Selepas magrib, kami sekeluarga berkumpul mengitari mejamakan. Aku duduk di sebelah Alvin, sementara Mama dan Bude berseberangan dengankami.“Gimana, Vin? Habis ini jadi ke rumah Pak Budi enggak?” tanyaku.“Iya. Nanti habis makan,” sahut Alvin.Ya. Tadi sore kami memang sudah menyusun rencana, mencarisiapa dalang dibalik fitnah yang menimpa. Pertama akan mendatangi PakBudi-lelaki yang mengaku melihat kami bercinta. Aku rasa ada yang membayarnya agarmenebar kebohongan.“Kok kamu panggil suami nama doang sih, Lintang? Harusnya panggilMas atau apa kek,” protes Mama.Menyambar gelas berisi air putih, buru-buru aku menegukhingga tandas. Kalimat Mama berhasil membuatku tersedak.“Enggak apa-apa kok, Tant. Biasanya memang begitu,” sahutAlvin.“Mulai sekarang jangan dibiasakan seperti itu. Harusberubah!” tekan Mama.Aku melirik lelaki di sebelahku. Alvin-lelaki itu kini telahsah menjadi suami, meski baru secara agama. Rasanya masih tak percaya masalajangku berakhir dengan cara memalukan.“Kok
“Gimana, Vin? Apa Pak Budi mau ngaku siapa yangmenyuruhnya?” tanya Bude saat kami sampai rumah.“Iya, Bu. Ternyata Bu Sri yang nyuruh,” sahut Alvin.“Astaghfirulloh... Sri sudah kebangetan. Maunya apa sihsampai bikin berita bohong segala!” Bude mengelus dada.“Sejak dulu memang kayak gitu, Mbak! Aku aja difitnahselingkuh sampai Harjo tak mau mengakui Lintang. Sekarang sudah terbukti,ternyata dia tukang fitnah. Malah tadi kepergok lagi berduaan sama Pak Budi,”sahut Mama.Lalu, kami sama-sama masuk dan duduk di ruang tamu.Kusandarkan punggung pada sandaran kursi, melepas lelah setelah semua yangterjadi.“Jadi Sri selingkuh sama Pak Budi?” cecar Bude.“Iya, Ma!” sahut Alvin.Lelaki itu menceritakan apa yang baru saja kami alami.Sesekali Alvin tersenyum puas. Barangkali dia senang sudah berhasil membongkardalang dibalik semua ini.“Terus sekarang Sri gimana?” cecar Bude.“Enggak tahu, Bude. Tadi Alvin ngajak pulang, padahal akujuga ingin tahu kelanjutan nasib mereka,” selaku.Alvin menole
Menatap nanar pada punggung lelaki itu, Bude tersenyummiris. Agaknya dia tak tega melihat adik kandungnya terlunta-lunta.“Bude sedih lihat Papa kayak gitu?” tanyaku yang turutmelihat Papa pergi.Tersenyum, Bude menoleh.“Biar bagaimanapun Harjo tetap adikku, Lintang, sudah tentu Budesedih melihat nasibnya,” sahut Bude.“Lalu kenapa Bude enggak mengizinkan Papa tinggal di sini?”Lagi. Bude kembali tersenyum. Sebuah senyum yang sulitkuartikan.“Terkadang manusia punya cara tersendiri untuk menyayangi. Samahalnya dengan Bude yang menyayangi Papamu. Jika dibiarkan tinggal di sini, sangatsulit untuk Papamu mengubah kebiasaan buruknya. Dengan begini, Papamu punyawaktu untuk merenung, meresapi setiap apa yang pernah dia lakukan. Semoga inimenjadi momen di mana Harjo menjadi pribadi yang lebih baik,” jelas Bude.Mengangguk paham, diam-diam aku mengacungi jempol jalanpikiran Bude. Kelihatannya seolah Bude perempuan kejam yang enggan memaafkankesalahan Papa, tapi dibalik semua itu, Bude memili
POV. ALVINDalam sebuah hubungan, pertengkaran menjadi hal yang lumrahterjadi, apalagi bagi pasangan yang belum lama kenal seperti kami. Dibutuhkankesabaran extra agar hubungan tetap terjaga.Tak jarang badai menerpa, mengikis rasa saling percaya. Fitnahdatang silih berganti menguji kekuatan cinta. Namun, terkadang manusiamenyerah, tak sanggup menanggung beban yang terasa berat.Seperti yang kulakukan malam ini. Aku lebih memilih pergiketimbang bertahan di rumah Lintang-istriku. Tuduhannya terlampau menyakiti,merendahkan harga diri. Mungkin, tak akan semarah ini jika hanya aku yangdicaci maki. Namun, nyatanya dia membawa nama Ibu untuk hal yang tidak kamilakukan. Bukankah ini berlebihan?Kulajukan motor dengan kecepatan tinggi, menyusuri jalanankota yang mulai sepi akan pengendara. Hanya satu tujuanku kali ini, yaitumencari siapa pelaku yang telah mengirim pesan itu.Gara-gara pesan itu, semua yang indah seketika musnah,hancur berantakan. Meski begitu, aku tak semata menyalahkan si pe
Duduk memeluk lutut di sudut ranjang, aku mengenang semuatentang Mas Alvin-lelaki yang telah membodohiku. Awalnya dia terlihat begitubaik, bahkan hati ini mulai terpikat sejak saat itu.Seiring berjalannya waktu, rasa ini semakin nyata. Sebentarsaja tak bertemu, hati ini gundah gulana. Tak jarang aku bersikap manja sekedarmendapat perhatiannya.Selama ini aku selalu berpikir dia malaikat yang dikirimTuhan untuk menuntunku ke jalan yang benar. Kehadirannya kuharap mampumenyembuhkan luka akibat pengkhianatan. Namun, nyatanya salah. Dia justru datanguntuk meremukkan hati, menghancurkan segala mimpi.Lamunan buyar tatkala kudengar suara ketukan pintu kamar. Awalnyaaku bergeming, tapi karena terus diketuk, akhirnya aku menyahut juga.“Iya, Ma! Sebentar!” Aku bangkit, berdiri lalu beranjak membukapintu.“Lintang, Kamu kenapa? Kok sembab gitu?” tanya Mama saatmelihat keadaanku.“Enggak kok! Kurang tidur kali, Ma!” jawabku asal sembarimenghindar dari sorot matanya “ Mama ada apa jam segini su
Aku membawa tas yang belum sempat kubongkar isinya lalumemasukkan ke bagasi. Saat ini juga akan kususul Mas Alvin ke kampung halamansebagai bentuk permintaan maaf.“Aku berangkat dulu ya, Ma!” pamitku.“Iya, Sayang! Kejarlah cintamu. Mama doakan rumah tanggakalian baik-baik saja!”Setelah kami saling peluk, gegas aku melajukan kendaraan.Rasanya sudah tak sabar ingin bertemu Mas Alvin dan minta maaf. Semoga dia maumemaafkan kebodohan ini.Jalanan pagi ini tak terlalu ramai. Alhasil, dalam waktukurang dari 10 jam aku telah sampai di rumah Ibu mertua. Gegas aku turun lalumenemui perempuan yang sedang menatapku dari teras.“Assalamu alaikum, Bu!” ucapku, meraih tangannya dan menciumtakdim.“Waalaikum salam, Kok kamu sendirian Lintang? Alvin mana?”tanya perempuan itu dengan sepasang mata menatap pada pintu mobil.Aku tersentak kaget. “Loh ... bukannya Alvin sudah balikdari tadi malam, Bu?” tanyaku balik.Kali ini giliran Ibu mertua yang mengernyit heran. Dia terusmenatapku seperti bingung.
Tiga hari telah berlalu. Namun, sampai detik ini Mas Alvinbelum juga kembali. Dibantu Ibu mertua, sudah kucari dia ke sana ke mari. Banyakteman dan tetangga kami datangi. Nyatanya usaha ini sia-sia belaka.Senja ini, aku rehat melakukan pencarian. Diam di terasmencoba menenangkan pikiran. Jika ditelisik lebih dalam, sepertinya Mas Alvinsengaja menghukumku.Lamunan buyar tatkala terdengar dering nada panggilan dariponsel yang tergeletak di atas meja. Melongok pada layar, kulihat nama Nikoyang tertera di sana. Dengan malas aku menerima panggilan itu.“Gimana, Lintang? Apa Alvin sudah ketemu?” tanya suarabariton dari seberang sana.“Belum, Nik,” sahutku.“Bagaimana kalau aku temani kamu nyari Alvin?”Aku mengernyit heran oleh tawaran yang dia berikan. Kenapajuga harus menemaniku, padahal kalau mau mencari tinggal berangkat sendirisaja, apalagi dia laki-laki.“Sorry, Lintang! Kamu jangan berpikiran macam-macam. Aku cumakasihan sama kamu kalau Alvin enggak cepat ketemu,” ucap Niko saat aku
Mobil yang kukendarai melaju pelan menembus sepinya malam.Sesekali aku menyapu wajah sekedar menepikan bayangan Mas Alvin agar tetap fokuspada jalanan.Tak lama, aku telah sampai di rumah. Hati berjingkrak girangsaat kulihat motor Mas Alvin terparkir di halaman rumah, bersebelahan denganmotor entah punya siapa. Buru-buru akuturun lalu beranjak masuk sambil berteriak.“Mas Alvin!” teriakku girang sembari membuka daun pintu yangtak tertutup rapat.Seketika senyum memudar saat menyaksikan pemandangan yangtak biasa. Mas Alvin tengah duduk berdua, saling berhadapan dengan seorangperempuan bernama Elsa.“Sudah pulang, Lintang?” sapanya dingin.Membunuh ego, aku beranjak mendekat pada suami.“Iya, Mas! Kamu ke mana saja beberapa hari ini? Aku terusmencarimu. Maafkan aku ya, Mas! Aku mengaku salah soal malam itu. Akumenyesal!” cerocosku sambil berusaha memeluk melepas rindu. Namun, kurasakansesuatu yang beda dengan Mas Alvin.Sama sekali dia tak membalas pelukan, atau sekedar mengeluspucuk k
Aku mendekati Mas Alvin yang sedang menikmati kopi di teras,sedangkan Gea langsung masuk ke dalam.“Dari mana kamu, Lintang?” tanya Mas Alvin.Meletakkan bokong di sebelah suami, aku menyandarkanpunggung pada sandaran kursi.“Dari rumah Bu Sri, Mas! Aku sudah membayar rumah itu,”sahutku.“Terus mau dikosongkan rumahnya?”“Enggaklah! Kan ada Gea!”Mas Alvin mengangguk. Detik berikutnya dia menyambar gelasdi atas meja, menyesap sebentar lalu meletakkan di tempat semula.“Mas ... aku boleh minta sesuatu enggak?” tanyaku kemudian.Mas Alvin menoleh dengan kening berkerut. “Minta apa?”“Begini, Mas! Sekarang aku dan Gea sudah baik. Dia akantinggal di rumah yang baru saja kubeli. Nah ... yang masih mengganjal dipikiran itu Papa. Biar bagaimanapun dia orang tuaku, sedangkan saat ini akuenggak tahu dia tinggal di mana,” sahutku.“Terus?”“Aku ingin kita tunda dulu kepergian sampai Papa ketemu. Nantirencananya aku suruh Papa tinggal bareng Gea. Boleh ya, Mas!” rengekku, meraihtangan Mas Alvin
Sampai rumah, Gea langsung berlari ke kamar sembari tanganmengucek mata. Aku bisa merasakan betapa hati gadis itu terluka, antara kecewadengan ibunya, juga malu padaku.Meninggalkan Alvin yang sedang memarkirkan motor, beranjakaku ke dalam menyusul Gea. Di saat seperti ini dia pasti butuh teman.Mengetuk pintu kamar Gea, aku memanggil namanya beberapakali, tapi tak kunjung ada sahutan. Nekat aku mendorong daun pintu yang rupanyatak di kunci. Gadis itu tengah terisak, duduk memeluk lutut di sudut kamar.Mendekat, aku mengelus pundak Gea berusaha menenangkan.“Sabar ya, Ge!” ucapku pelan.Bukannya menyahut, isaknya justru terdengar semakin jelas diantara nafas yang tersengal. Namun, aku tak melarang sebab tangis sedikitbanyak mampu meringankan beban di hati. Menangislah!“Mbak!” ucapnya setelah tangisnya mereda.“Iya,”“Kenapa kamu peduli denganku? Bukankah selama ini aku jahatsama kamu?” Gea menoleh, menatap lekat seperti mencari sesuatu di bola mataku.Melempar senyum, aku merapikan a
Seperti biasa aku beranjak ke dapur setelah kamar beres. Ibutampak sudah berjibaku dengan pekerjaan, sedangkan Gea belum terlihat.Aku menyambar toples berisi gula, berniat membuat kopi untukMas Alvin. Sedikit demi sedikit hubungan kami mulai membaik, meski suamikumasih sedikit kaku.“Bu, Gea kok belum kelihatan. Tumben?” tanyaku sembarimenakar gula sesuai selera suami.“Gea tadi pamit pulang, ada yang penting katanya,” sahutIbu.“Penting apa sih?”“Enggak tahu juga sih, tapi dengar-dengar dari tetangga, BuSri mau jual rumah itu!”Sontak aku terperanjat. Rumah itu milik orang tua Papa.Meski aku tak mengenalnya, setidaknya bisa menjadi pengingat bahwa aku punyagaris keturunan darinya.“Kok dijual sih? Bukannya itu punya Kakek?” tanyaku setengahprotes.“Iya, tapi kan sekarang sudah berganti nama menjadi milik BuSri. Jadi ya dia bisa jual,” jelas Ibu mertua.Ada rasa tak terima jika rumah itu berpindah tangan. Seharusnyarumah itu hak Papa dam Ibu mertua, tapi malah jatuh ke tangan Bu Sri
Seminggu telah berlalu, tapi sikap Mas Alvin belum kembalimenghangat, padahal sudah kulakukan kewajiban sebagai seorang istri.Kemarin, saat mengurus pernikahan di KUA, Mas Alvin menolakmenggunakan mobil. Dia bilang kalau enggak ingin menggunakan apa pun darikekayaanku. Bukankah ini berlebihan?“Sampai kapan kita akan seperti ini, Mas?” tanyaku saat kamitengah berdua di kamar.“Apanya yang sampai kapan?” Mas Alvin balik tanya.Aku menghela nafas panjang lalu membuang perlahan. Entahsengaja atau tidak, tapi aku yakin Mas Alvin paham pertanyaanku.“Ya kita! Sampai kapan kamu akan mendiamkanku begini? Kita suamiistri, Mas! Bukan musuh!” jelasku berusaha sabar.Kata orang pengantin baru itu indah. Namun, nyatanya tidak!Kami menjalani hari penuh kekakuan. Bahkan urusan ranjang pun kami tak pernahmelakukan kecuali saat pertama kali dulu. Mas Alvin hanya mengecup kening saat mataini memejam. Bukankah ini menyedihkan?“Sampai aku bisa melupakan hujatanmu malam itu. Setidaknya,rasa sakit di ha
Berkali-kali aku mengerjap, memaksa membuka mata yang masihterasa lengket. Kuraba Mas Alvin yang semula tidur di sebelahku. Namun, takkutemukan dia. Astaga! Dia tak membangunkan aku.Menyadari kalau bangun kesiangan, buru-buru aku bangkit lalumenyambar pakaian yang tercecer di lantai.Tadi malam, meski aku sudah merayu Mas Alvin, kami takmelakukan apa pun. Dia terus menolak dengan alasan yang tak jelas. Yang lebihmenyedihkan, saat tidur pun dia memunggungiku.Entah apa yang terjadi padanya, tapi yang jelas dia sepertisedang membalas. Sikap dinginnya itu lebih menyakitkan ketimbang sebuahtamparan.Beranjak keluar kamar, aku menemui Ibu mertua di dapur. Tanpadiminta aku langsung membantu beberes juga menyiapkan sarapan.“Mas Alvin ke mana ya, Bu? Kok enggak kelihatan?” tanyaku disela aktivitas kami.“Lagi di depan. Tadi Gea datang. Memangnya kamu belum ketemudia?” tanyanya balik.Mendengar Ibu mertua menyebut nama Gea, cemburu datang mengganggupikiran, apalagi Mas Alvin sedang bersama p
Mobil yang kukendarai melaju pelan menembus sepinya malam.Sesekali aku menyapu wajah sekedar menepikan bayangan Mas Alvin agar tetap fokuspada jalanan.Tak lama, aku telah sampai di rumah. Hati berjingkrak girangsaat kulihat motor Mas Alvin terparkir di halaman rumah, bersebelahan denganmotor entah punya siapa. Buru-buru akuturun lalu beranjak masuk sambil berteriak.“Mas Alvin!” teriakku girang sembari membuka daun pintu yangtak tertutup rapat.Seketika senyum memudar saat menyaksikan pemandangan yangtak biasa. Mas Alvin tengah duduk berdua, saling berhadapan dengan seorangperempuan bernama Elsa.“Sudah pulang, Lintang?” sapanya dingin.Membunuh ego, aku beranjak mendekat pada suami.“Iya, Mas! Kamu ke mana saja beberapa hari ini? Aku terusmencarimu. Maafkan aku ya, Mas! Aku mengaku salah soal malam itu. Akumenyesal!” cerocosku sambil berusaha memeluk melepas rindu. Namun, kurasakansesuatu yang beda dengan Mas Alvin.Sama sekali dia tak membalas pelukan, atau sekedar mengeluspucuk k
Tiga hari telah berlalu. Namun, sampai detik ini Mas Alvinbelum juga kembali. Dibantu Ibu mertua, sudah kucari dia ke sana ke mari. Banyakteman dan tetangga kami datangi. Nyatanya usaha ini sia-sia belaka.Senja ini, aku rehat melakukan pencarian. Diam di terasmencoba menenangkan pikiran. Jika ditelisik lebih dalam, sepertinya Mas Alvinsengaja menghukumku.Lamunan buyar tatkala terdengar dering nada panggilan dariponsel yang tergeletak di atas meja. Melongok pada layar, kulihat nama Nikoyang tertera di sana. Dengan malas aku menerima panggilan itu.“Gimana, Lintang? Apa Alvin sudah ketemu?” tanya suarabariton dari seberang sana.“Belum, Nik,” sahutku.“Bagaimana kalau aku temani kamu nyari Alvin?”Aku mengernyit heran oleh tawaran yang dia berikan. Kenapajuga harus menemaniku, padahal kalau mau mencari tinggal berangkat sendirisaja, apalagi dia laki-laki.“Sorry, Lintang! Kamu jangan berpikiran macam-macam. Aku cumakasihan sama kamu kalau Alvin enggak cepat ketemu,” ucap Niko saat aku
Aku membawa tas yang belum sempat kubongkar isinya lalumemasukkan ke bagasi. Saat ini juga akan kususul Mas Alvin ke kampung halamansebagai bentuk permintaan maaf.“Aku berangkat dulu ya, Ma!” pamitku.“Iya, Sayang! Kejarlah cintamu. Mama doakan rumah tanggakalian baik-baik saja!”Setelah kami saling peluk, gegas aku melajukan kendaraan.Rasanya sudah tak sabar ingin bertemu Mas Alvin dan minta maaf. Semoga dia maumemaafkan kebodohan ini.Jalanan pagi ini tak terlalu ramai. Alhasil, dalam waktukurang dari 10 jam aku telah sampai di rumah Ibu mertua. Gegas aku turun lalumenemui perempuan yang sedang menatapku dari teras.“Assalamu alaikum, Bu!” ucapku, meraih tangannya dan menciumtakdim.“Waalaikum salam, Kok kamu sendirian Lintang? Alvin mana?”tanya perempuan itu dengan sepasang mata menatap pada pintu mobil.Aku tersentak kaget. “Loh ... bukannya Alvin sudah balikdari tadi malam, Bu?” tanyaku balik.Kali ini giliran Ibu mertua yang mengernyit heran. Dia terusmenatapku seperti bingung.
Duduk memeluk lutut di sudut ranjang, aku mengenang semuatentang Mas Alvin-lelaki yang telah membodohiku. Awalnya dia terlihat begitubaik, bahkan hati ini mulai terpikat sejak saat itu.Seiring berjalannya waktu, rasa ini semakin nyata. Sebentarsaja tak bertemu, hati ini gundah gulana. Tak jarang aku bersikap manja sekedarmendapat perhatiannya.Selama ini aku selalu berpikir dia malaikat yang dikirimTuhan untuk menuntunku ke jalan yang benar. Kehadirannya kuharap mampumenyembuhkan luka akibat pengkhianatan. Namun, nyatanya salah. Dia justru datanguntuk meremukkan hati, menghancurkan segala mimpi.Lamunan buyar tatkala kudengar suara ketukan pintu kamar. Awalnyaaku bergeming, tapi karena terus diketuk, akhirnya aku menyahut juga.“Iya, Ma! Sebentar!” Aku bangkit, berdiri lalu beranjak membukapintu.“Lintang, Kamu kenapa? Kok sembab gitu?” tanya Mama saatmelihat keadaanku.“Enggak kok! Kurang tidur kali, Ma!” jawabku asal sembarimenghindar dari sorot matanya “ Mama ada apa jam segini su