“Kemarin saya ajak Sumi chan, tapi tak datang! Nanti WA saya kalau sudah bisa pakainya, ya! Saya tak tahu Sumi chan suka warna apa!” “Buat saya?”Sumi menerima benda yang dibungkus dalam plastik itu. Dari dusnya pun sudah jelas isinya apa. Di situ bertuliskan sebuah merek ponsel android.“Iya, sayanya susah kalau mau chat Sumi chan! Mungkin nantinya mau datang kalau adik Sumi chan menikah! Apa boleh?” tukas Yamada. Sontak kedua mata berbulu lentik Sumi membulat. Apa dia tak salah dengar? Yamada mau datang ke nikahan adiknya?Akhirnya Sumi hanya mengiyakan, toh paling juga si jepang itu pun tak bisa datang. Yamada mengangguk dan tersenyum, pemilik perusahaan automotive Yamada motor itu berpamitan dan melambaikan tangan pada Sumi. Mereka berpisah, Sumi mengantar bag ke potter lalu istirahat sejenak. Dilepasnya topi kedi yang lebar itu, lalu dia menggulung rambutnya ke atas dan diikat asal. Sumi menghampiri Suvia yang baru saja datang setelah selesai jaga oob di lapangan lili. Suvia mas
“Sumi chan!” Langkah Sumi dan Zaki terhenti. Keduanya menoleh ke asal suara. Seorang lelaki bermata sipit dengan kemeja batik yang pastinya branded tengah berdiri. Dia mengulas senyum pada Sumi. Bapak yang tadi menjemputnya menatap heran pada lelaki berwajah asing itu. Kenapa bisa lelaki itu mengenali Sumi? Atau mungkin salah orang.“Tuan, pengantinnya di sana! Tuan pasti bosnya bagus ‘kan? Ini memang anak saya, tapi bukan dia pengantinnya!” tukas Bapak sambil membungkuk-bungkuk sopan di depan Yamada. Dia sudah membayangkan berapa besar amplop yang akan disumbangkan oleh lelaki yang dia kira adalah bos dari Bagus. Yamada hanya menoleh, lalu beralih fokus lagi pada Sumi. Sumi mendekat lalu membungkuk sambil mengangguk. “Terima kasih sudah datang, Yamada san!” tukas Sumi. Bapak mendelik pada Sumi. Dia merasa anak perempuannya itu sok kenal dengan ikut-ikutan menyapa. Dan gak sopan karena menyebut nama.“Hush, kamu jauh-jauh sana! Jangan malu-maluin Bapak. Bosnya si Bagus biar Bapak
Sumi mencoba abai pada tatapan tidak menyenangkan yang Intan berikan padanya. Bukankah sekarang Intan pun sudah punya Suami? Kenapa masih harus membencinya karena Ardi? Sumi terus melanjutkan langkah dan bergegas ganti pakaian. Meskipun gerimis yang mengenainya tak cukup banyak, akan tetapi cukup membuat badannya terasa lengket. Bagaimanapun seharian sudah berada di gedung acara tersebut dan berkeringat. Sumi bergegas mandi, tetapi dia bertemu dengan Bagus yang baru keluar kamar mandi. Laki-laki itu hanya mengenakan kolor saja tanpa pakaian, membuat Sumi memalingkan wajah karena merasa tak nyaman. “Teh, baru pulang?” tanyanya. Dia malah sengaja berlama-lama mengeringkan rambutnya dengan handuk. “Iya,” tukas Sumi sambil bergegas ke kamar mandi. Sumi mengguyur tubuhnya dan membersihkan sisa-sisa make up yang terasa lengket di wajahnya. Sengaja mandi berlama-lama, berharap Bagus sudah tak ada di dapur ketika dia selesai nanti. Toh, di depan masih banyak keluarganya. Rasanya benar-ben
Sepulang kerja, Sumi minta di antar Zaki cari kontrakan. Sumi sengaja memilih yang jauh dari tempat tinggalnya dan terlewati jemputan. Sudah lelah dengan semua drama Intan serta tingkah laku Bagus yang menyebalkan. Sumi ingin memulai hidup baru dengan lembaran yang berbeda. Sebelum mencari rumah kontrakan, mereka mampir sebentar di toko kue bolu. Sumi membeli tiga loyang. Dua untuk di rumah dan satunya untuk Zaki.“Banyak banget?” Zaki bertanya.“Iya, kan di rumah warganya banyak! Tapi ini satunya buat kamu!” tukas Sumi sambil menggantungkan plastik berisi kue bolu di depan motor Zaki.“Eh, gak usah! Aku gak suka makanan manis!” tukas Zaki sambil mengangkat satu alisnya.“Eh maaf, gak tahu! Kamu emang sukanya apa?” Sumi menatap serius.“Aku … sukanya … kamu!” tukasnya sambil tersenyum. “Mulai, deh!” Sumi memutar bola mata jengah. Satu pukulan ringan mendarat pada pundak lelaki itu. Lalu dia naik kembali ke atas sepeda motor Zaki yang hanya terkekeh melihat tingkahnya. Sifat usil dan
Semenjak mendengarkan ucapan Bapak tadi malam, Sumi kini lebih banyak diam. Pikirannya kembali bingung untuk menentukan arah. Sepanjang dalam perjalanan menuju tempat kerja, dia hanya sesekali menyahut akan celotehan Zaki. Pikirannya bercabang dan bertali. “Dah sampe!” Zaki menghentikan sepeda motornya ketika dia sudah tiba di titik jemputan.“Hah?” Sumi terperangah. Kepalanya sedikit condong ke depan untuk mendengar apa yang Zaki bicarakan. Namun helm mereka malah beradu. Lelaki beralis tebal itu terkekeh.“Dah sampe! Kamu mikirin apa, sih? Ngelamun, ya? Tenang saja, hati aku itu paten, lope-lopenya cuma buat kamu!” tukasnya seperti biasa, ringan, datar dan pasti seperti bercanda. Zaki pun menoleh ketika Sumi turun dari boncengannya. “Emh enggak!” Sumi masih tak hendak bercerita apapun pada Zaki. Kadang dia suka merasa sungkan dan tak enak ketika hendak bercerita tentang masalahnya pada orang lain. Sikap itu juga yang membuat Sumi seringkali terpentok masalah sendirian. “Kalau ad
“Doakan Sumi, Bu! Selama bersama ridho Ibu, di mana pun Sumi pasti akan baik-baik saja!” tukasnya. Keduanya saling berpelukan. Sumi bergegas naik ke sepeda motor Zaki yang tak berapa lama sudah ada di depan dan menunggunya. Diiringi tangisan Ibu dan tatapan Asril yang kebingungan, akhirnya Sumi meninggalkan rumah yang semakin dirasanya tak nyaman itu. “Ke mana?” Zaki membuka suara. Dia melihat dari spion jika wanita yang duduk di boncengannya berkali-kali nyeka mata. “Nyari kontrakan, Zak!” “Ehhh … dah malem, Sum!” “Iya, tahu!” “Lah terus?” “Makanya mau di anter kamu karena sudah malem! Kalau masih siang, aku bisa cari sendiri!” Hening, hanya deru sepeda motor Zaki yang mereka tumpangi terdengar. “Emang mau pindahan kapan? Penting banget kayaknya!” Zaki menoleh lagi pada spion. Dia menatap mata sembab itu yang tampak tengah berusaha menghalau kesedihan. “Sekarang!” “Hah?!” Zaki berseru kaget, lalu dia menepikan sepeda motornya. Mereka sudah memasuki jalanan yang ram
“Sumi chan, kalau saya mau jadi muslim apa bisa menikah dengan Sumi chan?” Sebuah pertanyaan yang membuat Sumi melongo tak percaya. Bahkan otaknya tak tahu harus menjawab apa. Kedua bola mata sipit itu menatap meminta jawaban. “Ya Tuhaaan? Apa dia nembak aku?” batin Sumi seraya menetralkan degub jantungnya yang bertalu lebih cepat. Yamada terkekeh melihat wajah Sumi yang tampak memucat. Dia mengusap pucuk kepala Sumi yang tertutup topi itu sambil berkata. “Boleh pikir-pikir dulu, ya! Sumi chan masih kecil, mungkin masih mau main! Sayanya sudah tua, ya! Sudah tiga puluh lima lebih sedikit!” tukas Yamada sambil tersenyum. Matanya menyipit seperti biasa. Sumi hanya mengangguk. Tak tahu juga harus menjawab apa sekarang. Lidahnya kelu. Hatinya jedag jedug tak menentu. Selama ini, baru pertama ini ada lelaki yang menanyakan dengan serius padanya. Bukan seperti Zaki yang selengehan dan bisa kapan saja mengucap pac
Sumi menatap sederet pesan itu. Hatinya mendadak diliputi rasa was-was. Bagaimana kalau Asril sakitnya parah. Sumi segera memakai sweater lalu mengirim pesan pada Zaki. [Zak, dah tidur belum?] Hanya checklist dua, masih berwarna hitam. Mungkin Zaki kacapekan dan sudah tidur. Tadi dia gak pakai jaket dan kehujanan. Sumi yang awalnya hendak mengetuk pintu kamar Zaki mengurungkan niatnya. Akhirnya Sumi merebahkan tubuh, tetapi pikirannya tetap teringat pada Asril. Sepuluh menit berlalu, Sumi masih tak bisa memejamkan mata. Dia teringat terus pada Asril dan khawatir yang sangat menjadi. Namun baru hendak dirinya memejamkan mata, pintu diketuk dari luar. Sumi beringsut, lalu membuka pintu. Tampak Zaki dengan mukanya yang tampak mengantuk berdiri di sana. “Kamu WA, ada apa? Masa sudah kangen aja, sih?” celotehnya. “Ih, sembarangan! Aku tadinya mau minta di anterin kamu ke rumah! Asril sakit katany