Beranda / Romansa / MARTA, cinta kedua / 37. Merancang Masa Depan

Share

37. Merancang Masa Depan

Penulis: Tri Nur
last update Terakhir Diperbarui: 2021-12-08 11:26:15

"Ta, rumahmu sudah deal. Lima ratus juta lebih dikit. Tapi nanti masih kena potong pihak ketiga," suara Pak Haris terdengar dari seberang.

"Oke Pak, aku ngikut aja. Pokoknya aku tinggal terima beres," jawabku singkat sebelum telepon ditutup.

Aku menghela nafas pelan. Tadi Pak Haris membujukku untuk mau bertemu calon pembeli. Tentu saja aku menolak. Aku tak ingin melihatnya, atau mencari tahu siapa dia. Dan satu lagi, aku tak mau melihat rumah itu.

Aku khawatir jika nanti berubah pikiran. Uang itu rencananya ingin ku belikan ruko. Ingin sekali aku membuka sebuah usaha. Namun hingga saat ini aku belum tahu usaha apa yang cocok untukku.

Sering kali rasa sesal datang, kenapa dulu aku tidak bekerja. Hidup di zona aman nyatanya tak membuat otakku berpikir cerdas.

"Bikin kue aja, kan kamu pinter bikin kue-kue," cetus Maya.

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • MARTA, cinta kedua   38. Panji dan Arka

    "Oh, jadi kamu sudah punya pacar ya?"Aku terperanjat, dan dengan cepat memutar tubuhku. Tampak seseorang berdiri angkuh di depan pintu butik yang masih terkunci.Gawat … kenapa bisa tadi aku tak melihatnya!"Sudah kuduga, nggak mungkin Arka bisa suka sama cewek kampungan sepertimu. Ya, kecuali kalau cuma buat 'senang-senang'," senyum jahat muncul dari bibir Tika, si perempuan berambut coklat. Tangannya membuat tanda petik saat dia mengucap kata 'senang-senang'.Fiuh …, aku menghembuskan nafas dengan keras. Sabar Marta, ini masih pagi. Jangan sampai energiku terkuras hanya untuk melayani makhluk aneh bernama Tika."Hei, kampung! Kamu dengerin omonganku nggak sih?" Tika mungkin merasa gusar karena aku mengabaikannya.'Tolong mengertilah Tika …, aku harus menghemat tenaga

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-09
  • MARTA, cinta kedua   39. Hanya Teman?

    "Teman Marta kan? Soalnya Marta bilang mau makan siang dengan temannya."Tak ada jawaban, dan suasana mendadak tegang. Ya Tuhan, ingin sekali ku pukul wajah tak berdosa itu dengan ransel.Panji menatapku, seolah menuntutku memberi pengakuan atas keberadaannya.Pak Arka dengan tenang mengambil air mineral yang tersedia di setiap meja."Sepertinya wajah anda tidak asing, hmm … apa kita pernah bertemu? Oh, sebentar, sepertinya aku ingat sesuatu. Kamu pernah membawa paket besar ke penginapan dekat butikku kan?"Paket besar? Ah ya, aku juga pernah mendapat paket besar berisi boneka. Mungkinkah boneka waktu itu dari Panji?Kulihat Panji tersenyum samar. "Ingatanmu sangat kuat," u

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-10
  • MARTA, cinta kedua   40. Janda Selalu Menggoda?

    Aku melangkah menyambut kedatangan Panji. Namun dalam dua langkah aku berhenti.Mataku nanar melihat sesuatu yang ia bawa. Rasa kesal yang sempat hilang kembali muncul.Ya Tuhan … apakah hanya itu yang ada di dalam pikirannya?Setelah sampai di depanku, Panji menyerahkan kantong makanan yang dibawanya dari warung makan."Ayo kita makan dulu," ujarnya seolah tak menghiraukan wajahku yang tertekuk."Mau makan sendiri, atau ku temani? Ta …, aku tidak bisa membiarkan perempuan yang sedang bersamaku sakit karena terlambat makan," celetuknya sambil meletakkan kantong di atas meja teras.Perempuan? Kenapa tak terbesit di hatinya untuk menyebut namaku saja? Atau, kata perempuan di ganti dengan kata 'kamu'.Aku menatap malas ke arahnya.

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-11
  • MARTA, cinta kedua   41. Gadis Rasa Janda?

    "Ish, dasar janda! Dimana-mana selalu menggoda dan tebar pesona!"Aku dan Pak Arka menoleh ke sumber suara. Tika terlihat bersandar di pintu masuk.Perempuan itu, bagaimana bisa tahu kalau aku janda?"Beb, kamu nggak risih deket-deket sama janda? Atau … kamu tidak tahu tentang statusnya?" Tatapan sinis tersorot dari matanya yang sekarang berwarna biru.Aku tak berani melihat ke arah Pak Arka."Kenapa kalau dia janda? Bukankah dengan begitu statusnya jelas. Jelas juga siapa yang membuatnya nggak perawan, kan?"Aku tercekat mendengar kalimat vulgar yang baru saja Bosku katakan. Namun ajaib, kalimatnya berhasil membuat Tika gelisah. Mulut Tika sebentar terbuka, lalu detik berikutnya tertutup. Persis seperti ikan yang diangkat dari air."Apa kabar kamu Tik?

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-13
  • MARTA, cinta kedua   42. Tragedi di Pesta Tika

    Pak Arka memilih gaun navy untukku. Dia bilang, gaun pink hanya akan membuatnya seperti mengajak pesta anak SMP. Sedikit kesal saat dia mengatakan itu. Kenapa tidak bilang kalau dia takut jika aku terlihat lebih muda darinya?Berarti dengan gaun navy, aku terlihat tua? Begitukah?"Jangan cemberut! Merusak suasana tahu," ucapnya sambil tetap menggoreskan pensil diatas kertas. Sebentar lagi pasti dia mencari pensil warna.Benda panjang warna warni itu sering kali menghilang entah kemana. Beberapa minggu yang lalu aku masih bodoh, mau saja di mintanya membeli pensil warna. Sekarang tidak.Aku membeli beberapa pack sekalian kemarin. Apalagi Ita memberikan kartu ATM yang berisi uang cukup banyak. Untuk kebutuhan si Bos, juga untuk keperluan kantor lain. Katanya tidak ada pengecekan. Dan katanya aku juga bisa menggunakannya untuk keperluan pribadi. Anggap s

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-19
  • MARTA, cinta kedua   43. Reuni (?)

    Bagaimana mungkin aku tidak berteriak, sedangkan dia sedang berusaha melakukan sesuatu yang bisa membuatku malu!!Pak Arka terus saja melancarkan aksinya. Beberapa kali aku menahan sakit saat tangannya dengan kasar menarik rambutku.Ya, dia sedang berusaha melepas tatanan rambut yang Maya buat!"Ini pasti ulah temanmu kan!" umpatnya geram.Aku tak bisa membayangkan bagaimana kondisi rambutku saat ini. Rasanya aku ingin menangis!"Aww!" Pekikku tertahan."Sst, diam. Atau orang-orang pikir kita sedang melakukan perbuatan yang iya-iya.""Kenapa Bapak tidak menyuruhku ke toilet saja! Aku bisa melepas sendiri tanpa bantuan laki-laki kasar seperti Bapak!" gerutuku kesal. Lagi-lagi Pak Arka menarik keras rambutku."Kenapa tidak bilang d

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-21
  • MARTA, cinta kedua   44. Reuni 2

    "Marta …," panggilnya sekali lagi.Aku masih berdiri di balik punggung Pak Arka, dan Akmal menatapku dengan tatapan … pasrah?"Marta sepertinya tidak ingin berbicara dengan Anda." Pak Arka berkata setelah kami terdiam sekian detik."Saya hanya ingin meluruskan beberapa hal saja. Jika Marta tak nyaman bicara berdua dengan saya, Anda bisa menemaninya."Suara Akmal terdengar lemah. Tak seperti Akmal yang ku kenal dulu. Raut wajahnya juga terlihat kuyu. Bukankah seharusnya dia merasa bahagia?Bisa lepas dariku yang dicap mandul oleh ibunya?Pak Arka menoleh ke arahku, "Bagaimana? Kamu mau?" tanyanya.Aku ingin,

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-31
  • MARTA, cinta kedua   45. Harga Raina ...?

    Pak Arka mengajakku pamit pada Bu Anggi dan suaminya. Tak lupa dia juga mohon maaf karena Pak Har pulang setelah meninggalkan sedikit kekacauan. Wanita anggun di depanku itu tersenyum, "Kamu tadi sudah ketemu Tika?" Pak Arka mengangguk. "Ya sudah, Tika sangat antusias menunggu kamu tadi. Eh, sekarang malah Tante nggak tahu anak itu ada di mana." Pak Arka tersenyum sama sebelum memberiku isyarat untuk keluar dari rumah itu. Di depan pintu kami kembali berpapasan dengan Akmal dan Ibunya. Kali ini mereka menunduk. "Tolong pastikan Raina baik-baik saja. Jangan sampai dia strees, karena itu sangat mempengaruhi kondisi janinnya." Aku mendengar dengusan Pak Arka sebagai jawaban atas ucapan Akmal. Meskipun baru bebe

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-02

Bab terbaru

  • MARTA, cinta kedua   79

    Pulang adalah pilihan terakhir. Rumah ini terlihat sangat sepi. Namun, aku merasa setiap sudut tidak lepas dari sosok seorang Arka.Aku ingin menangis. Menikmati sesak yang semakin dalam menghujam.Rasa bersalah karena menyusupkan nama lelaki lain selain Arka, membuatku merasa jika Arka pantas melakukan ini padaku.Mungkin dia merasa, dalam hatiku belum sepenuhnya menerima dia.[Ka, pulang.] Tanpa sadar aku menulis pesan untuknya.[Aku kangen.] Entah kenapa kalimat singkat itu kuketik begitu saja.Tidak peduli kapan terbaca. Setidaknya aku berusaha mengungkapkan isi hati.Tanpa permisi, tiba-tiba saja kenanganku dengan Arka kembali datang. Awal pertemuan, lalu semua yang pernah kami lalui. Semua muncul tiba-tiba.Ada nyeri yang tiba-tiba menghujam. Saat bayangan pernikahan kami tertayang. Aku seorang istri. Namun, di hatiku masih belum bisa seutuhnya menerima. Masih ada nama lain yang tertulis indah, walau aku berusaha menghapusnya.Tidak. Aku tidak benar-benar menghapusnya. Aku hanya

  • MARTA, cinta kedua   78

    Bodoh!Aku terus mengutuk kebodohanku sendiri. Sekarang, selain lemah dan tidak bisa apa-apa, cap apa lagi yang akan Panji sematkan untukku?Murahan?Ck!Aku meremas stang motor dengan kuat. Itu juga membuat laju motor semakin menggila.Tanpa peduli dengan apapun, aku terus melaju. Membiarkan angin menampar wajahku berkali-kali.Jalanan yang lengang di jam kerja membuatku merasa bebas. Mengumpat, memainkan gas dan melakukan apapun di atas kendaraan roda dua ini.Bahkan tanpa sadar aku berkendara semakin jauh. Bukan ke arah rumah Pak Har. Melainkan ke tempat sunyi yang pernah ku kunjungi.Saat ini aku hanya ingin sendiri. Menyepi, memuaskan diri merutuk juga mengutuk.Sendiri.Perjalananku berakhir di atas bukit, tempat yang pernah kukunjungi bersama Maya, Pak Haris dan juga Panji.Aku tetap duduk di atas motor. Mencoba mencari ketenangan di atas ketinggian.Suasana yang sedikit mendung, menyelamatkanku dari terik matahari.Pelan kulepas helm, dan meletakkan benda itu di gantungan yang

  • MARTA, cinta kedua   77

    Kepalaku seperti berputar.Banyak kemungkinan dan bayangan buruk berjubel di sana.Jika benar perempuan itu Amel, berarti Arka menghamili gadis itu! Lalu, di mana mereka sekarang?Aku bergegas mengobrak abrik laci di meja Arka. Rasa marah begitu besar, hingga nafasku sesak.Arka brengs*k!!!Lelaki itu, apa maunya! Membuat seorang gadis hamil, lalu menikahiku? Gila!Apa dia dilahirkan oleh batu, hingga tidak bisa menjaga harga diri dan perasaan seorang perempuan?Umpatan masih terus bergaung di dalam hatiku. Sementara tanganku bergerak lincah mengeluarkan apa saja yang ada di dalam laci. Kertas, kain, alat gambar dan lain-lain.Tanpa kuduga, aku melihat selembar foto ikut terhempas. Penasaran kuambil dan mataku menyipit.Seorang anak laki-laki, tertawa lebar menghadap kamera. Sementara dua orang dewasa duduk mengapitnya. Keduanya merangkul anak itu dengan senyum mengembang.Ini Arka? Kernyitku saat mengamati foto itu lebih detail. Aku bahkan melihat pancaran rasa bahagia dari tiga soso

  • MARTA, cinta kedua   76

    Jam sembilan kurang lima menit, terlihat sebuah motor berbelok dan berhenti di parkiran.“Mbak!“ Pengendara itu berteriak memanggil.“Ita,” sapaku. Perempuan itu membuka helm, lalu melepas jaket. Setelah mencabut kunci motor, dia bergegas turun dan menghampiriku.“Ngapain pagi-pagi nongkrong di situ?“ tanyanya heran.Aku tersenyum geli. “Nungguin kamu, Beb,” godaku.“Ih, geli!“ ucapnya sambil tergelak.Tangannya terlihat mencari sesuatu di tas. Tak lama, sebuah kunci yang sangat kukenal berhasil dia keluarkan.“Ini nggak dalam rangka sidak, kan?“ tanya Ita.“Enggak, aku cuma pengen main,” sangkalku.Ita membuka pintu utama butik. Aroma khas kain bercampur pengharum ruangan segera menyambutku. Suasana ruang display tidak ada yang berubah.“Mbak tunggu di ruangan Pak Bos aja, aku bersih-bersih dulu,” kata Ita yang sudah memegang alat kebersihan.Melihatnya, aku seperti kembali ke masa lalu. Hanya saja, dulu Bos galak itu memintaku datang lebih pagi dan membawakannya sarapan.“Mbak!“ Ita

  • MARTA, cinta kedua   75.

    Aku memutuskan tidur di penginapan bersama Maya. Nyaris semalam kami menunggu, kalau-kalau Amel muncul. Penantian yang sia-sia menimbulkan rasa lelah yang teramat sangat.Bertiga dengan Maya dan Agnes, kami berbagi tempat tidur. Beruntung pihak penginapan menyediakan ruang khusus untuk pegawai. Kondisi keuangan yang menipis, membuatku harus berhemat.Aku bahkan baru sadar, belum pernah menerima uang sepeserpun dari Arka.Arka, lelaki itu ikut menyedot pikiranku. Kemana dia? Apa mungkin dia berpikir aku masih di rah Pak Har? Karena itu tidak ada rasa khawatir di hatinya?Atau, jangan-jangan sesuatu terjadi padanya?Segera kuenyahkan pikiran buruk. Aku berharap, dimanapun dia saat ini semoga dalam keadaan baik-baik saja.***“Aku mau ke butik,” sahutku ketika Agnes menanyakan kegiatanku hari ini.“Oh, tapi sebelumnya kamu sarapan dulu, ya,” katanya sambil menunjuk area taman.Aku mengangguk dan kembali merapikan penampilan.Tanpa menunggu lama, aku segera menyusul gadis itu. Di meja tam

  • MARTA, cinta kedua   74.

    Cepat kucekal tangan Panji. Aku tidak mau ikut campur, tapi aku juga tidak mau Panji melakukan kesalahan. Cukup dua kali aku melihatnya berkelahi. Pertama dengan Pak Har, kedua dengan Arka.Sosok Aldi cepat masuk ke lobi. Seperti biasa, dia melempar senyum pada semua yang ada di ruangan ini.“Kamu bukannya masuk pagi, May? Ngapain nongkrong di sini?“ tanya lelaki itu tanpa merasa bersalah.“Kamu kemana aja?“ pancing Maya.“Ini kenapa pada heboh nanyain aku, sih? Berasa artis, deh,” kekehnya pelan.Panji semakin menengang. Semakin kuat pula cekalan tanganku di lengannya.“Ta, dosa, loh, ngegandeng laki lain.“ Aldi masih sempat menggodaku.Kepala ini berdenyut, sikapnya tidak menunjukkan jika dia baru saja membawa kabur anak orang.Kulirik Panji, lelaki itu sangat terlihat sulit menahan diri.“Di, dari mana aja kamu? Sesore ini kita kalang kabut nyariin. Ponsel kamu juga nggak aktif!“ Agnes tiba-tiba datang dan memberondongnya dengan pertanyaan.“Pulang kerja tadi langsung mancing, pons

  • MARTA, cinta kedua   73

    “Aku harus ke penginapan sekarang!“ gumam Maya. Dia bergegas keluar kamarku.“May, aku ikut!“Maya menghentikan langkahnya. Menataoku dengan pandangan bingung. Tanpa banyak bicara, kutarik tangannya agar tidak membuang waktu terlalu lama.Sebagai resepsionis yang menyambut kedatangan Amel, kehadiran Maya pasti sangat diperlukan. Mungkin dia melihat siapa yang mengantar Amel, atau apapun itu.“Aku ambil tas sebentar,” katanya sambil melepas gandengan tanganku.“Oke, aku nyalain motor dulu, ya!“ Seruku sambil berjalan keluar rumah.Beruntung kunci motor biasa kami gantung di dekat pintu. Hal ini memudahkan saat keadaan mendesak seperti ini. Tidak ada drama mencari kunci motor yang pasti akan memakan waktu dan membuat suasana semakin tidak nyaman.Sesampainya di penginapan, semua pegawai memandang kami dengan tegang.Panji setengah berlari ke arahku. “Amel nggak cerita apa-apa ke kamu?“ cecarnya.Aku menggeleng. Raut wajah Panji terlihat sangat kacau. Urat di dahinya terlihat menegang.K

  • MARTA, cinta kedua   72

    Pak Har seperti tidak ingin membahas tentang 'perempuan itu'. Bahkan hingga sore, dia tidak lagi muncul. Meski begitu, aku tetap berusaha berhati-hati saat berkeliaran di dalam rumahnya. Kamar Raina saja tidak lepas dari pantauan, apalagi ruangan lain.Seharian aku lupa tidak menghubungi Arka. Begitupun dengannya. Tidak ada pesan masuk di kolom percakapan kami.Tidak seperti hubungan orang lain, dimana hampir setiap waktu saling mengirim pesan. Tentang itu, aku bisa mengambil kesimpulan, aku baik-baik saja tanpa mendapat kabar atau apapun dari Arka.Entah karena hari ini aku terlalu sibuk, atau karena aku menikmati kebersamaanku dengan Raina.Perempuan itu merengek agar aku mau menginap. Tentu saja aku menolaknya dengan tegas. Bagaimana aku bisa tidur jika ada yang mengawasi disetiap sudut rumah ini?!Pak Har bilang, CCtv itu di pasang untuk memudahkannya mengetahui kondisi Raina. Bagiku itu hanya sekedar alasan. Aku khawatir lelaki tua itu sebenarnya seorang psikopat.Semoga Tuhan me

  • MARTA, cinta kedua   71

    Airmata Raina mulai menggenang. Wajahnya terlihat semakin kuyu.“Kamu kenapa?“ tanyaku hati-hati.Kuberi elusan lembut di bahunya. Raina perempuan tegar yang selalu ceria. Dulu. Berbeda dengan Raina yang kutemui sekarang.“Aku tidak bisa hidup seperti ini, dia sangat menakutkan!“ Suara Raina sedikit tertahan.“Pak Har kasar? Suka memukul?“Raina menggeleng. Aku semakin bingung dibuatnya.“Dia sangat menginginkan anakku. Sementara aku tidak mau bersamanya. Aku ingin pergi, Ta. Bawa aku pergi dari sini, tolong ….“Suara Raina terdengar mengiba. Airmata masih terus mengucur, bahkan semakin deras.“Dia juga menginginkanmu, Na. Bukan hanya anakmu. Buktinya dia mencarimu, dan tidak melupakanmu, kan?“Raina menggeleng. Hormon kehamilan mungkin memengaruhinya. Aku berusaha menenangkan perempuan itu.“Masih sakit?“ tanyaku sambil mengelus perutnya pelan.Raina menggeleng.“Makan, ya?“ Kulirik nampan berisi sarapan yang belum disentuh.Lagi-lagi Raina menggeleng.“Hei, kamu tidak bisa berbuat s

DMCA.com Protection Status