"Ayo ... sini maju, jangan beraninya ngomong doang," tantang Mamah dengan wajah sangat menyebalkan."Cih ... Nenek tua!" sentak Sekar dengan wajah memerah.Tak tahu malu, pemarah sekali gundik Mas Ronald. Tak habis pikir aku."Berhenti Sekar!" tangan kekar suamiku menarik perempuan liar itu, sekali hentak tubuh Sekar langsung terbawa oleh Mas Ronald."Apaan sih Mas!" sentak Sekar tak terima."Jangan buat keributan, kamu mau masuk penjara. Heh!" bentak Mas Ronald. "Jangan kepancing emosi," sambungnya."Ck!!" Sekar berdecak kesal, lalu melipat tangan dibawah dada."Tidak berani?" tanya Mamah dengan senyum menyerigai. "Padahal aku ingin menghantam rahangnya lagi," lanjut Mamah sambil mengepalkan tangan."Sudah ya Ibu-Ibu. Harap tenang, kalau masih mau ribut nanti saya bawa masuk kedalam sel. Biar duel sekalian," seloroh petugas bertubuh tambun bernama Daus."Begini nih ... kalau masalah p
Pov Ronald.Mengurut kening yang terasa berdenyut, kepala merunduk dengan fikiran berkelana. Suara Ibu tak kunjung henti, membuat isi kepalaku seakan terbakar ditempatnya."Amit-amit berurusan lagi sama keluarga sombong itu. Sok kaya, gayanya seperti dia orang paling kaya di Bumi ini." cecar Ibu masih tidak mau berhenti."Awas kamu balik lagi sama dia!" Ibu menunjuk telunjuknya diwajahku.Setelah membubuhkan tanda tangan kami segera pulang kerumah, selama perjalanan Ibu kembali mengeluarkan segala kekesalannya terhadap Astrid beserta Mamahnya. Benar-benar bikin pusing kepala!"Nald ... besok urus perceraian kalian. Jangan sampai perempuan songong itu, yang menggugatmu terlebih dahulu!" Ibu yang berada dijok belakang menepuk pundakku.Aku hanya diam tak bereaksi apapun."Dengar tidak?""Bu ... sudahlah, sebenarnya Ronald tak ingin bercerai dengan Astrid. Biar bagaimana pun, Astrid yang selalu seti
Aku menautkan alis, mana ada pengacara yang mau dibayar murah. Tapi jika tidak bertindak, enak di Astrid. Biar bagaimana pun, aku sudah lama menikahinya, sudah seharusnya rumah itu dibagi dua. Jika memang dia menginginkan perpisahan. Mobil beserta aset yang lain harus aku tuntut juga, setidaknya jika harus bercerai dengannya aku tidak akan kebingungan mencari uang."Ingat. Jangan terlalu mengalah dengan Astrid, kamu berhak atas semua aset yang dia punya." Tuding Ibu sambil menujuk tepat diwajahku."Tidak perlu takut bercerai dengan Astrid, dia fikir hidup kita akan berantakan tanpa uang anaknya? Cih.. sombong sekali perempuan itu. Jika tak ingat ada dikantor Polisi, sudah habis Ibu bejek-bejek," ucap Ibu dengan geram, sambil meremas-remas kedua tangannya.Aku hanya diam, bicarapun percuma. Aku rasa akan menambah kekesalan Ibu."Ibu
Kulihat nafas Sekar memburu saat melihat kedatanganku, dan melempar tatapan dengan tajam kearahku."Penipu!!" Sembur Sekar, sambil melangkah lebar kearahku."Ada apa ini?" Tanya Ibu. "Siapa yang penipu?" Ibu dan aku saling berpandangan."Mas Ronald. Dia sudah menipu Sekar Bu, dia membuat Sekar sangat malu," teriaknya sambil menudingkan jari telunjuk diwajahku. Wajah itu memerah, antara kesal dan malu bercampur diwajahnya."Ada apa?" Tanyaku. Bukan menjawab Sekar malah mendengkus sinis."Kenapa kamu bicara sekasar itu pada Ronald. Dia menipu apa?" Sengit Ibu, tak terima anaknya diteriaki.Nafas Sekar tersenggal, tatapan benci dilayangkan kearahku. Ada apa dengannya?"Dimana sopan santunmu! Sama suami kok seperti itu. Kamu fi
"Mas ..." suara pintu dibuka terdengar, siiring dengan suara panggilan dari Sekar.Aku hanya bergeming, duduk disofa panjang yang ada didalam kamar.Kuraba sofa dengan hati berkecamuk. Dulu, kami bahkan sering bercinta ditempat ini. Entahlah, rasanya aku benar-benar merindukan Astrid saat ini.Benar orang bilang, bila sudah tiada baru terasa. Dan itu sangat menyakitkan. Bisakah aku kembali merebut hatinya? Aku rasa itu akan sulit."Kamu marah sama aku Mas?" Sekar duduk diatas ranjang, dengan tatapan sedih."Aku hanya pengangguran, kau pergi saja. Jika masih menganggapku kacung," desahku sambil menyenderkan tubuh.Kehilangannya tak masalah bagiku, ada pun hanya menambah pusing kepala. Uang terus yang ada diotaknya. Salahku memang yang sering memanjakannya, dan sekarang malah menjadi racun dalam hidupku."Jangan begitu, bagaimana pun keadaanmu. Aku terima kok," Sekar tersenyum manis lalu berjalan mendekat, da
Pov Astrid"Halo, Mah?" Sapaku saat suara panggilan sudah terangkat."Kenapa, As?" Tanya Mamah disebrang telepon."Mas Ronald ... dia bawa Naura Mah," lirihku sambil menahan air mata."Kok bisa?" jawab Mamah sedikit terkejut."Tadi Bik Irah telpon ada Mas Ronald, dia bawa Naura pulang kerumah Ibunya. Gimana ini, Mah." tanyaku panik."Sabar ... tenang, tarik nafas dulu," ucap Mamah."Tarik nafas," ulangnya. Aku menarik nafas lalu menghembusnya dengan gusar."Kamu dimana sekarang?""Astrid ada dikantor, Mah." sahutku. "Gimana Naura Mah?" tanyaku saat tak mendengar suara Mamah."Apa aku harus menelpon polisi? Aku takut Naura diperlakukan tidak baik oleh Omanya," cecarku benar-benar takut.Terdengar helaan nafas berat dari sebrang. "Ya sudah biarkan Naura sama Ayahnya. Biar bagaimana pun Naura itu anaknya, Ronald tidak akan menyakiti, Naura." terang Mamah.
"Oh ya?" aku tersenyum manis mendengar keluhannya.Mas Ronald mengangguk lemas, binarnya begitu lesu tak bersemangat.Haruskah aku bersorak bahagia untukmu Mas? Tapi sepertinya belum. Penderitaan panjang masih menantimu, calon mantan suamiku."Nikmati saja, itu pilihanmu, Mas ... lagi pun, bukankah Ibu menyayanginya? Aku rasa hidupmu akan sempurna setelah Sekar melahirkan bayi laki-laki." sengaja aku tekan kalimat bayi laki-laki, agar dia ingat tentang keluhannya selama ini."Bisakah kita jangan bercerai?" lirihnya."Kita sudah pernah membahasnya, dan jawabanku tetap sama," ucapku dengan senyum kecut. Sungguh sulit menyangkal hati masih menyimpan namanya, namun logika merutuk keras jika aku kembali padanya.Kebodohan, takakan terulang kembali. Bagiku berpisah dengannya adalah suatu kesedihan sekaligus ketenangan. Sakit dan perih diawal itu sudah biasa, waktu akan memperbaiki semuanya.Pengkhianatan bukan ma
Senyumnya semakin berkembang seiring langkah kaki ini, tatapannya sangat bersahabat menyambut kedatanganku.Apa dia tak punya malu? Kemana perginya tatapan sinis dan benci yang biasa dia hunuskan untukku."Ada apa?" Tanyaku. Sekar yang biasa sinis, mendadak kikuk. Dia bangkit dari duduknya dan menegakkan badan."Ada yang ingin aku sampaikan," jawabnya dengan senyum kaku."Katakanlah.. aku tak punya banyak waktu," sahutku."Mbak.." alisku menaut, Sekar memanggilku dengan sebutan Mbak?Mm.. sepertinya aku mencium aroma kebusukan, yang akan terlontar dari bibirnya."Tolong jangan bercerai," lirihnya dengan senyum tipis.Aku melipat tangan dibawah dada, mataku mengamatinya dengan serius. Sekar mendadak salah tingkah."Apa hakmu meminta aku jangan bercerai?" Tanyaku.Sekar menarik nafas dalam, memegangi perut dan kembali menjatuhkan bokong dipos keamanan."Saya s
Pov Author."Gimana, beres?" tanya laki-laki berbadan tegap dengan gawai ditelinga."Beres, Boss. Aman. Semua sesuai dengan rencana." jawab suara serak diujung sana.Laki-laki dengan janggut tipis itu tersenyum puas, lalu memutuskan sambungan telepon."Cih! Sampah! Ditolong, malah menikamku!" desis laki-laki tampan itu."Boss Setyo, ada paket." terdengar suara teriakan dari balik pintu. Laki-laki itu menaruh gawai diatas meja kerja, lalu bangkit dari kursi kebesarannya."Ini, Boss." Yadi, karyawan baru pengganti Ronald menyodorkan amplop tebal berwarna coklat."Ya." jawab Setyo, sambil mengangkat kepala. Yadi mengangguk, lalu kembali melanjutkan pekerjaan."Ckckck, rapih juga cara kerjanya." gumam Setyo sambil merobek ujung amplop, lalu menarik isi didalamnya.Senyum miring tercipta saat Setyo melihat isi amplop, sedetik kemudian bibirnya tersenyum dengan lebar."Ini belum apa-apa," gumamnya pelan. "Setelah ini ak
Pov Sekar."Ha-lo Mbak," suara Rikhi terdengar saat aku menggeser tombol hijau dan menaruhnya ditelinga."Iya, Khi. Gimana Mas Ronald, sudah aka kabar?" cecarku cemas. Hampir satu minggu, Mas Ronald tidak bersua kabar. Istri mana yang tidak khawatir saat tak mendangar kabar beritanya."Mbak," suara Rikhi kembali terdengar tapi kali ini terdengar bergetar disertai isakan."Ada apa, Khi?" aku semakin penasaran."Mas Ronald ..." hawa dingin langsung menyelusup tengkuk leher, mendengar suara Rikhi yang menyebut nama suamiku dengan tersendat-sendat membuat fikiran buruk langsung menjalar difikiran."Mas Ronald kenapa, Khi. Kamu yang benar dong kalau bicara, jangan begini!" aku mulai panik, kehilangan sabar."Mas Ronald sudah tiada, Mbak. Huhu."Tubuh langsung bergetar hebat, kepala berdenyut tak sanggup mencerna kalimatnya."Mbak ..." suara Rikhi kembali terdengar. Aku hanya diam dengan dada yang bergemuruh hebat.Mas
Aku memekik tertahan, tubuhku meremang seirama dengan rasa nyeuri yang luar biasa disekujur badan. Laki-laki itu menatap datar, gerakannya semakin kuat menancapkan belati diperutku.***Ofd.Pov Astrid"Saya terima nikah dan kawinnya Astrid Anandia binti Bapak Santoso Permana, dengan mas kawin satu set emas seberat lima puluh gram dan seperangkat alat sholat dibayar tunai!"Dengan satu tarikan nafas, Edwin mengucap janji suci. Hatiku bergetar seiring dengan serempaknya kata 'saaahhh' yang menggema disetiap sudut masjid."Alhamdulillah ..."
Laras langsung menarik selimut, tubuhnya bergetar hebat memandang sosok yang ada dihadapannya.Sementara aku, nafasku tercekat tubuhku membeku tidak dapat bergerak saat sorot itu menatap tajam kearahku."Gua kira kita temen," desis Setyo mengagetkanku.Lidah begitu kelu, aku kehilangan kata-kata. Tubuh bergetar hebat, saat melihat dua laki-laki berbadan tegap masuk kedalam kamar."Yo ... gue bisa jelasin ini semua." tuturku dengan jantung yang berdebar kencang."Jelasin?" Setyo menatap remeh, lalu terkekeh setelahnya. "Gimana tubuh istri gue, nikmat?" Setyo melangkah maju mendekatiku.Aku terdiam, menoleh kearah Laras."Gue bantu kesusahan lo. Tapi ini balasannya?" api kemarahan berkobar-kobar dimatanya."Yo," aku berusaha menahan tubuhnya yang semakin mendekati."Setan lo!!"Bugh ... bugh.Pukulan bertubi-tubi menghantam wajahku, aku tak ing
Ada uang disayang, tak ada uang dicemberutin.Nasib ....***Ofd"Mas berangkat dulu," aku mengulurkan tangan, membiarkan Sekar mencium punggung tanganku."Hati-hati," ucapnya sambil melempar senyum. Aku menganggukkan kepala, lalu mengusap lembut wajah Mutia dengan lembut."Ayah kerja dulu ya," bisikku ditelinga bayi berusia satu bulan itu.Aku langsung keluar rumah, melajukan kendaraan roda dua menuju tempat kerja.Butuh waktu empat puluh menit untuk sampai dirumah Setyo, aku lihat Boss Setyo sudah duduk dikursi teras rumah sambil menyeruput kopi hitamnya."Ngopi, Boss?" tanyaku setelah memarkirkan motor dihalaman luas milik Laras. Ya setahuku begitu, rumah dan usaha yang digeluti Setyo adalah warisan dari mertuanya yang berarti punya Laras."Hmm ..." Setyo hanya bergumam, sambil mengangkat cangkir kopi dan kembali menyeruputnya."Ngirim barang kemana har
"Cucu Ibu perempuan, dia cantik seperti Mamahnya," suster menyahut.Ibu terperangah, wajah penuh harapnya berubah keruh."Silahkan, Bapak." suster berjalan mendahuluiku, memberi jalan agar aku mengekorinya.Kulihat Ibu tertunduk lesu, tak ada gairah sama sekali.Bayi mungil didalam box bayi bergeliat, wajahnya benar-benar menyerupai Sekar. Hatiku terenyuh saat tangan ini bersentuhan dengan wajah merahnya.Kulantunkan takbir, bibirku bergetar saat melihat bayi itu membuka matanya. Entah mengapa aku jadi mengingat dosa, dosa kepada Astrid dan Sekar karna sudah mengkhianati kedua.Selesai mengadzankan bayi mungil itu, aku memutuskan untuk keluar dari ruangan. Rasa sesak menghimpit hati, merobek-robek relung jiwaku. Aku tidak tahu apa yang membuat hatiku serapuh ini, yang aku tahu aku sudah terlalu banyak berbuat dosa."Ibu mau kemana?" tanyaku saat melihat Ibu dan Zeky berjalan meninggalkan kursi
"Ya Alloh ... nafasnya melambat," ucapnya panik, lalu kembali menepuk-nepuk wajah Sekar."Dek, bangun Dek!" aku yang takut hal buruk terjadi pada Sekar langsung mendekat. Merangkup wajah pucatnya yang terasa semakin dingin."Bagaimana ini, Bu?" tanyaku panik, melihat Sekar yang tetap bergeming."Bu sadar, Bu." Ibu Bidan terus mengguncang tubuh Sekar."Segera bawa kerumah sakit, Ibu Sekar sepertinya sudah sangat lemah." jawab Bu bidan."Siapkan mobil, bantu saya menduduki tubuh Ibu Sekar diatas kursi roda," titahnya langsung aku turuti.Dengan perasaan kacau, segera memindahkan tubuh Sekar. Aku benar-benar takut dengan keadaannya."Loh kok dibawa keluar, ada apa?" Ibu terlihat bingung."Sekar tidak sadarkan diri, Bu. Harus dibawa kerumah sakit untuk segera dilakukan tindakan," jawab Bu bidan.Dibantu Zeky, aku memasuki tubuh Sekar kedalam mobil. Wajah kami semua benar-
Pov Ronald.Kepala berdenyut ngilu, jantung berdetak lebih kencang saat Sekar mengetahui tentang Laras. Sekar mulai curiga, dia terus saja membondong seribu pertanyaan untuk menyerangku.Saat ini yang aku lakukan hanya mengelak dan menghindar. Aku takut Sekar semakin curiga, dan masalah semakin melebar kemana-mana."Kasih tahu si Sekar, punya sikap itu dijaga. Masa kepala aku dilempar pakai piring," cebik Zeky saat aku baru saja tiba dirumah. Aku hanya menarik nafas, tak menggubrik ocehannya. Memilih sibuk memainkan gawai."Apes hidupmu, Mas. Lepas dari berlian dapet kepingan sampah." Lagi, Zeki terus saja mengumpat."Ga tahu diri. Sudah numpang dirumah mertua, tapi ga ada bebantunya sama sekali. Dikira dia itu Tuan Putri." Zeky terus berkoar."Ambilin, Mas minum sanah. Haus nih, ditambah denger kamu ngomel-ngomel. Bikin kepala tambah panas," ucapku kemudian, sambil menatap dingin sorot matanya. Zeky mendengkus, sambil menghent
"Lampu kamarnya dinyalakan dong, Mas Ronald. Aku jadi tidak bisa melihat wajah tampanmu." desahnya sambil menggigit bibir bagian bawah. Kepala langsung panas, aku menoleh nanar pada sosok yang tertidur lelap disampingku. Air mata luruh begitu saja, nafasku sesak menahan dentuman yang bergejolak didalam dada. Sakit sekali, Tuhan. Tega kamu, Mas! Apa kurangku selama ini, aku selalu sabar menghadapi Ibu dan Adik-Adikmu. Aku selalu pengertian disaat kau tidak memiliki uang, disaat Astrid membuangmu begitu saja aku selalu ada dan selalu setia mendoakan kese