"Kamu pikir aku di sana membuat keributan?" Zia bertanya dengan jari jemari tangan kanan menyentuh lehernya. "Apa di matamu aku terlihat seperti orang yang suka membuat keributan?"
Amran membulatkan kedua matanya dengan penuh emosi, lalu mendekat ke arah Zia dan mengangkat tangannya. Namun ketika dia hendak melakukan suatu, dia pun tersadar kalau apa yang akan dilakukannya salah."Kenapa? Kalau mau tampar, tampar saja. Sama seperti yang dilakukan Mama sama Papa. Kamu juga mau mengikuti jejak mereka? Lakukan!" teriak Zia bener-bener emosi karena sikap suami dan juga kedua orang tuanya sama.Padahal, selama ini dia tidak pernah membantah perkataan ketiga orang itu dan bahkan dia sendiri menyampingkan keinginannya hanya untuk membuat mereka senang."Aku sungguh tidak habis pikir ternyata Di matamu aku terlihat seperti orang yang suka membuat masalah? Padahal, selama ini aku selalu melakukan yang kalian katakan! Sungguh tidak habis pikir dengan jalan pikiran kalian," teriak Zia lagi lalu berlari ke arah kamarnya dan membanting pintu begitu saja hingga membuat Amran yang ada di bawah ikut terkejut."Sebenarnya apa yang sudah aku lakukan? Kenapa aku begitu tidak mempercayainya?" gumam Amran tak percaya dengan apa yang ia lakukan sendiri.Ketika sampai di kamarnya, Zia menangis hebat. Meraung sambil menepuk dadanya."Ini semua terlalu menyakitkan, kenapa harus aku yang mengalaminya? Aku pikir selama ini tidak ada masalah karena aku selalu mengikuti perintah keluargaku dan aku juga selalu bersikap biasa saja ketika mereka lebih memperhatikan Rania. Namun kalau selalu seperti ini, aku juga tidak sanggup lagi," teriaknya sambil menarik-narik rambutnya.Zia benar-benar merasa seperti dipermainkan karena diperlakukan dengan tidak adil oleh orang tuanya sendiri, bahkan Amran juga bersikap demikian. Namun pria yang ada di bawah itu pun akhirnya menyesali apa yang sudah dilakukannya dan hendak meminta maaf kepada Zia, tetapi sebelum melakukan itu ponselnya lebih dulu berdering."Apa Zia datang dengan menangis?" tanya seseorang dari arah seberang."Iya, dia marah-marah." Amran menjawab jujur padahal Zia hanya meluapkan emosinya."Dia memang selalu seperti itu, jadi kamu harus sabar. Dari dulu dia memang terlalu dimanja, jadi suka seenaknya sendiri.""Iya, kamu sendiri sebagai kakaknya sangat sabar menghadapi Zia. Bagaimana mungkin aku akan menyerah? Kamu orang yang sangat baik, semoga nanti Zia juga bisa mengikuti sikap dewasamu. Setidaknya seperlimanya." Amran malah semakin membelanya tanpa tahu apa pun yang terjadi.”Aku adalah kakaknya, jadi aku harus lebih tahu tentang dirinya daripada siapa pun agar ketika terjadi sesuatu yang diinginkan, setidaknya aku bisa tanggung jawab," ujar Rania santai sekolah dirinya adalah seorang kakak yang sangat menyayangi adiknya.Mereka pun tertawa sambil terus bercengkrama."Apa kamu sudah mencintainya?" tanya Rania dengan suara yang lembut secara tiba-tiba seperti tiga tahun yang lalu membuat jantung Amran berbaju lebih cepat dan membuat dirinya terdiam."Kenapa? Apa ternyata kamu sudah sangat mencintainya?" ulang Rania dengan penuh penekanan, seolah menunjukkan kekhawatiran akan terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan."Apa? Kenapa?" tanya Amran tidak nyambung."Ah, sudahlah ... lupakan saja kalau kamu memang sudah sangat mencintainya," lirih Rania membuat Amran kecewa."Enggak!" sahut Amran cepat membuat Rania yang akan segera berbicara mengurungkan niatnya. "Aku minta maaf. Untuk sekarang ini aku memang belum mencintainya, tetapi nanti aku akan menjadi pria yang sangat mencintainya.""Tidak perlu minta maaf, bukankah perasaan cinta memang tidak bisa dipaksakan?" tanya Rania dengan suara yang terdengar lebih ceria, sayangnya Amran tidak menyadari hal itu."Ah, ya. Kamu benar. Aku jadi semakin takjub dengan sikapmu yang dewasa."Di telepon, Amran tidak henti-hentinya memuji kelebihan Rania tanpa memikirkan seberapa hancur perasaan Zia sekarang. Apalagi kalau dia tahu Amran dan kakaknya tengah berbicara di telepon genggam, bahkan Amran membandingkan keduanya.Namun perbuatan Amran berhasil menarik amarah seorang wanita yang baru saja masuk dari pintu rumahnya. Wanita itu menjatuhkan tas yang dibawanya dan mendekat ke arah Amran dengan penuh kemarahan."Apa yang sedang kau lakukan? Apa kau berniat secara terang-terangan untuk melukai hati menantuku?" tanya Via, ibunya Amran."Bu, kenapa bisa datang ke sini tanpa bilang dulu padaku?" tanya Amran gerogi.Saat ini tubuhnya langsung tidak bisa bergerak, seolah baru terpergok selingkuh oleh istrinya. Walau demikian, dia tidak lupa menyentuh tombol merah hingga panggilan antara dirinya dengan Rania mati. Amran tidak ingin ibunya marah-marah dan melampiaskan emosinya kepada Rania, terlebih ibunya masih dendam dengan apa yang dilakukan Rania tiga tahun lalu.Lari dari pernikahan bukanlah masalah sepele, hal itu juga yang membuat beberapa orang keluarga Amran langsung membenci Rania. Ditambah kepergiannya waktu itu membuat keluarga besar Amran menjadi perbincangan banyak orang, padahal mereka tidak tahu apa pun.Akan tetapi, semua kekesalan dan amarah itu langsung terbayarkan ketika wanita yang dinikahi Amran ganti. Bukan lagi Rania yang sudah mencoreng nama baik mereka, namun Zia yang menurut mereka jauh lebih baik daripada Rania."Jadi menurutmu Ibu harus minta izin ketika datang ke rumah anak sendiri, begitu?" tanya ibunya Amran dengan kedua mata yang memerah. "Apa kamu mau jadi pengecut, sama seperti orang itu yang melarikan diri karena terpergok melakukan kesalahan?""Apa yang Ibu maksud? Bukan tentang Rania, kan?" tanya Amran tidak suka.Apa pun yang terjadi dan bagaimanapun keadaannya, Rania tetaplah orang yang paling penting di hati Amran. Apalagi sekarang dia belum bisa mencintai Zia, jadi menurut Amran ibunya tidak pantas berbicara seperti itu."Bu, apa pun yang sudah Rania lakukan, itu tidak ada hubungannya dengan kita, dengan apa yang terjadi dengan kita. Kenapa Ini kalah menyeret nama Rania yang tidak tahu apa-apa dengan hal ini?" tanya Amran lagi meminta penjelasan, namun kali ini dia malah mendapatkan tamparan yang sangat keras hingga membuat wajahnya bengkak.Kekuatan ibunya Amran tiba-tiba meningkat ketika mendengar beberapa kata keluar dari anaknya yang menurut Via keterlaluan dan menjijikkan."Hanya orang yang tidak tahu malu yang bisa berkata seperti itu dengan tatapan sempurna meski sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Apa yang sudah dia lakukan hingga membuatmu terus membela dirinya setelah apa yang dia lakukan tiga tahun lalu?" teriak ibunya Amran tidak terima dengan perasaan yang kacau.Via sama sekali tidak tahu apa yang ada di pikiran Amran. Padahal jelas-jelas Rania sudah melakukan kesalahan yang tidak bisa ditolerir, namun Amran malah terang-terangan membelanjakan.Mendengar suara gaduh di bawah, Zia menarik kakinya dengan malas dan berdiri di ujung tangga."Mas, apa yang terjadi?" tanyanya membuat Amran dan Via seketika menatap ke arahnya, namun beberapa detik kemudian Amran menatap Via dan berbisik agar ibunya tidak menceritakan apa yang terjadi barusan."Enggak! Zia tetap harus tahu karena dia adalah istrimu," teriak Via."Mama!"Amran berteriak dengan suara yang melengking hingga membuat Via ataupun Zia berhasil menutup telinganya dan sama-sama menatap kaget ke arah Amran."Kenapa kamu membentak Mama seperti itu, Mas? Apa kamu sudah lupa dari mana kamu dilahirkan dan tumbuh menjadi pria yang durhaka?" Zia berdiri di tengah-tengah antara Via dan Amran, menurutnya suaminya itu sudah sangat keterlaluan."Tapi Mama sudah melakukan kesalahan. Bukannya introspeksi diri, Mama malah berniat untuk membuat semuanya semakin kacau," terang Amran memberikan penjelasan, namun Via tidak terima."Kesalahan mana yang sudah Ibu lakukan?" hardik Via tak terima sambil berjalan mendekat ke arahnya. "Apa kamu pikir Ibu akan diam saja ketika ada wania yang disakiti psikisnya seperti itu?""Tidak ada yang aku sakiti! Mama berpikir terlalu berlebihan lagi dan aku tidak suka itu," sentak Amran berusaha mendorong mamanya untuk keluar, namun lagi-lagi Zia menahannya."Apa yang kamu lakukan ini, Mas? Kenapa kamu selalu mendorong M
"Enak?" tanya Amran kepada Zia yang sedang makan sayuran buatannya.Ini pertama kalinya dia memasak dan khusus untuk Zia. Bahkan dia tidak pernah memasak untuk Rania ketika mereka menjalani hubungan selama beberapa tahun.Zia hanya mengangguk, hal itu itu membuat Amran marah."Kamu bisa nggak sedikit saja menghargai aku? Kenapa selalu ingin membuatku marah?" ucap Amran tak terima."Lalu aku harus bagaimana? Aku udah jujur kalau makananmu enak bukan dan memakannya lahap. Lalu kenapa kamu marah-marah?" Begitulah jawaban yang biasanya Zia katakan ketika Amran setengah memintanya jawaban.Namun kali ini Zia hanya diam sambil terus memakan makanannya tanpa mengatakan satu kata pun. Hal itu membuat Amran semakin marah dan membanting makanannya yang ada di atas meja, namun Zia sama sekali tidak menggubrisnya.Zia makan dengan sangat tenang, lalu kembali masuk ke kamarnya seolah tidak ada yang terjadi. Sedangkan Amran segera ikut masuk ke sana dan memeluknya erat lalu menciumi tengkuknya deng
"Aku minta maaf atas apa yang sudah dilakukan istriku," lirih Amran sambil memberikan sebuah dress kepada Rania.Awalnya dress itu hadiah yang akan ia berikan kepada Zia, karena warnanya juga adalah warna kesukaan Zia. Namun Amran malah memberikannya kepada Rania."Makasih, ya. Aku ganti dulu." Rania masuk ke kamar mandi yang ada di kamar Amran, padahal dari dulu Zia selalu berpesan jangan pernah ada wanita lain yang masuk ke kamarnya, namun lagi-lagi Amran melanggar.Rania membuka paper bag yang diberikan Amran. Dia pun tersenyum lebar ketika melihat warna dress yang ada di dalamnya."Sama seperti yang aku katakan dulu, Zia. Semua yang menjadi milikmu akan menjadi milikku," ujarnya sambil menatap pantulan diri di cermin, lalu tersenyum menyeringai, "sejak awal kamu memang sudah kalah telak."Rania hanya terkena jus yang ada di lantai, namun Amran langsung memberikan baju ganti. Sedangkan Zia yang tersiram hanya memberikannya seorang diri. Ditambah mendapatkan tatapan tajam dan tuduha
Zia kembali masuk ke kamarnya dan mengurung diri, sedangkan Amran juga berusaha untuk mengejarnya, namun pintunya sudah terlanjur dikunci dari dalam. Amran menggedor-gedor pintu itu, namun Zia tidak kunjung membukanya.“Sampai kapan pun aku tidak akan pernah menceraikan dirimu, Zia. Asal kamu tahu kalau Rania itu hanya masa lalu. Mau sebesar apa pun cintaku padanya, kenyataan itu tetap tidak akan pernah berubah.” Amran berteriak dari luar pintu, namun Zia menutup kedua telinganya.Zia merasa dipermainkan dengan kenyataan bahwa dirinya tidak pernah ada di hati Amran.“Aku mohon, keluarlah dulu. Kita bicarakan semuanya dengan kepala dingin. Jangan seperti ini.” Amran berusaha untuk membujuk, namun Zia masih tidak ingin mendengarnya. Zia bahkan menarik beberapa benda berat seperti lemari dan sofa agar Amran tidak bisa mendobrak kamrnya.“Pergilah! Saat ini aku sedang tidak ingin berbicara denganmu!” teriak Zia membuat Amran frustasi dan tidak punya pilihan selain pergi.Amran menuruni an
Farid tidak lagi bicara, dia langsung menarik Amran menuju mobilnya, dan membawanya ke suatu tempat."Ngapain Lu bawa gua ke sini?""Sengaja. Gua bawa Lu ke sini biar Lu ingat, sedalam apa luka yang Lu dapat waktu itu ketika Rania pergi," ujar Farid dingin lalu turun dari mobil begitu saja meninggalkan Arman.Farid berjalan ke pesisir, sedangkan Amran hanya bisa mengikutinya dari belakang. Sadar Amran ada di belakang, Farid tersenyum."Lu harus selalu ingat kalau tempat ini selamanya akan tetap menjadi saksi yang paling menyakitkan," lirihnya, namun Amran masih bungkam."Di sinilah Lu terkapar, tidak bernapas, dan keadaan Lu juga berantakan. Namun saat itu Rania yang bersama pria bule itu bahkan tidak melihat ke belakang." Farid terus berbicara agar Amran mengingat kekejian apa yang sudah dilakukan Rania padanya."Semuanya hanya masa lalu," ujar Amran berusaha menutupi lukanya, namun Farid yang dingin langsung tertawa."Dengan entengnya Lu bilang masa lalu? Heh. Padahal setelah kejadi
"Apa gapapa? Saya malah takut nanti Pak Amran marah besar." Zein mulai ragu."Gapapa, Zein. Bukankah kamu pernah dengar nasihat kalau bersembunyi di tempat musuh adalah yang paling tepat?" bujuk Zia."Pepatah dari mana? Saya gak pernah dengar, yang ada malah membuat kita juga dimusuhi sama Pak Amran." Zein mulai ketakutan karena sepertinya Zia serius dengan perkataannya."Enggak akan. Kalau pun dia menjadikan aku musuh, tapi tidak akan pernah aku biarkan dia mengancam pekerjaan kamu. Pokoknya di sini tugasmu hanya perlu memberikan aku informasi tentang perusahaan Pak Barata itu. Setelahnya, serahkan saja padaku," ucap Zia mantap dengan penuh keyakinan."Tapi saya juga takut Anda kenapa-kenapa." Zein kembali mengatakan kekhawatirannya."Ya ampun, Zein. Apa kamu pernah lihat Mas Amran main tangan? Enggak pernah, kan." Zia mulai lelah. "Selama ini dia adalah orang yang suka menyiksa seseorang lewat batin, bukan fisik."Suara Zia mulai melemah, namun hal itu membuat Zein yakin kalau perka
Amran membulatkan kedua matanya tak percaya dengan apa any dikatakan sang istri. Dia pun mengedarkan pandangannya ke sekeliling dengan harapan melihat pria yang mengajak kencan Zia, namun dia tidak menemukan siapa pun.Amran segera mencekal pergelangan tangan Zia dan membawanya ke tempat sepi.“Jangan berbohong dan cepat katakan yang sebenarnya,” perintahnya dingin membuat Zia semakin enggan untuk menjawab.Zia mengeluarkan kecepatan penuh dan segera melepaskan tangannya dari Amran. “Kalau kamu memang percaya padaku, sepertinya kamu tidak akan pernah membutuhkan penjelasan dariku, Mas.”Amran diam. Dia tertampar dengan kata-kata Zia, namun dia tidak mau mengakuinya.“Percaya atau tidak, bukankah lebih baik bagi hubungan kita untuk menceritakan semuanya?" Amran melayangkan tatapan kejam.“Kita? Kamu kali, Mas. Orang selama ini kamu gak pernah percaya sama aku. Jadi rasanya percuma saja aku bicara banyak, karena semuanya tidak akan berpengaruh padamu.”Semakin emosi Amran, Zia malah sem
Rania tersenyum lebar ketika melihat mobil yang dinaiki Zia dan Gea menjauh. Gea memang sengaja memakai mobil kakaknya agar tidak dikenali Amran, namun siapa yang akan sangka jika hal itu malah membuat sifat asli Amran semakin terkuak. “Loh, kok mobil itu pergi? Bukannya itu mobil kamu, ya?” tanya Amran heran ketika melihat mobil Gea menjauh, sedangkan Rania tersenyum tipis.“Itu bukan mobilku, Mas, hanya mirip. Kebetulan tadi aku lihat Zia naik ke mobil itu, mungkin Gea ganti mobil,” jawabnya enteng membuat Amran langsung berlari mengejar mobil itu, namun tidak terkejar.“Kamu pesan online aja, aku ada perlu,” teriak Amran pada Rania, lalu segera naik ke mobilnya untuk mengejar Zia. Sedangkan Rania hanya bisa menggertakan giginya karena lagi-lagi Amran lebih memilih untuk memprioritaskan Zia daripada dirinya. Padahal hari ini dia sudah tampil cantik daripada biasanya. Amran menambah kecepatan sambil berharap Gea menjalankan mobilnya dengan pelan. Namun setelah menjalankan mobil den
Bukannya langsung ikut dengan Amran, Zia malah tampak santai dan tenang seolah keracunan adalah hal yang biasa."Apalagi yang sedang kamu pikirkan? Apa kamu sama sekali tidak peduli dengan apa yang terjadi pada papamu?" tanya Amran tak percaya."Peduli atau tidak, tidak ada hubungannya denganmu, Mas. Terlebih, aku sudah tahu hal ini akan terjadi, namun sayangnya papaku lebih memilih untuk mempercayai istri dan anak tirinya itu," terang Zia.Amran kehilangan kata-kata."Pergilah, Mas. Mungkin sekarang Rania sedang ada di rumah sakit dan menunjukkan akting terbaiknya. Jenguklah dia, Mas. Mungkin sekarang dia sedang membutuhkanmu," suruh Zia."Apa sebenarnya yang ada di kepalamu?" teriak Amran tak percaya. "Apa tahu kalau papamu sedang mempertaruhkan nyawa?""Aku tahu, tapi itulah pilihannya. Aku juga tidak punya waktu lagi untuk terus berbicara omong kosong," jawab Zia. "Jadi pergilah, lihat apa yang sebenarnya terjadi di sana."Karena Amran tidak bisa membawa Zia pergi, akhirnya dia k
"Jangan bercanda, aku dan Alia memang punya hubungan. Namun sebatas teman saja. Jadi jangan menuduh sembarangan," sangkalnya cepat."Teman?" Zia mendekat ke arah Rania. "Sejak kapan kamu punya teman modelan begini?""Walau kita tidak pernah dekat, aku tahu betul kamu tidak akan pernah berteman dengan manusia seperti itu," tandasnya lagi."Jangan sok tahu! Kamu tidak akan pernah tahu tentangku," sentak Rania, lalu dia memposisikan tubuhnya berhadapan dengan Zia. "Semua yang menjadi milikmu akan menjadi milikku," bisiknya membuat Zia spontan menamparnya keras."Kau sungguh wanita yang tidak tahu malu," teriaknya membuat Haris segera mendekat dan mengecek kondisi tangan Zia."Jangan lakukan itu lagi, aku mohon. Katakan saja padaku, aku akan meminta orang-orang untuk menamparnya," ujar Haris lembut."Rio, Alia!" panggilnya dengan teriakan yang membuat burung-burung beterbangan jauh."Ada apa, Bos?" Rio segera mendekat dengan Alia yang ditariknya."Tampar Rania masing-masing lima kali. Ka
Kau! Bagaimana bisa mengatakan itu tanpa beban di depan seorang wanita?" Alia melemparkan tatapan tak percaya pada pria yang sudah lama dikaguminya itu."Lantas, apa yang menurutmu pantas aku lakukan?" Haris mendekat ke arah Zia dan kembali menghujaninya dengan ciuman tanpa mengindahkan keberadaan Alia."Cukup, aku ada di sini. Apa kau sama sekali tidak mau balas Budi pada kakakku yang sudah mengorbankan segalanya untukku?" Alia kembali melemah.'Hanya cara ini yang aku bisa. Dengan berpura-pura menjadi lemah, Haris akan kembali menjadi milikku,' batinnya tertawa.'Yah, seorang Haris Amarta, pria paling sempurna di pelosok dunia ini hanya boleh menjadi suamiku. Dia tidak diizinkan untuk menjadi suami orang lain, apalagi dari seorang wanita yang berstatus janda,' lanjutnya.Alia sama sekali tidak mendengar kabar yang beredar kalau Zia bercerai dengan status perawan. Dia bahkan tidak membuka matanya dengan baik karena tidak melihat tubuh Zia yang sangat jauh jika dibandingkan dengan tub
Mereka pun sampai di rumah yang sudah dipersiapkan Haris untuk ditinggali bersama Zia.Akan tetapi, belum sempat mereka masuk ke dalam rumah, ponsel Haris lebih dulu berdering dengan keras."Aku sudah ada di bandara. Jemput aku sekarang kalau kamu mau membalas budi pada kakakku," ucap seorang wanita, lalu mematikan sambungan teleponnya begitu saja tanpa menunggu penjelasan dari Haris.Mendengar apa yang dikatakan wanita itu, Zia mengerutkan keningnya."Apa yang dikatakan dia sama seperti kata-kata Rania beberapa waktu lalu," ujarnya membuat Haris tidak berani melangkah."Semuanya terserah padamu, Mas. Tapi aku tekankan sekali lagi, kalau memang kamu bersungguh-sungguh, jangan pernah hadirkan orang ketiga. Jangan berikan aku surga lewat pintu poligami," lanjutnya menegaskan."Baik." Haris menjawab mantap, lalu segera menghubungi seseorang."Jemput Alia di bandara sekarang! Kalau dia hanya di mana aku, bilang aku sedang menikmati malam pertama dengan istriku," titahnya."Apa? Bagaimana
"Kalian baru saling mengenal, tidak mungkin kamu sudah mencintainya sedalam itu dan tidak mungkin dia juga sudah mencintaimu sebesar yang kamu katakan. Aku saja ragu padanya, bagaimana mungkin kamu tidak meragukannya?" tanya Amran tanpa memperdulikan tatapan Haris yang menatapnya penuh ketajaman. "Aku percaya pada suamiku, siapa pun dia, kepercayaanku akan selalu melekat padanya. Bukankah aku juga melakukan hal yang sama ketika kita masih menjadi suami istri?" tanya Zia yang lagi-lagi membuat Amran diam. "Aku sudah memaafkan apa yang telah kamu lakukan di masa lalu, kini aku sudah menjalani kehidupan yang baru. Jadi, aku juga berharap kamu melupakan masa lalu kita dan kembali meniti kehidupan yang baru," tegas Zia berusaha membuat Amran sadar kalau kehidupan di antara mereka sekarang sudah berbeda. "Aku tidak akan menyerah semudah itu, aku yakin pasti ada kesempatan untukku agar bisa kembali bersamamu. Aku dan kamu saja bisa berpisah setelah lima tahun pernikahan, apalagi antara ka
"Kenapa kamu manis banget, sih? Bukannya orang-orang bilang kamu kejam?" Zia melemparkan tatapan tak percaya pada pria yang ada di depan matanya.Zia selalu mendengar kritikan negatif terhadap keluarga Amarta, bahkan katanya keluarga ini adalah keluarga dengan orang-orang yang paling berbahaya.Sebelumnya Zia percaya akan gosip itu karena selama ini mereka memang selalu menunjukkan sisi negatif, namun setelah masuk langsung dan menjadi menantu Amarta, Zia tidak merasa demikian. Justru Zia merasa orang-orang yang mengatakan mereka jahat hanya pandai melihat dari luar, namun tidak jeli dengan kebenaran yang ada."Aku manis hanya di hadapanmu," sahut Haris cepat membuat Zia memalingkan tatapan, "karena kamu istriku, tentu aku akan melakukan apa yang aku bisa untuk mencintaimu.""Kalau nanti kamu berpaling?" tanya Zia penasaran karena Haris bukanlah pria biasa."Sebelum itu terjadi, aku akan mengatur beberapa aset untukmu. Ada anak atau tidak di antara kita, kamu tetap akan mendapatkannya
Zia memasang wajah datar dan menatap Amran lekat. Kini, dirinya benar-benar elegan dan setiap gerakannya sangat menarik. Itulah yang Amran lihat dari Zia yang sekarang. Padahal, sejak dulu Zia memang sudah seperti itu, sayangnya dia tidak melihatnya dengan baik."Kesempatan?" tanya Zia pelan dan Amran mengangguk cepat."Kalau kesenangan untuk dibenci olehku atau dipukul suamiku masih ada, tapi untuk hidup bersamaku ... kamu terlambat berubah, Mas. Aku yang sekarang tidak akan pernah lagi memilih untuk mencintaimu jika diberikan kehidupan kedua. Ini menandakan kesalahanmu sudah fatal," terang Zia tanpa perasaan membuat hati Amran benar-benar terluka."Bagaimana kalau ternyata Haris juga tidak tulus atau mengkhianatimu. Apa kamu bersedia kembali padaku?" tanya Amran lagiKali ini dia akan melakukan banyak cara untuk menarik Zia kembali ke sisinya. Terlebih sekarang dia sadar kalau dirinya sama sekali tidak mencintai Rania. Perasaan padanya ternyata sudah pergi bersama pengkhianatan yang
"Dasar pria yang tidak tahu malu," ujar Amran tak terima, "beraninya kau merebut Zia?""Merebut?" Harus menatapnya tak percaya, lalu mendekat ke arah Zia. "Sayang, katakan padanya, apa aku sudah merebutmu darinya?"Zia tersenyum lembut. "Tidak, justru dialah yang sudah merebut kebahagiaanku selama ini. Bodoh kalau aku mau kembali kepada pria seperti dirinya," jawabnya penuh penekanan seketika membuat Amran ditertawakan banyak orang.Akan tetapi, semuanya tidak berlangsung lama karena Rania lebih dulu datang dan mengajak Amran ke tempat yang tidak terlalu ramai."Mas, sebenarnya apa yang sudah kamu lakukan? Apa kamu lupa kalau Zia yang sekarang bukan lagi Zia yang dulu. Dia sudah berubah, Mas," terangnya sambil meminta seorang dokter untuk mengecek kondisi Amran."Bagaimana, Dok?" tanya Rania sedikit panik."Dia baik-baik saja. Mana mungkin Haris mengeluarkan tendangan yang begitu kuat setelah tahu Anda bukanlah pria yang bisa menjadi lawannya," ucap dokter itu membuat Rania marah."Si
Haris kembali menarik dirinya dari Zia ketika seorang pria mengeluarkan suaranya yang kuat."Mama suka dengan ketegasan kamu. Pria itu memang harus diberikan pelajaran," ucap Mama Haris, lalu menatap ke arah anaknya tajam. "Kalau nanti Haris begitu saja, Mama sendiri yang akan memberikannya pelajaran.""Apa, sih, Ma. Aku enggak akan begitu. Aku bukan orang bodoh yang akan menyia-nyiakan wanita seperti Zia." Harus berbicara dengan tegas bahwa dirinya akan terus mempertahankan Zia."Baguslah kalau memang kamu tidak punya niat itu. Awas kalau macam-macam," ancam mamanya membuat Haris bergidik ngeri.Di tempat lain, orang-orang yang diminta Zein untuk mencari keberadaan Gea sama sekali tidak mendapatkan hasil apa pun. Hal itu tentu membuat Amran semakin marah, terlebih kabar pernikahan tentang Zia dan pria lain itu sudah terdengar oleh banyak orang. Amran menjadi semakin tidak terkendali, bahkan Via sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya diinginkan oleh putranya itu. "Memangnya kenapa ka