MIRANTI
Tak tega melihat keadaan fajar. Dia begitu terguncang. Tak henti buliran bening terus mengalir dari kelopak matanya yang sembab. Setengah jam yang lalu kami tiba di rumah sakit. Tante farida langsung di bawa ke ruang IGD.
Aku menemani fajar yang tengah mengalami duka yang mendalam. Dia sangat gelisah. Sesekali berdiri mencoba mengintip dari balik pintu yang tertutup rapat. Tak mendapatkan apa keinginannya dia duduk kembali. Berusaha mengintip, lalu duduk lagi. Begitu seterusnya. Selama perjalanan hingga saat ini, fajar tak pernah melepas tanganku barang sedetikpun. Genggaman tangannya makin erat. Walau terkadang aku merasakan sakit pada jemariku, tak mengapa. Rela hanya meringis menahan sakit. Saat dia bangkit, aku harus mengikutinya. Begitu pula saat dia duduk.
Dokter keluar dari ruang perawatan dan mengabarkan kalau tante farida harus masuk ke ICU. Kesadarannya makin menurun. Tubuhnya memer
TAK BISA MEMAAFKANFajar masuk ke dalam ruang perawatan untuk menemui sang bunda tercinta. Karena pengunjung yang di batasi hanya boleh untuk satu orang, aku menunggu di luar bersama saudara fajar.Aku berdiri di depan pintu. Wajah tante farida sangat pucat. Beberapa selang infus dan berbagai alat bantu kesehatan menempel pada tubuhnya. Monitor untuk memantau perkembangan jantungnya juga terlihat di sana. Ngeri rasanya membayangkan kalau berbagai alat itu terpasang pada tubuhku. Iih, aku mengedikkan bahu.Kenapa tante farida memalingkan wajahnya dari putranya. Padahal fajar dengan begitu bahagia menyambut kesembuhan mamahnya. Bahkan saat fajar menyentuh jemari wanita lembut itu, selalu di tarik kembali. Pasti ada yang tak beres ini. Melihat ke sekeliling. Suster penjaga terlihat sepi. Kuptuskan untuk menyelinap ke dalam dan bersembunyi.Aku mengendap-endap dan bersembunyi di balik gordyn pembatas.. Memasang telinga dan berusaha unt
PENOLAKANSaat aku merasa bimbang, tiba-tiba saja fajar menggenggam jemariku begitu erat. Aku membulatkan mata ke arahnya dan mencoba melepas jemariku. Namun genggaman tangan fajar makin erat.Tatapan fajar yang begitu tajam ke arahku membuatku makin gugup. Aku berusaha untuk menarik tanganku. Dengan menunjuk ke arah tante farida sebagai isyarat supaya dia melepaSku.Walau aku telah memberikan kode, pria songong itu tetap saja tak melepas jemariku. Sorot matanya begitu tajam menghunjam dada. Terlihat sangat serius. Tak ada wajah santai seperti tadi. Aku tak tahu apa yang ada dalam pikirannya.“Miranti, fajar. Kalian sedang apa?!”Sangat erkejut mendengar suara tante farida dengan nada tinggi. Seandainya ada cermin mungkin saja wajahku memucat. Ketakutan jelas tergambar di sana. Tak berani menoleh ke arah tante farida. Aku menundukkan kepala. Masih berusaha untuk melepas tanganku. Namun tetap saja usahaku tidak me
6O. KEPUTUSAN TERBERATMIRANTIKuhentikan pelarianku di hamparan rumput. Tanah lapang ini akan menjadi saksi betapa hancurnya hatiku. Taman di area rumah sakit dalam keadaan sepi. Adzan magrib berkumandang, menandakan hari akan berubah menjadi gelap. Begitu juga dengan kehidupanku.Langkah terseok menuju masjid yang tak jauh dari tempatku berdiri. Aku ingin mengadu kepada sang pencipta. Namun kaki terasa berat untuk melangkah. Lunglai dan tak bertenaga. Mencoba kembali melangkah, tapi tidak berhasil. Tubuh terasa terpaku.Aku hanya bisa menangis. Kenapa garis hidup begitu kejam. Saat kebahagiaan menghadang di depan mata, tapi tak mampu kugapai. Tubuh berguncang. Membiarkan airmata menetes sesuka hati. Aku seorang diri. Tak ada yang akan melihatku sebagai wanita yang cengeng. Sedikit mengeraskan suara tangisan. Hati ini sangat lara.Suasana yang sepi dan mencekam, tak kupedulikan. Tak takut menghadapi apapun. Bahkan hantu bergentayangan sekalipun ta
KONDISI FAJARFAJARSudah hampir satu bulan aku mengurung diri dalam kamar. Tak ada aktifitas apapun yang kulakukan. Tak peduli dengan segudang pekerjaan yang harus kuselesaikan. Kini semua tak ada artinya untukku. Karier yang cemerlang, bisnis yang berkembang pesat serta pundi-pundi yang tak terhitung jumlahnya. Aku tak peduli lagi. Untuk apa semuanya kalau tak bisa membuat hidupku bahagia.Dari dulu aku selalu berkorban untuk kebahagiaan orang lain. Termasuk kebahagiaan miranti bersama arya dan juga mamah. Hidupku selalu dipenuhi dengan pikiran untuk kebahagiaan orang lain. Tapi tak pernah terpikir untuk kebahagiaanku sendiri.Hingga usiaku yang sudah berkepala empat masih saja kebahagiaan tak sudi menghampiriku.Harta tak berguna lagi. Untuk apa aku giat mencari harta kalau tak ada pendamping yang bisa membuatku bahagia.Keinginan mamah sudah kupenuhi. Yaitu tidak menikah dengan wanita yang sangat kucintai. Biarlah mamah b
PERMINTAAN MAAF FARIDAMIRANTI“Jeng farida. Ini, miranti. Silakan duduk.”Suara lembut ibu mengagetkan tante farida yang terlihat sangat gelisah. Aku memejamkan mata, lalu menundukkan kepala. Tak berani berhadapan langsung hingga bersembunyi di balik punggung ibu.Alangkah terkejutnya saat tubuhku hampir saja terjatuh karena dekapan seseorang yang membuatku sesak nafas. Telingaku menangkap suara wanita yang menangis. Mencoba membuka mata. Rasanya tak percaya jika wanita yang memelukku adalah tante farida. Adakah sesuatu yang terjadi hingga membuatnya menangis.“Ada apa tante?” tanyaku dengan lembut. Ingin mengelus punggungnya, tapi kuurungkan niat. Tak berani untuk melakukannya.“Mir, maafin tante.”“U-untuk apa? Tante tidak punya salah sama aku.”Tante farida melonggarkan dekapannya. Lalu memegang kedua bahuku.“Fajar, mir. Fajar ....&r
MEMBANTU FAJARBelum sempat aku menuruni anak tangga, tante farida sudah menarik lenganku perlahan , berusaha menghentikanku.“Mir, tante mohon. Maafkan tante. Tolonglah, hanya kamu yang bisa menyembuhkan fajar. Tolong bantu tante.”“Maaf, tidak bisa tante.” Melepas tanganku dari genggamannya. Menuruni anak tangga satu persatu dengan hati lara. Langkahku kembali terhenti saat wanita itu meghadang jalan. Aku membuang pandangan dengan kesal.“Mir. Setidaknya, ingatlah kebaikan fajar terhadapmu. Apa kau tega membiarkan dia menderita seumur hidupnya. Kau juga seorang ibu. Bagaimana kalau peristiwa ini terjadi pada anakmu. Kau pasti akan melakukan segala cara demi menyembuhkan putramu. Aku juga akan melakukan hal yang sama. Bahkan tante bersedia bersujud di kakimu.”Apa yang dikatakan tante benar. Seorang ibu pasti berani melaukan apapun demi putra tercinta, termasuk diriku. Namun tidak dengan
PURA-PURAMIRANTI“Aw,” aku terpekik saat fajar mencekal bahuku begitu kencang. Memalingkan wajah, tak berani melihat mata bengisnya. Ingin menangis dan menjerit minta tolong. Namun suaaraku seperti tercekat di kerongkongan.Mencoba melepaskan diri sambil berusaha berteriak. Sekuat tenaga meronta dan menjerit. Suaraku mulai pulih. Sayangnya teriakanku takkan terdengar. Tiba-tiba fajar membekap mulutku. Aku makin ketakutan. Bagaimana mungkin orang sakit jiwa bisa membekap mulut seseorang. Apa dia akan memaksaku untuk melayaninya. Membayangkan saja aku sudah ketakutan. Kewarasannya sudah di ambang batas. Sulit di kendalikan. Aku terus meronta dan berteriak. Namun bekapan di mulutku sangat sulit kulepas.Tubuhku terasa lemas. Kekuatanku terasa lenyap dari tubuh. Rasanya tenaga ini tak sebanding dengan kekuatan fajar. Walau dia sudah tak makan dan minum selama dua hari, staminanya tetap terjaga. Entah apa alas
MENDAPAT RESTUMIRANTIAku bisa bernafas lega saat melihat tante memegang punggung putra tercintanya, lalu membawa kepelukan. Keduanya bertangisan haru. Tanpa terasa kelopak mataku basah. Rasa bercampur aduk dalam dada. Ada sedih, bahagia dan entah perasaan apa lagi yang berkecamuk dalam hatiku.Aku merasa ikut bertanggungjawab dalam masalah ini. Semua masalah antara ibu dan anak itu bermula dariku. Kalau saja aku tak kembali memasuki hidup fajar, mungkin tak akan terjadi kebohongan fajar. Dia pasti sudah bahagia dengan wanita lainKini, apa aku rela. Apa aku mampu melepas setelah cintamya kembali mengikat erat hatiku. Sungguh sulit untuk memilih. Pernah melakukan berbagai cara untuk melupakannya. Namun hati tak bisa dibohongi. Sesak dalam dada jika mengingat semuanya.Kembali aku memfokuskan pandangan pada ibu dan anak yang berada di hadapanku. Mencoba memasang mata dan telinga untuk mendengarkan pembicaraan keduanya.