MEMBALAS HINAAN SUAMI DAN MERTUA (3)
Dengan mengendarai armada mobil online, kami bertiga segera menuju sebuah mall yang di hari pertama lebaran ini buka dan lebih ramai dari biasanya.
Mas Indra sendiri pagi tadi sehabis shalat Ied langsung menuju rumah teman kantor dan atasannya tanpa mengajakku ikut serta lagi.
Mas Indra memang begitu. Dari setahun pernikahan kami berjalan, lelaki itu memang mulai menunjukkan watak aslinya yang acuh tak acuh padaku.
Pun saat Dino dan Dini lahir, tak ada sedikit pun perhatian lelaki itu untuk kedua buah hati kami.
Kadang sakit dan sesak hati ini rasanya mengingat perlakuannya, tapi mau bagaimana lagi. Mungkin sudah nasibku pula harus bertemu dan menjadi pendamping hidup Mas Indra yang tak punya rasa memiliki pada istri dan anaknya.
Sebisa mungkin aku mencoba bertahan hingga Tuhan menentukan lain jalan pernikahan kami berdua kelak.
"Ma, Mama melamun? Ayok turun, kita sudah sampai, Ma," tegur Dini menghentikan lamunanku.
Kulihat di depan kami memang telah terhampar mall besar yang selama ini sering kuidamkan pergi ke sana. Belanja barang-barang keperluan wanita dan anak-anak yang kuinginkan lalu makan-makan.
Namun, keinginan itu terhalang karena Mas Indra jarang memberiku uang. Saat inilah aku baru bisa menuntaskan hasrat pergi ke sini karena alhamdulilah aku sudah mulai memiliki uang sendiri hasil dari kreativitasku menulis di platform kepenulisan online yang sekarang sedang kujalani.
"Ayok!" ujarku sembari meminta sopir armada mobil online yang kami naiki untuk berhenti. Setelah mobil benar-benar telah berhenti, dan aku telah membayar ongkos yang diminta, kami bertiga pun segera keluar menuju mall besar di hadapan kami.
"Dino, Dini ... kalian mau makan apa? Ayam goreng? Pizza? Burger?" tawarku pada dua buah hatiku yang seketika berbinar-binar ceria saat aku mengajak mereka masuk mall dan mengajak mereka mengelilingi food court yang berjejer di sana.
"Ayam goreng? Pizza? Burger? Beneran kita boleh makan semua itu, Ma? Mama punya uang?" tanya Dino lagi seolah tak percaya.
Wajar mungkin karena selama ini aku memang tak pernah bisa mengajak mereka jalan ke mall ini karena tak ada uang.
"Boleh aja dong. Kalian boleh makan semua. Hmm, jadi sekarang Dino sama Dini mau makan apa? Mau dua-duanya atau ketiga-tiganya juga boleh. Hari ini kan hari lebaran. Hari bersuka cita karena kita sudah berhasil menunaikan ibadah puasa selama sebulan dengan baik, nah sebagai hadiahnya, kalian boleh makan sepuasnya. Oke?" jawabku sambil tersenyum haru pada mereka.
Dino dan Dini sontak menghambur ke dalam pelukanku dan mendekap erat.
"Makasih ya, Ma. Akhirnya Mama bisa bawa juga kita makan di sini. Seneng banget deh rasanya. Makasih ya, Ma," ujar dua bocah kecil itu sambil menciumi pipiku.
Aku hanya menganggukkan kepala lalu berbisik di telinga mereka.
"Dino dan Dini harus banyak-banyak bersyukur sama Allah ya, karena semua ini bisa terjadi karena pertolongan Allah yang telah memberikan mama rezeki sehingga bisa membawa kalian jalan-jalan dan makan di sini. Oke?" jawabku lembut.
"Oke, Ma. Ayok Ma, kalau gitu Dino pingin makan ayam goreng dulu ya?" ujar sulungku itu.
"Iya, Dini juga mau ayam goreng ya, Ma," timpal bungsuku pula.
"Ayok, kita makan sekarang," balasku sambil menggandeng tangan keduanya memasuki food court yang menjual ayam goreng kesukaan mereka.
Setelah memesan dua paket ayam goreng berikut minuman dingin, kami pun duduk di kursi yang syukurnya masih ada yang kosong.
Kulihat Dino dan Dini begitu lahap makan hingga pandangan mereka hanya fokus pada makanan yang terhidang di depan mata mereka saja.
Beda denganku yang sesekali masih sempat mengedarkan pandangan ke sekeliling mall hingga kemudian mataku tertumbuk pada sebuah pemandangan nun di depan sana yang sontak membuat sekujur tubuhku menegang.
Ya, nun di kejauhan sana, di tempat wahana permainan anak-anak, kulihat sepasang manusia dengan seorang putri yang usianya juga kira-kira sebaya Dini sedang bermain bersama dan tertawa bahagia.
Aku tak mengenal siapa ibu dari bocah kecil yang umurnya kira-kira sebaya bungsuku ini, tapi aku jelas mengenal laki-laki yang berdiri di sampingnya yang sedari tadi tak melepaskan tangannya dari pinggang perempuan di sampingnya, juga bocah perempuan yang mereka bawa itu.
Laki-laki itu adalah Mas Indra. Ya, tak salah lagi lelaki yang tengah bersama dua orang perempuan itu adalah suamiku, ayah dari dua buah hatiku yang pagi tadi pamit hendak silaturahmi ke rumah atasan dan teman-temannya.
Tapi sepertinya hal itu hanya dusta belaka karena saat ini Mas Indra justru terlihat sedang bersama perempuan lain dan putrinya itu. Lalu siapa sebenarnya perempuan itu adanya?
"Ma, kita sudah selesai makan. Habis ini Dini pengen main game, boleh nggak, Ma?" tanya Dini tiba-tiba membuyarkan lamunanku dan fokus ku melihat Mas Indra yang tengah bermain di wahana permainan anak-anak, entah dengan siapa gerangan adanya itu.
"Hmm, gimana ya. Bukan Mama nggak boleh. Tapi kalau nanti saja mainnya, gimana? Kita beli baju dulu yuk. Baju yang kalian pakai untuk lebaran hari ini kan baju lebaran tahun lalu, gimana kalau kita beli aja di atas? Tapi sebelum kita ke sana, kalian berdua tunggu di sini dulu ya. Mama mau ke toilet sebentar. Kebelet buang air kecil mama," ucapku pada dua bocahku itu.
Itu adalah alasanku saja. Melihat pemandangan nun jauh di depan sana, aku memang jadi terbersit keinginan untuk mengabadikan momen kebersamaan Mas Indra dengan perempuan lain itu untuk bukti bila sewaktu-waktu aku punya masalah dengan Mas Indra dan mertua.
Ya, bila sudah tiba saatnya nanti, tentu saja aku akan membicarakan hal ini pada suamiku itu, siapa perempuan yang tengah bersamanya itu sebenarnya. Dan saat itu tiba, ia harus memilih, aku atau perempuan itu!
Kalau ia memilih perempuan itu, maka aku dengan senang hati akan meninggalkan rumah mertua yang selama ini menjadi tempat tinggal kami berdua yang penuh dengan drama kepahitan berumah tangga.
Ada pun, saat ini aku memang harus tenang dulu karena bagaimana pun juga saat ini aku tengah bersama anak-anak.
Aku tak ingin merusak kebahagiaan mereka yang tengah menikmati suasana libur lebaran yang baru bisa mereka nikmati kali ini sehingga sekuat tenaga aku harus bisa menyabarkan hati untuk tidak berbuat gegabah dengan melabrak Mas Indra dan selingkuhannya itu.
Apalagi saat ini aku juga belum memiliki finansial yang cukup bila harus meninggalkan rumah mertua.
Jadi menjelang aku memiliki semua itu dan memiliki tempat berteduh yang baru, aku tampaknya harus banyak-banyak bersabar dulu hingga waktu yang tepat itu tiba.
Waktu di mana semua ini akan kuungkap di hadapan Mas Indra dan meminta lelaki itu dengan tegas memilih, aku atau perempuan lain itu!
MEMBALAS HINAAN SUAMI DAN MERTUA (4)"Heh, Aira! Kamu dari mana aja sih! Sudah tahu ini hari pertama lebaran, bukannya ngurus kerjaan di dapur, malah kelayapan nggak jelas! Ke mana aja kamu tadi! Kamu nggak tahu ya kita semua jadi kerepotan karena gak ada yang ngelayani tamu! Dasar mantu pemalas, bisanya cuma bikin susah aja! Sana, cuci bersih semua piring kotor! Jangan berhenti sebelum semuanya selesai!" Gerutu ibu mertua saat aku dan anak-anak akhirnya pulang ke rumah.Setelah hampir dua jam berkeliling mall, akhirnya Dino dan Dini pun mengajak pulang. Namun, baru saja masuk ke dalam rumah, mama mertua sudah menghardik habis-habisan."Maaf, Ma. Tadi Dino dan Dini kelaparan, sementara Mama melarang kami makan, jadi saya ajak anak-anak ke luar sebentar mencari makanan supaya nggak mengganggu makanan untuk tamu lagi," sahutku jujur apa adanya. Kupikir untuk hal seperti ini tak ada gunanya juga aku berbohong, toh hanya soal makan. Tapi reaksi mama mertua sungguh di luar dugaan. Beliau
MEMBALAS HINAAN SUAMI DAN MERTUA (5)"Ra, kenalkan ini calon adik madu kamu, namanya Selvi. Selvi, ini Aira, istri mas. Dan itu Dino sama Dini, anak-anak mas. Ayo pada kenalan semua. Cantika, sini Sayang ... kenalin ini anak Om, namanya Dini," ucap Mas Indra padaku dan anak-anak. Diraihnya pergelangan tangan anak perempuan kecil yang tadi kulihat jalan bareng bersama calon istri mudanya itu di mall dan saat ini tengah menggelayut manja di sisi tubuh ibunya, lalu didekatkannya pada tangan Dini, menyuruh mereka berkenalan.Namun, sebelum Dini menyambut uluran tangan anak perempuan yang tadi dipeluk-peluk penuh kasih sayang oleh Mas Indra seperti anak sendiri itu, buru-buru kutarik tangan gadis kecilku itu dan mendekapnya erat."Maaf, Mas. Aku dan anak-anak mau ke dalam dulu. Kalian silahkan teruskan acaranya. Aku permisi dulu," ujarku sambil menggandeng tangan Dini dan Dino lalu mengajak mereka berdua masuk ke dalam kamar.Tak kupedulikan tatapan tidak terima dan tak suka dari Mas Indr
MEMBALAS HINAAN SUAMI DAN MERTUA (6)Kugandeng tangan Dino dan Dini erat-erat lalu menghela langkah hendak pergi, tetapi baru saja melangkahkan kaki, tiba-tiba Mas Indra menarik tanganku dan memaksaku menghentikan langkah."Aira, apa-apaan kamu? Ngapain kamu mau pergi segala? Pergi ke mana? Jangan konyol kamu! Mau tinggal di mana dan mau makan apa kalau kamu pergi dari rumah ini? Sudah g*la kamu ya!" kata Mas Indra sambil menatapku marah.Kutepis dengan kasar pegangan tangan lelaki tak punya martabat itu lalu menatapnya tajam dan dingin. "Lepaskan aku, Mas! Jangan sentuh aku lagi! Aku pergi ke mana, nggak usah kamu pikirkan! Pikirkan aja Selvi dan putrinya serta pernikahan kalian! Nggak usah pikirin aku dan anak-anak karena aku bisa sendiri!" jawabku tak kalah keras.Kulangkahkan kaki kembali tapi lagi-lagi Mas Indra menahanku."Kamu bener-bener sudah gila ya! Mau pergi dari rumah ini tanpa punya modal apa-apa! Apa kamu pikir aku mau ngurus kalian kalau kalian pergi dari sini! Jangan
MEMBALAS HINAAN SUAMI DAN MERTUA (7)Setelah meminta sopir mengantarkan aku dan anak-anak menuju sebuah penginapan, kami pun turun dan langsung memesan kamar.Penginapan yang kupilih ini meskipun harga sewa kamarnya tidak mahal, tetapi bersih dan rapi. Ada air conditioner, televisi, lemari pakaian, sofa santai serta kamar mandi yang bersih dan wangi. Aku bersyukur anak-anak kelihatan suka saat kubawa mereka masuk kamar tadi."Ma, kita beneran bakalan tinggal di sini? Kamarnya enak, pasti mahal ya, Ma," ujar Dino sambil membaringkan tubuhnya menghadap AC. Baru kali ini memang sulungku itu merasakan enaknya rebahan di ruangan ber-AC. Di rumah mama mertua biasanya kami cuma pakai kipas angin biasa.Kalau udara sedang panas, kami pun terpaksa tidur berkeringat karena kipas angin itu tak bisa menetralkan suhu udara di kota ini yang relatif lebih panas dari kota-kota lainnya, sebab kota ini termasuk kota padat penduduk sementara hutan dan pepohonan mulai berkurang akibat pembangunan infras
MEMBALAS HINAAN SUAMI DAN MERTUA (8)POV AUTHOR"Kenapa sih, Ndra, kamu keberatan mama mengusir Aira dari rumah ini tadi? Apa kamu nggak sadar, Selvi itu jelas jauh lebih baik untuk jadi pendamping hidup kamu timbang Aira?" tanya Bu Rahmi pada Indra saat lelaki itu telah kembali dari mengantar Selvi dan putrinya pulang ke rumah perempuan itu.Indra menghela napas demi mendengar perkataan ibunya itu. Benar-benar ibunya ternyata sudah lupa alasan awal kenapa ia memboyong Aira dan kedua anaknya tinggal di rumah beliau ini.Dulu ibunya sering meminta padanya untuk dicarikan seorang asisten rumah tangga yang bisa disuruh-suruh dan bisa diperintah untuk menghandle semua pekerjaan rumah tangga di rumah ibunya itu dengan baik. Tetapi karena tak cukup punya uang sebab gajinya sebagai seorang karyawan biasa sebuah perusahaan terbilang kecil, maka Indra pun akhirnya memutuskan untuk memboyong istri dan anaknya itu untuk tinggal di rumah ibunya agar selain bisa membantu ibunya melakukan pekerja
MEMBALAS HINAAN SUAMI DAN MERTUA (9)POV AIRAAku membuka aplikasi biru dan masuk ke grup literasi di mana beberapa jam lalu aku baru saja mempromosikan cerita baru yang tadi malam aku unggah di aplikasi membaca novel online dan terkejut sendiri saat menemukan ternyata cerita baruku itu sangat diminati pembaca.Terbukti banyak sekali like dan komen yang mampir di unggahan ceritaku itu. Komentar pembaca menginginkan supaya aku sesegera mungkin melanjutkan cerita.Sebagian besar pembaca yang lain juga mengatakan kalau mereka sudah mampir dan berlangganan cerita baruku itu di aplikasi berbayar yang kuikuti.Aku sangat terharu karena ternyata cerita baru yang aku tulis, disukai pembaca. Kalau melihat responnya, aku merasa jika cerita baruku itu bisa jadi viral dan mendulang banyak cuan. Aku pun segera menulis kelanjutan ceritanya hingga akhirnya dalam waktu sebentar, sudah terkumpul tiga ribu kata yang siap aku posting untuk mengisi bab selanjutnya.Setelah selesai memposting bab baru, a
MEMBALAS HINAAN SUAMI DAN MERTUA (10)POV author.Indra melangkahkan kakinya menapaki gedung pengadilan agama yang siang itu tampak lengang.Setelah mempertimbangkan semuanya dengan matang, lelaki itu akhirnya menyetujui juga saran dan keinginan ibu serta adiknya untuk bercerai dari Aira. Sejak istrinya itu pergi dari rumah, Aira memang tak juga kunjung menghubunginya. Nomor WhatsApp istrinya itu saat dihubungi tidak lagi aktif. Itu membuat Indra jadi bertekad untuk bercerai dari istrinya itu karena kemungkinan besar Aira sudah memblokir nomor kontaknya sehingga hal itu membuat Indra menjadi semakin mantap untuk menuruti keinginan ibunya guna bercerai.Dan pagi ini ia bermaksud mendaftarkan ikrar talak itu di hadapan petugas yang berwenang.Dengan membawa bukti surat nikah serta data pribadi lainnya yang diperlukan, ia pun menuju meja pendaftaran untuk mendaftarkan permohonan.Tanpa banyak pertanyaan, petugas pun menerima berkas yang ia ajukan dan selanjutnya mencatatnya. Petugas jug
"Ma, Mama punya uang empat ratus ribu rupiah nggak? Indra boleh minta?" tanya Indra pada ibunya selepas lelaki itu pulang ke rumah.Bu Rahmi mengernyitkan keningnya mendengar permintaan putranya, merasa heran."Uang empat ratus ribu rupiah? Buat apa?" tanya wanita itu balik bertanya pada Indra.Indra menggaruk kepalanya."Buat bayar hutang ke Selvi, Ma," jawab lelaki itu malu-malu."Hutang? Hutang apa? Kok kamu bisa punya hutang ke Selvi sih? Gimana ceritanya?" Bu Rahmi terlihat kaget."Jadi, kemarin itu Indra ngajak Selvi makan di cafe, Ma. Tapi duit Indra kurang jadi Indra terpaksa minjam uang Selvi empat ratus ribu rupiah buat bayar. Nah, rencananya mau Indra balikin, soalnya nggak enak, Ma. Takut disangka manfaatin dia," jawab Indra tak enak hati.Bu Rahmi tertawa mendengar jawaban anaknya itu."Kok gitu? Ya nggak papalah manfaatin perempuan. Sekarang kan zaman emansipasi wanita. Laki-laki dan perempuan itu derajatnya sama. Makan di cafe bareng terus yang bayar perempuan, ya nggak
POV DONNYSetelah diperintahkan hakim untuk melakukan mediasi, kami berdua pun akhirnya menghadap hakim mediasi di ruangan kerjanya.Kulihat Nisa menatap garang saat aku berjalan lebih dulu menuju ruangan tersebut. Aku memang berharap hakim mediasi dapat menyatukan kami berdua kembali. "Jadi, Pak Hakim, saya ingin rujuk lagi dengan istri saya ini. Saya memang sudah melakukan kesalahan fatal dengan mengkhianati perkawinan kami, tapi saya sangat menyesali hal itu, Pak Hakim.""Saya juga kasihan sama Nisa, istri saya ini. Kalau dia jadi janda, pasti namanya akan buruk di mata masyarakat. Dia akan jadi bahan gunjingan tetangga. Orang-orang akan takut kalau Nisa merebut suami mereka. Lagi pula, zaman begini banyak laki-laki suka seenaknya saja. Mereka berpikir janda itu perempuan yang mudah digoda dan diajak berbuat yang tidak-tidak.""Makanya saya ingin mengajak Nisa rujuk. Apalagi, Nisa ini hanya ibu rumah tangga biasa. Tidak punya banyak pilihan. Hanya laki-laki yang benar-benar baik s
POV DONNY"Saudari Nisa, Saudari yakin hendak melanjutkan gugatan perceraian pada suami Saudari, yakni Saudara Donny ini? Sudah dipertimbangkan masak-masak? Kami masih memberikan kesempatan bila mana Saudari hendak membatalkannya," ucap salah seorang hakim pada Nisa yang kemudian mengangguk yakin sebagai jawaban."Yakin, Yang Mulia. Sudah saya pertimbangkan masak-masak, saya akan tetap melanjutkan gugatan saya ini," jawab Nisa dengan nada tegas."Baik." Hakim mengangguk-anggukkan kepalanya lalu meneruskan pertanyaan kembali."Apa alasan dan dasar hingga Saudari memutuskan untuk menggugat cerai suami Saudari?" lanjut hakim pula."Karena suami saya sudah menikah lagi tanpa izin dari saya maupun izin atasan tempat ia bekerja sehingga saat ini status kepegawaian suami saya pun terancam dipecat dan berakhir. Bukan itu saja, saat ini suami saya juga sudah memiliki seorang putri dari pernikahan keduanya itu, Yang Mulia dan sebagai seorang istri, rasanya saya tidak bisa menerima dan mentoleri
POV DONNYSetelah dengan terpaksa meninggalkan rumah ibu NIna, aku pun melajukan roda dua menyusuri jalanan kota yang mulai sepi di jam tengah malam seperti ini.Hampir semua rumah penduduk sudah tutup. Hanya warung kopi dan warung pinggir jalan saja yang tampaknya masih buka.Aku pun membelokkan kendaraan ke sebuah warung kopi yang terlihat ramai.Kubiarkan saja tas pakaian berada di jok motor sementara aku duduk di bangku santai yang berjajar di sepanjang pinggir trotoar."Kopi, Mas. Satu," ucapku pada pelayan.Pelayan mengangguk. Aku pun menunggu, tetapi hingga beberapa saat lamanya, pesanan kopiku tak juga kunjung datang.Aku pun memanggil pelayan itu kembali dan dengan tak sabar, meminta pesananku segera dibuatkan.Pelayan tampak grogi. Namun, sesaat kemudian ia membawakan juga pesanan kopi yang kuminta. "Maaf ya, Mas. Kami kurang anggota, jadi pesanan lama nunggu," ujarnya sambil menundukkan kepala, meminta maaf."Kekurangan anggota? Maksudnya kurang pekerja?" tanyaku dengan na
POV DONNY"Nina, apa ini? Keterlaluan kamu! Kamu selingkuh ya! Atau ... jangan-jangan kamu ju*al diri! Kamu gila! Baru saja selesai nifas, sudah berbuat seperti ini! Bukan sama suami, tapi sama orang lain! Dasar perempuan jal*ng!" bentakku kalap saat melihat keadaan Nina yang demikian.Kurenggut kimono yang dikenakan perempuan itu hingga sobek di beberapa bagian.Nina berusaha mempertahankan dan menutup bagian atas tubuhnya yang terbuka dengan telapak tangan, tapi percuma sebab tangan itu pun kurenggut paksa."Percuma kamu tutupi! Aku sudah melihat semuanya, Nina! Kamu selingkuh, kan! Iya, kan!" bentakku lagi dengan kalap.Nina hanya mampu menatapku nanar."Apa kata kamu! Hentikan, Mas! Apa-apaan kamu!" dengkusnya keras."Kamu yang apa-apaan! Kenapa badan kamu merah-merah begini! Kamu habis ngapain! Jelaskan!" bentakku untuk ke sekian kalinya dengan nada penuh curiga dan emosi.Nina hendak membuka mulutnya, tapi urung saat Naura tiba-tiba tersentak bangun dari tidurnya lalu memekik ke
POV DONNY"Bu, memangnya Nina mau ke mana sih? Hari sudah sore, apa nanti nggak kemalaman di jalan?" tanyaku pada ibu mertua saat Nina sudah keluar dari rumah, menggunakan ojek online yang dipesan oleh istriku itu untuk pergi. Entah ke mana."Nina ke mana nggak perlu kamu tanyakan lagi, Don. Biar aja dia pergi. Doakan saja istrimu itu selamat! Yang penting nanti pulang bawa uang. Kamu nggak bisa ngasih istri dan anakmu makan lagi, jadi nggak usah banyak tanya deh!" jawab ibu mertua dengan ketus sambil berlalu ke belakang."Kok ibu ngomong gitu? Sebelum SK pemecatan Donny keluar, Donny kan masih bisa dapat gaji, Bu. Lagi pula gajian kemarin semua uangnya sudah Donny kasih ke Nina, kok dibilang Donny udah nggak bisa ngasih makan Nina dan Naura lagi sih, Bu!" protesku sedikit keras pada beliau sambil membuntuti langkah ibu mertua ke belakang. Namun, beliau mengibaskan tangannya."Iya, bulan ini mungkin masih bisa makan. Tapi itu juga pas-pasan, karena sembako sekarang naik semua. Minyak
POV DONNY"Bu, maaf apa lowongan pekerjaan ini masih ada, Bu?" tanyaku pada ibu pemilik warung yang baru saja mengantarkan teh dingin yang kupesan.Ibu tersebut menganggukkan kepalanya."Masih. Siapa yang butuh pekerjaan? Tapi gajinya kecil ya, cuma lima ratus ribu sebulan. Kerjanya cuci piring sama ngantarin makanan ke meja tamu," sahut sang ibu dengan wajah datar."Lima ratus ribu, Bu? Kecil sekali ya," ucapku tanpa sadar. Membuat sang ibu pemilik warung makan mencebikkan bibirnya tak suka. Hari gini mencari pekerjaan memang susah. Sejak pandemi Corona melanda, hampir semua sektor usaha terdampak. Apalagi rumah makan yang notabene jam operasinya dibatasi sebab pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat."Gajinya kecil? Namanya juga kerja di rumah makan, Mas. Kalau mau gaji besar, situ ngelamar aja jadi menteri apa presiden sekalian. Ya, sudah. Nanti es tehnya nggak usah dibayar! Hitung-hitung saya sedekah sama sampean. Pengangguran aja sok minta digaji besar. Belum tentu juga saya
POV DONNY"Gimana, Don? Sukses usahanya?" tanya Ilham saat aku mampir ke rumah sohibku itu sepulang dari kantor Bu**ti.Aku menggelengkan kepala dengan wajah masam."Gagal, Ham. Pak Bu**ti malah marah-marah. Aku diusir dari ruangan dan malah Pak Ferdy disuruh naikkan berkas pemecatanku secepatnya, supaya bisa diteken segera," sahutku perih sambil menjatuhkan tubuh ke sofa dengan gerakan lunglai.Mendengar jawabanku, Ilham tampak terkejut dan tak percaya."Ya, Tuhan. Kok bisa sih, Don? Gimana ceritanya?" Ilham menatapku prihatin."Entahlah, Ham. Aku juga nggak nyangka. Pak Ferdy ternyata punya rekaman CCTV rumah makan waktu mereka makan bertiga kemarin, jadi gagallah usahaku untuk mempengaruhi Bu**ti supaya memecat Pak Ferdy dari jabatannya. Bukannya dipecat, malah aku yang disuruh secepatnya diberhentikan dari pekerjaan. Nasib!" keluhku penuh penyesalan."Hmm, ya sudahlah, Don. Mau gimana lagi, semua sudah terjadi. Sekarang lebih baik kamu fokus memikirkan masa depan kamu selanjutnya
POV DONNY"Jadi tidak benar kalau anda hanya makan berduaan saja dengan Bu Nisa, Pak Ferdy?" tanya Pak Bu**ti sambil menatap wajah Pak Ferdy.Pak Ferdy menggelengkan kepalanya lalu kembali membuka mulutnya."Rekaman CCTV rumah makan itu buktinya, Pak. Selain itu saya juga masih menyimpan bukti chat pertama kali saya dengan Bu Nisa. Bapak bisa baca ini, tanggalnya tidak lama kemarin" ujar Pak Ferdy lagi sambil menyodorkan ponselnya ke hadapan pimpinan kami itu.Pak Bu**ti membaca pesan whatsapp lelaki itu dengan istriku lalu tiba-tiba mengernyit heran."Tapi di sini Bapak memang mengajak makan siang Bu Nisa. Maksudnya apa?" Beliau bertanya kaget.Aku pun ikut kaget. Benarkah Pak Ferdy memang mengajak makan siang Nisa? Kalau begitu, berarti tak salah dugaanku, Pak Ferdy memang ada hati dengan istriku itu. Dan ini tidak bisa dibiarkan begitu saja!"Saya mengajak makan siang Bu Nisa sebagai ucapan terima kasih, Pak. Tidak ada maksud lain. Saya memang merasa berterima kasih pada Bu Nisa ka
POV DONNY"Pak Ferdy, ke ruangan saya sebentar bisa, Pak? Ada hal yang mau saya bicarakan," ucap laki-laki berpenampilan berwibawa di depanku sesaat setelah ia memencet tombol di layar ponselnya, kelihatannya sedang menghubungi seseorang.Siapakah yang beliau hubungi itu? Pak Ferdy? Tak apa, aku siap menghadapi laki-laki pecundang itu saat ini juga! Biar dia tahu aku juga tidak bodoh dan mau begitu saja dipecundangi olehnya!"Baik, Pak!" terdengar sahutan di seberang yang tak urung sampai juga ke telingaku.Hmm, bagus! Dengan begitu aku akan bisa menunjukkan siapa diriku sebenarnya.di hadapannya!Beberapa saat kemudian, pintu ruangan ini pun diketuk dari luar."Masuk," ucap Bapak Bu**ti dengan suara berwibawa.Ceklek!Pintu pun dibuka dan dari luar. Sesosok tubuh laki-laki yang beberapa hari ini sebenarnya telah membuatku merasa insecure saat berdiri di sampingnya muncul di sana.Pakaiannya rapi dan terlihat mahal. Jam yang melingkar di pergelangan tangannya yang kekar juga kelihata