"iyuuh hujan," Kevin berceletuk.
Mawar melihat ke depan, matanya melihat rintikan hujan yang kian deras di pandang mata lewat dinding kaca. "kau benar," jawabnya.
Kakinya melangkah beriringan dengan Kevin, pria itu selalu menggandeng tangannya, sementara Jonathan berjalan di belakang mengikuti mereka.
"Ihhh.... di mana sih mobilnya, aku pegel," Kevin berdiri bagai cacing kepanasan. Padahal baru beberapa menit saja mereka berdiri di sana, menunggu mobil yang sudah di siapkan Fabio untuk mengantar mereka ke tempat tujuan. Mungkin karena sedang hujan, mobil sedikit memiliki kendala di jalan. Setahu Mawar Jakarta itu sering macet, apalagi saat cuaca tidak mendukung seperti ini.
"Kev," panggil Mawar.
Kevin menoleh. "Apa?"
"Aku ingin ke toilet, kau tunggu sebentar ya," Mawar meringis, lalu kedua kakinya dia silangkan.
"Kau ini. Yasudah sana. Jangan lama, jika kau lama aku akan meninggalkanmu di sini, biar kau di pungut oleh gembel dis
Mawar memandangi rintik hujan dengan perasaan gundah, bayangan Nico yang di lihat nya tadi di bandara terus memenuhi pikirannya.Lalu sikapnya, kenapa dia harus kabur saat bertemu dengan Nico?Mawar menundukkan kepala, jari jemarinya memilin satu sama lain tampak gelisah. Dia hanya tidak tahu harus melakukan apa jika berhadapan dengan pria itu. Memakinya? Marah? Atau hanya diam sambil menangis?Mawar menghembuskan nafasnya pelan, matanya berkaca-kaca. Lalu air matanya tanpa dia sadari meluncur begitu saja, bersamaan dengan hatinya yang kian terasa sesak.Mawar menghapus air matanya kasar, dia tidak boleh menangis. Bukan waktunya untuk menangis, dia sendiri yang telah membiarkan lelaki itu terluka. Maka saat Nico membuangnya dan memutuskan untuk berpisah darinya, harusnya dia gembira, akhirnya lelaki itu dan dirinya menemukan kebebasannya."Apakah masih jauh, pak?" tanya Mawar.Si supir mengangguk. "Iya, nona. Kurang lebih satu jam lagi."
"Cucu Oma sudah datang?" Shenna mendekati cucunya lantas senyum di wajahnya langsung tersungging.Fred tidak menghiraukan neneknya yang menyapa. Wajahnya terlihat lesu, bibirnya cemberut tanda bocah kecil itu sedang merasa sedih."Lho, kenapa cemberut sayang?" Shenna menumpu kedua lutut agar tingginya sejajar.Air mata Fred jatuh, semakin lama isakan semakin terdengar. "Daddy...hiks"Shenna menjadi kelabakan melihat cucu semata wayangnya tiba-tiba langsung menangis.Laura yang melihat itu langsung berjongkok dan segera meraih Fred ke dalam pelukannya, mengusap pelan kepala Fred untuk menenangkannya. "Daddy lagi cape, Fred. Dia kan habis kerja." ujar Laura berusaha menenangkan.Tapi nampaknya Fred menghiraukan omongan ibunya, dia tetap menangis dan terus memanggil nama Daddy nya.Nico tengah duduk di sofa beserta para pengurus panti asuhan yang lain. Setiap akhir tahun dia memang selalu rutin mengunjungi beberapa panti untuk memberikan
Shinta mendekati putrinya yang nampak terpukul, Dia memegang bahu putrinya, meremasnya pelan untuk dia tenangkan. Mawar menoleh, wajahnya tampak pucat. "Semua yang dia katakan bohong kan bu?" tanya Mawar. Dia menatap ibunya dengan pandangan memelas, berharap semua penjelasan yang dia dengar barusan hanyalah omong kosong belaka. Shinta menggerakkan tangannya, membuat bahasa tangan. 'Maafkan ibu menyembunyikannya darimu. Ibu pikir ayahmu tidak akan mencari kita. Dia memang ayah kandungmu, Januar Regan adalah ayah kandungmu.' Mawar menatap Januar, "Kau ayah kandungku?" Januar mendekat, ingin duduk lebih dekat dengan putrinya. Dia menatap mata putrinya dengan lekat. "Maafkan ayah, nak," Mawar tampak muak dengan pria ini. "Maaf? Setelah kau membuang kami Pantaskah kau berkata begitu?" Mawar merasa terenyuh saat melihat mata Januar terlihat berkaca-kaca, tapi itu belumlah sepadan. Sungguh setelah ayahnya meninggal kehidupan merek
"Nanti siang aku ada pertemuan dengan ayahmu, kau mau ikut bersamaku?" Mawar menggelengkan kepala pelan, "aku masih belum bisa menerima dia sebagai ayahku." Mawar menundukkan kepalanya, mulai mengaduk-aduk makanannya dengan hampa. "Meskipun tadi malam kau telah menjelaskan semuanya padaku, tapi tetap saja aku membencinya. Untuk bertemu dengannya aku belum siap, Bio." ucap Mawar dengan suara pelan. Fabio akan mengeluarkan suara tapi di urungkannya, dia hanya menatap Mawar dengan pandangan datar. Lalu selama sesi sarapan itu hanya berlangsung dengan di isi oleh keheningan saja karena mereka berdua sedang sibuk dengan pikirannya masing-masing. "Januar Regan?" Nico mengangkat satu alisnya menatap Joan dengan kening mengkerut. "siapa dia?" tanyanya kemudian. Joan sedikit menghembuskan nafasnya sebelum memberikan jawaban, tentu saja Nico tidak tahu apapun karena selama setahun ini pri
Mawar tengah bersembunyi di balik tembok, beberapa orang yang lewat menatap dirinya aneh, tapi dia tidak memperdulikannya, katakanlah dia bodoh dan pengecut karena lebih memilih bersembunyi untuk memperhatikan interaksi mereka. Juga katakanlah dia lebih bodoh lagi karena berusaha mencuri dengar obrolan Laura tentang mantan suaminya, bagaimana perempuan yang menjadi sumber atas kesalahpahaman ini sangat berbinar bahagia kala bercerita tentang Nico. "Anakmu sudah umur berapa, Lau?" tanya Kevin sembari menoel pipi Fred dan langsung mendapatkan pelototan dari anak itu yang berhasil membuat Kevin tergelak. Laura pun ikut terkekeh sebelum memberikan jawaban,"Empat tahun. Fred baru masuk sekolah taman kanak-kanak seminggu yang lalu, kau tahu Kev, betapa lucunya Fred saat memaksa ayahnya agar mau mengantarnya ke sekolah," ucap Laura. Sontak mata Mawar membulat dan jantungnya berpacu dengan cepat, dia membekap mulutnya, menatap Laura dan bocah kecil itu dengan
"Joan, cepat kemari dan cek semua cctv yang berada di gedung ini, terutama di kolam yang tadi aku masuki, lalu laporkan padaku perempuan yang aku selamatkan tadi, pastikan dia istriku atau bukan," Ucap Nico, sembari tanganya mengambil handuk yang di siapkan pengawal untuknya, berikut baju ganti untuknya.Terdengar jeda cukup lama di seberang telepon. Nico memberikan kode pada pengawalnya untuk segera pergi. Tepat saat dia akan membuka mulutnya untuk mengeluarkan sumpah serapahnya, suara Joan terdengar."Kolam berenang yang mana, tuan?" tanya Joan.Nico langsung berdecak, "Apa kau bodoh, Joan? Kau tidak mengecek keberadaan ku? Apa saja kerjamu selama ini?!" ucap Nico dengan meninggikan suaranya."Baik, tuan." jawab Joan sekenanya.Nico langsung mematikan sambungan telepon secara sepihak, kemudian dia berjalan dengan langkah lebar menuju pintu keluar, sekarang tujuannya adalah ruang cctv.Mata tajamnya semakin tajam saat berhadapan denga
Mawar menatap dirinya di depan cermin, matanya terlihat sembab dan wajahnya sangat berantakan. Perasaannya pun tak menentu, tubuhnya sedikit gemetar karena biar bagaimanapun dia tidak bisa membohongi dirinya sendiri bahwa dia sedang ketakutan, takut jika Nico akan berbuat hal gila padanya.Mawar tersentak kaget saat pintu tiba-tiba saja terbuka lebar, "kenapa kau di ada sana?!" Pekiknya kaget, dia yakin pintunya sudah di kunci dari dalam, lelaki itu memang sangat kurang ajar.Nico melipat kedua tangannya di depan dada, dia menatap Mawar dengan mata tajamnya yang terlihat menawan.Mawar berdecih lalu berjalan mendekati Nico, "aku tidak punya baju untuk berganti pakaian," alibinya. "Aku akan keluar membelinya. Kevin akan menemaniku dan aku sudah menelponnya tadi untuk mengantarku, aku yakin kau kenal dengan dia," ucap Mawar acuh tak acuh, sambil berjalan melewati Nico, entah dapat keberanian dari mana hingga dia bisa berbicara seperti itu pada Nico, dia pun mengap
"Hentikan kubilang!"Nico melepaskan cengkramannya pada kerah baju Fabio hingga tubuh tak berdaya itu jatuh di atas rumput hijau yang di saksikan oleh semua pelayan dan pengawalnya.PlakKepala Nico berpaling ke samping saat tamparan Mawar mengenai rahangnya, dia terkekeh lalu menatap Mawar dengan bengis.BughBughMawar menghantamkan kedua kepalan tangannya pada dada Nico, memukulnya dengan membabi buta. "Brengsek!" Teriaknya, semakin lama pukulannya semakin melemah, dia menangis lalu badannya meluruh ke tanah, tangisannya semakin meraung saat kedua netranya melihat Fabio terluka parah dan sedang bertahan hidup di sana."Kau iblis keparat!" Pekik Mawar."Ya..itu aku," ujar Nico, mata tajamnya menyorot tajam pada Mawar, merasa tidak terima dirinya telah di tampar seperti itu apalagi untuk membela pria lain.Mawar segera menahan kaki Nico saat pria itu akan melanjutkan aksinya, "jangan! Apakah kau tidak lihat dia sudah ha
Matahari bahkan belum menampilkan secercah sinarnya, tapi mansion yang letaknya berada di tengah hutan itu tengah di sibuk kan dengan kedatangan tamu yang membuat para penghuninya sibuk setengah mati. "Sudah, kau puas sekarang?" Mawar mendelik, "cih, kembalikan aku kepada keluargaku, Nico sialan." Semua orang yang menyaksikan pertarungan sengit itu menahan nafas, lalu mereka sontak terpekik saat nyonya mereka melemparkan sebuah panci yang berisi sup ke arah majikannya. Sup yang sudah hampir dingin itu berceceran di lantai. Mawar menelan ludah, sungguh dia tidak sengaja melakukannya, itu bukan keinginannya melainkan tangan sialan yang tidak bisa dia kontrol. Matilah kau Mawar! Suasana hening nan mencekam langsung menyelimuti ruang makan itu. Lalu tiba-tiba, para pelayan tersentak dan refleks melangkah mundur mendengar sebuah kekehan yang terasa mematikan di telinga mereka. Mawar meringis ngeri melihat ekspresi semua pelayan. "Apa kau gila Nic, kau menakuti semua orang," ucap Mawar
Nico mengalihkan pandangannya ketika Laura menatap dirinya seakan memintanya untuk mematikan telepon."Urus saja olehmu," ucap Nico akhirnya pada seseorang di seberang telepon.Laura mengembangkan senyumnya ketika mendengar Nico mengakhiri panggilannya, itu tandanya pria itu sudah mulai menerima dirinya dan juga putra semata wayang mereka."Fred makan yang banyak agar kamu cepat tumbuh besar," ucap Laura, tangannya sibuk menambahkan berbagai jenis sayuran dan lauk pauk kedalam piring Fred."Aku sudah besar mommy," ucap Fred menanggapi, matanya mengikuti setiap gerakan Laura yang dengan cekatan memindahkan lauk pauk dan juga sayuran ke dalam piringnya.Laura terkekeh, "ya, maksud mommy biar kau lebih besar lagi dari dirimu yang sekarang, kau lihat..." Laura menggerakan dagunya terarah pada Nico yang ternyata masih sibuk berbicara di telepon."Ya, itu Daddy, kenapa dengan dia Mom?""Cepatlah besar agar kau bisa membantu ayahmu bekerja, tidakkah kau lihat Fred? Dia terlalu sibuk sampai m
Nico mengikuti arah pandang Laura, dimana Fred sedang sibuk bermain dengan pengasuhnya. Tatapan Laura sendu menatap anaknya, "Kau tidak ingin bermain dengannya, Nic?" Perasaan Laura mendadak pilu, mengingat akhir-akhir ini Nico kembali menjadi Nico yang dulu, lebih mengutamakan pekerjaannya ketimbang dirinya, kini anaknya pun mengalami hal serupa dengannya. Nico mengerutkan keningnya saat menatap Laura, lalu dia berdeham pelan, "ya, kurasa aku masih punya waktu lima menit sebelum pergi ke kantor," ucapnya sembari melirik arloji ditangannya. Laura menipiskan bibirnya, senyum kecil tercetak di sana. "Terimakasih, Nic" dengan perasaan ragu, Laura mengulurkan tangannya, ingin menyentuh lengan Nico. "Daddy!" Fred berteriak girang, tangan mungilnya melambai lalu setelah itu dia menarik jari telunjuk Nico agar Nico mengikuti langkahnya, "Daddy lihat ini," Fred menunjukkan sebuah buku warna yang sebelumnya berada di tangan pengasuhnya. Nico mengambil buku itu dan membukanya lembar demi l
"sialan!" Nico mengendurkan dasi yang terasa mencekik lehernya. "Pak tua itu..." Dia menggeram rendah, matanya memerah dan pandangan tajamnya lurus menatap kedepan.Tak lama suara tawa terdengar, lalu Nico menyingkirkan habis semua benda yang berada di atas meja kerjanya. "Dia terlalu meremehkan ku, kita lihat saja apa yang bisa pria ini lakukan!"Joan langsung mendekati Nico dan merentangkan kedua tangannya saat Nico akan membanting sebuah laptop yang biasa di pakai Nico untuk bekerja, menjadikan dirinya tameng agar Nico tidak mengancurkan laptop yang berisi data peting itu,"Kendalikan amarahmu tuan, taruh kembali laptop itu jika tidak ingin perusahaan mu hancur dalam sekejap," wajah Joan terlihat serius, nafasnya kembang kempis raut panik terlihat jelas di wajahnya.Prank!Laptop itu sudah terbelah menjadi dua bagian saat beradu dengan ubin, dia memberikan smirk dan berdecih di depan Joan. "Kau pikir aku bisa tenang di situasi seperti ini, Joan?!" Mata Nico melotot, merasa kesal men
Mawar sejak tadi masih berdiam diri di teras mansion menunggu mobil yang di tumpangi oleh ibunya hilang dari pandangan, senyum semringah sedari tadi tak hilang dari wajah cantiknya tatkala dia mengingat kembali senyuman tulus ibunya sebelum berpamitan.Semenjak ayahnya meninggal dunia dia tidak pernah melihat senyum itu lagi, kini senyum itu telah kembali, membuatnya merasakan perasaan bahagia yang teramat.Mawar menarik nafasnya dalam-dalam dan menghembuskan nya dengan cepat, senyum lebar terpatri di wajah cantiknya, perasaanya kini terasa lega, seperti ada beban berat yang baru saja terangkat dari pundaknya.Tapi senyum indah itu perlahan memudar lalu tiba-tiba tatapan Mawar meredup, wajahnya terlihat sedih, "Kenapa aku tiba-tiba merasa merindukan pria brengsek itu?" ucapnya dengan kepala menunduk dalam, kini yang dia lihat hanya lantai yang beralaskan keramik polos, sama dengan perasaannya yang kian hari mulai terasa hampa.Lalu kepala Mawa
Nico mengetuk-ngetuk jari telunjuk dan jari tengahnya di atas meja, tatapan tajamnya lurus menatap Joan. "Dia kabur?" tanya Nico akhirnya setelah sekian lama bungkam.Joan mengusap belakang tengkuknya sebelum mengangguk dengan gerakan pelan.Nico berdecih, "apa tidak ada yang ingin kau jelaskan padaku, Joan?"Joan semakin menunduk bagai anak kucing yang tengah ketakutan. "Maaf tuan, ini kelalaian kami, " ucapnya, dia segera waspada saat melihat Nico bangkit dan mendekatinya.Bugh!Kepala Joan tertoleh ke samping saat pukulan hebat Nico mendarat tepat di sebelah pipinya dan hampir mengenai matanya jika saja dia tidak repleks menoleh."Bukan jawaban itu yang aku inginkan, Joan," Nico mengangkat satu alisnya, menatap Joan dengan sorot tajam.Joan menunduk, "ada penyusup masuk tadi malam tuan," ucap Joan dengan jujur.Joan langsung melangkah mundur saat Nico akan kembali menghajarnya.Nico terkekeh, "ah.. sudahlah, aku
Laura menangis di pelukan Nico, matanya menatap kaca yang menampilkan sosok Fred yang tengah di tangani oleh banyak dokter di dalam sana. "Bagaimana keadaanya?" Suara Laura terdengar sangat lirih, kedua tangannya saling meremas satu sama lain sedangkan air matanya terus mengalir, kepalanya dia tenggelamkan di dada bidang Nico karena sedari tadi pria itu tidak pernah membiarkan dirinya lepas dari dekapan hangatnya. "Aku tidak ingin kehilangannya, sungguh. Lebih baik aku mati saja," tangisan Laura semakin menjadi dikala kepalanya membayangkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi pada putranya. Nico menghembuskan nafasnya, lalu satu tangannya bergerak mengelus rambut Laura mencoba untuk menenangkan. Laura mendongakan kepalanya, menatap Nico dengan air mata yang bersimbah, "bagaimana jika aku kehilangannya," Nico menatap Laura untuk sesaat sebelum membuka mulutnya. "Tidak akan," ucap Nico. Laura tersenyum tulus, hanya dua kata saja yang keluar d
"Ini dimana?" Mawar mengedarkan pandangannya, dia mengernyit heran sekaligus kesal pada Nico karena pria itu memaksanya ikut serta dalam kunjungan kerjanya keluar kota, pria brengsek itu juga mengancamnya akan terus mengurung Fabio di ruang bawah tanah tanpa perawatan jika dia tidak menuruti keinginannya."Rumah kita yang baru." Ucap Nico. " Mungkin lebih tepatnya, rumahmu," koreksinya sambil merangkulkan sebelah lengan kekarnya di pundak istrinya.Mawar melepas paksa tangan itu dan melotot pada Nico. "Aku tidak mau berada disini,"Nico langsung berdecak tidak suka, dia benci penolakan. "Aku tidak menerima penolakan, sayang,"Mawar menghindar saat kedua tangan Nico yang kekar dan lebih besar darinya itu akan meraih pinggangnya. "Kau!"tunjuk Mawar tepat di hidung Nico, "jangan menyentuhku!" Sembur Mawar.Nico mengangkat satu alisnya, "apa kau bercanda?" tanya Nico sembari terkekeh. "Aku bahkan sudah pernah menyentuh setiap inci kulit mulusmu ini," N
Mawar menelan sarapannya dengan susah payah, dia merasa risih karena terus mendapatkan tatapan dari pria keparat itu. Prank! Mawar membanting sendok, lalu dia bersedekap tangan, memberanikan diri ikut membalas tatapan pria itu dengan tatapan sinis. Nico mengulum senyumnya, lalu tak lama kekehan terdengar dari mulut pria itu. "Habiskanlah sarapanmu, aku akan mengajakmu ke suatu tempat hari ini," Mawar masih diam bergeming, masih menatap Nico dengan sinis. Nico mengangkat kedua tangannya, kedua kakinya yang tadi di silangkanpun dia turunkan. "Baiklah-baiklah... Aku akan menunggumu di luar." Nico memilih mengalah, dia bangkit dari sofa yang tak jauh dari posisi Mawar berada, sebelum keluar dia berjalan mendekati Mawar Menyempatkan untuk mengecup singkat kening Mawar. Mata Mawar mengikuti kepergian Nico sampai lelaki itu hilang di balik pintu. Setelah memastikan Nico sudah pergi, Mawar langsung meloncat turun dari kasur menghiraukan sarapa