Nico meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku, badannya sedikit sakit karena dia baru saja sampai ke mansionnya pada tengah malam. Perjalanan dari Indonesia menuju Norwegia memakan waktu sekitar 16 jam, tanpa melakukan transit karena dia takut keadaan Mawar memburuk jika terlalu lama dalam perjalanan. kedua kakinya dia turunkan dari atas ranjang, lalu bangkit melangkah menuju gorden yang belum di buka. Sinar mentari langsung menyinari wajahnya saat dia membuka gorden tersebut, wajahnya yang memiliki pahatan sempurna semakin bersinar dikala cahaya mentari menerpa wajahnya. Mungkin jika ada wanita di kamar ini, wanita itu akan menjerit kerna takjub dengan wajah itu yang tampak tanpa cela sedikitpun, begitu sempurna hingga siapa saja yang melihatnya akan senang bila berlama-lama menatap wajah itu. Bibir Nico tersungging ke atas, membentuk sebuah senyuman manis dan tulus. Saat ini dia tengah merasakan perasaan yang teramat bahagia dalam dirinya,
Nico turun dari helikopternya, beberapa orang yang berpakaian rapi menyambutnya dengan senyum lebar di wajah mereka. Satu orang maju dan mendekati Nico, mengulurkan tangannya memberi penyambutan kepada Nico. "Velkommen, Mr Sadlers,(Selamat datang, tuan Sadlers,)" Nico mengulurkan tangannya dan membalas uluran tangan pria itu, tidak lupa menyempatkan membalas senyum sebagai formalitas. "Jeg hadde ikke forventet det, det viser seg at det folk i denne byen sa var sant,( Saya tidak menyangka, ternyata apa yang dikatakan orang-orang di kota ini benar adanya,)" tukas lelaki tersebut. Nico menaikkan sebelah alisnya, "Hva sa de om meg? (Apa yang mereka katakan tentangku?)" "De sier at du er en veldig fantastisk mann, du er veldig kjent i denne byen. (Mereka mengatakan bahwa anda adalah pria yang sangat mengagumkan, anda sangat terkenal di kota ini)" Nico menatap Joan, meminta penjelasan. "Dia adalah Oscar, walikota yang baru di k
Seringaian muncul di wajahnya. "Kau bilang aku tidak berguna? Anak kecil sepertimu lebih tidak berguna dariku," Joan berdecak lalu menggelengkan kepala, menatap mencoomooh ke arah Martin. "Kita lihat apa yang akan tuan ku lakukan padamu," Martin tertawa sampai badannya terbaring di tanah, dia menatap langit yang terlihat cerah pagi hari ini, "kita lihat, apakah tuan mu itu akan selamat dari kematiannya?" Joan mengernyitkan keningnya, lalu pandangannya di alihkan kepada mobil yang ditumpangi Nico yang sudah menghilang sejak lama dari pandangannya, "kau... apa yang sedang kau rencanakan, pak tua?" Joan menggeram dan mencengkram baju Martin. "Kita lihat saja nanti," ucap Martin. Tanpa diketahui Joan, perlahan tangan Martin yang tidak terluka menyentuh pistol yang di selipkan di pinggangnya yang berada dibalik baju. Martin menodongkan pistol itu ke arah Joan, tepat di kepala Joan, lalu dia menyeringai puas. "Ah..akhirnya musuhku akan
Kedua tangan Nico mengepal, kamar yang seharusnya di tempati oleh istrinya kini kosong bagai tidak di tempati seorangpun sebelumnya, hanya ada elektrokardiograf-- alat pendeteksi irama jantung yang sudah mati. "Tidak ada jejak satupun yang bisa kami temukan, karena saat kejadian itu berlangsung semua CCTV di rumah mu telah di blokir," Carlos enggan mengatakan kelanjutan ucapannya, melihat keadaan Nico saat ini, dia tidak yakin pria itu bisa menerima. "Istrimu sudah tidak di Negara ini lagi, orangku mengatakan dari rumahmu sampai ke bandara rekaman yang seharusnya ada di dalam cctv sudah tidak ada, tentu orang yang melakukan ini bukanlah orang sembarangan," jelas Carlos. "Kau punya gambaran siapa dalang di balik semua ini, Nic?" Tanya nya lagi. Nico terduduk lemas, semua koneksi yang dia miliki sudah dikerahkan untuk mencari Mawar. Bahkan dia melibatkan intelijen kepolisian yang seharusnya tidak boleh dia lakukan karena itu bisa membahayakan dirinya yang meman
Mawar merasakan tubuhnya tidak bisa di gerakan, kepalanya berdenyut nyeri, tapi perlahan dia memaksakan matanya untuk terbuka. Kedua matanya mengerjap pelan,"Ge-lap sekali," Suaranya sangat lirih, hingga terdengar serupa bisikan pelan. Ketika menoleh, kepalanya semakin berdenyut nyeri, lalu tiba-tiba mata nya terpejam, kaget dengan cahaya yang dilihatnya. perlahan-lahan mata itu terbuka kembali, menyesuaikan dengan cahaya yang menerobos masuk lewat sana, entah itu jendela yang di lapisi gorden atau benda lain, karena jujur saja dengan kepala pusing pandangannya menjadi memburam. Sudah dirasa cukup menyesuaikan mata nya, kini Mawar memaksakan diri untuk bangkit lalu berhasil mengambil posisi duduk dengan punggungnya yang bersandar di kepala ranjang dengan susah payah. Tangan sebelah kanan nya perlahan bergerak melepas infusan di tangan sebelah kiri, lalu setelah itu dia melepaskan semua alat yang menempel pada tubuhnya. Rasanya melegakan, s
Mawar sedang melamun, semua penjelasan Fabio tadi membuat hatinya kian hancur. "Apakah aku sangat hina sampai suamiku sendiri membuangku?" Tanyanya pada diri sediri, dia merasa dirinya sudah tidak berharga. Air matanya jatuh, sakit dihatinya karena di buang oleh suaminya tidak seberapa daripada dia harus melihat ibunya bekerja kembali menjadi seorang pelayan untuk bertahan hidup. Mungkin ibunya sekarang tengah menderita, mencari uang demi sesuap nasi dan harus menulikan telinganya dari cemoohan tetangga. Kenapa tuhan begitu tidak adil? Jadi penderitaan yang dia tanggung selama tinggal dengan Nico hanya berakhir dengan sia-sia saja? bagaimana keadaan ibunya sekarang, dia sangat merindukan dan mengkhawatirkannya. "Hiks..hiks" Mawar menghapus air matanya, tapi semakin dia menghapus air mata itu semakin banyak yang keluar. Akhirnya dia membiarkan saja karena jika perasaanya sudah lebih ba
"Maaf tuan, aku tidak nyaman bila kau terus menggenggam tanganku seperti ini," keluh Mawar. Kini Mawar dan Fabio tengah berada di atas ranjang, tidak ada yang mereka lakukan selain menonton tv. Pria itu yang memaksa Mawar, padahal Mawar sudah beberapa kali memprotes tapi dia bisa apa? Turun dari ranjang saja tak bisa. Sebenarnya Mawar tidak nyaman terus berdekatan tanpa jeda seperti ini, dia baru saja bangun dari koma dan syok mendapatkan perlakuan tidak biasa yang di terimanya, misal tiba-tiba pria itu akan merangkulnya, mengusap rambutnya, menegcup atau menggenggam lengannya dengan sangat erat, membuatnya menjadi risih. Seakan Fabio memang sudah lama mengenalnya, padahal seingatnya dia baru bertemu satu kali dengan Fabio itupun saat di pesta tahun lalu bersama Nico, saat dirinya masih berstatus sebagai istri Nico. Dengan terpaksa Fabio melepskan genggaman tangannya, merangkul bahu Mawar sebagai gantinya. Mawar langsung menghembuskan nafas, mencoba b
Mawar tengah berada di ruang makan bersama Fabio dan juga para pelayan, sedari tadi senyum Mawar terus merekah, membuat Fabio dan beberapa pelayan menatap Mawar heran. Mawar baru saja mengetahui kebiasaan Fabio ketika pria itu sedang makan dia selalu di temani oleh para pelayan, duduk di depan meja yang sama, memakan dan meminum, minuman yang sama, membuat Mawar sangat kaget sekaligus takjub. Ibunya sering membawa makanan sisa dari rumah Shakti, seorang kepala desa tempat ibunya bekerja. Makanan sisa yang kadang di bawa ibunya itu adalah berkat bagi mereka, walau kadang tidak selalu makanan segar yang ibunya bawa tapi makanan itu bisa mengenyangkan perutnya untuk hari itu, juga menghemat biaya pengeluaran untuk makan. Dan pemandaangan yang Mawar saksikan saat ini, merubah pola fikirnya tentang kesombongan orang kaya, toh ternyata tidak semua orang kaya bersikap congkak, contohnya adalah Fabio, pria ini entah kenapa membuat Mawar semakin segan padanya.
Matahari bahkan belum menampilkan secercah sinarnya, tapi mansion yang letaknya berada di tengah hutan itu tengah di sibuk kan dengan kedatangan tamu yang membuat para penghuninya sibuk setengah mati. "Sudah, kau puas sekarang?" Mawar mendelik, "cih, kembalikan aku kepada keluargaku, Nico sialan." Semua orang yang menyaksikan pertarungan sengit itu menahan nafas, lalu mereka sontak terpekik saat nyonya mereka melemparkan sebuah panci yang berisi sup ke arah majikannya. Sup yang sudah hampir dingin itu berceceran di lantai. Mawar menelan ludah, sungguh dia tidak sengaja melakukannya, itu bukan keinginannya melainkan tangan sialan yang tidak bisa dia kontrol. Matilah kau Mawar! Suasana hening nan mencekam langsung menyelimuti ruang makan itu. Lalu tiba-tiba, para pelayan tersentak dan refleks melangkah mundur mendengar sebuah kekehan yang terasa mematikan di telinga mereka. Mawar meringis ngeri melihat ekspresi semua pelayan. "Apa kau gila Nic, kau menakuti semua orang," ucap Mawar
Nico mengalihkan pandangannya ketika Laura menatap dirinya seakan memintanya untuk mematikan telepon."Urus saja olehmu," ucap Nico akhirnya pada seseorang di seberang telepon.Laura mengembangkan senyumnya ketika mendengar Nico mengakhiri panggilannya, itu tandanya pria itu sudah mulai menerima dirinya dan juga putra semata wayang mereka."Fred makan yang banyak agar kamu cepat tumbuh besar," ucap Laura, tangannya sibuk menambahkan berbagai jenis sayuran dan lauk pauk kedalam piring Fred."Aku sudah besar mommy," ucap Fred menanggapi, matanya mengikuti setiap gerakan Laura yang dengan cekatan memindahkan lauk pauk dan juga sayuran ke dalam piringnya.Laura terkekeh, "ya, maksud mommy biar kau lebih besar lagi dari dirimu yang sekarang, kau lihat..." Laura menggerakan dagunya terarah pada Nico yang ternyata masih sibuk berbicara di telepon."Ya, itu Daddy, kenapa dengan dia Mom?""Cepatlah besar agar kau bisa membantu ayahmu bekerja, tidakkah kau lihat Fred? Dia terlalu sibuk sampai m
Nico mengikuti arah pandang Laura, dimana Fred sedang sibuk bermain dengan pengasuhnya. Tatapan Laura sendu menatap anaknya, "Kau tidak ingin bermain dengannya, Nic?" Perasaan Laura mendadak pilu, mengingat akhir-akhir ini Nico kembali menjadi Nico yang dulu, lebih mengutamakan pekerjaannya ketimbang dirinya, kini anaknya pun mengalami hal serupa dengannya. Nico mengerutkan keningnya saat menatap Laura, lalu dia berdeham pelan, "ya, kurasa aku masih punya waktu lima menit sebelum pergi ke kantor," ucapnya sembari melirik arloji ditangannya. Laura menipiskan bibirnya, senyum kecil tercetak di sana. "Terimakasih, Nic" dengan perasaan ragu, Laura mengulurkan tangannya, ingin menyentuh lengan Nico. "Daddy!" Fred berteriak girang, tangan mungilnya melambai lalu setelah itu dia menarik jari telunjuk Nico agar Nico mengikuti langkahnya, "Daddy lihat ini," Fred menunjukkan sebuah buku warna yang sebelumnya berada di tangan pengasuhnya. Nico mengambil buku itu dan membukanya lembar demi l
"sialan!" Nico mengendurkan dasi yang terasa mencekik lehernya. "Pak tua itu..." Dia menggeram rendah, matanya memerah dan pandangan tajamnya lurus menatap kedepan.Tak lama suara tawa terdengar, lalu Nico menyingkirkan habis semua benda yang berada di atas meja kerjanya. "Dia terlalu meremehkan ku, kita lihat saja apa yang bisa pria ini lakukan!"Joan langsung mendekati Nico dan merentangkan kedua tangannya saat Nico akan membanting sebuah laptop yang biasa di pakai Nico untuk bekerja, menjadikan dirinya tameng agar Nico tidak mengancurkan laptop yang berisi data peting itu,"Kendalikan amarahmu tuan, taruh kembali laptop itu jika tidak ingin perusahaan mu hancur dalam sekejap," wajah Joan terlihat serius, nafasnya kembang kempis raut panik terlihat jelas di wajahnya.Prank!Laptop itu sudah terbelah menjadi dua bagian saat beradu dengan ubin, dia memberikan smirk dan berdecih di depan Joan. "Kau pikir aku bisa tenang di situasi seperti ini, Joan?!" Mata Nico melotot, merasa kesal men
Mawar sejak tadi masih berdiam diri di teras mansion menunggu mobil yang di tumpangi oleh ibunya hilang dari pandangan, senyum semringah sedari tadi tak hilang dari wajah cantiknya tatkala dia mengingat kembali senyuman tulus ibunya sebelum berpamitan.Semenjak ayahnya meninggal dunia dia tidak pernah melihat senyum itu lagi, kini senyum itu telah kembali, membuatnya merasakan perasaan bahagia yang teramat.Mawar menarik nafasnya dalam-dalam dan menghembuskan nya dengan cepat, senyum lebar terpatri di wajah cantiknya, perasaanya kini terasa lega, seperti ada beban berat yang baru saja terangkat dari pundaknya.Tapi senyum indah itu perlahan memudar lalu tiba-tiba tatapan Mawar meredup, wajahnya terlihat sedih, "Kenapa aku tiba-tiba merasa merindukan pria brengsek itu?" ucapnya dengan kepala menunduk dalam, kini yang dia lihat hanya lantai yang beralaskan keramik polos, sama dengan perasaannya yang kian hari mulai terasa hampa.Lalu kepala Mawa
Nico mengetuk-ngetuk jari telunjuk dan jari tengahnya di atas meja, tatapan tajamnya lurus menatap Joan. "Dia kabur?" tanya Nico akhirnya setelah sekian lama bungkam.Joan mengusap belakang tengkuknya sebelum mengangguk dengan gerakan pelan.Nico berdecih, "apa tidak ada yang ingin kau jelaskan padaku, Joan?"Joan semakin menunduk bagai anak kucing yang tengah ketakutan. "Maaf tuan, ini kelalaian kami, " ucapnya, dia segera waspada saat melihat Nico bangkit dan mendekatinya.Bugh!Kepala Joan tertoleh ke samping saat pukulan hebat Nico mendarat tepat di sebelah pipinya dan hampir mengenai matanya jika saja dia tidak repleks menoleh."Bukan jawaban itu yang aku inginkan, Joan," Nico mengangkat satu alisnya, menatap Joan dengan sorot tajam.Joan menunduk, "ada penyusup masuk tadi malam tuan," ucap Joan dengan jujur.Joan langsung melangkah mundur saat Nico akan kembali menghajarnya.Nico terkekeh, "ah.. sudahlah, aku
Laura menangis di pelukan Nico, matanya menatap kaca yang menampilkan sosok Fred yang tengah di tangani oleh banyak dokter di dalam sana. "Bagaimana keadaanya?" Suara Laura terdengar sangat lirih, kedua tangannya saling meremas satu sama lain sedangkan air matanya terus mengalir, kepalanya dia tenggelamkan di dada bidang Nico karena sedari tadi pria itu tidak pernah membiarkan dirinya lepas dari dekapan hangatnya. "Aku tidak ingin kehilangannya, sungguh. Lebih baik aku mati saja," tangisan Laura semakin menjadi dikala kepalanya membayangkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi pada putranya. Nico menghembuskan nafasnya, lalu satu tangannya bergerak mengelus rambut Laura mencoba untuk menenangkan. Laura mendongakan kepalanya, menatap Nico dengan air mata yang bersimbah, "bagaimana jika aku kehilangannya," Nico menatap Laura untuk sesaat sebelum membuka mulutnya. "Tidak akan," ucap Nico. Laura tersenyum tulus, hanya dua kata saja yang keluar d
"Ini dimana?" Mawar mengedarkan pandangannya, dia mengernyit heran sekaligus kesal pada Nico karena pria itu memaksanya ikut serta dalam kunjungan kerjanya keluar kota, pria brengsek itu juga mengancamnya akan terus mengurung Fabio di ruang bawah tanah tanpa perawatan jika dia tidak menuruti keinginannya."Rumah kita yang baru." Ucap Nico. " Mungkin lebih tepatnya, rumahmu," koreksinya sambil merangkulkan sebelah lengan kekarnya di pundak istrinya.Mawar melepas paksa tangan itu dan melotot pada Nico. "Aku tidak mau berada disini,"Nico langsung berdecak tidak suka, dia benci penolakan. "Aku tidak menerima penolakan, sayang,"Mawar menghindar saat kedua tangan Nico yang kekar dan lebih besar darinya itu akan meraih pinggangnya. "Kau!"tunjuk Mawar tepat di hidung Nico, "jangan menyentuhku!" Sembur Mawar.Nico mengangkat satu alisnya, "apa kau bercanda?" tanya Nico sembari terkekeh. "Aku bahkan sudah pernah menyentuh setiap inci kulit mulusmu ini," N
Mawar menelan sarapannya dengan susah payah, dia merasa risih karena terus mendapatkan tatapan dari pria keparat itu. Prank! Mawar membanting sendok, lalu dia bersedekap tangan, memberanikan diri ikut membalas tatapan pria itu dengan tatapan sinis. Nico mengulum senyumnya, lalu tak lama kekehan terdengar dari mulut pria itu. "Habiskanlah sarapanmu, aku akan mengajakmu ke suatu tempat hari ini," Mawar masih diam bergeming, masih menatap Nico dengan sinis. Nico mengangkat kedua tangannya, kedua kakinya yang tadi di silangkanpun dia turunkan. "Baiklah-baiklah... Aku akan menunggumu di luar." Nico memilih mengalah, dia bangkit dari sofa yang tak jauh dari posisi Mawar berada, sebelum keluar dia berjalan mendekati Mawar Menyempatkan untuk mengecup singkat kening Mawar. Mata Mawar mengikuti kepergian Nico sampai lelaki itu hilang di balik pintu. Setelah memastikan Nico sudah pergi, Mawar langsung meloncat turun dari kasur menghiraukan sarapa