“Via, lihat ini!” Sumi menunjukkan isi dompet itu pada Suvia. Jiwa kerdilnya meronta, tangannya pun sampai gemetar.
“Astagaa, Sum! Ayo kita lapor ke kedi master!” tukas Suvia yang tak kalah gemetar. Keduanya saling melempar pandang, lalu setengah berlari bersamaan menuju kantor kedi master untuk melaporkan penemuan mereka. Sementara itu, seorang lelaki bertubuh sedang berjalan cepat menyusuri jalanan yang tadi dilewatinya. Mata sipitnya mengedarkan pandang ke seluruh laluan, akan tetapi benda yang dicarinya tak ditemukan. “Yamada san, cari apa?” kedi yang mengikutinya bertanya sambil terengah-engah. Orang Jepang itu meskipun tak tinggi, tetapi langkahnya mengayun cepat sehingga dirinya yang mendorong bag yang berisi stick golf milik lelaki itu cukup kewalahan mengikutinya. “Pocket kecil saya hilang!” tukasnya. Mata sipitnya tetap mengedarkan pandang. Namun sepanjang jalan yang dilewatinya memang tak ada lagi ditemukan benda yang dicarinya. Setelah memastikan tak ditemukan, lelaki berbadan sedang itu kembali berjalan cepat menuju timnya yang sedang beristirahat di sebuah teehouse. Ada tiga rekan bisnisnya yang lain yang tengah menunggu sambil mengantri untuk teeoff di hole berikutnya. ***“Kamu gak ngambil isinya ‘kan?” Kedi master bernama Stevani itu menatap penuh intimidasi.
“Enggak, Mbak! Kalau kami mau ambil, mending gak usah dikasih ke sini!” tukas Suvia. Dia menatap sebal pada perempuan dengan warna bibir merah menyala itu. Dia menyambar dompet itu dari tangan Suvia, lalu melengos pergi. Sumiati dan Suvia saling melempar pandang lalu bergegas meninggalkan tempat itu. Di area lapang golf mereka berapapasan dengan Hiraka Yamada yang tengah berjalan menuju ruang kedi master. Namun hanya anggukan dan senyuman samar sebagai tanda sapaan pada lelaki berusia sekitar tiga puluh lima tahun itu. Meskipun sudah tiga puluh lima tahun, tetapi wajah Hiraka Yamada tak terlihat tua, masih seperti kisaran usia dua puluh lima tahunan. Sumiati dan Suvia langsung kembali ke kelas. Setelah ini, mereka akan belajar lagi tentang green dan teknik-tekniknya, termasuk membaca arah rumput, arah angina dan kemiringan lapangan yang nantinya akan berfungsi ketika mereka memandu pemain, jika lolos training. Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore usai pelatihan dan mencoba sendiri memukul bola golf di green. Sekali lagi mereka di test tentang warna bendera juga. Karena dalam permainan golf di lapangan yang rumputnya halus seperti karpet itu ada lubang untuk masuknya bola yang ditandai oleh bendera. Nah hari ini, mereka diajarkan detail dan langsung praktek juga. Lapangan yang awalnya ramai beranjak sepi, meskipun masih ada sisa pemain yang tampak di beberapa hole atau lapangan karena mereka teeoff atau mulai bermain siang, jadi belum selesai menyelesaikan sisanya. Karena memang Sumi tak memiliki kendaraan, dia akan ikut dengan jemputan hingga ke jalan raya. Lalu nanti di sana akan naik angkutan sampai perempatan dan sisanya mencari ojek hingga bisa sampai ke rumahnya. Namun baru saja dia hendak naik ke jemputan, sebuah sepeda motor melaju cepat dan menghalanginya. Senyum tengil itu terlempar padanya. Kedua alis tebal Zaki digerak-gerakkan ke atas seraya senyuman yang dimanis-maniskan terlempar padanya. “Ayo, pulang!” tukas Zaki.“Hah? Kok kamu di sini, Zak? Ngapain?” Sumiati menatap heran pada Zaki. “Habis main golf lah, masa main kelereng!” jawabnya asal.“Serius!” Kedua bola mata Sumi membulat. “Duh lagi-lagi dah pengen diseriusin! Sudah kubilang belum siap akad!” tukasnya sambil terkekeh. Dia menyodorkan satu helm pada Sumi yang masih mematung di dekat sepeda motornya. “Astaghfirulloh!” Sumi mengusap wajah.“Aku jemput kamu, Sum! Gak ngerti banget, sih! Kode ini, tuh! Kode!” tukas Zaki.
Sumi belum sempat lagi menjawab ketika dari arah potter atau tempat keluarnya para pemain, Stevani---kedi master yang tadi ditemuinya di ruangan memanggilnya. Sumi menoleh dan mendekat, sedangkan Zaki menunggu di tempat jemputan. Setengah berlari Sumi mendekat menghampiri Stevani yang memandangnya sebal, di sampingnya ada seorang lelaki berwajah manis---Hiraka Yamada tengah berdiri juga. “Sumi! Kamu ‘kan yang tadi siang nemuin dompet Yamada san!” bentak Stevani dengan wajah judesnya.“Iy—iya, Mbak! Kan sudah saya kembalikan!” tukas Sumiati sambil menatap sekilas pada kedua mata yang tampak berwarna merah itu.“Kamu ambil berapa lembar uangnya Yamada san, hah? Dia bilang totalnya semua uang itu ada dua tiga juta, tapi tadi tinggal dua juta! Pasti kamu sama temen kamu ‘kan yang ngambil?” tuduhnya. Wajah Sumiati mendadak pucat. Dia menelan saliva karena takut dan gugupnya. Bagaimana bisa, uang itu hilang? Bahkan dia dan Suvia langsung mengantarnya ke dalam ruangan kedi master. “Enggak, Mbak! Saya gak ada ngambil! Tadi Suvia dan juga lihat sendiri, kok! Kita langsung kasihin ke ruangan kedi master.” Sumi berucap dengan gugup. Tak terbayang olehnya mendapat uang sebanyak itu dari mana kalau harus mengganti. “Yamada san, mohon maaf. Dia kedi training dan masih baru, saya akan segera pecat dia! Di golf club kami mengutamakan asas kejujuran, kalau baru masuk sudah gak jujur pastinya kami akan tindak!” Stevani langsung menyimpulkan sendiri. Dia abaikan pembelaan Sumi yang menatapnya dengan gemetar. Zaki yang berdiri agak jauh, berjalan mendekat. Meskipun tak mendengar apa yang dibicarakan mereka, tetapi melihat ekspresi Sumi, sepertinya dia sedang ada masalah. “Ada apa, Sum? Ada masalah?” Zaki menepuk bahu Sumi yang masih menunduk. Namun yang menjawab adalah Stevani.“Pacar kamu itu menemukan dompet Yamada-san, tetapi uangnya dia ambil sebagian! Karena itu, pacar kamu saya pecat! Besok gak usah lagi masuk kerja!” tukas Stevani penuh penekanan.“Maaf, Mbak! Apa ada bukti kalau Sumi mengambil uangnya?” Zaki menatap Stevani. Tak ada rasa takut sedikitpun karena Zaki hapal siapa Sumi, tak mungkin mengambil uang yang bukan haknya.
“Kalau bukan dia siapa lagi, kamu orang luar gak usah ikut campur! Didik saja pacar kamu ini, cepetan bawa pulang!” tukasnya judes. Dia lalu menoleh pada orang Jepang yang sejak tadi memperhatikan mimic wajah Sumi yang tampak sedih. “Mr, saya sarankan, Anda silakan check dulu CCTV, apa benar pacar saya yang ambil uangnya atau bukan? Saya kenal dia belasan tahun, tak mungkin dia melakukannya! Mbak yang terhormat, setahu saya pemecatan itu ada prosedurnya dan ada pengetahuan dari HRD! Apa bisa saya ketemu dengan HRD nya dulu sebelum pacar saya dinyatakan dipecat!” Zaki yang biasanya selengehan tampak serius dan dewasa. “Ah, arrigato, ne! Saya pun ada pikir minta check CCTV! Tapi tadi Stevani san bicara mau check dulu dengan Sumi-san! Tak apa, saya tanya-tanya saja, oke oke! Permisi, saya check CCTV dulu!” tukasnya sambil tersenyum lalu menepuk pundak Stevani dua kali dan mengangguk sopan pada Sumi dan Zaki. Yamada beranjak menuju ruangan kantor hendak meminta dicheck pada CCTV. Stevani yang mendengar pernyataan itu memucat seketika. Dia bergegas lari mengejar Yamada san dan melupakan pemecatannya pada Sumi. “Makasih, ya, Zak!” Sumi menoleh pada Zaki.“Ma-kasih doang?” Zaki kembali memainkan alisnya.“Lalu?” Sumi mengerutkan dahi. “Engga ma-cinta sekalian?” kekehnya yang spontan mendapat pukulan pelan pada bahunya dari Sumi.Sumi meminta turun di dekat warung yang agak jauh dari rumahnya. Dia tak ingin Bapak melihat Zaki. Sumi khawatir kalau Bapak akan berbuat hal yang menyakitkan hati. Waktu sudah hampir maghrib ketika mereka tiba. Sumi menyodorkan helm yang dipakainya, Zaki menerimanya. Tatapan matanya begitu tajam dari balik helm, seolah menyiratkan sesuatu yang tak mampu dia ungkapkan.“Makasih, ya, Zak! Besok aku naik ojek saja! Kamu gak usah jemput!” tukas Sumi. Tak enak harus selalu merepotkan Zaki. “Hmmm! Lihat besok, deh! ” Hanya itu yang terdengar. Lelaki itu pergi dengan menderukan sepeda motornya. Sumi berjalan menuju rumah. Dia mampir sebentar membeli kerupuk untuk tambahan lauk makan, biasanya gak ada apa-apa. Uang belanja Ibu pun, sebagian sudah diberikan padanya untuk naik ojek dan bekal tiap hari.Ya, mau gimana lagi, namanya juga baru masuk kerja dan belum mendapatkan gaji. Sementara itu, di sana tak dikasih makan, semua harus beli. Hanya air minum saja yang gratis. Untuk pulang pergi
Sumiati melangkah tergesa ke ruangan kedi master. Dia mengambil seragam seperti yang diperintahkan oleh Stevani. Akhir-akhir ini Sumi baru tahu, jika Stevani pun rupanya kedi master baru. Sementara itu, kedi master senior yaitu Maharani sedang cuti melahirkan. Stevani menatap punggung Sumi yang baru saja mengambil perlengkapan untuk turun ke lapangan memandu pemain. Hatinya cukup kesal, ketika kemarin Sumi melawan. Beruntung dia bisa mengelak ketika dalam CCTV itu tak ditemukan bukti jika Sumi dan Suviah mengambil uang, beruntung juga ruangan kedi master CCTV nya rusak, jadi dia bisa mengelak. Seorang cleaning service yang akhirnya jadi korban pemecatan. Uang satu juta yang diambilnya, dia tuduhkan pada cleaning service yang kebetulan masuk ke ruangan kedi master untuk bersih-bersih. Awalnya dia mengumpankan Sumi dan Suviah karena melihat wajah lugu mereka. Stevani pikir dia bisa memperdaya dan mengkambinghitamkan kedua gadis itu, seperti yang biasanya dia lakukan pada anak-anak bar
Sumi mulai melangkah mengikuti langkah pemainnya dengan susah payah. Medan lapangan yang turun naik, kadang tanahnya tak rata membuat tangannya benar-benar harus mengimbangi troli yang mendorong bag golf yang dibawanya. Keringat sudah bercucuran, sinar matahari pagi memeluknya dengan senyuman. Mereka hampir tiba pada green---lapang yang berbentuk hampir bulat itu dengan rumput yang tampak bak permadani, sangat rapi dan lembut. Berbeda dengan rumput yang mereka pijak sekarang yang hanya rapi karena di pangkas, tetapi tak sehalus rumput green. “Kokki, mae des! Angin lawan, ya!” Sumi mendengar Tina menjelaskan pada pemainnya. Dia tampak mengambil pucuk rerumputan lalu melemparnya ke udara menunjukkan ke arah mana angin bergerak. Orang jepang yang dibawa Tina tampak berpikir dan menatap stick golfnya, lalu dia mengambil salah satu lalu memukul bolanya dengan stick. Benar, bola golf itu mendarat di green dan sangat dekat dengan lubang. Ya, dia ingat jika bendera yang tiangnya menutup lu
Zaki menepi menuju penjual sate di pinggir jalan sana. Sumi memilih penjual yang membuat satenya dicampur dengan kulit dan usus sehingga harganya pun sedikit lebih murah. Sumi membeli dua puluh lima ribu. Lalu dia pun pergi untuk membelikan Bapak rokok sambil menunggu yang bakar sate selesai. Setelah itu, keduanya kembali mengendarai sepeda motor hingga tiba di tempat biasa. “Makasih, Zak! Gak pake ma-cinta!” ucap Sumi seraya turun. Zaki tersenyum geli, gombalan dan candaannya sudah ketebak lagi sama Sumi.“Yah, gak seru! Lain kali, aku cari yang baru, deh!” kekehnya.Sumi mengeluarkan satu lembar seratus ribuan yang sudah dipisahkannya untuk mengganti uang bensin Zaki karena mengantar jempunya. Namun hatinya ragu, takut-takut Zaki tak mau menerimanya. “Zak! Terima, ya!” tukas Sumi sambil menyodorkan tangannya yang mengepal. “Eh, kamu nembak aku, Sum?” Zaki menatap Sumi sambil mengedip-ngedipkan mata. Ucapan Zaki sontak membuat Sumi menarik napas kesal. Lalu dia masukkan saja uang
“Ya Allah, kenapa sateku ada di sini? Siapa yang sudah begitu tega membuangnya?” umpat Sumi dalam dada. Namun, dia hanya mampu menelan saliva melihat sate-sate yang sudah berserak di tanah dan bercampur debu itu. Hanya sesak dan mengurut dada. Hendak marah pun percuma. Jika pelakunya Intan ataupun Bapak, mereka mana mau mengaku. Yang ada bukan kata maaf yang di dapat, hanya sesuatu yang menyakitkan biasanya.Sumi menghela napas, dia menatap nasi putih yang terhidang. Hanya ada ikan asin dan garam di sana. Sambal pun sudah habis sepertinya. Adapun makanan yang dibawa calonnya Intan, pastinya tak boleh disentuh oleh Bapak. Akhirnya uang dua puluh lima ribunya sia-sia, sate itu hanya dimakan kucing. Jauh bayangan dengan kenyataan. Berharap mendapati senyuman Ibu, Bapak dan Asril karena dia membawa makanan enak, tetapi rupanya sia-sia saja. Sumi kembali ke kamar. Tak menghiraukan gelak tawa yang ada di ruang tengah. Bapak tampak begitu senang melihat Intan kembali ceria atau mungkin hany
[Selamat siang, Sumi chan! Saya cari WA Sumi chan tapi tak ada. Bisakah ketemu di alamat ini! Yamada.] Sumi menatap sederet kalimat dari Yamada. Baru beberapa kali mereka bertemu, tetapi sudah mengajaknya ketemuan. Ada apa kira-kira? Sumi hanya takut jika Yamada seperti beberapa jepang nakal yang menganggap gadis sepertinya murahan. [Selamat siang! Mohon maaf, saya ada acara. Lain kali saja, ya!] balas Sumi. Dia lebih memilih mencari aman. Selama ini, Yamada memang baik, akan tetapi tak ada yang tahu apa dibalik otak lelaki bermata sipit itu.Sumi melanjutkan mengetik pesan untuk Zaki. Untuk masih ada sisa pulsa. [Assalamuálaikum, Zak! Maaf, ya kalau aku ngasihnya belum bisa setimpal sama biaya bensin yang sudah kamu keluarin! Aku baru ada uang segini soalnya! Aku harap kamu terima, ya! Aku gak enak kalau kayak gini jadinya!] [Bensin aku masih banyak. Jangan khawatir. Traktir yang lain saja!] pesan balasan dengan cepat diterimanya. [Traktir apa? Jangan yang mahal-mahal, ya! Aku k
“Kemarin saya ajak Sumi chan, tapi tak datang! Nanti WA saya kalau sudah bisa pakainya, ya! Saya tak tahu Sumi chan suka warna apa!” “Buat saya?”Sumi menerima benda yang dibungkus dalam plastik itu. Dari dusnya pun sudah jelas isinya apa. Di situ bertuliskan sebuah merek ponsel android.“Iya, sayanya susah kalau mau chat Sumi chan! Mungkin nantinya mau datang kalau adik Sumi chan menikah! Apa boleh?” tukas Yamada. Sontak kedua mata berbulu lentik Sumi membulat. Apa dia tak salah dengar? Yamada mau datang ke nikahan adiknya?Akhirnya Sumi hanya mengiyakan, toh paling juga si jepang itu pun tak bisa datang. Yamada mengangguk dan tersenyum, pemilik perusahaan automotive Yamada motor itu berpamitan dan melambaikan tangan pada Sumi. Mereka berpisah, Sumi mengantar bag ke potter lalu istirahat sejenak. Dilepasnya topi kedi yang lebar itu, lalu dia menggulung rambutnya ke atas dan diikat asal. Sumi menghampiri Suvia yang baru saja datang setelah selesai jaga oob di lapangan lili. Suvia mas
“Sumi chan!” Langkah Sumi dan Zaki terhenti. Keduanya menoleh ke asal suara. Seorang lelaki bermata sipit dengan kemeja batik yang pastinya branded tengah berdiri. Dia mengulas senyum pada Sumi. Bapak yang tadi menjemputnya menatap heran pada lelaki berwajah asing itu. Kenapa bisa lelaki itu mengenali Sumi? Atau mungkin salah orang.“Tuan, pengantinnya di sana! Tuan pasti bosnya bagus ‘kan? Ini memang anak saya, tapi bukan dia pengantinnya!” tukas Bapak sambil membungkuk-bungkuk sopan di depan Yamada. Dia sudah membayangkan berapa besar amplop yang akan disumbangkan oleh lelaki yang dia kira adalah bos dari Bagus. Yamada hanya menoleh, lalu beralih fokus lagi pada Sumi. Sumi mendekat lalu membungkuk sambil mengangguk. “Terima kasih sudah datang, Yamada san!” tukas Sumi. Bapak mendelik pada Sumi. Dia merasa anak perempuannya itu sok kenal dengan ikut-ikutan menyapa. Dan gak sopan karena menyebut nama.“Hush, kamu jauh-jauh sana! Jangan malu-maluin Bapak. Bosnya si Bagus biar Bapak
Acara berjalan lancar, menyisakkan lelah setelah semua tamu meninggalkan tempat acara. Para tetangga masih sibuk membantu mencuci piring dan membereskan sisa-sisa yang berantakan di dapur rumah Zaki. Sementara itu, para orang tua sebagian ada yang sudah terkapar karena lelah, ada juga yang masih mengobrol di halaman rumah ditemani angin malam yang menusuk kulit. Tenda masih berdiri, besok baru dibongkar oleh orang yang menyewakannya. Begitu pun pelaminan hanya menyisakkan bunga-bunga yang sebagiannya tampak sudah layu juga. Kamar tidur pengantin sudah dihias indah dengan seprai dan kelambu yang indah, tetapi justru membuat kedua pengantin bingung mau tidur di mana. Semua itu hanya barang yang disewa dan dipakai untuk mengabadikan momen pernikahan mereka. Mungkin berbeda dengan pernikahan para selebritis yang memang kamarnya dihias di hotel megah dan boleh digunakan semaunya. Kalau di kampung beda, pernikahan rakyat biasa seperti keluarga Zaki, untuk tidur malam pun susah. Para kerabat
“Sekarangnya saya sudah sembuh! Pergi hospitals saja buat periksa! Hmmm … tapi sayanya mau tanya Umi chan.” Yamada tersenyum, tetapi secepat kilat raut wajahnya tampak mendung. “Tanya apa, ya?” Sumi menoleh padanya.“Zaki san itu siapa, ya? Matanya saya lihat, ada cinta kalau lihat Umi chan, ya?” tanya Yamada menatap sang istri. Sumi terkekeh mendengar pertanyaan Yamada. Dia yang tengah menyetir menoleh pada lelaki bermata sipit yang tengah memasang wajah cemburu itu. “Abi san sok tahu. Mungkin Abi san lihat mata Zaki ketika dia habis tatap Suvia. Kan Suvia itu calon istrinya Zaki. Saya dan Zaki hanya teman sekolah saja, tak ada lah dia cinta saya! Kalau ada mungkin sayanya tak menikah dengan Abi san,” ucap Sumi seraya menggelengkan kepala. Dia memang tak pernah berpikir jika ada perasaan di hati Zaki terselip untuknya, meski dulu kadang rindu dan pernah merasa kehilangan, tapi Sumi sendiri tak bisa mengartikan jika itu cinta. Yamada ikut tertawa senang. Bukan karena dia percaya p
Usai menerima panggilan dari rumah sakit, Zaki bergegas ke kamar di mana Suvia, Sumi, Intan dan Ibu berada di sana. Tampak olehnya Sumi baru saja siuman. Lagi-lagi wajahnya tampak begitu mendung. “Sum, maaf … tadi waktu kamu pingsan, ada telepon dari rumah sakit katanya sudah ada kabar tentang Mr. Hiraka,” tukas Zaki. Kalimat yang dilontarkan dengan santai itu sontak menarik perhiatian keempat perempuan itu. “Lalu kondisinya gimana, Zak?” Sumi tampak terkejut, ada raut senang tapi takut terpancar dari sorot matanya yang lemah. “Tadi keburu keputus. Aku telepon balik tapi nomornya sibuk. Mungkin better kita ke sana saja!” jelas Zaki.“Oh ya sudah, ayo kita pergi!” tukas Sumi seraya beringsut turun. Lalu berjalan lemah kea rah key box di mana kunci mobil miliknya berada. “Arsil dan Adzkia tengah pada tidur tapi, Teh! Gimana?” Intan menatap bimbang pada perempuan dengan wajah pucat itu yang tampak berusaha menguatkan diri. “Kamu di rumah saja, Dek! Jagain Asril sama Adzkia. Biar Te
Zaki menatap sepeda motor yang penuh kenang itu. Dia mengelus boncengan yang biasa Sumi duduki dulu. Tak berlama-lama menelan nostalgia. Zaki mendorong sepeda motornya keluar dari bagasi. “Kamu tahu alamatnya, Vi?” Zaki menatap wajah Suvia yang tengah menunggunya di halaman rumah. “Sumi sudah share lok, kok!” tukas Suvia seraya menunjukkan layar gawainya. Zaki mengangguk. Sikapnya mendadak cool seperti musim dingin. Hatinya berdentum-dentum tak karuan, tetapi yang jelas dia ingin dirinya ada ketika orang yang masih dicintainya dalam diam itu kesusahan. Sepeda motor yang ditumpangi keduanya berjalan menembus gelap malam. Menyusuri jalanan kampung yang mulai lengang hingga akhirnya berbaur dengan jalan ramai. Meliuk berbelok memecah sunyi dalam dada. Tak ada obrolan tercipta, masing-masing sibuk dengan pikirannya. Hingga akhirnya google maps mengarahkan mereka pada gerbang sebuah cluster elit. Setelah menyimpan KTP sebagai jaminan, barulah sepeda motor Zaki diperbolehkan masuk. Suv
Suara pramugari yang menginformasikan jika pesawat akan lepas landas terdengar. Zaki menepuk bahu Arifin yang masih lelap sejak mulai penerbangan tadi. Meskipun penerbangan tadi sempat delay akhirnya mereka tiba dengan selamat. “Pin, sudah sampe. Lu mau turun gak?” Arifin mengerjap, lalu menegakkan duduknya. Dia masih menguap berkali-kali. “Cepet banget, ya, Zak?” “Iyalah, lu molor aja sepanjang jalan! Kalau ibarat kata, ruh lu udah sampe duluan ke Indonesia!” gerutu Zaki. Arifin yang sedikit gemulai tertawa seraya menutup mulut menggunakan tangannya. “Lu bisa aja, Zak!” satu tangan lainnya menepuk Zaki dengan manja. “Lu kapan sih jadi lakinya, masih kemayu aja! Gak inget mau dijemput calon bini!” tukas Zaki seraya menepis tangan Arifin yang masih menempel di pundaknya. Ya, selain Zaki, Afirin pun sama sudah dijodohkan oleh orang tuanya. “Ya, biar saja dia lihat gue yang kayak gini! Kalau emang jodoh ya pasti dia nerima-nerima aja, kok! Lagian kalau gue pura-pura macho demi di
Acara wisuda berjalan lancar. Gelar sarjana hadir sebagai penyempurna impian Sumi. Haru biru tak terelakkan.Ibu menangis dengan isak tertahan ketika menatap sosok mungil dan cantik itu tampak tinggi dengan menggunakan sepatu berhak tujuh senti. Kebayanya yang anggun tertutup oleh pakaian wisuda yang berwarna gelap dan longgar. Toga tersemat di kepalanya bersama sebuah senyuman yang tersungging ketika jepretan kamera mengabadikan pengesahan statusnya. “Selamat kepana Sumiati, Sarjana Manajeman. Telah lulus dengan predikat cumlaude.” Terdengar dari pengeras suara. Gema yang membuat sudut mata Sumi basah dan menghangat. Kini dua kata baru tersemat diujung nama polosnya---Sumiati, S.M. Kakinya mengayun pasti turun dari podium menuju tempat duduknya kembali. Di mana di sana ada Ibu dan Yamada yang tengah menunggunya. “Congrats, Umi Chan!” Yamada berdiri dan merenggangkan tangannya. Meskipun malu karena di tengah keramaian. Sumi tetap menjatuhkan kepala pada pelukan Yamada yang kini men
Bau menyengat yang tercium dari rumah yang lengang itu akhirnya menarik perhatian. Tiga hari sudah Pak Yanto melepaskan ruh dari raganya tanpa ada seorang pun yang mendampinginya, tanpa ada yang membimbingnya bersahadat dan belum sempat dirinya memperbaiki diri sama sekali. Dia berpulang dengan hati gelap, dengan keadaan yang mengenaskan. Kebetulan satu orang tetangga yang ditugaskan Pak RT untuk memperhatikan kondisi Pak Yanto, anaknya sakit. Sementara itu, dia memang tak menjalin hubungan baik dengan para tetangga, karenanya tak banyak orang yang simpatik dan peduli padanya. Kehidupan masyarakat sekitar pun sedikit banyak sudah terkontaminasi oleh kemajuan gaya hidup modern menjadi lebih individualis. Perkembangan kawasan industri dan para pendatang yang datang menyerbu membuat penghuni kampung itu sudah heterogen. Sikap gotong royong seperti dulu bahkan sudah hampir punah, semua kini dinilai dengan uang. Bahkan sikap peduli mereka pun sudah mulai terkikis. Begitulah kondisi keada
Kemarahan Rudi hanya dianggap angin lalu. Bagaimanapun lelaki itu sudah tak lagi memiliki kekuatan. Walaupun misalnya dia nekat menculik Adzkia dari Intan, tetapi Nita sudah pasti tak akan mau menerimanya. Istri pertamanya itu bukan orang jahat. Dia hanya seorang perempuan yang sudah bertahun-tahun merindukan seorang bayi yang hadir dalam rahimnya. Nita yang kini sudah patah, sudah membiarkan rasa kasihnya pada sang suami menguap begitu saja. Apalagi tahu jika kesetiaan yang Rudi agungkan di depannya hanyalah kamuflase belaka. Suaminya itu bahkan menikah diam-diam dan bersenang-senang di belakangnya. Sumi mengajak semua rekannya untuk meninggalkan kediaman Rudi setelah memberikan somasi pada Rudi. Sumi menekankan jika ada hal buruk terjadi dengan Intan atau Adzkia maka orang pertama yang akan dicarinya adalah Rudi. Begitupun dari KPAI dan Komnasham juga memberikan pengarahan dan pengertian pada Rudi tentang batasan-batasan dan hak asasi seseorang. Rudi tertunduk seraya meremas rambu
“Kalau gitu, mereka siapa?” Nita menatap perempuan anggun berkerudung lebar bersama lima orang teman lainnya, ada satu lelaki di antaranya. Rudi menautkan alis, mencoba memindai wajah mereka satu demi satu. Namun dirinya seakan hendak melonjak ketika akhirnya mengenali wajah manis Sumi yang melenggang menghampirinya. “I--itu ‘kan kakaknya Intan!” Rudi menggumam dalam dada. Dia masih belum menjawab pertanyaan Nita karena tiba-tiba hatinya dag dig dug tak karuan. “Ayah, mereka siapa?” Nita mengulang pertanyaan. Tampak seorang panitia yang ditunjuk mempersilakan para tamu yang baru datang untuk ikut duduk dan mengikuti kajian yang sebentar lagi usai. “Ahm, sepertinya … mereka itu … hmmm ….” Rudi menggumam tak jelas. Dia pun bingung mau mengatakan apa.“Yah?!” Nita yang sudah kelewat penasaran menepuk punggung tangan Rudi. “Ahm, itu kenalannya Yogi dulu. Mungkin Yogi yang mengundang mereka.” Rudi menjelaskan secara spontan. Meskipun masih diliputi rasa penasaran, tetapi Nita mencoba