Setelah melalui sedikit perdebatan, akhirnya diputuskanhanya aku dan Alvin saja yang datang ke pesta pernikahan mereka. Sempat Mamabersikukuh ikut, tapi aku khawatir dia mengamuk di sana. Tentu akan membuatkami semua malu.“Kamu ke salon dulu, Lintang. Dandan secantik mungkin biarArya menyesal sudah meninggalkan perempuan secantik kamu,” saran Mama.“Sepertinya enggak perlu, Tante! Lintang sudah terlihat cantikwalau tanpa make up. Malah kesannya lebih natural,” puji Alvin.Jika hati tak sedang didera luka, barangkali aku sudahtertawa mendengar pujian Alvin. Atau mungkin merasa tersanjung meski tahu diahanya bercanda.“Aku dandan sendiri saja! Percuma dong punya salon kalau gakpinter dandan,” sahutku.Mereka berdua setuju. Yang terpenting adalah aku bisa tetaptersenyum saat bertemu dua pengkhianat itu di pelaminan.Lalu, aku beranjak ke kamar, sedangkan Alvin kubiarkanmengobrol dengan Mama. Sebentar aku menghempas tubuh di atas ranjang sekedarmelepas letih yang mendera raga, memikirkan
Pagi. Aku menyambut dengan sedikit harapan, tak yakin mamputersenyum setelah semua yang kulewati. Jika bukan karena ingin menyelesaikan urusandengan mereka, tentu akan lebih memilih menyendiri di kamar. Sunyi, sepi.Berpakaian rapi, aku mengetuk pintu kamar Mama. Tak lama,perempuan yang selalu menguatkan hati itu menyembul dari balik pintu.“Ma, kita berangkat bareng yuk!” ajakku.“Loh ... kamu mau ke salon? Terus Alvin gimana?” tanya Mama.Astaga! Saking sibuknya memikirkan perasaan sendiri akusampai lupa kalau Alvin masih di rumah ini. Betapa egoisnya aku yang abaidengannya, padahal dia sudah banyak membantu.“Sekarang Alvin di mana, Ma?”“Tadi sih di teras. Coba kamu lihat!”Tanpa permisi aku melangkah cepat ke luar rumah. Benar,Alvin sedang termenung di teras dengan wajah terlihat murung.“Vin,” sapaku.Lelaki itu menoleh.“Maaf ya dari kemarin aku di kamar terus,” ucapku penuh rasabersalah.“Enggak apa-apa kok. Lagian kan kamu juga butuh waktusendiri,” sahutnya.“Tapi kamu enggak
Mobil yang kami kendarai meluncur pelan meninggalkan pelataran parkir salon. Alvin, lelaki yang duduk di balik setir, pandangannya lurus berkonsentrasi. Hampir lima menit berkendara, Alvin tak kunjung membuka suara, sekedar berbasa-basi atau menanyakan tujuan setelah ini. Kami terpaku dalam kebisuan.“Kamu enggak suka caraku memperlakukan mereka ya?” tanyaku memecah keheningan. Sebentar Alvin menoleh, lalu kembali fokus. “Enggak kok. Justru aku salut sama kamu,” “Salut kenapa?” cecarku. “Ya salut. Kamu bisa tenang saat menghadapi dua pengkhianat itu. Mungkin kalau aku yang jadi kamu, ceritanya akan lain,” ungkapnya. “Ya mau gimana lagi, Vin. Semalam aku merenung. Yang kamu katakan benar bahwa seharusnya aku bersyukur enggak jadi menikah dengan Arya. Rupanya dia hanya menginginkan uangku saja!” Selama pacaran dengan Arya, memang selalu aku yang mengeluarkan uang setiap kami jalan. Bahkan tak jarang dia meminta uang padaku. Itulah yang membuatku berasumsi kalau dia hanya mengakal
“Jadi gimana, Vin? Kapan kita lapor polisi?” Membiasakandiri mengambil keputusan dengan meminta pertimbangannya, aku memohon pendapat.“Entar deh! Kita selidiki sendiri dulu. Kalau gagal barulapor polisi. Soalnya aku merasa ini pasti ada campur tangan orang dekat.”Alvin mengedarkan pandangan menatap tiga karyawan bergantian.Mereka bertiga terperangah. Bias kemarahan terpancar jelasdari raut wajah mereka.“Kamu mencurigai kami, Vin?” tanya Rina.“Keterlaluan kamu, Vin!” umpat karyawan lainnya.Alvin, lelaki itu menyapu wajah, membuang nafas kasar.“Bukan! Bukan kalian, tapi orang lain,” jelasnya seperti takenak hati.“Oh ... aku pikir kamu mencurigai kami,” ungkap Rina yang wajahnyasedikit tenang.“Enggak mungkin aku curiga dengan kalian. Kalian itu temanterbaikku,” sahut Alvin.“Syukurlah kalau begitu,” ucap Rina, melempar senyum.Sejak tadi aku mengamati obrolan mereka yang terkesan akrab.Entah kenapa aku tak suka ada perempuan yang dekat dengan Alvin, apalagi sampaisenyum-senyum be
Mobil yang kami kendarai berhenti tepat di halaman rumah Bu Sri. Meski jarak tak terlalu jauh, kami terpaksa menggunakan kendaraan ini sebab motor Alvin tertinggal di rumahku.Kompak, kami turun lalu naik ke teras, tapi sebelum sempat mengetuk pintu, pemilik rumah lebih dulu keluar bersama suaminya. Mereka kaget melihat kedatangan kami.“Ngapain kamu ke sini? Belum puas menghancurkan semuausahaku? Atau mau pamer?” Berkacak pinggang, Papa menatapku penuh amarah.Niat baik belum tentu disambut baik juga. Padahal kami inginberbicara secara kekeluargaan. Namun, sambutan mereka sungguh tak mengenakkan.“Maaf, Om! Ada yang harus kita bicarakan,” ucap Alvin,sopan.Mereka berdua saling pandang lalu sama-sama berganti menatapkami. Sorot mata keduanya dipenuhi kebencian, terutama Bu Sri.“Enggak ada yang perlu dibicarakan. Mending kalian pergidari sini sebelum kami teriak!” usir Bu Sri.“Yakin kalian mau mengusir kami?” tantangku.“Tentu saja! Imi rumah kami, jadi bebas mengusir siapa pundari s
Jam di dinding hampir menunjuk pukul satu dini hari. Namun,sedikit pun mata ini belum terpejam. Hati di dera gelisah sebab besok akanpulang ke rumah, meninggalkan semua kenangan di tempat ini.Kuarahkan pandangan menatap pada foto yang terpasang didinding. Senyum lelaki itu memesona, hingga membuat hati bergetar walau hanyasebatas melihat gambarnya saja.Sempat berusaha meyakini bahwa Alvin telah mampu merebuthati. Namun, sedikit keraguan menyelinap, apakah aku benar cinta atau hanyabutuh pelarian saja?Lamunan buyar tatkala samar terdengar bunyi berisik yangsemakin lama semakin terdengar jelas.Fokus, aku berusaha menajamkan pendengaran. Suara sumbang disekeliling rumah memaksaku keluar kamar. Rupanya Alvin pun sudah berada diruang tengah.“Cepat keluar!” teriak suara lelaki disertai ketukan pintu.Ah ... bukan! Itu lebih menyerupai gedoran.“Itu siapa sih, Vin? Tengah malam begini kok ketuk-ketukpintu. Ganggu orang saja!” gerundelku.Tak menyahut, Alvin hanya mengendikan bahu lalu b
Pak Haji mengajak kami masuk, diikuti empat orang wargasebagai perwakilan, sedangkan Bu Sri dan anaknya ikut menimbrung. Untung sajaruang tamu ini cukup luas hingga mampu menampung kami semua.“Menurut Pak Haji, hukuman apa yang pantas buat pasanganmesum seperti mereka?” celetuk salah satu warga.Pak Haji melempar senyum pada lelaki yang bertanya. “Bagaimanabisa menentukan sebuah hukuman tanpa tahu kesalahan yang mereka perbuat?”Lelaki itu kaget. Sebentar kemudian mendengkus kesal seolahsedang menahan kemarahan.“Maksud Pak Haji apa sih? Tadi bilangnya mau musyawarah menentukanhukuman, tapi kok bilang begitu? Sudah jelas-jelas mereka kumpul kebo. Kamisaksinya!” ucap lelaki itu.“Tidak benar! Ini fitnah!” Tak terlalu banyak orangmembuatku berani bersuara lantang. Di sini harga diriku sedang dipertaruhkan.Lelaki itu terperangah. Barangkali tak menyangka aku beranimenyangkal. Mungkin dia pikir aku akan pasrah saat difitnah begini.“Benar, Pak Haji. Demi Alloh kami tak pernah melakukan
Jam digital di ponsel menunjukkan pukul 03:05 saat akumembuka benda pipih ini. Duduk di tepian ranjang, aku mulai mencari kontakdengan nama ‘Mama’ dan segera menghubungi.Tersambung. Di jam seperti ini Mama memang biasanya sudahbangun. Mengawali rutinitas dengan menyembah sang Khalik, itulah keseharianMama.“Halo, Ma ...” sapaku sedikit gemetar.“Iya, Sayang. Ada apa jam segini kok nelpon?” tanya suaraperempuan dari seberang sana.“Ma, aku mau dinikahkan!” Aku mulai terisak, khawatirmengecewakan Mama.“Menikah bagaimana? Kamu ngigau ya?”“Enggak, Ma! Aku serius. Kami digerebek warga!”Entah kalimat apa yang cocok untuk menjelaskan keadaan saatini. Yang jelas, aku tak punya banyak waktu.“Digerebek bagaimana? Kamu di mana sekarang? Kok bisa kayakgitu?”Mama mencecar dengan tiga pertanyaan sekaligus. Inimembuatku bingung harus menjawab yang mana.“Ceritanya panjang, Ma! Aku sekarang di rumah Alvin! Mama kesini cepat ya! Aku takut!” rengekku.“Loh, kamu nginep di rumah Alvin? Lenapa Papa
Aku mendekati Mas Alvin yang sedang menikmati kopi di teras,sedangkan Gea langsung masuk ke dalam.“Dari mana kamu, Lintang?” tanya Mas Alvin.Meletakkan bokong di sebelah suami, aku menyandarkanpunggung pada sandaran kursi.“Dari rumah Bu Sri, Mas! Aku sudah membayar rumah itu,”sahutku.“Terus mau dikosongkan rumahnya?”“Enggaklah! Kan ada Gea!”Mas Alvin mengangguk. Detik berikutnya dia menyambar gelasdi atas meja, menyesap sebentar lalu meletakkan di tempat semula.“Mas ... aku boleh minta sesuatu enggak?” tanyaku kemudian.Mas Alvin menoleh dengan kening berkerut. “Minta apa?”“Begini, Mas! Sekarang aku dan Gea sudah baik. Dia akantinggal di rumah yang baru saja kubeli. Nah ... yang masih mengganjal dipikiran itu Papa. Biar bagaimanapun dia orang tuaku, sedangkan saat ini akuenggak tahu dia tinggal di mana,” sahutku.“Terus?”“Aku ingin kita tunda dulu kepergian sampai Papa ketemu. Nantirencananya aku suruh Papa tinggal bareng Gea. Boleh ya, Mas!” rengekku, meraihtangan Mas Alvin
Sampai rumah, Gea langsung berlari ke kamar sembari tanganmengucek mata. Aku bisa merasakan betapa hati gadis itu terluka, antara kecewadengan ibunya, juga malu padaku.Meninggalkan Alvin yang sedang memarkirkan motor, beranjakaku ke dalam menyusul Gea. Di saat seperti ini dia pasti butuh teman.Mengetuk pintu kamar Gea, aku memanggil namanya beberapakali, tapi tak kunjung ada sahutan. Nekat aku mendorong daun pintu yang rupanyatak di kunci. Gadis itu tengah terisak, duduk memeluk lutut di sudut kamar.Mendekat, aku mengelus pundak Gea berusaha menenangkan.“Sabar ya, Ge!” ucapku pelan.Bukannya menyahut, isaknya justru terdengar semakin jelas diantara nafas yang tersengal. Namun, aku tak melarang sebab tangis sedikitbanyak mampu meringankan beban di hati. Menangislah!“Mbak!” ucapnya setelah tangisnya mereda.“Iya,”“Kenapa kamu peduli denganku? Bukankah selama ini aku jahatsama kamu?” Gea menoleh, menatap lekat seperti mencari sesuatu di bola mataku.Melempar senyum, aku merapikan a
Seperti biasa aku beranjak ke dapur setelah kamar beres. Ibutampak sudah berjibaku dengan pekerjaan, sedangkan Gea belum terlihat.Aku menyambar toples berisi gula, berniat membuat kopi untukMas Alvin. Sedikit demi sedikit hubungan kami mulai membaik, meski suamikumasih sedikit kaku.“Bu, Gea kok belum kelihatan. Tumben?” tanyaku sembarimenakar gula sesuai selera suami.“Gea tadi pamit pulang, ada yang penting katanya,” sahutIbu.“Penting apa sih?”“Enggak tahu juga sih, tapi dengar-dengar dari tetangga, BuSri mau jual rumah itu!”Sontak aku terperanjat. Rumah itu milik orang tua Papa.Meski aku tak mengenalnya, setidaknya bisa menjadi pengingat bahwa aku punyagaris keturunan darinya.“Kok dijual sih? Bukannya itu punya Kakek?” tanyaku setengahprotes.“Iya, tapi kan sekarang sudah berganti nama menjadi milik BuSri. Jadi ya dia bisa jual,” jelas Ibu mertua.Ada rasa tak terima jika rumah itu berpindah tangan. Seharusnyarumah itu hak Papa dam Ibu mertua, tapi malah jatuh ke tangan Bu Sri
Seminggu telah berlalu, tapi sikap Mas Alvin belum kembalimenghangat, padahal sudah kulakukan kewajiban sebagai seorang istri.Kemarin, saat mengurus pernikahan di KUA, Mas Alvin menolakmenggunakan mobil. Dia bilang kalau enggak ingin menggunakan apa pun darikekayaanku. Bukankah ini berlebihan?“Sampai kapan kita akan seperti ini, Mas?” tanyaku saat kamitengah berdua di kamar.“Apanya yang sampai kapan?” Mas Alvin balik tanya.Aku menghela nafas panjang lalu membuang perlahan. Entahsengaja atau tidak, tapi aku yakin Mas Alvin paham pertanyaanku.“Ya kita! Sampai kapan kamu akan mendiamkanku begini? Kita suamiistri, Mas! Bukan musuh!” jelasku berusaha sabar.Kata orang pengantin baru itu indah. Namun, nyatanya tidak!Kami menjalani hari penuh kekakuan. Bahkan urusan ranjang pun kami tak pernahmelakukan kecuali saat pertama kali dulu. Mas Alvin hanya mengecup kening saat mataini memejam. Bukankah ini menyedihkan?“Sampai aku bisa melupakan hujatanmu malam itu. Setidaknya,rasa sakit di ha
Berkali-kali aku mengerjap, memaksa membuka mata yang masihterasa lengket. Kuraba Mas Alvin yang semula tidur di sebelahku. Namun, takkutemukan dia. Astaga! Dia tak membangunkan aku.Menyadari kalau bangun kesiangan, buru-buru aku bangkit lalumenyambar pakaian yang tercecer di lantai.Tadi malam, meski aku sudah merayu Mas Alvin, kami takmelakukan apa pun. Dia terus menolak dengan alasan yang tak jelas. Yang lebihmenyedihkan, saat tidur pun dia memunggungiku.Entah apa yang terjadi padanya, tapi yang jelas dia sepertisedang membalas. Sikap dinginnya itu lebih menyakitkan ketimbang sebuahtamparan.Beranjak keluar kamar, aku menemui Ibu mertua di dapur. Tanpadiminta aku langsung membantu beberes juga menyiapkan sarapan.“Mas Alvin ke mana ya, Bu? Kok enggak kelihatan?” tanyaku disela aktivitas kami.“Lagi di depan. Tadi Gea datang. Memangnya kamu belum ketemudia?” tanyanya balik.Mendengar Ibu mertua menyebut nama Gea, cemburu datang mengganggupikiran, apalagi Mas Alvin sedang bersama p
Mobil yang kukendarai melaju pelan menembus sepinya malam.Sesekali aku menyapu wajah sekedar menepikan bayangan Mas Alvin agar tetap fokuspada jalanan.Tak lama, aku telah sampai di rumah. Hati berjingkrak girangsaat kulihat motor Mas Alvin terparkir di halaman rumah, bersebelahan denganmotor entah punya siapa. Buru-buru akuturun lalu beranjak masuk sambil berteriak.“Mas Alvin!” teriakku girang sembari membuka daun pintu yangtak tertutup rapat.Seketika senyum memudar saat menyaksikan pemandangan yangtak biasa. Mas Alvin tengah duduk berdua, saling berhadapan dengan seorangperempuan bernama Elsa.“Sudah pulang, Lintang?” sapanya dingin.Membunuh ego, aku beranjak mendekat pada suami.“Iya, Mas! Kamu ke mana saja beberapa hari ini? Aku terusmencarimu. Maafkan aku ya, Mas! Aku mengaku salah soal malam itu. Akumenyesal!” cerocosku sambil berusaha memeluk melepas rindu. Namun, kurasakansesuatu yang beda dengan Mas Alvin.Sama sekali dia tak membalas pelukan, atau sekedar mengeluspucuk k
Tiga hari telah berlalu. Namun, sampai detik ini Mas Alvinbelum juga kembali. Dibantu Ibu mertua, sudah kucari dia ke sana ke mari. Banyakteman dan tetangga kami datangi. Nyatanya usaha ini sia-sia belaka.Senja ini, aku rehat melakukan pencarian. Diam di terasmencoba menenangkan pikiran. Jika ditelisik lebih dalam, sepertinya Mas Alvinsengaja menghukumku.Lamunan buyar tatkala terdengar dering nada panggilan dariponsel yang tergeletak di atas meja. Melongok pada layar, kulihat nama Nikoyang tertera di sana. Dengan malas aku menerima panggilan itu.“Gimana, Lintang? Apa Alvin sudah ketemu?” tanya suarabariton dari seberang sana.“Belum, Nik,” sahutku.“Bagaimana kalau aku temani kamu nyari Alvin?”Aku mengernyit heran oleh tawaran yang dia berikan. Kenapajuga harus menemaniku, padahal kalau mau mencari tinggal berangkat sendirisaja, apalagi dia laki-laki.“Sorry, Lintang! Kamu jangan berpikiran macam-macam. Aku cumakasihan sama kamu kalau Alvin enggak cepat ketemu,” ucap Niko saat aku
Aku membawa tas yang belum sempat kubongkar isinya lalumemasukkan ke bagasi. Saat ini juga akan kususul Mas Alvin ke kampung halamansebagai bentuk permintaan maaf.“Aku berangkat dulu ya, Ma!” pamitku.“Iya, Sayang! Kejarlah cintamu. Mama doakan rumah tanggakalian baik-baik saja!”Setelah kami saling peluk, gegas aku melajukan kendaraan.Rasanya sudah tak sabar ingin bertemu Mas Alvin dan minta maaf. Semoga dia maumemaafkan kebodohan ini.Jalanan pagi ini tak terlalu ramai. Alhasil, dalam waktukurang dari 10 jam aku telah sampai di rumah Ibu mertua. Gegas aku turun lalumenemui perempuan yang sedang menatapku dari teras.“Assalamu alaikum, Bu!” ucapku, meraih tangannya dan menciumtakdim.“Waalaikum salam, Kok kamu sendirian Lintang? Alvin mana?”tanya perempuan itu dengan sepasang mata menatap pada pintu mobil.Aku tersentak kaget. “Loh ... bukannya Alvin sudah balikdari tadi malam, Bu?” tanyaku balik.Kali ini giliran Ibu mertua yang mengernyit heran. Dia terusmenatapku seperti bingung.
Duduk memeluk lutut di sudut ranjang, aku mengenang semuatentang Mas Alvin-lelaki yang telah membodohiku. Awalnya dia terlihat begitubaik, bahkan hati ini mulai terpikat sejak saat itu.Seiring berjalannya waktu, rasa ini semakin nyata. Sebentarsaja tak bertemu, hati ini gundah gulana. Tak jarang aku bersikap manja sekedarmendapat perhatiannya.Selama ini aku selalu berpikir dia malaikat yang dikirimTuhan untuk menuntunku ke jalan yang benar. Kehadirannya kuharap mampumenyembuhkan luka akibat pengkhianatan. Namun, nyatanya salah. Dia justru datanguntuk meremukkan hati, menghancurkan segala mimpi.Lamunan buyar tatkala kudengar suara ketukan pintu kamar. Awalnyaaku bergeming, tapi karena terus diketuk, akhirnya aku menyahut juga.“Iya, Ma! Sebentar!” Aku bangkit, berdiri lalu beranjak membukapintu.“Lintang, Kamu kenapa? Kok sembab gitu?” tanya Mama saatmelihat keadaanku.“Enggak kok! Kurang tidur kali, Ma!” jawabku asal sembarimenghindar dari sorot matanya “ Mama ada apa jam segini su