Manananggal atau warga setempat lebih mengenalnya dengan sebutan palasik dan banyak nama lain sebagai sebutannya. Pengakuan Leha tentang ia yang melihat "kaki" atau dalam penjabarannya bagian pinggang ke bawah tubuh manusia itu di perkebunan pisang yang sudah jarang di kunjungi pemiliknya. Leha sudah menebak jika pelaku pembunuhan terhadap kakak sulungnya pastilah makhluk jadi jadian tersebut. Sesal pun sudah terlambat, mengapa ia terlalu takut untuk memberitahu warga tentang makhluk tersebut."Maafin Leha, mbok gara gara Leha takut sekarang Mbak Laila jadi korbannya," bisik Laila sambil memeluk tubuh Mak Yem yang membisu di tengah riuhnya orang yang tahlilan malam itu di rumahnya. Sedang Azzam yang masih tak hentinya menangis, di bawa oleh Bu Siti ke rumah Bu Mala. Berpikir jika bocah tersebut melihat pohon jambu yang tengah lebat berbuah di sana ia bisa sedikit lupa dengan kesedihannya."Kemana Pramono, Nduk? Kenapa nggak datang? Apa dia nggak tahu kalau Laila meninggal?" tanya
Kediaman megah keluarga Wiryatama."Mama belum pulang juga?" Dika melintas di depan papanya dan membuka kulkas, mengambil sebotol minuman dingin dan duduk di meja makan bersebrangan dengan sang ayah. Lelaki paruh baya yang tampak muram itu menggeleng. "Belum, entah kemana mamamu sekarang. Hapenya pun tidak aktif."Dika mendesah berat, sudah hampir satu bulan dan sang ibu hampir sama sekali tak ada kabarnya. Terakhir yang dia dengar dari papanya, Bu Pratiwi ibunya pergi menemui guru spiritualnya."Bagaimana dengan wanita itu? Apa masih belum sadar?" tanya Pak Wirya lagi."Belum." Dika menjawab singkat. Matanya menatap lurus ke tembok putih yang terlihat hampa."Lama juga dia tidak sadarkan diri, padahal sudah hampir sebulan lalu sukma nyai meninggalkan badannya tapi dia bahkan masih belum sadar? Apa segitu lemahnya dia ya?" gumam Pak Wirya seraya mengunyah roti selai sarapannya."Mungkin, bukannya harusnya papa yang lebih tahu karna papa dan Mama yang memilihkan dia untuk jadi tumbal
Pramono bersimpuh di kaki ibunya, wajahnya merah dengan air mata hangat yang mengalir deras di wajahnya yang penuh lebam membiru."Maafin Pram, Mbok. Pram terpaksa melakukan semua ini, Pram nggak sudi kalau sampai tua bangka itu menyentuh simbok dan dek Leha. Pram minta maaf, mbok."Mak Yem masih diam, sedang Leha tampak terisak di sampingnya. Sudah satu jam lamanya lelaki yang merupakan anak kedua Mak Yem itu bersimpuh di hadapan sang ibu, mengharapkan maaf darinya karna telah menikah tanpa meminta persetujuan nya."Mbok, Pram akan terus seperti ini sampai simbok mau memaafkan Pram. Pram mengaku salah, Mak." bahu Pramono terguncang guncang, tangisnya kembali pecah karna merasa begitu menyesal. Namun dia bisa apa? Ancaman Pak Yono akan antek anteknya yang bisa dengan mudah kapan saja menyakiti Mak Yem dan Leha membuatnya lemah. Hingga terpaksa mengiyakan pintanya menikahi Ranti yang kini pun ikut ke rumah Mak Yem yang notabene sudah menjadi mertuanya.Ranti hanya diam saja di pojok r
"Opo, Ti? Bu Ambar? Yang bener kamu, Ti?" seru Bu Mala dari teras belakang. Bu Siti mendongak dan mengangguk. "Iya, Bu ini bener Bu Ambar, sini kalo nggak percaya." Bu Mala menuruni teras dan mendekat ke pohon kapuk, seketika matanya membelalak lebar melihat sosok Bu Ambar berjongkok dengan tubuh polos tanpa pakaian tengah memainkan rumput sambil bicara sendiri."Astagfirullah, cepet kita bawa masuk dulu, Ti. Kasian kalau sampe keliatan orang!" Bu Siti mengangguk setuju dan segera membujuk Bu Ambar untuk beranjak dari sana."Pak! Awas dulu, bawa ke depan Azzam nya." Tanpa banyak tanya Pak Bagus pun bergegas menuntun Azzam ke depan rumah, membiarkan bu Mala dan Bu Siti membawa Bu Ambar yang seperti orang linglung itu ke dalam rumah."Ya Allah, kok bisa begini to sampean, Bu Ambar? Ada apa?" gumam Bu Siti seraya membantu memakaikan daster milik Bu Mala yang untungnya muat di tubuhnya yang sedikit berisi. "Iya, Mbar. Sampean kenapa? Kok bisa keluar rumah nggak pake baju? Nggak malu
Perjalanan terasa lebih cepat setelah itu, karna kondisi jalan menuju kampung Bantar yang sedikit sepi dan jalanan yang baru di aspal membuat Gus Amar bisa melajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi. Sedangkan ke dua orang tuanya termasuk Alfi dan Sultan terlelap."Hasbunallah wanikmal wakil, nikmalmaula wa nikmannasiir," gumam Gus Amar sembari menikmati pemandangan sekitar yang memanjakan mata. Ustadz muda yang sebentar lagi akan mewarisi pondok pesantren milik abahnya itu sesekali mencuri pandang ke belakang, dimana seraut wajah manis tampak nyaman dalam tidurnya. Rona air mata kesedihan masih tampak di wajah tulusnya, ketimbang dahulu saat sang pujaan hati yang menawarkan janji suci masih berada di sisi. Sungguh, usia, jodoh dan rejeki hanya sang Pemilik Jagad Raya lah yang tahu. Wallahualam. Gus Amar tersenyum kecil lalu kembali fokus memacu mobilnya supaya bisa lekas sampai. Satu jam kemudian, mobil mereka sudah memasuki kawasan kampung Bantar. Gus Amar menepi sejenak ke seb
Warning! Mengandung adegan 21+ (tidak eksplisit), harap bijak dalam membaca. Sekali lagi, cerita ini hanya fiksi.~~~~Di tempat lain.Bu Ambar meringkuk sambil memeluk kedua lututnya, dari bibirnya terdengar isakan kecil yang sekuat tenaga ia tahan agar tak berubah menjadi teriakan. Ruangan gelap itu seketika berubah terang saat suaminya, Pak Yono masuk dan menyalakan lampu. Wajah pria paruh baya itu tampak garang, dengan tali pinggang kulit di tangannya ia mendekati Bu Ambar yang semakin gemetar. "Mau sampai kapan sih bertingkah terus seperti ini, bu? Apa susahnya tinggal menurut saja dan nanti kita nikmati hasilnya bersama! Apa kamu nggak mau kita kaya, Bu? Apa kamu nggak capek hidup seperti ini terus? Cuma cukup buat makan saja? Hah?" bentak Pak Yono keras, sangat kentara kemarahan di wajahnya yang memerah.Tangannya mengeras, tali pinggang di tangannya siap di lecutkan kapan saja."I- ibu nggak mau, p- pak. I- ibu takut," bisik Bu Ambar gentar, di tutupinya wajahnya hingga tubu
Dalam gelap malam dan dingin yang menusuk tulang, langkah langkah lebar Pak Wirya mantab membuntuti sesosok tubuh yang terbang tanpa kaki di atasnya. Ya, sosok seram menyerupai manusia itu hanya mempunyai bagian tubuh dari kepala hingga perut, sedang tubuh bagian bawahnya di sembunyikan entah dimana.Itulah yang orang orang kenal dengan sebutan palasik, hampir mirip dengan ku yang hanya saja berbeda bentuk. Sosok makhluk jadi jadian setengah jin dan setengah manusia. Dalam kasus ini, sosok jin itu merasuk ke tubuh manusia dan menyatu dengannya. Sehingga membutuhkan tumbal dan darah dari janin atau bayi yang siap lahir untuk kesempurnaan penyatuannya. Yang sebenarnya hanya menguntungkan pihak sang jin saja.Kembali ke cerita. Pak Wirya terus menatap ke atas tak peduli walau kakinya sudah berdarah karna berjalan tanpa sandal. Di benaknya sudah terbayang akan jabatan walikota yang sebentar lagi akan di sandang nya."Setelah itu nanti, aku akan mencalonkan diri jadi bupati, gubernur
"Auzubillahiminasysyatoni rojiim ...."Gus Amar memutar tasbihnya, lalu dengan secepat kilat melempar tasbih itu ke arah mata merah kecil yang berada tepat di atas potongan pinggang dari kaki tersebut."Kiieeekkkhhhh." Semburat api membesar, lalu secepat itu pula padam menyisakan asap beraroma hangus yang pekat. Setelah di rasa tak ada lagi gangguan, Gus Amar kembali mendekati tubuh bagian bawah manusia tersebut. Merogoh ke dalam kantung garam dan menaburkannya ke atas potongan tubuh tersebut. Bagian itu meletup letup seperti air yang mendidih atau seperti bunyi air soda yang botolnya baru di buka. Selesai menabur garam, Gus Amar berjongkok memukul bawang putih yang juga ia bawa hingga pecah menjadi bagian bagian kecil dan menaburkannya pula di atas bagian tubuh itu seraya membaca ayat suci."Alhamdulillah, semoga setelah ini semua teror merugikan bisa musnah," monolog Gus Amar lalu keluar dari kamar tersebut, meninggalkan potongan tubuh yang masih mengeluarkan bunyi meletup kecil.
Rumah peninggalan Bu Ambar sudah tak lagi aman, jin pesugihan yang di pelihara Pak Yono rupanya mulai mengincar Ranti sebab tak ada lagi yang memberinya makan setelah Pak Yono di penjara dan menjadi gila. Setelah kejadian tersebut, Pramono memutuskan membawa Ranti untuk tinggal di kediamannya saja, membawa serta bebek bebek dan unggas Pak Yono yang lain untuk di rawat di sana."Mas, jangan pergi jauh jauh ya." Ranti tampak cemas saat akan kembali memasuki rumah Pramono yang berhasil menorehkan luka untuk yang ke sekian kalinya untuknya.Pramono menoleh dan mengelus kepala sang istri. "Insyaallah nggak, kebun Mas kan di belakang rumah ini. Ada bebek juga sekarang, jadi nggak perlu pergi jauh jauh. Tapi kalau nanti adek mau jalan jalan bilang ya, di rumah terus kan pasti bosen." Ranti mengangguk riang dan mereka pun memulai hidup baru mereka di sana dengan lebih tenang.***Kembali ke pondok pesantren Daruttaqwa.Di teras rumah Ustad Yusuf yang lebih akrab di sapa abah oleh para sa
Di sana di depan matanya sendiri Pramono melihat Ranti tengah mengarahkan sebilah belati ke lehernya. Matanya tampak kosong menjelaskan jika bukan inginnya melakukan semua itu. Bahkan suara teriakan Pramono saja seperti tak terdengar olehnya. Saat belati hampir menyentuh kulit lehernya yang mulus, Pramono bergerak cepat menepis tangan Ranti hingga pisau itu terjatuh ke bawah ranjang."Astagfirullah, dek! Nyebut, dek kamu ngapain?" seru Pramono cemas bukan main. Namun bukannya menjelaskan,Ranti justru jatuh pingsan."Ya Allah, ada ada aja cobaan. Dek! Dek Ranti, bangun." Pramono mengangkat tubuh Ranti keluar, di depan kamar tampak Leha menghampiri dengan wajah tegang."Kang! Kenapa teriak teriak? Astagfirullah, kenapa Ranti, kang?" cecarnya kaget."Nanti saja ceritanya, dek. Tolong bawain bantal." Pramono melewati Leha dan terburu buru melangkah ke ruang tanu dimana sang ibu berada bersama Bu Mala dan Azzam." Loh loh, le? Kenapa Ranti?" tanya Mak Yem heran, pun demikian dengan Bu
Setelah berpulangnya Bu Ambar, Ranti kembali menempati rumah mereka. Selain karna Pak Yono tidak ada juga ada banyak unggas peliharaan mereka yang butuh di urus. Untungnya Pramono berhasil meyakinkan istri kecilnya itu untuk kembali, dan berjanji akan membantunya mengurus unggas unggas mereka untuk bekal masa depan mereka."Terima kasih ya, Mas sudah mau bertahan sejauh ini." Ranti bersandar di dada bidang Pramono, saat mereka tengah duduk di teras belakang yang menghadap langsung ke kandang unggas yang luas.Pramono mengelus pundak istrinya, lembut dan penuh kasih sayang. Tak rasa jijik mengingat apa yang terjadi pada Ranti, melainkan rasa ingin melindungi yang semakin besar dalam dirinya."Sama sama, kalau adek sudah merasa lebih baik nanti kita ke kantor polisi ya. Kasus bapak perlu segera di tuntaskan, dek." Ranti mendongak, menatap lekat mata suaminya. "Mas ... yakin?" "Adek masih takut?" Ranti mengangguk samar. "Terlalu mengerikan untuk tidak takut, Mas." Pramono merasak
Saat tengah kebingungan dengan asal bau bangkai yang sangat tidak enak tersebut, dari arah jalan tampak Bu Mala dan Pak Bagus tengah menggandeng Azzam, bocah itu tampak sangat senang menenteng joran pancing sambil bercanda dengan keduanya."Loh, Pram? Ngapain?" sapa Pak Bagus saat telah sampai di depan halaman Pak Yono. Pramono turun lalu menyalami tangan Pak Bagus dan Bu Mala, di ikuti Ranti yang tampak terus menunduk menyembunyikan wajahnya."Ini, Lek mau jenguk ibu mertuaku. Tapi rumahnya kok sepi e? Paklek sama bulek tahu nggak kemana?" Pak Bagus tampak saling pandang sejenak dengan Bu Mala, sedang Azzam sudah lebih dulu kembali ke rumah mereka untuk mandi."Nggak tahu, le. Sudah beberapa hari juga Bu Ambar nggak keliatan, kami kira malah pulang kampung atau nginep di tempatmu," jelas Bu Mala apa adanya.Kembali angin bertiup, awan mendung berarak sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Dan saat itu kembali bau bangkai yang menyengat kembali menyeruak."Huek! Astagfirullah,
Mata bening Aini mengerjab, kembali terpejam saat cahaya dari luar terlalu silau baginya."Bunda!" Sultan naik ke tempat tidur dan langsung berbaring di tubuh sang bunda, tangan kurus Aini bergerak alami memeluk tubuh sang putra."Alhamdulillah," ucap Alfi dan Umi Maryam berbarengan, keduanya kompak mendekat pada Aini yang mulai membuka mata. Tatapan matanya tak lagi kosong seperti biasanya."Mbak, alhamdulillah. Mbak baik baik saja kan, Mbak? Mbak inget Afi kan? Mbak inget Sultan kan?" cecar Alfi dengan luapan kegembiraan yang luar biasa. Aini duduk dan merangkul Sultan erat, matanya mulai basah oleh air."Iya, dek iya Mbak inget semuanya. Mbak inget, mbak seneng sekali akhirnya bisa pulang," jawab Aini. Dan inilah dia, Aini yang selama ini di kenal Alfi dan orang orang sekitar. Sosoknya yang penyayang dan lemah lembut, juga sangat keibuan hampir tak pernah meninggikan suaranya walau dalam keadaan sangat marah sekalipun. Mungkin akan sangat sulit di percaya jika Alfi bercerita j
Dika termenung di depan pusara baru di hadapannya, pusara itu milik mayat yang di ketemukan dalam kondisi mengenaskan setelah di makan buaya tempo hari. Usut punya usut, rupanya mayat itu adalah salah satu dari anak buah Pak Wirya. Sugiarto namanya, seorang duda yang sudah tak punya orang tua dan keluarga Tak ada yang tahu bagaimana kejadian awal kecelakaan itu, karna tidak adanya saksi mata. Sedang Pak Wirya pun kini masuk dalam daftar pencarian orang hilang."Kita pulang, Mas?" tanya Gus Amar setelah berbincang sejenak dengan petugas dari kepolisian yang menangani kasus hilangnya Pak Wirya. Dika mengangguk, lalu perlahan mengikuti langkah Gus Amar kembali ke pondok pesantren."Gus, apa boleh saya bertemu dengan Aini?" tanya Dika sesaat setelah mereka tiba di kediaman. Gus Amar mengernyit, sudah beberapa waktu sejak Dika mengembalikan Aini pada Alfi, dan kini kakak beradik itu memilih tinggal tak jauh dari kawasan pondok atas permintaan Umi Maryam yang masih khawatir dengan kese
Detik itu juga Pak kades ambil sikap, beliau langsung menelpon perangkat desa yang lain untuk berdiskusi. Semetara Pramono diminta pulang lebih dulu untuk memanggil Leha sebagai saksi dan Ranti jika bisa.Pak Yono gemetar di kursinya, wajahnya tampak mengerut dan menunduk. Terlebih setelah beberapa pamong desa datang dan Pak kades serta ustadz Rizal mulai menjelaskan duduk perkaranya."Astagfirullahaladzim, Yono! Saya tidak pernah menyangka kamu sebej*t itu! Saya kira memang betul Pramono yang menghamili Ranti, anak kamu itu. Tapi rupanya ... astagfirullah, dimana otak kamu itu kamu buang hah, Yono?" bentak pak Sekdes berang. "Entah, sudah di makan kutu itu otakmu makanya bisa bertingkah seperti itu. Apa kamu nggak mikir, ah astagfirullah ... wes ndak bisa ngomong aku wes. Akhir zaman, akhir zaman," timpal warga satunya lagi dengan wajah kesal, ia menekan puntung rokoknya kuat kuat ke asbak dengan tatapan menghunus pada Pak Yono yang mengkerut di tempatnya duduk."Untung saja si Pram
Bugh!Bugh!Bruaghhh!Pramono menghajar seseorang yang tadi berada di atas tubuh istrinya dengan membabi buta, bahkan untuk melihat wajahnya pun tak sempat. Sedangkan Ranti, tetap berada di atas ranjang dengan air mata berlinang."Ya Allah, kang! Kang sudah, kang! Istighfar!" Leha memburu kakaknya lalu memeluknya erat erat, jika tidak demikian di takutkan nanti orang tersebut meregang nyawa dan bisa menjadi bumerang untuk Pramono."Lepas, dek! Lepas! Makhluk bi a dab seperti itu harus di beri pelajaran! Dimana otaknya dia gadaikan sampai istri orang pun di embatnya?" geram Pramono berusaha memberontak. Namun sekuat yang ia bisa Leha terus menahan bobot tubuhnya."Sabar, kang! Kalau orang itu lapor polisi nanti kakang yang jadi pesakitan! Sekarang hukum bisa di beli, kang!" seru Leha menyadarkan Pramono. Perlahan perlawanan Pramono melemah, lekas lekas dia menyelimuti tubuh polos Ranti yang tergolek lemas di arah ranjang. Bahkan Pramono pun masih belum menyentuhnya sama sekali meng
Kerumunan warga semakin ricuh, saat sebuah tubuh yang tadi tenggelam kembali muncul ke permukaan, lalu di susul seekor buaya yang tidak terlalu besar menggigit salah satu tangannya dan menyeretnya ke arah tepian yang sepi. Warga bersorak dan melempar sesuatu seperti batu batu kecil dan apapun yang bisa mereka temui guna menghalau buaya itu, namun sepertinya sia-sia. "Astagfirullahaladziim." Gus Amar menoleh saat merasa seseorang bicara tepat di belakangnya, dan di sana ia mendapati wajah mendung Dika yang tengah menyorot ke arah buaya tadi."Kenapa turun, Mas? tunggu saja di mobil, sebentar lagi mungkin sudah bisa lewat. Tadi ada bapak bapak sudah telepon pihak kepolisian," jelas Gus Amar yang mengira Dika turun dari mobil karna tak sabar atau bosan menunggu. Namun dengan tatapan nanar Dika malah menunjuk ke arah semak dimana buaya tadi membawa tubuh korbannya. Dengan suara serak Dika berbisik. "Itu Papa saya."Degh Mata Gus Amar membulat sempurna, di telisiknya dalam dalam waj