"Sampai matipun, aku tidak akan mau bercerai denganmu!" ucapnya tegas dengan tatapan menyalang kearahku.Mata itu terlihat marah, nafasnya menggebu-gebu dengan telunjuk tangan yang mengarah tepat diwajahku. Aku menarik nafas, menantang sorot mata menyalangnya. Baru kali ini aku melihat wajahnya yang begitu marah dan menakutkan.Hatiku teriris, melihat sorot itu. Kemana hilangnya sikap lemah lembutmu Mas, aku tidak melihat sosokmu lagi saat ini. Kamu tidak seperti yang aku kenal sebelumnya.Musnah sudah segala rasa yang aku jaga selama ini. Kau sendiri yang menghancurkannya."Kenapa kamu tidak terima, tak sadar sudah melakukan kesalahan besar. Heh!" teriakku didepan mukanya. Mas Ronald meredupkan mata, wajahnya terlihat menyesal telah membentakku."Astrid ...."
"Apa benar ini dengan kediaman rumah Ibu Astrid Anandia?" laki-laki berbadan tegap bertanya dengan wajah serius."Iya saya sendiri," jawabku."Kami dari pihak kepolisian, mendapat tugas untuk membawa Ibu kekantor. Dengan tuduhan penganiayaan atas nama pelapor saudara Ronald dan Ibu Sekar," ucapnya tegas.Sendiku lemas seketika, badanku bergetar dengan lidah kelu tak dapat mengungkapkan kata. Bik Ijah membekap mulutnya, dengan tatapan tak percaya."Ibu ..." Bik Ijah meringsekan tubuh memegangi lenganku."Bisa ikut kami segera, Ibu ..." ujar laki-laki bertubuh gempal dengan nama Wisnu ditanda pengenalnya."Ma-mana mungkin. Bapak salah orang se-pertinya," ucapku terbata, saat ini aku benar-benar gugup luar biasa.Mana mungkin,
"Jika Naura tidak penting. Maka pikirkan karirmu, kamu yakin mereka akan menerimamu bekerja diperusahaannya. Setelah tahu kamu sedang terlibat dalam masalah hukum?" Mas Ronald menyorot dengan tatapan meremehkan."Jika terlalu lama didalam sini, akan tersemat panggilan baru untukmu. Yaitu mantan narapidana?" Mas Ronald tersenyum licik. Tatapan menjijikan dia sunggingkan untukku.Jantungku bertalu-talu, gigiku bergeletuk menerima ancaman darinya. Kutarik nafas dalam-dalam, guna menormalkan debaran yang sudah menggolak-golak.Dia pikir, aku akan gentar dengan ancamannya? Tidak sama sekali."Kau mengancamku? Tak sadar, jika aku hancur kau dan keluarga, serta istri barumu akan menerima imbasnya?" kusorot mata menyalang itu, dengan tatapan menantang."Pikirmu ... jika Papahku tahu, dia akan diam saja m
Aku segera mengirim lokasi, tak lupa mengirim fotoku saat ini dengan latar belakang sel tahanan.Aku tersenyum puas, membayar mahal pengacara tak jadi masalah. Yang penting aku, bisa keluar dari tempat terkutuk ini secepatnya.Segera aku mengirim pesan pada atasan, meminta izin cuti satu minggu dengan alasan ada masalah keluarga. Semoga saja kasus ini cepat teratasi, jangan sampai orang kantor ada yang tahu masalah ini, agar reputasi dikantor pun terselamatkan.Pikirnya aku ini bodoh. Yang bisa dengan mudah takut dengan ancaman murahan itu. Dia lupa, bahwa aku jauh lebih melangkah maju dibanding dirinya.Dasar laki-laki sampah, benalu kehidupanku yang sebenarnya. Awas saja kalau aku sudah keluar dari sini, akan kuberi pelajaran mereka yang sudah menyakitiku. Lihat saja!"Sudah?" tanya Pak Firman.
"Sa-ya tidak akan mencabut laporan. Se-belum Astrid membatalkan niat per-ceraiannya ..." sambung Mas Ronald terbata-bata. Wajahnya begitu menyedihkan, menatap iba kearahku.Aku menatap jengah, masih saja dia menginginkan aku mencabut gugatan cerai. Apa pukulan Papahku tidak bisa menyadarkannya, bahwa kami memang tidak bisa bersatu kembali?"Kurang ajar!!" geram Papah.Bugh!!Papah kembali melayangkan tendangannya, hingga Mas Ronald terjengkang dan tersungkur mencium lantai. Nafas Papah naik-turun, benar-benar kelewat marah dengan Mas Ronald.Aku bahkan belum membeberkan kelakuan busuknya lebih dari itu. Masalah dia menikah lagi dibelakangku, jika Papah tahu, bisa tewas ditempat Mas Ronald."Berhenti Pak!!" teriak petugas. "Jika Bapak tak mau mendengarkan saya,
Pov Mas Ronald.Mobil berhenti dihalaman rumah orangtuaku, sejak kemarin Ibu begitu cerewet mengingatkan agar hari ini aku bisa berkunjung kerumahnya."Assalamuallaikum ..." ucapku saat memasuki rumah yang pintunya terbuka lebar."Nah ini ..." ucap Ibu begitu sumringah saat melihat aku ada didepannya, tanpa menjawab salamku."Ada apa Bu?" alisku menaut saat Ibu bangkit dan berjalan kearahku."Ini loh, Sekar ... perempuan yang Ibu ceritakan tempo hari. Anaknya Ibu Yuni, tetangga kita dulu," ucap Ibu dengan senyum cerah, menunjukkan perempuan yang sedang duduk sambil tersenyum malu melihatku."Sekar, Mas ..." perempuan itu berdiri, lalu menyodorkan tangannya."Iya." sahutku sambil menjabat tangannya sekilas."Duduk, Nald." titah Ibu. Aku langsung menurut, dan duduk didepan Ibu dan Sekar."Kalian kenalan saja dulu. Kan sudah lama tidak bertemu," ucap Ibu dengan senyum penuh arti kea
Pov Mas Ronald.Aku mengejrap pelan, tersentak saat melihat Sekar ada disamping tubuhku. Dia sedang duduk terisak, menatap nanar kearahku."Kenapa? Apa yang terjadi?" Tanyaku sambil memulihkan ingatan."M-as ... kita sudah melakukannya," ucapnya pelan disela isak tangis. "Bagaimana kalau aku sampai hamil," sambungnya sambil menundukkan wajah.Mataku menangkap pakaian yang berserak dilantai, aku meraba tubuh dengan panik, tak ada satupun pakaian yang melekat dibadan ini. Itu berarti aku dan Sekar?Ahh ... mengapa aku bisa seceroboh ini.Aku mencengkram rambut kepala, sangat menyesal sudah melakukan dosa besar yang dibalut dengan kenikmatan sesaat ini."Mas ... akan bertanggung jawabkan?" Sekar menyentuh tanganku."Eh ... i-iya," aku mengangguk lemah."Janji ya, Mas ..." Sekar menghapus air mata, lalu meringsekkan tubuhnya kearahku."Maaf ..." lirihku serba salah. Aku benar-be
Selesai makan dan membersihkan badan, kami langsung menuju peraduan. Setelah mencium keningku, Astrid menarik selimut hendak menutup mata."Mah ....""Apa, Yah?" tubuh Astrid bergeliat, lalu meringsek memelukku."Itu ... mm, gimana ya cara bicaranya," aku menggaruk kepala. Membuat Astrid mendongkak kearahku."Bicara saja?" ucapnya."Ibu ... dia kepingin kalung katanya," ucapku kemudian.Astrid menghela nafas, lalu memejamkan mata."Beli saja, buat orangtua jangan terlalu perhitungan. Harga kalung berapa sih?" sahutnya.Senyumku mengembang seketika, Astrid memang sangat baik hati dan pengertian pada keluargaku. Tak salah memang, aku sudah menjadikannya seorang istri."Sudahlah, Mah kali ini tidak usah, Ibu terlalu merepotkanmu," pancingku ingin melihat reaksinya."Jangan bicara begitu, Yah ... aku kerja kaya gini juga demi keluarga. Jika Ibumu senang, dia pasti mendoakan keba
Pov Author."Gimana, beres?" tanya laki-laki berbadan tegap dengan gawai ditelinga."Beres, Boss. Aman. Semua sesuai dengan rencana." jawab suara serak diujung sana.Laki-laki dengan janggut tipis itu tersenyum puas, lalu memutuskan sambungan telepon."Cih! Sampah! Ditolong, malah menikamku!" desis laki-laki tampan itu."Boss Setyo, ada paket." terdengar suara teriakan dari balik pintu. Laki-laki itu menaruh gawai diatas meja kerja, lalu bangkit dari kursi kebesarannya."Ini, Boss." Yadi, karyawan baru pengganti Ronald menyodorkan amplop tebal berwarna coklat."Ya." jawab Setyo, sambil mengangkat kepala. Yadi mengangguk, lalu kembali melanjutkan pekerjaan."Ckckck, rapih juga cara kerjanya." gumam Setyo sambil merobek ujung amplop, lalu menarik isi didalamnya.Senyum miring tercipta saat Setyo melihat isi amplop, sedetik kemudian bibirnya tersenyum dengan lebar."Ini belum apa-apa," gumamnya pelan. "Setelah ini ak
Pov Sekar."Ha-lo Mbak," suara Rikhi terdengar saat aku menggeser tombol hijau dan menaruhnya ditelinga."Iya, Khi. Gimana Mas Ronald, sudah aka kabar?" cecarku cemas. Hampir satu minggu, Mas Ronald tidak bersua kabar. Istri mana yang tidak khawatir saat tak mendangar kabar beritanya."Mbak," suara Rikhi kembali terdengar tapi kali ini terdengar bergetar disertai isakan."Ada apa, Khi?" aku semakin penasaran."Mas Ronald ..." hawa dingin langsung menyelusup tengkuk leher, mendengar suara Rikhi yang menyebut nama suamiku dengan tersendat-sendat membuat fikiran buruk langsung menjalar difikiran."Mas Ronald kenapa, Khi. Kamu yang benar dong kalau bicara, jangan begini!" aku mulai panik, kehilangan sabar."Mas Ronald sudah tiada, Mbak. Huhu."Tubuh langsung bergetar hebat, kepala berdenyut tak sanggup mencerna kalimatnya."Mbak ..." suara Rikhi kembali terdengar. Aku hanya diam dengan dada yang bergemuruh hebat.Mas
Aku memekik tertahan, tubuhku meremang seirama dengan rasa nyeuri yang luar biasa disekujur badan. Laki-laki itu menatap datar, gerakannya semakin kuat menancapkan belati diperutku.***Ofd.Pov Astrid"Saya terima nikah dan kawinnya Astrid Anandia binti Bapak Santoso Permana, dengan mas kawin satu set emas seberat lima puluh gram dan seperangkat alat sholat dibayar tunai!"Dengan satu tarikan nafas, Edwin mengucap janji suci. Hatiku bergetar seiring dengan serempaknya kata 'saaahhh' yang menggema disetiap sudut masjid."Alhamdulillah ..."
Laras langsung menarik selimut, tubuhnya bergetar hebat memandang sosok yang ada dihadapannya.Sementara aku, nafasku tercekat tubuhku membeku tidak dapat bergerak saat sorot itu menatap tajam kearahku."Gua kira kita temen," desis Setyo mengagetkanku.Lidah begitu kelu, aku kehilangan kata-kata. Tubuh bergetar hebat, saat melihat dua laki-laki berbadan tegap masuk kedalam kamar."Yo ... gue bisa jelasin ini semua." tuturku dengan jantung yang berdebar kencang."Jelasin?" Setyo menatap remeh, lalu terkekeh setelahnya. "Gimana tubuh istri gue, nikmat?" Setyo melangkah maju mendekatiku.Aku terdiam, menoleh kearah Laras."Gue bantu kesusahan lo. Tapi ini balasannya?" api kemarahan berkobar-kobar dimatanya."Yo," aku berusaha menahan tubuhnya yang semakin mendekati."Setan lo!!"Bugh ... bugh.Pukulan bertubi-tubi menghantam wajahku, aku tak ing
Ada uang disayang, tak ada uang dicemberutin.Nasib ....***Ofd"Mas berangkat dulu," aku mengulurkan tangan, membiarkan Sekar mencium punggung tanganku."Hati-hati," ucapnya sambil melempar senyum. Aku menganggukkan kepala, lalu mengusap lembut wajah Mutia dengan lembut."Ayah kerja dulu ya," bisikku ditelinga bayi berusia satu bulan itu.Aku langsung keluar rumah, melajukan kendaraan roda dua menuju tempat kerja.Butuh waktu empat puluh menit untuk sampai dirumah Setyo, aku lihat Boss Setyo sudah duduk dikursi teras rumah sambil menyeruput kopi hitamnya."Ngopi, Boss?" tanyaku setelah memarkirkan motor dihalaman luas milik Laras. Ya setahuku begitu, rumah dan usaha yang digeluti Setyo adalah warisan dari mertuanya yang berarti punya Laras."Hmm ..." Setyo hanya bergumam, sambil mengangkat cangkir kopi dan kembali menyeruputnya."Ngirim barang kemana har
"Cucu Ibu perempuan, dia cantik seperti Mamahnya," suster menyahut.Ibu terperangah, wajah penuh harapnya berubah keruh."Silahkan, Bapak." suster berjalan mendahuluiku, memberi jalan agar aku mengekorinya.Kulihat Ibu tertunduk lesu, tak ada gairah sama sekali.Bayi mungil didalam box bayi bergeliat, wajahnya benar-benar menyerupai Sekar. Hatiku terenyuh saat tangan ini bersentuhan dengan wajah merahnya.Kulantunkan takbir, bibirku bergetar saat melihat bayi itu membuka matanya. Entah mengapa aku jadi mengingat dosa, dosa kepada Astrid dan Sekar karna sudah mengkhianati kedua.Selesai mengadzankan bayi mungil itu, aku memutuskan untuk keluar dari ruangan. Rasa sesak menghimpit hati, merobek-robek relung jiwaku. Aku tidak tahu apa yang membuat hatiku serapuh ini, yang aku tahu aku sudah terlalu banyak berbuat dosa."Ibu mau kemana?" tanyaku saat melihat Ibu dan Zeky berjalan meninggalkan kursi
"Ya Alloh ... nafasnya melambat," ucapnya panik, lalu kembali menepuk-nepuk wajah Sekar."Dek, bangun Dek!" aku yang takut hal buruk terjadi pada Sekar langsung mendekat. Merangkup wajah pucatnya yang terasa semakin dingin."Bagaimana ini, Bu?" tanyaku panik, melihat Sekar yang tetap bergeming."Bu sadar, Bu." Ibu Bidan terus mengguncang tubuh Sekar."Segera bawa kerumah sakit, Ibu Sekar sepertinya sudah sangat lemah." jawab Bu bidan."Siapkan mobil, bantu saya menduduki tubuh Ibu Sekar diatas kursi roda," titahnya langsung aku turuti.Dengan perasaan kacau, segera memindahkan tubuh Sekar. Aku benar-benar takut dengan keadaannya."Loh kok dibawa keluar, ada apa?" Ibu terlihat bingung."Sekar tidak sadarkan diri, Bu. Harus dibawa kerumah sakit untuk segera dilakukan tindakan," jawab Bu bidan.Dibantu Zeky, aku memasuki tubuh Sekar kedalam mobil. Wajah kami semua benar-
Pov Ronald.Kepala berdenyut ngilu, jantung berdetak lebih kencang saat Sekar mengetahui tentang Laras. Sekar mulai curiga, dia terus saja membondong seribu pertanyaan untuk menyerangku.Saat ini yang aku lakukan hanya mengelak dan menghindar. Aku takut Sekar semakin curiga, dan masalah semakin melebar kemana-mana."Kasih tahu si Sekar, punya sikap itu dijaga. Masa kepala aku dilempar pakai piring," cebik Zeky saat aku baru saja tiba dirumah. Aku hanya menarik nafas, tak menggubrik ocehannya. Memilih sibuk memainkan gawai."Apes hidupmu, Mas. Lepas dari berlian dapet kepingan sampah." Lagi, Zeki terus saja mengumpat."Ga tahu diri. Sudah numpang dirumah mertua, tapi ga ada bebantunya sama sekali. Dikira dia itu Tuan Putri." Zeky terus berkoar."Ambilin, Mas minum sanah. Haus nih, ditambah denger kamu ngomel-ngomel. Bikin kepala tambah panas," ucapku kemudian, sambil menatap dingin sorot matanya. Zeky mendengkus, sambil menghent
"Lampu kamarnya dinyalakan dong, Mas Ronald. Aku jadi tidak bisa melihat wajah tampanmu." desahnya sambil menggigit bibir bagian bawah. Kepala langsung panas, aku menoleh nanar pada sosok yang tertidur lelap disampingku. Air mata luruh begitu saja, nafasku sesak menahan dentuman yang bergejolak didalam dada. Sakit sekali, Tuhan. Tega kamu, Mas! Apa kurangku selama ini, aku selalu sabar menghadapi Ibu dan Adik-Adikmu. Aku selalu pengertian disaat kau tidak memiliki uang, disaat Astrid membuangmu begitu saja aku selalu ada dan selalu setia mendoakan kese