Bagas menggebrak meja Tuan Arya dengan penuh kemarahan. Tuan Arya terkejut, sekaligus marah. Lelaki itu tidak mengenal Bagas.
"Siapa dia!?" tanya Tuan Arya."Maaf Tuan, ia tadi menerobos masuk," kata resepsionis kantor Arya."Aku Bagas, di mana Kamilia!?" tanya Bagas dengan keras."Aku tidak tahu siapa Kamilia, pergi dari kantorku!" usir Tuan Arya. "Aku tidak mau pergi sebelum kau menyebutkan di mana Kamilia berada, atau kulaporkan polisi?" ancam Bagas.Tuan Arya tidak menjawab, dia menelpon seseorang. Tidak lama kemudian datang dua orang sekuriti, memaksa Bagas untuk pergi. Karena mengundang keributan, terpaksa Bagas keluar dari kantor tersebut. Bagas menunggu di luar kantor, akan dia buntuti ke mana Tuan Arya pergi."Kau tidak akan bisa lari dariku, Arya!" Bagas berkata sendiri dengan keras.Menjelang kantor tutup, Bagas bersiap melihat siapa-siapa yang keluar. Bahkan mobil Arya sudah dia hafal nomornya. Tadi lelaki itu sempat berkeliling ke temAnita sejenak tampak ragu-ragu untuk menjelaskan. Dia mendekati pemuda itu, mencari kehangatan di sana. Bagas menolak, tidak ada hasrat untuk bercinta kini. Lelaki itu hanya ingin segera tahu tentang Kamilia.Anita menggeser duduknya. Sekarang dia mengerti, untuk apa Bagas menyewa dirinya. Dia hanya perlu bercerita bukan membuka kancing baju. Anita merasa senang, malam ini dia terbebas dari tugas rutinnya. Namun, tetap mendapatkan uang. Wanita itu tersenyum."Ceritakan kembali tentang Arya!" suruh Bagas."Beberapa kali aku pernah dibooking Tuan Arya. Dia selalu bilang 'bermain-main' padahal itu menyakitkan bagiku. Mentang-mentang dia sudah membayarku," gerutu Anita."Apalagi?" tanya Bagas. "Kau tahu rumahnya?""Tidak," jawab Anita.Bagas mengantarkan Anita kembali ke tempat Tante Melly. Rupanya Anita tertarik kepada Bagas. Dia bersedia membantu Bagas mencari Kamilia.Malam semakin dingin, gerimis kembali membasahi Ibukota. Beran
Tuan Arya tidak bisa memungkiri lagi. Kamilia bersedekap memandang Arya dengan tatapan dingin. Kini, dia telah mulai membalas dendam. Dokter yang datang menanganinya adalah dokter keluarga mereka juga. Rupanya Arya sudah salah memilih dokter."Kamu telah salah langkah Arya, kamu pikir ini perusahaan sudah mutlak milikmu," kata Tuan Freza. "Sekarang perusahaan ini menjadi milik putriku, Kamilia," lanjut Tuan Freza lagi."Papah!" seru Kamilia kaget. Dia tidak menyangka sedikit pun akan mendapatkan ini. Bukankah tadi cuma drama saja, dia duduk di kursi direktur."Papah sudah mengurus dokumennya," kata Tuan Freza. Tidak peduli dengan perkataan Kamilia.Tentu saja Kamilia tidak menyangka, semua terjadi begitu cepat. Kemarin dirinya masih meringkuk dengan takdir yang menyakitkan. Kini, kedudukan tinggi sudah pula diraihnya. Kamilia sungguh tidak mengerti apa yang tengah terjadi. Dia tidak pernah berharap kedudukan, lepas dari cengkeraman Arya saja dirinya
Garganif berusaha untuk dekat dengan Kamilia. Kamilia tetap menghindar, sang pemilik mimpi –Saiful masih sering hadir. Dia masih datang mengganggu tidurnya.Garganif –pemilik mata teduh itu tetap meyakinkan Kamilia akan kesungguhan cintanya. Padahal Kamilia sudah mengakui kalau dirinya dahulu adalah seorang kupu-kupu. Kupu-kupu yang sudah melewati fase-fase kesakitan untuk menjadi dirinya yang seperti ini.Laki-laki itu tidak peduli dengan masa lalu Kamilia. Dia salah satu pemilik hati yang teguh. Kalau sudah merasa suka, dia akan mempertahankan dan memperjuangkannya. Lama-lama kebekuan hati Kamilia mencair juga.Senja ini Kamilia dan Garganif duduk menikmati senja di pantai. Sengaja Garganif membawa Kamilia ke sana. Pantai Ancol selalu membawa kenangan manis untuknya. Mereka duduk di pasir putih. Masih banyak pengunjung yang sengaja menunggu sunset."Mila kau lihat anak itu!" suruh Garganif."Kenapa?" tanya Kamilia heran.
Kamilia melihat ke arah ponsel Garganif. Nama itu tertera lagi … berulang-ulang."Siapakah Paulina? Mengapa menelpon berulang-ulang sepertinya sangat penting?" tanya Kamilia dalam hati.Kamilia melihat ke arah suaminya yang tertidur pulas. Memperhatikan wajahnya, sambil menerka-nerka. Adakah kebohongan dalam dirinya. Garganif terlalu sempurna, dia tidak mungkin melakukan kesalahan. Apalagi berselingkuh.Malam terasa sangat panjang bagi Kamilia. Nama itu mengusik hatinya. Ini adalah malam pertamanya, harusnya tidak ada sesuatu yang mengganggunya. Kamilia ingin segera tahu yang dilakukan Garganif keesokan harinya. Jangan harap dia bisa lolos dari penyelidikannya.Rupanya Garganif terbangun oleh kegelisahan Kamilia. Dia membuka matanya perlahan. Melihat Kamilia terjaga, dia meraihnya ke dalam pelukan. Mendekapnya seolah-olah tidak ingin terpisahkan. Menghangat mata Kamilia membayangkan kecemasannya."Ada apa, Sayang?"Kamilia mengg
Kenyataan bahwa Wiliam Garganif –suami Kamilia, sudah memiliki istri, sungguh membuat Kamilia menjadi patah hati. Lelaki itu tidak berusaha untuk menjelaskan apa pun dia. Kebohongan terus terungkap, Garganif tidak dapat lari lagi. Gerimis mulai turun saat Kamilia meninggalkan rumah sakit. Bumi seolah-akan berada di pundaknya kini. Berat sekali kenyataan yang harus dia terima. Pandangan mata menjadi kabur karena hujan dan air mata. Mereka berlomba untuk meneteskan air lebih banyak lagi.
Garganif tidak segera menjawab. Dia mendukung saat Rico berjuang untuk mendapatkan restu dari orang tua Paulina. Dia melihat bagaimana mereka berdua mempertahankan cintanya. "Mereka lari dari orang tua," jawab Garganif.
Garganif kaget mendengar jeritan Paulina. Lelaki itu mengajak Kamilia untuk pergi ke rumah sakit. Mereka pergi dengan hati berdebar-debar."Ada apa dengan bayi Paulina?" tanya Kamilia. Kekhawatiran menggelayuti wajah cantik tersebut. Naluri keibuannya muncul, dia sangat khawatir, takut terjadi apa-apa dengan bayi cantik tersebut."Entahlah," jawab Garganif. Lelaki itu juga sama. Merasakan kekhawatiran yang Kamilia rasakan. Apalagi Garganif mendampingi Paulina sejak wanita itu ngidam. Saat bayi mungil itu lahir, entah mengapa rasa sayangnya begitu besar terhadap Rinai."Rinai, kamu baik-baik, ya, Nak! Tunggu mami-papi!" Kamilia setengah meratap. Garganif melirik wanita tersebut. Lelaki itu bahagia Kamilia mau menerima bayi tersebut. Tadinya Garganif bingung harus bagaimana membujuknya.Perjalanan terasa lama sekali. Akhirnya mereka sampai juga. Terlihat Paulina sedang menangis di hadapan bayinya yang sedang diberi tindakan oleh dokter."Ada ap
Lamunan Garganif terjeda, lelaki itu melihat ke arah anaknya – Rinai. Lelaki itu menoleh lagi ke arah bangku taman tadi. Sosok Paulina lenyap. Garganif mengusap mimpi ketika melihatnya tadi adalah. Empat tahun sudah tidak bertemu dengan Paulina sejak Rinai dia bawa pulang."Anak Papi dari mana, sih?" tanya Garganif. Dia jongkok menjawil pipi tembem anaknya. Rinai sangat indah dengan pipinya yang seperti bakpao.
"Selamat, Bu Kamilia, aduh jagoannya ganteng sekali!" Teman Kamilia setengah berteriak melihat keelokan buah hatinya."Ya, Allah, ini sih ketampanan yang hakiki!" Amira histeris, dasar cerewet.Harus diakui anaknya memang terlahir sangat rupawan, alhamdulillah. Bukan karena pujian ibunya, tapi setiap orang yang datang menengok semua rata-rata terpesona melihatnya. Mungkin karena ibu bapaknya juga memiliki wajah yang cantik dan tampan, namanya juga seorang model.Namun, di balik puja puji tersebut terdapat cerita yang mengiris hati. Kejadian yang hampir merenggut nyawa Kamilia, karunia Allah yang tak terhingga, wanita itu masih bisa bernafas hari ini.Si tampan ini adalah anak Kamilia yang pertama, usia menjelang empat puluh. Kehamilannya memang agak bermasalah, ketika USG, terlihat ari-ari bayi dibawah menghalangi jalan lahir. Namun, Kamilia bersikukuh untuk lahiran normal.Saat lahiran pun tiba, siang Kamilia sudah pergi ke rumah sakit ditemani suaminya, Saiful. Ternyata pembukaan tid
Suasana hening menunggu aksi Saiful selanjutnya. Menerka-nerka apa sebenarnya yang akan terjadi.Lelaki itu berlutut di depan Kamilia. Tangannya mengeluarkan kotak segi empat kecil berwarna merah. Kamilia terpaku melihat tingkah laki-laki itu. Semua yang hadir juga tidak ada yang bersuara. Suasana hening dan syahdu. Seiring musik mengalunkan nada cinta. "Maukah kau menikah denganku?" Bergetar suara Saiful saat menyatakan keinginannya.Suara tepuk tangan gemuruh disertai suitan. Mereka berharap agar Kamilia juga menerima lamaran Saiful. Berkaca-kaca mata Kamilia, tanpa diduga laki-laki yang dicintainya melamarnya kini."Terima … terima!"Hadirin ramai berteriak. Mereka menyemangati Kamilia agar segera menerima cincin itu. Kamilia memandang ayah dan ibunya. Mereka mengangguk tanda setuju.Perlahan-lahan Kamilia menyodorkan tangannya. Saiful menyambutnya, lalu lelaki itu berdiri. Dia mengambil cincin dari kotaknya dan menyematkannya di jari manis Kamilia.Gemuruh tepuk tangan kembali mem
Sore yang cerah membawa Kamilia serta Amira dan Rinai sampai ke sebuah pelataran rumah sederhana. Kamilia dan Amira pergi menemui orang tua Amira. Untuk pertama kalinya Amira pulang setelah pergi selama bertahun-tahun.Tadinya Amira tidak mau tapi Amira memaksanya untuk meminta restu dari orang tuanya. Mereka pergi bertiga dengan Rinai ke rumah Amira."Ini rumahmu?" tanya Kamilia.Gadis itu hanya mengangguk. Dia menatap lekat rumah yang sudah lama ditinggalkannya. Ribuan kenangan berlompatan dalam benaknya. "Aku tidak mau!" seru Amira."Anak durhaka, ikuti dia! Dia akan memberimu pekerjaan." bentak bapak Amira –Zulfikar."Aku masih ingin sekolah, Pak," ratap Amira."Pergilah! Ikuti dia." Suara Zulfikar semakin lemah. Hatinya juga hancur harus merelakan anaknya menjadi pelacur."Mak!" Amira mencoba memohon pertolongan kepada ibunya.Ibunya hanya menggeleng sambil menangis. Matanya sudah bengkak karena menahan tangis sejak tadi. Kini, air matanya tumpah tidak dapat dibendung lagi. Pupu
Kamilia mengusap air matanya. Bersaing dengan hujan yang semakin deras. Lamunan Kamilia semakin dalam. Tok tok tok.Suara ketukan di pintu kembali membuyarkan lamunannya. Rupanya Saiful sudah berada di ambang pintu."Pulang," ajak Saiful."Masih hujan," ujar Kamilia. "Kayak jalan kaki saja, ayo!"Dengan malas Kamilia beranjak dan mengikuti pria itu. Wanita itu tidak ingin membantahnya. Hujan masih mengguyur Jakarta saat mereka menyusuri jalan yang basah. Tampak sepasang laki-laki dan perempuan berjalan dalam hujan. Tangan wanita itu merangkul erat pinggang laki-laki itu. Kamilia membayangkan itu adalah Garganif. Sukar diterima akal, jika dirinya kini telah berpisah. Entah mengapa sakit sekali hati Kamilia membayangkan Garganif dengan wanita lain."Kenapa?" tanya Saiful demi dilihatnya Kamilia hanya duduk mematung. Lelaki itu mengikuti arah pandang Kamilia. Dia melihat sepasang manusia berjalan sambil berangkulan. "Teringat siapa?""Tidak ada, kenapa?" "Enggak, lain dari biasanya.
Kamilia merasa curiga melihat Amira dan Bintang berbisik-bisik sambil melirik ke arahnya. "Ngapain mereka?" pikir Kamilia. Dia melirik ke arah Saiful. Sama juga, lelaki itu tampak tersenyum misterius.Rinai yang sudah selesai berbelanja mengajak Kamilia untuk segera pulang. Namun, Saiful memberi kode bahwa dirinya masih ada tempat yang dituju."Oom masih ada urusan lain. Jangan dulu pulang, ya!" bujuk Saiful."Mungkin dia ada urusan mendadak," pikir Kamilia.Berlima mereka menaiki mobil mewah keluaran terbaru. Bintang dan Amira duduk bersebelahan di belakang. Rinai dipangku oleh Kamilia. Terlihat sebagai keluarga yang sangat bahagia. Kamila tersenyum bahagia, begitu pula Saiful. Lelaki itu selalu menyunggingkan senyum."Apa ih, senyam-senyum?" tanya Kamilia."Tidak apa-apa. Sebaiknya kamu tutup mata deh," jawab Saiful."Kenapa? Kalian pada kenapa, sih? Kok mencurigakan?" Kamilia bertanya."Tidak ada apa-apa?" Saiful tersenyum penuh misteri."Apa, sih?" Kamilia menggerutu. "Sok mister
Hari ini Kamilia berniat untuk pergi ditemani oleh Saiful dan Rinai. Bintang dan Amira juga merengek ingin ikut. Dasar, ada-ada saja mereka ini. "Ayolah, Kak, cuma ikut saja nggak minta digendong, kok," kata Amira dengan wajah merajuk. Mau tak mau membuat Saiful dan Kamilia tersenyum dan mengangguk ke arah mereka berdua. Kubiarkan mereka asik menikmati permainan di mall itu, saat Kamilia sendiri memilih masuk pada sebuah salon kecantikan terkenal di tempat itu. Sekarang saatnya dia memanjakan diri, sedikit melupakan hal-hal yang membuat otak dan pikiran lelah dan stress.Saiful dan yang lainnya juga seperti tak keberatan meluangkan waktu hanya untuk menunggui Kamilia yang membutuhkan waktu hingga dua jam lebih itu.Setelahnya, mereka berjalan beriringan. Menyusuri satu demi satu toko yang menjual aneka barang dagangannya, lalu berhenti di sebuah toko baju yang menyediakan perlengkapan kebutuhan anak-anak. Selain desain yang menarik, harganya juga masih ramah dikantong dengan model ya
"Apa sebaiknya kita percepat saja pernikahan kita?" tanya Saiful.Kamilia yang tengah minum orange jus kesukaannya, langsung menyemburkannya dan hampir saja mengenai muka Saiful. Tentu saja lelaki itu kaget dibuatnya."Kamu itu bercandanya nggak lucu tau," kata Kamilia ketus. Wanita itu menatap ke arah Saiful yang langsung terbahak sambil mengangsurkan tisu padanya."Maaf, kamu sampai kaget begitu. Tapi aku tidak bercanda Kamilia, aku serius dengan ucapanku barusan.""Kamu pikir mentang-mentang aku janda, makanya kamu bisa seperti itu memintaku untuk menikah segera?" "Bukan begitu maksudku, hanya saja aku sudah tak tahan dan ingin segera memilikimu. Lagi pula aku takut tergoda dengan yang lain, atau kamu akan kembali kepada Garganif lagi," ungkap Saiful jujur.Kamilia memutar bola matanya malas, merasa ucapan Saiful sungguh tidak penting."Jika aku mau kembali kepada lelaki itu, aku tidak akan duduk di sini bersamamu dan mengatakan padamu tentang kedatangan papanya Rinai.""Oh ya, beg
Kamilia menghentikan mobilnya tepat di depan mereka, Amira dan Bintang. Tawa Kamilia terhenti saat melihat mata Amira bengkak."Apa yang terjadi?Jangan bilang kamu yang membuat Amira menangis!" tuduh Kamilia kepada Bintang."Bukan bukan aku," elak Bintang. Pemuda itu melihat ke arah Amira mengharapkan dukungan."Bukan, Kak. Aku hanya teringat Andra." Amira menjawab sambil masuk ke mobil. "Kamu gak ikut?" tawar Amira."Aku bawa motor." Bintang melambaikan tangannya kepada mereka."Kamu pacaran sama Bintang?" tanya Kamilia."Hehehe." Amira hanya tertawa malu. Dia menunduk menyembunyikan wajahnya yang bersemu merah."Ya, sudah, gak apa-apa. Kakak juga mau nikah," ucap Kamilia mengagetkan Amira."Sama siapa?" Amira menoleh dengan cepat, memastikan kalau dirinya tidak salah mendengar."Saiful." Seketika ingatan Amira melayang kepada sosok laki-laki tampan yang bermata teduh. Seorang laki-laki yang sempurna. Amira juga ingin mempunyai suami seperti dia. Sudah ganteng, sholeh, punya perusaha
Laila terkejut mendengar perkataan Amira. Bisa saja Andra meminta Bintang untuk mencintai Amira."Bisa jadi," kata Laila sambil berbisik. Mereka menjaga agar suaranya tidak terdengar oleh orang lain."Ssst … jenazah sudah keluar. Ayo!" Amira menggamit lengan Laila. Mereka berjalan beriringan dengan pelayat lainnya. Bintang tampak menggandeng sang ibu. Bintang mengedipkan matanya sebagai isyarat dirinya tidak bisa dekat-dekat dengannya. Amira mengangguk, gadis itu mengerti.Amira menangis saat pemakaman, begitu pula Laila dan Adelia. Mereka bertiga lama terpekur setelah orang lain pulang. Mengenang saat-saat kebersamaan dulu dengan kenangannya masing-masing."Kita pulang, yu," ajak Laila.Amira dan Adelia mengangkat wajahnya. Mereka berdiri lalu beranjak dari gundukan tanah merah itu. Berjalan menyusuri deretan batu nisan.Amira menoleh ke arah makam Andra. Gadis itu seperti melihat Andra berdiri menatapnya. Amira berhenti memperhatikan, dia akan kembali lagi. Namun, Laila menggamit le