telah mendaratkan kecupan di keningnya. "Kamu jangan takut, Din, aku akan selalu ada di sampingmu. aku akan terus mendampingimu, apapun masalah yang kauhadapi."Aku tidak takut soal itu," jawab Dini pelan."Lalu apa?"Dini masih diam dan sesenggukan."Apa ini ada hubungannya dengan ucapanmu di meja makan tadi?" Dilan mendaratkan ciumannya di ubun-ubun Dini. Bau segar rambut Dini membuatnya lebih lama dengan memejamkan matanya. "jika sampai rumah ini sudah tidak boleh kita tempati lagi, aku janji akan membelikanmu rumah dengan menyicil KPR, atau mungkin beli tanah kapling duluh. Aku ada tabungan kalau hanya untuk tanah satu kapling. Kita akan bangun rumah, walau rumah kecil ghak apa-apa, asal kita selalu bersama. Yang penting tamannya aja banyak b
"Selamat malam, Pak. Maaf mengganggu tidur Anda." Salah satu dari dua orang itu membuka ucapannya. Lalu mengangsurkan sebuah amplop. Dilan mengambilnya ddan ememgangnya dengan hati-hati dengan sesekali menatap kedua orang itu dengan tatapan selidik. Yang satunya berambut biasa, yang satunya berambut sebahu."Bapak bisa baca, itu surat dari kepolisian. Mulai hari ini kami harus menjaga Nyonya Dini. Walau kami tak terus terang seperti duluh. Bagaimanapun juga kasus Nyonya Dini kini makin serius, jadi kami harus lebih berhati-hati.""Kok cepat sekali, Pak kami mendapat eprlindungan. Kami bahkan belum memasukkan gugatan atas kasus meninggalnya Bian."Yang berambut panjang tersenyum, berusaha menetralkan kecurigaan Dilan. "Pak Danu kemarin menyerahkan diri. Satu-satunya saksi hidup hanyalah Nyonya Dini. Setelah kejadian penculikan sebulan yang lalu, kami harus lebih hati-hati untuk menjaganya. Bagaimanapun juga orang tua Pak Danu memiliki kekuasaan dan kedatangan Pak Danu untuk menyerahka
Terdengar adzan Subuh menggema."Udah Subuh, sholat, yuk!' ucap Dini beranjak dari pelukan Dilan dengan wajah memerahnya.Dilan geleng-geleng. Baru juga ingin itu,.. kok Subuh sudah datang, gumannya."Din, nanti kita ulang lagi ya?" teriak Dilan menunggu Dini ke kamar mandi."Apanya?" Dini pura-pura tak mengerti sambil menyimpan senyum di bibirnya."Yang tadi.""Yang mana?""Ih, kamu sok ghak ngerti ya." Gemes Dilan dengan menjitak Dini pelan"Ghak janji ya, habis sholat aku mau lihat tanamanku.""Dini,...!"Dini terkekeh. Dia bahkan segera pergi setelah mencium punggung tangan Dilan selesai sholat Subuh. Dilan yang merasa keinginannya di ubun-ubun masih bisa menahannya saat dilihatnya Dini sudah asik dengan bunga-bunganya. Melihatmu bahagia, aku juga merasakan kebahagiaan itu, Din. Hanya hal sepele saja, aku bahkan berbulan bisa menahannya. Kenapa sekarang tidak?Waktu seperti cepat berlalu, Dilan hanya senang berayun di taman, menggulir handphon-nya dengan sesekali menjepret wajah D
Gadis itu mendekat. "Hai, Dilan, bagaimana khabarmu?" sapanya dengan senyum ramah dan menggoda. Dini merasakan tenggorokannya kering seketika.Dilan tersenyum, "Baik. Maaf Minggu lalu aku tidak bisa datang," ucap Dilan akhirnya, sebuah ucapan yang membuat Dini tertegun.Dini mengamati keduanya. Jadi benar, mereka janjian ketemu minggu lalu? Bisa-bisanya Dilan masih mengejarku sementara dia sudah janjian bertemu dengan gadis lain? bathin Dini berkecamuk."Iya, aku sampai menelponmu, tapi telponmu ghak aktif. Aku pikir kamu matikan, tapi lama aku telpon balik juga masih ghak aktif. Akhirnya aku ke sini saja. Ketemu Tante giani. Di sini pun kamu ghak ada. Akhirnya aku diajak Tante pergi.""Aku lagi pergi. Di sana sulit sinyal." Ucapan Dilan membuat Dini ingat, Dilan memang mengejar dia ke rumahnya."O, pantes." Gadis itu menyibakkan poninya dengan sesekali melihat Dini yang masih diam di sisi Dilan dengan wajah ditekuk. Sisil juga merasa heran dnegan gamis mewah yang dikenakan Dini yang
Dini memandangi jalanan yang dilalui taxi dengan tatapan kosong. Pikirannya kalut setelah meninggalkan rumah Dilan. Hati dan pikirannya bercampur aduk, membuatnya tidak memperhatikan supir taxi yang terus mencuri pandang ke arahnya. Sesekali, lelaki itu melirik ke kaca spion, memperhatikan wajah Dini yang tertutup cadar."Pak, ke kanan saja," ucap Dini dengan suara pelan namun tegas, mengarahkan tujuan perjalanannya."Baik, Mbak," jawab supir taxi itu, melirik sekilas melalui kaca spion. Tangan kirinya memegang kemudi, sementara tangan kanannya bergerak pelan untuk menyentuh layar ponselnya yang terpasang di dashboard.Dini mendengar lelaki itu berbicara, meskipun dengan suara pelan, seperti memberi kode pada seseorang melalui panggilan telepon. Kata-kata yang diucapkan terasa janggal di telinga Dini, namun ia terlalu lelah untuk memikirkannya lebih jauh. Hatinya masih diliputi rasa suntuk dan kecewa. Pikirannya sibuk memikirkan apa yang terjadi di rumah Dilan.Ketika taxi berhenti di
Saat pintu terbuka, pemuda itu menyunggingkan senyumnya. Firdaus menelisik setiap jengkal pemuda yang kini tengah berdiri di hadapannya. Rambutnya yang lurus penuh model dengan tertata nyentrik hampir menutup alisnya yang sebelah. Tubuh tinggi proporsionalnya masih tampak seperti seorang anak masih kuliahan dengan wajah tampan mirip artis Korea. Sepertinya bukan orang jahat, pikir Firdaus. Tapi bagaimana bisa melihat orang jahat dan tidak? Sekarang saja preman tidak pasti berewokan dan garang seperti duluh. Tampang kece dan tak berdosa bisa menjadi senjata mereka menjadi preman, bahkan pembunuh bayaran."Assalamualaikum, Tante!" Sapa pemuda itu dengan sopannya. Matanya yang agak sipit, menyisir ke dalam. Mencari gadis yang dia buntuti tadi.Ini bahkan memberi salam, guman Firdaus. Ah, bukankah orang penculik juga kadang menyembunyikan identitas mereka dengan berhijab? Lagi-lagi Firdaus berasumsi. Sementara Dini yang ngumpet di belakang dapur tak jauh dari ruang tamu, lamat mendengark
Rupanya Haidar yang datang. Dia lalu menuju meja makan sambil tersenyum pada Dilan dan Dini. Pria tinggi besar itu menaruh bawaannya di dalam kulkas, dan menyalami Dilan. Mereka memang sudah pernah bertemu sebelumnya."Maaf, ya, ulahku kapan hari ke kamu," ucap Haidar yang ikut duduk di meja makan, di dekat umminya."Ghak apa, santai saja. Aku bahkan yang harus berterimakasih kepadamu karena selama ini kamu telah menjaga Diniku."Mendengar kata Diniku, sedikit rasa sakit di hati Haidar, apalagi saat melihat Dilan menatap Dini. Dia dapat merasakan besar cinta lelaki itu pada gadis yang selintas hadir di kehidupan keluarganya."Kamu pasti sudah makan kan?" Firdaus mengalihkan perhatian Haidar. Dia tau betul, ada yang aneh dalam diri Haidar yang melihat Dilan begitu mesra menatap Dini."Sudah Ummi. Sama warga lain di masjid.""Dibilangi ghak usah bawa ke rumah, kok, dagingnya.""Ghak enak juga, Ummi. Dikirain kita sombong ghak mau daging qurban. Itu juga sudah aku kasihkan ke orang yang
Mereka sudah tiba di kantin rumah sakit jiwa tempat Dilan bekerja. Suasana nampak ruh oleh pegawai rumah sakit juga keluarga pasien yang datang menjenguk"Makan duluh ya, Dek?" tanya Dilan yang sudah menggandeng Dini untuk duduk di kursi kantin rumah sakit. Ditariknya kursi untuk diduduki Dini.Dini sontak menatap Dilan dengan tajam. "Tentu saja, Sayangku.L lawong kita juga udah di sini gitu, Mas. Emang mau ngapain kalau bukan mau makan."Dilan tertawa, ngakak. "Aku pikir kita mau itu,.." Dilan mengerling. Sebuah timpukan sudah didaratkan Dini. "Otak kamu ngeres melulu."Tawa Dilan makin keras."Biar ghak tegang. Setelah membaca WA kamu sepertinya tak ada semangat." Dilan segera diuduk di sebelah Dini, menatap Dini tanpa merasa puas. Seolah kalau memungkinkan, matanya tak berhenti bergerak dari wajah Dini.Dini setelah terdiam sesaat, dia menatap Dilan. Matanya yang bersitatap, masih kerap memberinya debar-debar halus. "Terkadang aku takut, Mas. Mereka memutarbalikkan fakta. Bukannya a
"Kamu tidak akan menjadi milik orang lain sampai aku memilikimu terlebih dahulu," ucap pemuda yang dengan mata berkilatnya menatap dua orang di depannya."Apa maumu, Danu? Apa yang akan kauakukan?"Lelaki itu mendekat, menyunggingkan senyumnya. Lalu dengan penuh perasaan mencolek dagu Dini. "Cih!" Dini meludahi wajah pemuda itu.Danu menyeringai, membalurkan air ludah Dini ke seluruh mukanya. ""Rasanya aku telah merasa kamu menjilatkan lidahmu ke wajahku," "Din,.."Dini menelan saliva. "Din, maafkan aku!" Dia berdiri kaku, terpaku oleh kata-kata yang baru saja keluar dari mulut Danu di saat pikirannya melanglang buana, mengingat kejadian yang membawa Aziel pergi . Angin di ruangan pengadilan itu terasa berat, seperti menyimpan semua beban dunia di udara yang mengelilinginya. Suara langkah sepatu Danu yang semakin mendekat mengisi kekosongan itu, dan setiap detiknya seolah memperlambat waktu. Dini tak tahu harus merasa apa.“Aku yang mengacaukan hidupmu. Maafkan aku, Din,” ujar D
"Assalamualaikum! bagaimana keadaan kalian? Baik-baik saja?" Ajeng segera memeluk Dini, "kamu makin cantik saja, Din," pujinya. "sepertinya karena kalian makin bahagia. Ummi bisa melihatnya," ucap Ajeng dengan memindai rambut Dilan yang basah dan kerudung Dini yang sepertinya juga masih basah rambut di dalamnya saat tadi dia memeluknya.Dini dan Dilan tersipu mengerti dengan arah pembicaraan umminya. Apalagi saat merangkul Dilan, dia mengacak rambutnya. Mereka memang tidak sempat mengeringkan rambut ketika azan Subuh baru terdengar, ada bunyi klakson dari pagar rumah yang mereka tempati. Saat Ima membuka pintu pagar, terlihat mobil travel yang membawa Ajeng dan Ibra datang."Kita kayaknya sebentar lagi mau punya cucu, Mi," tambah Ibra yang membuat Ajeng terkekeh, namun Dilan dan Dini menunduk malu."Bunga kamu makin banyak, Din." Ajeng melihat bunga sambil berjalan ke arah rumah. Semerbak melati tercium harumnya. Dia bahkan mengambil nunga itu dan dibawanya ke rumah."Ummi, jangan lam
Dini yang kecapean sudah tertidur. Bantal guling kesukaannya tak lupa dipeluknya. Dilan yang masuk kamar, diam-diam memandangi wajah cantik yang kini terbaring miring di depannya yang duduk di sisi tempat tidur. Ditelusurinya wajah Dini dengan jemarinya. Dini sekarang memang terlihat makin cantik. Dia rajin merawat diri dan wajahnya. Tubuhnya pun terlihat makin berisi. Dilan menelan salivanya. Ada yang bergejolak di jiwa lelakinya. Diam-diam Dilan merutuki dirinya. Baru juga tadi pagi aku melewati malam pertama kami, pikirnya. Sekilas Dilan tersenyum. Mungkin Dini juga masih sakit, pikirnya yang memang tak berpengalaman dalam hal tempat tidur itu. Dilan merebahkan dirinya di samping Dini. dipandanginya lekat wanita yang teramat dicintainya dari sejak dia masih di bangku sekolah itu. Jemarinya terjulur, mengusap wajah Dini. Saat Dini membuka matanya, Dilan pura-pura tidur."Hanya mimpi," guman Dini dengan sekilas menatap Dilan yang wajahnya tepat di depannya. Dia memandang lelaki yang
"Cerai?" Dilan menengok ke arah pandangan Dini. "Apa maksud perkataanmu, Sil? Siapa yang mengatakan semua itu padamu?"Gadis yang kini menatapnya dengan luka itu, menatap Dini dengan tatapan menghujat. "Seluruh keluarga kita telah merencanakan pertunangan kita. Bahkan minggu depan rencana acaranya, bisa-bisanya kamu sekarang bermesraan dengannya!""Sil, kamu salah mengartikan hubungan kita.""Lihat aku, Dilan. Kau sejajarkan aku dengan wanita bekas ODGJ?"Mendengar perkataan Sisil, mata Dini mulai memburam. Dia berdiri hendak pergi."Dek,.!" Susah payah Dilan menggapai tangannya. Hinggah saat wanita yang dicintainya itu telah direngkuhnya, Dilan memeluknya erat. "Jangan tinggalkan aku lagi, Dek!""Lepaskan aku, Mas!""Tidak, Dek. Aku takkan melepaskanmu. Aku bisa jelaskan semuanya ke Sisil."Namun Dini tetap berusaha melepaskan pelukan Dilan dan pergi."Erka, tolong kunciku!"Erka yang sedari tadi tak melepas pandangannya dari Dini dan Dilan, hinggah tau kapan Sisil datang dan menatap
"Apa yang bisa kamu dapat dengan berdebat dengannya, atau menamparnya?" Dilan memulai dengan suara pelan namun tegas. "Justru kamu akan mendapat kasus baru yang akan menjeratmu dalam rana hukum. Kamu sendiri kan tau siapa dia," lanjutnya.Dini masih mencoba melawan, namun tangannya lemah, kalah oleh ketenangan Dilan. Dia akhirnya menyerah dan membiarkan Dilan membimbingnya masuk ke mobil. Kursi penumpang menjadi tempat Dini mengempaskan tubuhnya yang masih dipenuhi rasa frustrasi."Ini, minumlah!" Tanpa banyak bicara lagi, Dilan menghidupkan mesin mobil etelah Dini minum, dan melajukan kendaraan ke arah sebuah tempat yang sudah dikenalnya baik—café milik Erka, sahabatnya."Kita mampir di café temanku ya, nggak jauh dari sini," ucap Dilan santai. "Kamu tentu sudah lapar, setelah melampiaskan emosimu barusan."Dini hanya mengangguk pelan."Aku gemes, tahu nggak? Lihat tampangnya aja aku udah enek."Dilan melirik Dini. "Walau gitu, nggak usah ngamuk juga kali. Nanti cantiknya hilang," g
Seseorang datang dengan memamerkan senyumnya. "Bukankah itu orang yang di televisi pesantren kapan hari itu, Dek?" tanya Dilan saat menatap pria tambun yang kini ada di depan mereka sedang melangkah."Iya, Mas. Dia Barata. Kenapa dia di sini?" Din heran dengan adanya pria itu.Barata mendekat. Dini merasakan dag dig dug."Saya ke sini untuk mengajukan lamaran atas nama anak saya satu-satunya, Bu Astri." Pria tambun itu mengutarajan kedatangannya ke rumah Dini."Tetapi maaf, Pak, anak saya masih sekolah, baru mau kelas XII, mana mungkin memikirkan pernikahan?" Tolak Astri walau dia merasakan ketakutan dengan pria yang memiliki reputasi terhormat di seluruh lingkungan mereka."Dia kan perempuan Bu, untuk apa lagi kalau bukan menikah? Lagian walau Danu sekarang belum bekerja, dia takkan kekurangan apapun kalau hanya untuk menafkahi seorang gadis. Anak Ibu tidak akan kekurangan hidup bersama kami.""Bukan karena itu, Pak. Saya tau setiap perempuan akan menjadi Ibu dengan memasak di dapur
"Pak Rasyid ada sedikit masalah. Jadi digantikan orang lain.""O, begitu ya? ""Maksudnya apa?" bisik Dini."Selama ini Papa mengiringi langkahmu dengan orang suruannya."" Jadi, orang yang menguntit aku itu suruhan Papa?"Dilan mengangguk."Pantas kamu mengetahui rumahnya Haidar. Kapan hari aku sempat berfikir, kenapa kamu sampai tau rumahnya Haidar, darimana coba. Kamu juga datang di saat yang tepat saat aku tak mendapati tukang ojek waktu pulang.""Heem. Papa yang ngabari aku setelah Papa di telpon orang suruannya."Pramono yang mendengar bisik-bisik mereka menyela,"Kenapa, Din, kamu takut?""Ya jelas takut sih, Pa. takutnya dia penculik kayak yang duluh. "Pramono tertawa kecil."Kenapa juga, Mas Dilan ghak ngomong?""Biar kamu ghak ngerasa tidak bebas, Din.""Makasih, Pa. Dini jadi terharu diperhatikan Papa.""Kamu adalah bagian dari Dilan. Dilan adalah putra Papa. Itu sama saja artinya kamu juga bagian dari Papa. Kamu jaga diri baik-baik ya. Segera kasih Papa cucu biar Papa bisa
"Kok lama kamu baru pulang, Sil?" sapa Rena begitu putrinya nyampek di rumah."Iya, sampek pegel nih, Mi," ucap Sisil dengan sewot menyelonjorkan kakinya."Emang kerja apa sampek pegel?""Bukan kerjanya, tapi nungguin Dilan yang pegel. Udah gitu dia pulang sama Dini bergandengan mesra lagi.""Gandengan mesra? Bukankah kata mamnya Dilan mereka hanya sementara, bagaimana gandengannya sampai mesra?" Wajah wanita itu sampei kerkerut."Kenyataannya begitu."Bramanto yang baru dari dalam, segera menghampiri ibu dan anak itu. "Perasaanmu kali, Sil.""Ghak tau juga sih, Pi. Cuma aku lihat tadi Dini naik ke atas, kayak naik ke kamar atas. Bukan ke kamar yang dipakai Dilan. Sepertinya mereka ghak sekamar.""Tuh, kan,..Mami bilang juga apa. Percaya Tante Giani deh," ucap wanita yang masih cantik di usianya yang kepala empat itu sambil merangkul putrinya.Sisil seketika senyumnya mengembang. Demikian juga Bramanto yang segera menggandeng putri kesayangannya masuk.Sementara di rumah yang ditempa