Pandanganku terhenti saat melihat perempuan sundal itu ada di sisi, Mas Ronald. Senyum mengejek dia sunggingkan, membuat amarah di dalam dada tersulut bara api seketika.
Haruskah aku menggundulkan rambut itu saat ini?Dia terlihat menantangku, aku rasa dia belum sepenuhnya mengenalku.Mempersembahkan senyum manis yang aku punya, berjalan dengan anggun melewati tiga manusia tanpa otak itu."Ada yang bisa saya bantu?" tanyaku sesaat setelah menghempaskan bokong di atas sofa. Pandanganku menelisik satu demi satu manusia yang ada didepanku.Oma ... biasa aku memanggil Ibu mertua, untuk membiasakan putriku memanggilnya. Wajahnya begitu tak nyaman dilihat, tatapan matanya begitu bengis seolah aku ini adalah madunya.Hening ....Tak ada yang berbicara, hanya deru nafas dan tatapan kebencian memenuhi ruangan ini."Jika tidak ada yang perlu dibicarakan, pintu keluar terbuka lebar disana." ucapku acuh, sambil meraih majalah yang ada diatas meja lalu membukanya."Lihat Ronald, istri sombongmu itu. Dia sangat tak beradab sekali dengan, Ibu." sungutnya sambil mencebik kearahku.Belakangan ini, aku dan mertua memang terlibat perang dingin. Apa yang aku berikan dia selalu tidak puas. Selalu angkuh dan meremehkanku, tidak sadar selama ini anaknya menjadi benalu di hidupku.Belum lagi jika ada acara dari keluarganya, mulutnya tidak henti menceritakan keburukanku. Selama ini, Mas Ronald yang selalu menguatkan jika Ibu melukai hatiku. Dan sekarang Mas Ronald pun ikut melukai hati ini. Lucu sekali, bukan? Mas Ronald masih tertunduk, dia tak berani untuk sekedar mengangkat wajahnya didepanku. Benar-benar pecundang!"Lalu, Oma mau apa?"Ibu mertua mendengkus kesal, kipas ditangannya dia kibaskan dengan cepat. "Ibu dengar kamu yang menyebabkan kepala, Ronald bocor?" tanyanya ketus."Lalu?" aku menyilang kaki. Meraih kacang almond diatas meja lalu memasukkan ke dalam mulut.Bibir tipis menor itu terangkat sebelah, melihat tingkah santaiku. "Jadi benar kamu pelakunya!!" Ibu mertua bicara dengan suara yang melengking menyakiti telinga."Bukan salah aku sepenuhnya," jawabku santai. "Tapi salah dia ..." telunjukku tepat menunjuk sundal di samping, Mas Ronald."Loh kenapa jadi salah aku?" sanggah sundal itu tidak terima.Ibu mertua menoleh kearahnya, sorotnya meminta penjelasan."Ibu ... dia datang ketoko tanpa permisi, lalu menarik rambut dan memukuliku. Tidak puas sampai disitu, dia bahkan menganiaya, Mas Ronald hingga babak belur seperti ini. Dia sangat brutal dan gila, Ibu ..." jelasnya dengan mimik serius, sesekali melirik sinis kearahku.Aku hanya diam sambil mengemil kacang almond, menyaksikan drama menyedihkan ini."Tidak bisa dibiarkan. Ini kekerasan namanya!" ucap Ibu berapi-api."Ibu tidak terima kamu perlakukan, Ronald segila ini. Ronald sampai mendapat lima belas jahitan dikepalanya, dia bahkan mengalami gegar otak akibat ulahmu!!" geram Ibu penuh amarah.Aku amati Mas Ronald yang terlihat sangat menyedikan. Kepalanya dipenuhi dengan perban, sudut bibirnya juga membiru akibat ulahku saat itu. Sungguh aku tidak menyangka bisa berbuat seperti itu. Mungkin karna kecewa dan amarah menguasai hati. Yang membuat aku bisa senekat itu."Pantas! Selama di rumah sakit, kau tidak menunjukkan batang hidungmu. Rupanya kau sendiri pelakunya!" lagi Ibu mertua mengoceh, membuat emosi yang teredam menyulut perlahan-lahan."Jawab! Jangan makan saja!" rutuk Ibu sambil bangkit dari duduknya, lalu meraih toples kaca berisi kacang almond.Ibu mertua melempar toples kaca dengan geram, hampir saja mengenai kaki ini jika aku tidak menghindar."Wanita mana yang tidak marah. Melihat suaminya bermain gila dengan perempuan lain!" sengitku dengan nafas yang mulai memburu."Mereka bercumbu mesra dihadapanku," sambungku sambil mengatur nafas. Jangan sampai aku kembali lepas kendali, bisa penuh darah nantinya rumah ini."Masih bagus aku tak membuat anak tak tahu dirimu itu mati ditempat!"Netra Ibu membesar, bola mata itu seperti keluar dari tempatnya mendengar teriakkanku."Mereka sudah menikah, apa salahnya jika Ronald bermesraan dengan, Sekar."Dengan cepat Ibu menutup mulutnya, terlonjak dengan ucapannya sendiri.***ofd.Jangan lupa subcribe akun Azzila07 dan ikuti semua bukunya. Kamu akan dapat notip saat aku update bagian cerita terbaru.Tinggalkan jejak, agar aku semakin semangat. Jangan lupa vote bintang 5 ya. 🥰🥰"Mereka sudah menikah. Apa salahnya jika Ronald bermesraan dengan, Sekar."Dengan cepat Ibu menutup mulutnya, terlonjak dengan ucapannya sendiri."Sudah menikah?" gumamku tertegun mengulang kalimat, Ibu. Hati berdenyut ngilu, nafas ini mendadak sesak. Kini pandanganku menyorot tajam kearah, Mas Ronald."Eh ... I-ibu," Mas Ronald membuka suara, menatap Ibu dengan mata melotot. Gelengan kepala jelas sekali terlihat. Sementara Ibu, dia terlihat salah tingkah, dengan bola mata yang mendelik ke kiri dan ke kanan.Aku sendiri sangat shock mendengar pengakuan Ibu, berkali aku menarik nafas guna menormalkan detak jantung yang semakin bertalu-talu.Sabarkan hatimu, Astrid!"Kenapa Oma?" tanyaku selembut mungkin. Yah siapa tahu, ada pengakuan lainnya yang akan terucap tanpa sengaja dari mulutnya."Eh ... maksud Ibu, Ronald dia ..." nafas Ibu terlihat sesak, dia meraih minuman yang ada didepannya lalu meminumnya denga
"Beraninya kau mengotori wajahku!!" geramku tak terima. Mataku memanas, nafasku memburu. Tak menyangka Mas Ronald bisa berbuat kasar padaku."Pergi sekarang!" sentakku geram, gigiku bergelutuk nyaring pertanda amarah sudah memenuhi rongga dada.Mas Ronald menggeleng kuat, tubuhnya meluruh bersimpuh memegangi kakiku."Pergi! Kita cerai sekarang juga!" teriakku menggelegar."Jangan, As ..." pegangannya semakin erat dikaki ini."Kasihan Naura, dia pasti terluka jika tahu orangtuanya berpisah." sambungnya.Aku benar-benar muak, beraninya dia menyeret Naura dalam masalah ini. Otakku mendidih seketika, menarik nafas dalam-dalam, bersiap melayangkan kaki sekuat tenaga.Bugh!"Aaaa ...."Mas Ronald terjengkang, memekik kesakitan saa
"Dasar pencuri. Kembalikan!" geramnya dengan mata yang nyaris saja keluar dari tempatnya."Tidak!" sahutku tegas. "Kalung ini aku yang beli, sudah sepatutnya aku mengambilnya kembali." sambungku."Ronald yang beli, bukan kamu!" bantahnya dengan tatapan menyalang."Iya memang benar anakmu yang beli," sahutku dengan senyum miring."Tapi uangnya ... tentu saja hasil mengemis padaku," sambungku dengan tatapan meremehkan."Ronald lihat istrimu, dia ....""Sudah Bu, sudah ..." tukas Mas Ronald sambil mencegah Ibu, yang ingin merampas kalungnya dari tanganku."As ... kenapa kamu jadi keras begini, dimana rasa hormatmu kepada, Ibu. Biar bagaimanapun, Ibuku adalah Ibumu juga." ucapnya sok bijak.Aku terkekeh geli mendengar ucapannya, rasa ingin mencekik lehernya
"Mulai hari ini kau bukan lagi suamiku!" ucapku tegas, seraya membanting pintu dengan keras lalu menguncinya.Tak aku hiraukan teriakkan serta caci maki dari para manusia bermulut busuk itu, aku memilih menaiki tangga dan membaringkan tubuh diatas ranjang empukku.Hah ... sungguh sangat menguras emosi menghadapi para dedemit itu. Dadaku masih terasa panas, akibat amarah yang belum sepenuhnya aku salurkan.Kupandangi goresan luka memanjang akibat serangan, Nenek tua itu. Sekian lama aku berbakti padanya, ini balasannya.Sakit ....Hatiku sungguh sakit sesakit-sakitnya. Cinta yang aku perjuangkan selama ini. Tak ubah seperti pedang panjang, yang sedang menghunus jantung hingga merobek ulu hatiku. Rasanya sulit tergambarkan, sakitnya mampu membuat otak berdenyut ngilu hingga terasa panas seluruh tubuh.Ibu ... ka
Sikap Mas Ronald yang terkesan cuek dan tak peduli. Sulit sekali rasanya membayangkan, dengan mudahnya Sekar merebut hati suamiku.Oh ya ....Ibu ... aku yakin dia adalah dalang dibalik semua ini.Kembali aku mengatur nafas, menetralkan debaran dada yang mulai tak terkendali. Aku harus bersikap tenang, jangan sampai Naura berpikir macam-macam. Walau bagaimana pun, Naura masih terlalu kecil untuk mengetahui kebusukkan Ayahnya."Naura sudah berapa kali ketemu, Tante Sekar?" Naura nampak berpikir, lalu tersenyum setelahnya."Sudah tiga kali, Mah.""Tiga kali?" hampir aja aku teriak mendengar jawaban Naura."Iya ... Tante Sekar baik deh, Mah. Dia beliin Naura squishy boneka tedy bear," aku Naura dengan begitu polosnya.
"Sampai matipun, aku tidak akan mau bercerai denganmu!" ucapnya tegas dengan tatapan menyalang kearahku.Mata itu terlihat marah, nafasnya menggebu-gebu dengan telunjuk tangan yang mengarah tepat diwajahku. Aku menarik nafas, menantang sorot mata menyalangnya. Baru kali ini aku melihat wajahnya yang begitu marah dan menakutkan.Hatiku teriris, melihat sorot itu. Kemana hilangnya sikap lemah lembutmu Mas, aku tidak melihat sosokmu lagi saat ini. Kamu tidak seperti yang aku kenal sebelumnya.Musnah sudah segala rasa yang aku jaga selama ini. Kau sendiri yang menghancurkannya."Kenapa kamu tidak terima, tak sadar sudah melakukan kesalahan besar. Heh!" teriakku didepan mukanya. Mas Ronald meredupkan mata, wajahnya terlihat menyesal telah membentakku."Astrid ...."
"Apa benar ini dengan kediaman rumah Ibu Astrid Anandia?" laki-laki berbadan tegap bertanya dengan wajah serius."Iya saya sendiri," jawabku."Kami dari pihak kepolisian, mendapat tugas untuk membawa Ibu kekantor. Dengan tuduhan penganiayaan atas nama pelapor saudara Ronald dan Ibu Sekar," ucapnya tegas.Sendiku lemas seketika, badanku bergetar dengan lidah kelu tak dapat mengungkapkan kata. Bik Ijah membekap mulutnya, dengan tatapan tak percaya."Ibu ..." Bik Ijah meringsekan tubuh memegangi lenganku."Bisa ikut kami segera, Ibu ..." ujar laki-laki bertubuh gempal dengan nama Wisnu ditanda pengenalnya."Ma-mana mungkin. Bapak salah orang se-pertinya," ucapku terbata, saat ini aku benar-benar gugup luar biasa.Mana mungkin,
"Jika Naura tidak penting. Maka pikirkan karirmu, kamu yakin mereka akan menerimamu bekerja diperusahaannya. Setelah tahu kamu sedang terlibat dalam masalah hukum?" Mas Ronald menyorot dengan tatapan meremehkan."Jika terlalu lama didalam sini, akan tersemat panggilan baru untukmu. Yaitu mantan narapidana?" Mas Ronald tersenyum licik. Tatapan menjijikan dia sunggingkan untukku.Jantungku bertalu-talu, gigiku bergeletuk menerima ancaman darinya. Kutarik nafas dalam-dalam, guna menormalkan debaran yang sudah menggolak-golak.Dia pikir, aku akan gentar dengan ancamannya? Tidak sama sekali."Kau mengancamku? Tak sadar, jika aku hancur kau dan keluarga, serta istri barumu akan menerima imbasnya?" kusorot mata menyalang itu, dengan tatapan menantang."Pikirmu ... jika Papahku tahu, dia akan diam saja m
Pov Author."Gimana, beres?" tanya laki-laki berbadan tegap dengan gawai ditelinga."Beres, Boss. Aman. Semua sesuai dengan rencana." jawab suara serak diujung sana.Laki-laki dengan janggut tipis itu tersenyum puas, lalu memutuskan sambungan telepon."Cih! Sampah! Ditolong, malah menikamku!" desis laki-laki tampan itu."Boss Setyo, ada paket." terdengar suara teriakan dari balik pintu. Laki-laki itu menaruh gawai diatas meja kerja, lalu bangkit dari kursi kebesarannya."Ini, Boss." Yadi, karyawan baru pengganti Ronald menyodorkan amplop tebal berwarna coklat."Ya." jawab Setyo, sambil mengangkat kepala. Yadi mengangguk, lalu kembali melanjutkan pekerjaan."Ckckck, rapih juga cara kerjanya." gumam Setyo sambil merobek ujung amplop, lalu menarik isi didalamnya.Senyum miring tercipta saat Setyo melihat isi amplop, sedetik kemudian bibirnya tersenyum dengan lebar."Ini belum apa-apa," gumamnya pelan. "Setelah ini ak
Pov Sekar."Ha-lo Mbak," suara Rikhi terdengar saat aku menggeser tombol hijau dan menaruhnya ditelinga."Iya, Khi. Gimana Mas Ronald, sudah aka kabar?" cecarku cemas. Hampir satu minggu, Mas Ronald tidak bersua kabar. Istri mana yang tidak khawatir saat tak mendangar kabar beritanya."Mbak," suara Rikhi kembali terdengar tapi kali ini terdengar bergetar disertai isakan."Ada apa, Khi?" aku semakin penasaran."Mas Ronald ..." hawa dingin langsung menyelusup tengkuk leher, mendengar suara Rikhi yang menyebut nama suamiku dengan tersendat-sendat membuat fikiran buruk langsung menjalar difikiran."Mas Ronald kenapa, Khi. Kamu yang benar dong kalau bicara, jangan begini!" aku mulai panik, kehilangan sabar."Mas Ronald sudah tiada, Mbak. Huhu."Tubuh langsung bergetar hebat, kepala berdenyut tak sanggup mencerna kalimatnya."Mbak ..." suara Rikhi kembali terdengar. Aku hanya diam dengan dada yang bergemuruh hebat.Mas
Aku memekik tertahan, tubuhku meremang seirama dengan rasa nyeuri yang luar biasa disekujur badan. Laki-laki itu menatap datar, gerakannya semakin kuat menancapkan belati diperutku.***Ofd.Pov Astrid"Saya terima nikah dan kawinnya Astrid Anandia binti Bapak Santoso Permana, dengan mas kawin satu set emas seberat lima puluh gram dan seperangkat alat sholat dibayar tunai!"Dengan satu tarikan nafas, Edwin mengucap janji suci. Hatiku bergetar seiring dengan serempaknya kata 'saaahhh' yang menggema disetiap sudut masjid."Alhamdulillah ..."
Laras langsung menarik selimut, tubuhnya bergetar hebat memandang sosok yang ada dihadapannya.Sementara aku, nafasku tercekat tubuhku membeku tidak dapat bergerak saat sorot itu menatap tajam kearahku."Gua kira kita temen," desis Setyo mengagetkanku.Lidah begitu kelu, aku kehilangan kata-kata. Tubuh bergetar hebat, saat melihat dua laki-laki berbadan tegap masuk kedalam kamar."Yo ... gue bisa jelasin ini semua." tuturku dengan jantung yang berdebar kencang."Jelasin?" Setyo menatap remeh, lalu terkekeh setelahnya. "Gimana tubuh istri gue, nikmat?" Setyo melangkah maju mendekatiku.Aku terdiam, menoleh kearah Laras."Gue bantu kesusahan lo. Tapi ini balasannya?" api kemarahan berkobar-kobar dimatanya."Yo," aku berusaha menahan tubuhnya yang semakin mendekati."Setan lo!!"Bugh ... bugh.Pukulan bertubi-tubi menghantam wajahku, aku tak ing
Ada uang disayang, tak ada uang dicemberutin.Nasib ....***Ofd"Mas berangkat dulu," aku mengulurkan tangan, membiarkan Sekar mencium punggung tanganku."Hati-hati," ucapnya sambil melempar senyum. Aku menganggukkan kepala, lalu mengusap lembut wajah Mutia dengan lembut."Ayah kerja dulu ya," bisikku ditelinga bayi berusia satu bulan itu.Aku langsung keluar rumah, melajukan kendaraan roda dua menuju tempat kerja.Butuh waktu empat puluh menit untuk sampai dirumah Setyo, aku lihat Boss Setyo sudah duduk dikursi teras rumah sambil menyeruput kopi hitamnya."Ngopi, Boss?" tanyaku setelah memarkirkan motor dihalaman luas milik Laras. Ya setahuku begitu, rumah dan usaha yang digeluti Setyo adalah warisan dari mertuanya yang berarti punya Laras."Hmm ..." Setyo hanya bergumam, sambil mengangkat cangkir kopi dan kembali menyeruputnya."Ngirim barang kemana har
"Cucu Ibu perempuan, dia cantik seperti Mamahnya," suster menyahut.Ibu terperangah, wajah penuh harapnya berubah keruh."Silahkan, Bapak." suster berjalan mendahuluiku, memberi jalan agar aku mengekorinya.Kulihat Ibu tertunduk lesu, tak ada gairah sama sekali.Bayi mungil didalam box bayi bergeliat, wajahnya benar-benar menyerupai Sekar. Hatiku terenyuh saat tangan ini bersentuhan dengan wajah merahnya.Kulantunkan takbir, bibirku bergetar saat melihat bayi itu membuka matanya. Entah mengapa aku jadi mengingat dosa, dosa kepada Astrid dan Sekar karna sudah mengkhianati kedua.Selesai mengadzankan bayi mungil itu, aku memutuskan untuk keluar dari ruangan. Rasa sesak menghimpit hati, merobek-robek relung jiwaku. Aku tidak tahu apa yang membuat hatiku serapuh ini, yang aku tahu aku sudah terlalu banyak berbuat dosa."Ibu mau kemana?" tanyaku saat melihat Ibu dan Zeky berjalan meninggalkan kursi
"Ya Alloh ... nafasnya melambat," ucapnya panik, lalu kembali menepuk-nepuk wajah Sekar."Dek, bangun Dek!" aku yang takut hal buruk terjadi pada Sekar langsung mendekat. Merangkup wajah pucatnya yang terasa semakin dingin."Bagaimana ini, Bu?" tanyaku panik, melihat Sekar yang tetap bergeming."Bu sadar, Bu." Ibu Bidan terus mengguncang tubuh Sekar."Segera bawa kerumah sakit, Ibu Sekar sepertinya sudah sangat lemah." jawab Bu bidan."Siapkan mobil, bantu saya menduduki tubuh Ibu Sekar diatas kursi roda," titahnya langsung aku turuti.Dengan perasaan kacau, segera memindahkan tubuh Sekar. Aku benar-benar takut dengan keadaannya."Loh kok dibawa keluar, ada apa?" Ibu terlihat bingung."Sekar tidak sadarkan diri, Bu. Harus dibawa kerumah sakit untuk segera dilakukan tindakan," jawab Bu bidan.Dibantu Zeky, aku memasuki tubuh Sekar kedalam mobil. Wajah kami semua benar-
Pov Ronald.Kepala berdenyut ngilu, jantung berdetak lebih kencang saat Sekar mengetahui tentang Laras. Sekar mulai curiga, dia terus saja membondong seribu pertanyaan untuk menyerangku.Saat ini yang aku lakukan hanya mengelak dan menghindar. Aku takut Sekar semakin curiga, dan masalah semakin melebar kemana-mana."Kasih tahu si Sekar, punya sikap itu dijaga. Masa kepala aku dilempar pakai piring," cebik Zeky saat aku baru saja tiba dirumah. Aku hanya menarik nafas, tak menggubrik ocehannya. Memilih sibuk memainkan gawai."Apes hidupmu, Mas. Lepas dari berlian dapet kepingan sampah." Lagi, Zeki terus saja mengumpat."Ga tahu diri. Sudah numpang dirumah mertua, tapi ga ada bebantunya sama sekali. Dikira dia itu Tuan Putri." Zeky terus berkoar."Ambilin, Mas minum sanah. Haus nih, ditambah denger kamu ngomel-ngomel. Bikin kepala tambah panas," ucapku kemudian, sambil menatap dingin sorot matanya. Zeky mendengkus, sambil menghent
"Lampu kamarnya dinyalakan dong, Mas Ronald. Aku jadi tidak bisa melihat wajah tampanmu." desahnya sambil menggigit bibir bagian bawah. Kepala langsung panas, aku menoleh nanar pada sosok yang tertidur lelap disampingku. Air mata luruh begitu saja, nafasku sesak menahan dentuman yang bergejolak didalam dada. Sakit sekali, Tuhan. Tega kamu, Mas! Apa kurangku selama ini, aku selalu sabar menghadapi Ibu dan Adik-Adikmu. Aku selalu pengertian disaat kau tidak memiliki uang, disaat Astrid membuangmu begitu saja aku selalu ada dan selalu setia mendoakan kese