Anisa kaget dengan permintaan Ratih. Apakah sampai segitunya hingga dia meminta menjadi ART dengan ijazah sarjana yang dua punya.Anisa sejenak terdiam memikirkan hal tersebut."Mbak, bagaimana? Apakah ada lowongan kerja untuk saya? Cuci pakaian, bersih-bersih, cuci piring saya juga mau Mbak," pintanya lagi mengiba"Maaf sekali Ratih. Di rumah saya tidak ada lowongan. Kamu bisa ke yayasan penyalur jika kamu mau. Mungkin akan cepat mendapat pekerjaan. Sekedar saran saja," jawab NisaRatih kembali tertunduk."Tolonglah Mbak. Saya mohon," pintanya lagi begitu mengiba."Ratih, saya sudah hilang sedari awal. Saya tidak bisa egois. Tidak." jawab Anisa dengan tegas.Anisa mengangguk dompetnya. Ia memberikan beberapa lembar uang berwarna merah."Hanya sedikit. Semoga bisa membantu," kata Anisa sembari meletakkan uang uang itu ke atas meja.Ratih tidak serta Merta langsung menerimanya. Justru ia tertunduk, menangis terisak."Ya Tuhan. Karma memang jahat ya Mbak. Aku sekarang sudah seperti peng
Bu Woro segera menggandeng tangan Clara untu pergi. Meskipun hati Clara masih gamang dengan keberadaan Ratih. Apakah benar apa kata Anisa?"Clara kamu kerja apa kok punya jam kerja sesantai ini?" tanya Bu Woro saat dalam perjalanan pulang. Dia pulang diantar dengan Clara."Ehm aku punya usaha butik kecil-kecilan Bu.""Wah cocok ya dengan Hisyam. Meskipun punya istri kaya raya tapi Hisyam masih punya harga diri. Punya usaha. Punya penghasilan. Tidak hanya numpang makan," kata Bu Woro dengan bangga. Tanpa dia tau bagaimana dulu Hisyam berproses jika tanpa ada campur tangan keluarga Anisa.Namun Clara hanya mengangguk kecil. Pikirannya tidak konsentrasi. Ia masih terngiang-ngiang omongan Anisa tadi."Clara tidak mampir dulu? Ngeteh dulu yuk," ajak Bu Woro."Tidak usah Bu. Saya buru buru," jawab Clara. Bahkan netranya tidak menatap Bu Woro. Dan setelah itu ia menarik gas mobil dengan cukup kencang. Bu Woro sebenarnya kaget. Namun dengan Clara ia mencoba bersikap biasa saja."Siapa sih Bu
"Antisipasi tak ada salahnya Nis. Lagipula kenapa sih pakai banyak acara kesini memberi aku makanan. Aku tidak kekurangan. Masih banyak diluar sana yang membutuhkan," gerutu Hisyam dengan kesal.Rupanya gerutuannya tersebut terdengar oleh Pak Fikri. Hati laki laki tua itu semakin bergetar. Ia takut jika rumah tangga anak semata wayangnya itu kenapa Napa."Syam, kamu marah?" tanya Pak Fikri dengan pelan yang tiba tiba muncul di belakang Nisa dan Hisyam yang ada di ruang makan.Mereka terpekik kaget. Hisyam salah tingkah. Ia tau jika sang bapak gampang kepikiran sesuatu."Eh tidak Pak. Tidak apa apa." jawab Hisyam"Apa kamu marah dengan ibu?" tanya Pak Fikri tiba tiba.Hisyam bukan tipe orang yang suka berbohong. Jika berbohong raut wajahnya akan memerah.Ia hanya menghela nafas pelan sebagai jawabannya. Dan Pak Fikri mengerti maksudnya."Maafkan ibumu ya Syam. Jangan goyah hanya karena ibu," pesan Pak Fikri. Wajah tuanya terlihat tak enak hati"Iya Pak. Bapak tenang saja. Mas Hisyam d
Ratih kaget dengan reaksi Clara tersebut. Ia menatap Clara dengan tatapan kosong."Ra, tapi kenapa?" tanya Ratih lirih."Ratih, kamu itu sadar atau tidak sih? Kamu itu dekil, kusam. Pasti membawa banyak kuman. Ih." jawab Clara dengan ekspresi jijiknya.Mendengar itu, Ratih sedih bukan main. Matanya juga berkaca kaca."Tapi aku ini sahabat kamu loh Ra. Kamu tidak lupa kan?" tanya Ratih lagi. Berharap Clara gak melupakan hal itu. Dan segala bantuan yang diberikan kepada Clara saat mereka masih berteman. Bagaimana pun juga jika menengok masa lalu, Ratih lebih kaya dibandingkan dengan Clara."Sahabat? Iya dulu. Sekarang bukan lagi. Mana mau aku punya sahabat dekil seperti kamu. Melihat saja aku jijik" olok Clara lagiRatih tertunduk."Kalau kamu jijik denganku, tolonglah bantu aku untuk berubah Ra. Kamu kan juga tau dulu aku bagaimana? Apa aku seperti ini? Tidak bukan?"Clara menghela nafas dengan kasar."Maka dari itu. Kamu berubah seperti dulu lagi. Agar bisa menjadi sahabatku lagi. Bar
Mulanya Ratih hanya menatap penuh tanda tanya. Matanya melotot."Ya kalau kamu tidak mau tidak apa apa. Aku tidak memaksa. Aku juga tidak bisa memberikanmu apa apa. Karena aku sendiri juga kesusahan. Hasil sedikit tidak apa apa. Yang penting cukup untuk makan." kata Ridwan lagiRatih masih terdiam di tempatnya. Tak pernah terbayangkan dalam hidupnya, jika dia harus menjadi pemulung. Bahkan usianya saat ini masih tergolong muda.Perlahan Ridwan mulai melangkah meninggalkannya. Dia berpikir, Ratih tidak punya keputusan. Jadi untuk apa dia membuang buang waktu.Saat langkah Ridwan sudah agak jauh baru Ratih menoleh."Tunggu. Aku ikut," teriaknya.Ya dia membulatkan tekad. Jika saat ini ia masih ada yang memberi bantuan. Tapi bagaimana keesokan harinya. Belum tentu ia bisa makanMulanya Ratih merasa kikuk. Canggung. Tapi semua ia lawan demi isi perut.Karena belum terlalu mengerti tentang seluk beluk disini, Ratih hanya mengekor di belakang Ridwan. Sembari menungvi komando untuk apa yang
Ratih hanya menatap pemilik suara itu. Dia tidak sadar jika dia sudah sampai sebuah warung. Dimana banyak bapak bapak yang tengah ngopi."Cari pekerjaan lain atuh neng. Pasrah banget sampai memulung.""Jangan malas Neng. Jangan takut kerja keras. Masih muda loh.","Atau, jadi simpanan kita saja mau atau tidak? Dijamin makan tiga kali sehari."Dan terdengar tawa dari mereka yang ada disitu. Tangan Ratih mengepal. Dulu dia punya kuasa. Dulu tak ada satu orang pun yang berani menghinanya. Sekarang semua berubah."Lalu kenapa memangnya kalau aku memulung? Apakah aku merepotkan kalian? Apakah kalian memberi aku makan? Tidak kan? Jadi berhenti menghinaku? Jangan kira karena aku pemulung jadi aku tidak punya harga diri ya," bentak Ratih dengan berani Namun perlawanannya tersebut justru membuat semua yang ada disitu tertawa."Heh, pemulung itu orang miskin. Orang miskin saja sok bifaravtentang harga diri. Mana pantas? Ngaca!" seru salah seorang pelanggan warung.Hampir saja Ratih mengelak. T
Ratih hanya menatap pemilik suara itu. Dia tidak sadar jika dia sudah sampai sebuah warung. Dimana banyak bapak bapak yang tengah ngopi."Cari pekerjaan lain atuh neng. Pasrah banget sampai memulung.""Jangan malas Neng. Jangan takut kerja keras. Masih muda loh.","Atau, jadi simpanan kita saja mau atau tidak? Dijamin makan tiga kali sehari."Dan terdengar tawa dari mereka yang ada disitu. Tangan Ratih mengepal. Dulu dia punya kuasa. Dulu tak ada satu orang pun yang berani menghinanya. Sekarang semua berubah."Lalu kenapa memangnya kalau aku memulung? Apakah aku merepotkan kalian? Apakah kalian memberi aku makan? Tidak kan? Jadi berhenti menghinaku? Jangan kira karena aku pemulung jadi aku tidak punya harga diri ya," bentak Ratih dengan berani Namun perlawanannya tersebut justru membuat semua yang ada disitu tertawa."Heh, pemulung itu orang miskin. Orang miskin saja sok bifaravtentang harga diri. Mana pantas? Ngaca!" seru salah seorang pelanggan warung.Hampir saja Ratih mengelak. T
Bu Woro tampak melengos dengan pertanyaan Hisyam. Pelan, namun tak meninggalkan kesan tegasnya. Kalau bukan dia yang membela Anisa, lalu siapa lagi?"Bukan maksut ibu untuk tidak memperlakukan Anisa dengan tidak baik. Hanya saja siapa sih orang tua yang tidak ingin agar anaknya segera mendapatkan keturunan?" elak Bu Woro lagi.Hisyam mengambil nafas panjang. Semata agar emosinya tetap stabil."Bu, anak adalah rezeki. Dan rezeki, jodoh maut itu sudah ada yang mengatur. Jadi berhenti untuk bersikap seperti Tuhan," Hampir saja Bu Woro ingin menyela lagi."Saya sedang repot Bu. Sebentar lagi ada meeting yang harus saya ikuti," potong Hisyam dengan cepat. Agar sang ibu diam. Dan akhirnya dengan langkah gontai, Bu Woro terpaksa pergi dari ruangan itu.Berkali kali pihak properti melihat lihat rumah Anggun yang akan dijual. Membuat Ridwan sedikit uring uringan."Nggun sebelum kamu menikah, setidaknya tolonglah Carikan aku hunian dan pekerjaan," keluh Ridwan di suatu hari.Anggun hanya mengh