"Sudahlah, aku tau kamu menjalankan semua ini hanya karena dipaksa oleh Haji Burhan bukan? Jika memang kamu mau kita pisah oke! Gak usah menuduhku yang enggak-enggak agar kita berpisah. Malam ini juga aku sama Bapak akan pergi dari sini, jadi kamu bisa dengan bebas melakukan hal apa pun setelah kita berpisah, jangan dipaksakan lagi—""Hilma!" teriak Zafar, membuat gadis itu langung dan dan menunduk, takut. Ia memegangi mulutnya dan beristighfar di dalam hati. Gadis itu kelepasan mengatakan hal itu semua karena dia sedang dalam amarah yang besar. "Maaf... Kamu takut? Maaf ya, a—aku gak sengaja ngebentak kamu," ujar Zafar, yang melihat istrinya menunduk dalam dengan tangan yang gemetar. "Dengar Hilma, semua yang aku katakan padamu maaf jika telah membuatmu sakit hati ataupun merasa kecewa. Tapi sumpah demi Allah, aku mengatakan itu bukan untuk menuduhmu, saat itu aku hanya bercanda, semua perkataan itu tuh hanya bercanda. Tidak ada niat sedikitpun untukku menuduh kamu masih mencintai
Gadis itu menghela napas pelan, kemudian mencoba untuk terpejam, tapi masih tidak bisa. Sedangkan waktu sudah menunjukan pukul sebelas malam, gadis itu kemudian pergi ke kamar mandi untuk mengambil wudhu, kemudian melaksanakan solat hajat, ia ingin meminta untuk kebaikan rumah tangganya, juga kebaikan untuk keluarganya. Sedangkan di rumah Haji Burhan, Zafar tengah menatap langit-langit kamar dengan mata yang sayu, pria itu sengaja ke sana untuk menenangkan hati dan pikiran, bukan karena ingin berbincang soal konveksi semata. Karana tidak tidur, pria itu keluar dari kamar menuju ke balkon. Berdiri menatap ke depan sawah yang luas, menikmati semilir angin malam yang menyentuh wajahnya. Kemudian mata pria itu mengerjap saat menatap seseorang yang ia kenal sedang melambaikan tangan sambil tersenyum di bawah. Ia mengucek matanya takut salah liat, dan benar saja bayang-bayang Hilma itu hilang. Zafar duduk menatap rembulan, ia bingung hal apa yang harus dilakukan agar Hilma mau meneriman
Bukannya menjawab pertanyaan Zafar, gadis itu malah bertanya balik. Ia melirik suaminya itu dengan tatapan dalam padanya. Menerka-nerka kenapa bisa Zafar jatuh hati padanya padahal dulu ia nampak tak sudi bersentuhan saja. "Sudah mau tiga bulan, bagimu itu cepat?" Gadis itu melemparkan pandangan ke arah lain. "Iya. Karena kita kenal setelah menikah, kecuali kita sudah lama saling tau.""Bagaimana caranya biar kamu percaya bahwa aku siap untuk menjadi suamimu seutuhnya, Hilma?"Hening.... Gadis itu tak mampu menjawab, ia berpikir lebih dulu takut sampai salah bicara, tapi malah diam membisu karena bingung harus mengatakan apa. "Aku tau pergaulanku dulu seperti apa. Tapi tolong, Hilma, berikan kesempatan untuk aku berubah, ini sedang proses memperbaiki diri.""Hanya untuk memenangkan hatiku?"Kini Zafar yang diam, bukan itu maksud dia, bagaimna caranya agar Hilma sadar bahwa kini pria itu sudah benar-benar berubah tak seperti dulu lagi. ***Setelah perbincangan tadi di danau, kini
Padahal Hilma ingin teflonan atau VC karena kini ia sudah paham menggunakan HP andorid diajarkan oleh sang suami, jadi meskipun berjauhan mereka tetap bisa saling sapa lewat VC. Tapi sampai jam setengah dua belas malam, pesan itu belum dibaca sama sekali. Membuat Hilma khwatir, ia berusaha untuk menelpon berkali-kali, tapi tak kunjung diangkat juga. Ia menghela napas kasar, dengan mata yang sudah memerah gadis itu merasa kesal. Sejak dari siang tadi suaminya tak ada mengabari. Dia meletakan ponsel itu asal di kasur, kemudian memilih untuk terpejam. Tapi baru juga ingin menarik selimut, seseorang menekan bell rumah yang sengaja Zafar pasang. Membuat gadis itu seketika duduk kembali. "Astaghfirullah, siapa yang nekan bel malam-malam begini?" gumam gadis itu, bukannya turun ke bawah untuk membuka pintu, dia malah bersembunyi di balik selimut karena takut. "Pintu sudah aku kunci, tapi tadi ditaro di mana ya kuncinya? Ya Alloh lupa!" geram gadis itu, tapi dia juga tidak mau turun kare
Hilma menahan tanyan Zafar yang semakin menurunkan bajunya, pria itu menatap sang istri yang masih terpejam dengan napas yang sudah tak teratur. Kemudian menarik kembali bajunya sampai menutupi sebagian dada gadis itu. Zafar tersenyum, ia kemudian kembali menyeletingkan baju sang istri, Hilma yang menyadari itu matanya terbuka, dia memakai Zafar bingung, kenapa tiduk dilanjutkan? Sedangkan tadi dia hanya malu jika sampai area sensitifnya terlihat jelas oleh sang suami. "Yuk, tidur," ujar Zafar, menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Dia melihat Hilma yang seakan ragu, tidak ingin memaksa wanitanya untuk melakukan hal itu sekarang. Yang terpenting, sekarang sang istri sudau dengan suka rela menerimanya, dan percaya padanya saja sudah sangat cukup bagi Zafar. Ia berpikir mungkin Hilma belum siap jika harus melakukan hal itu sekarang, dia akan menunggu sampai gadis itu siap lahir batin untuk menerima semuanya. Sedangkan Hilma yang merasa bersalah, ia mengatakan Zafar yang memejamkan
"Kata Mamang ada parang di belakang tolong ambilin ya, Neng Hilma.""Iya, Kang. Tunggu, ya." Hilma tak berani meminta Ajat untuk masuk karena sang suaminya berada di atas. Ajat yang melihat gaya berjalan Hilma yang berbeda, hati pria itu sedikit berdenyut. Kemudian ia beristighfar, wajar mereka melakukannya karena kini sudah menjadi suami istri. Tak pantas bagi Ajat untuk mencurigai ataupun mempertanyakan hal yang bukan urusannya. Tapi tak bisa dipungkiri, pria itu masih suka berbeda perasaanya jika saat berhadapan dengan Hilma. Entah kapan rasa itu akan benar-benar hilang dari hati pria itu. "Siapa, Sayang?" tanya Zafar yang sedang menuruni tangga, mendengar perkataan pria itu membuat Ajat menghela napas sambil membenarkan pecinya. "Loh... Ajat? Ayo masuk!""Enggak, Kang makasih. Saya cuma mau ambil parang aja, kok.""Aa ini tolong!" Hilma sedikit beteriak, ia meminta sang suami untuk memberikan parang pada Ajat karena dia harus mengaduk masakannya. "Ini. Bapak masih di kebon, ya?
Zafar mau jika bawahannya itu adalah seorang lelaki, sehingga tak ada kesalahan pahaman di antara dia dan sang istri. Sedangkan sekarang belum juga mulai bekerja, bahkan mereka baru bertemu, tapi Hilma sudah cemburu dengannya. Pria itu semakin khawatir hubungannya dengan Hilma akan kembali renta karena hadirnya wanita itu di sana. Sedangkan nanti dia pasti akan selalu bersama dengan Santi karena sebuah pekerjaan. Malam selepas isya, pria itu menatap sang istri yang hanya diam. Ingin menjelaskan tapi dia rasa Hilma sudah tidur duluan. Baru saja semalam ia mereguk indahnya surga dunia, sekarang malah jadi seperti ini karena salah paham. Pria itu mengusap kepala sang istri yang sedang memunggunginya, dia kemudian mencium kepala Hilma. Dia yang ternyata belum tidur masih merasa kesal karena Zafar tidak menjelaskan siapa wanita tadi yang mengobrol dengannya. "Begini rasanya kalau istri lagi ngambek, ya. Padahal ketemu sama dia aja baru," ujar Zafar pelan. Mendengar itu Hilma membalika
"Kenapa memangnya kalau dia jadi orang kepercayaan kamu, Zaf?""Dia perempuan, Paman.""Memangnya kenapa? Kan dia pintar, buktinya dulu dia bisa mengembangkan pabrik kecil menjadi sebesar itu.""Terus kenapa kalau dia yang mengembangkan sekarang malah dibuang tak diterima lagi?"Hening.... Haji Burhan diam tak bisa menjawab pertanyaan ponakannya itu. Sedangkan Zafar menatap menunggu jawaban sang paman yang kekeuh meminta Santi untuk menjadi bawahannya. "Kenapa, Paman? Terus kan aku buka usaha di kampung ini, kenapa malah kampung sebelah yang mendapatkan pekerjaan? Orang kampung sini kan juga bisa.""Kamu gak ngerti, Zaf.""Ya gimana aku bisa ngerti kalau Paman gak ngomong apa-apa. Jelasin makanya coba, kenapa Paman maksa banget.""Ya karena dia anak Paman!"Prang.... Kedua pria itu seketika menatap ke belakang saat mendengar suara pecahan gelas, ternyata di sana istri Haji Burhan sudah berdiri di ambang pintu dengan tangan yang gemetar, mata yang sudah memerah menahan tangis. Meli
"Kamu tak perlu tau orang itu siapa. Yang jelas, Paman kecewa pada kalian berdua. Mulai sekarang, Paman tidak mau berurusan dengan kalian lagi.""Tapi aku akan cari tau siapa orang yang sudah memfitnah istriku!" tekan Zafar, ia menarik Hilma saat wanita itu hendak berbicara. Zafar pergi dengan emosi yang meluap-luap di dadanya. Ia yakin sekali, jika dalang dari semuanya adalah Santi. Karena tidak ada lagi orang yang tidak menyukai istrinya itu kecuali dia."Aa aku belum sempat bicara sama Pak Haji.""Ngapain. Biarin aja dia, lama-lama juga bakalan ketauan iblis apa yang ada di rumahnya itu. Memfitnah orang lain agar dia bisa menikmati semuanya!"Hilma diam. Ia berpikir ada benarnya juga apa yang Zafar katakan, jika memang bukan Santi siapa lagi, karena di desa hanya dia yang berurusan dengannya."Mungkin karena dia suka sama Aa, makanya menghalalkan segala cara agar kalian bisa dekat."Mendengar itu Zafar langsung ngerem mendadak. Ia melirik sang istri yang juga tengah menatapnya."J
Sebelum menuju ke rumah Haji Burhan, mereka makan siang lebih dulu karena merasa lapar setelah kehujanan. Zafar yang berusaha menenangkan istrinya itu dengan mencoba menyuapi makanan pada Hilma, tapi wanita itu seakan enggan untuk menerima.Belum pernah ia melihat Haji Burhan semarah itu padanya, tapi kenapa setelah ada anak perempuannya, Hilma rasa banyak yang berubah dari bos ayahnya itu.Padahal dulu ia orangnya sangat lembut dan penyayang. Bahkan orang yang salah di mata yang lain pun, ia selalu membela dan memilih untuk berdamai. Tapi sekarang, hal yang bahkan tidak Hilma ketahui hal buruk apa yang sudah ia lakukan, Haji Burhan nampak tidak menyukainya."Hilma...." Suara Zafar membuat wanita itu buyar dari lamunannya. Ia hanya bisa menarik napas pelan dengan wajah yang muram."Kamu tau paman, kan? Mungkin dia cuma mau mastiin aja.""Tapi... kata-kata dia tadi sangat tidak enak aku dengar, A. Kapan aku punya niat busuk padanya, sedangkan aku selalu berdoa agar dia hidupnya sejaht
Santi melirik dari ujung matanya, kemudian dia tersenyum miring melihat sang ayah yang nampak emosi sekali. Wanita itu berhasil membuat seorang Haji Burhan yang dulunya rendah hati dan baik pada semua orang, kini ia nampak menjadi orang yang perhitungan."Tenang, Ayah... aku akan bantu untuk bikin mereka menyesali semuanya."'Lihat aja, setelah ini Hilma pasti akan kena marah habis-habisan sama Ayah. Aku harus menyusun rencana baru agar Zafar membela Ayah dan hubungan dia dengan istrinya itu renggang,' batin Santi."Ternyata wanita selugu dia bermuka dua. Padahal dulu siapa yang sering menolongnya kalau bukan saya!" tekan Haji Burhan, membuat hati Santi semakin gembira mendengarnya."Minta aja modal yang pernah Ayah berikan pada Zafar. Biar mereka tau rasa!"Haji Burhan menatap anaknya itu, ia kemudian duduk kembali setelah tadi berdiri karena emosi."Ayah gak bisa kalau lakuin itu, karena modal yang diberikan pada Zafar, itu uang ibunya dulu yang Ayah pinjam.""Jadi....""Kalau soal
"Akhirnya selesai, sekarang aku tinggal mandi dan ngasih bekal ini buat Aa." Hilma tersenyum melihat menu-menu makanan yang sudah tersaji di meja. Ia sudah memisahkan mana yang akan di bawa dan untuk sarapan sang ayah di rumah.Wanita itu naik ke kamar untuk mandi gan berganti baju, kemudian sedikit memoles wajahnya dan memakai lipstik agar lebih segar.Setelah rapi ia turun lagi dengan suasana hati yang gembira. Pokoknya nanti ia harus meminta maaf atas perilakunya yang semalam. Hanya karena cemburu ia jadi mengacuhkan sang suami. Yang padahal Zafar sama sekali tidak ada niat untuk berdekatan dengan Santi.Sepeda ia goes menuju ke Konveksi setelah berpamitan dengan sang ayah yang sedang menikmati hidangannya. Semilir angin menabrak wajah membuat wanita itu tersenyum. Menarik napas dalam menghirup udara desa yang masih sangat segar.Dari kejauhan matanya menatap sang suami yang sedang membantu menurunkan bahan-bahan kain yang sangat besar itu. Membuat suaminya sampai membungkuk memba
"A, yakin beli sebanyak itu?" Komar yang tadi hanya melongo kini bertanya saat melihat penjual dodol itu mulai menimbang dan memasukan dodol ke dalam kresek hitam yang cukup besar."Yakin dong... hanya dengan cara ini aku bisa meluluhkannya!""Meluluhkan siapa, A?"Zafar yang keceplosan langsung tutup mulut, kemudian meminta Komar untuk diam. Berisik sekali dia sedari tadi terus bertanya.Wajah Zafar berbinar dan dia membayangkan raut wajah sang istri saat mendapatkan dodol-dodol ini. Pria itu bergegas membayar dan mengajak Komar untuk pulang. Sepanjang jalan ia berharap semoga Kanjeng Putri itu tidak merajuk lagi.Malam semakin larut, mereka berdua kini sudah sampai di depan rumah, Zafar memberikan satu kilo dodol itu untuk Komar, dan juga uang sebagai tanda terima kasih untuknya."Kok, pake segala ngasih uang, A. Kan saya jadi enak," kata Koma r sambil nyengir. "Makasih ya, Mar. Udah kamu sekarang pulang, kasian istri kamu nungguin.""Iya, A. Makasih, ya. Kalau butuh bantuan lagi,
Hujan kembali deras lagi setelah tadi agak sedikit reda. Zafar menembusnya karena sang paman berbicara dengan sangat panik di telfon tadi. Dia terpaksa datang karena sang paman memohon, sedangkan hatinya merasa berat untuk meninggalkan Hilma yang masih belum mau bicara dengannya. Pria itu bergegas turun dari motor dan mengetuk pintu dengan tubuh yang kedinginan. Haji Burhan datang, ia melihat Zafar basah kuyup, kemudian meminta Santi untuk mengambilkan anduk. Santi tersenyum saat mengalungkan handuk itu padanya, sedangkan Zafar langsung menepis tangan wanita itu yang sangat tidak sopan. "Apa yang bunyi, Paman?" tanya Zafar, sambil masuk ke dapur, karena tadi sang paman bicara bahwa gasnya bocor karena mengeluarkan bunyi dan bau. "Gak tau, tadi bau sama ada bunyi, ya kan, Santi?""I–iya, Aa, tadi bunyi gitu. Aku jadi takut...." Santi memanfaatkan situasi sambil memegangi tangan Zafar, membuat pria itu menatapnya tajam. "Kamu cek deh, paman mau ke atas dulu, sakit pinggang rasanya.
Hilma kembali menikmati makanan yang sudah tidak mengunggah selera, tapi karena sayang jika di buang, maka ia harus menghabiskannya. Dengan wajah yang ditekuk, matanya melirik Zafar yang kembali turun mengenakan jaket. Karena posisi baru jam sembilan, bahkan matahari belum sepenuhnya muncul di langit. Membuat udara menjadi dingin. "Aku pergi dulu, ya." Zafar menghampiri kemudian mengecup kepala istrinya itu. Saat mengulurkan tangan, ia melihat istrinya itu berubah, tidak seperti tadi yang nampak segar sekali wajahnya. "Boleh kan aku pergi?""Kalau pun di larang, kamu bakalan tetap pergi, kan?"Zafat tersenyum, ia tau kenapa istrinya itu menjadi seperti ini. "Sayang... Aku ke rumah paman cuma mau membicarakan pembuatan alat untuk menarik air sungai ke sawah. Gak aneh-aneh, kok.""Hmm, ya udah pergilah kalau begitu. Nanti telat."Zafar menghela napas pelan melihat istrinya yang berbicara tanpa menatap dirinya. Karena waktu sudah semakin lambat, akhirnya ia kembali mengecup kening Hil
"Ayah tau punya ponakan modelan Zafar kenapa gak dinikahkan dengan Santi? Kenapa harus memilih perempuan kampungan itu? Kan aku juga bisa menikah sama dia, Ayah.""Mereka juga menikah karena tak sengaja, bukan murni saling suka.""Maksudnya gak sengaja?"Haji Burhan menaruh sendok yang sedang ia pegang, kemudian menceritakan awal mula Zafar dan Hilma menikah karena apa."Gitu, mana bisa ayah larang mereka. Ini sudah menjadi tradisi di sini."Santi mengangguk paham. Dia tersenyum miring memikirkan suatu hal gila apa yang akan wanita licik itu lakukan. "Sayang sekali, ya. Padahal aku lihat-lihat Zafar tertarik sama aku. Kemarin aja dia lihat aku sampai segitunya. Cuma ya... Istrinya aja itu, si Hilma yang suka tiba-tiba muncul kayak kunti!""Kamu jangan berharap apa pun sama dia. Zafar sudah bisa menerima Hilma, bahkan mereka sedang bahagia ini, karena telah mengandung anak pertama.""Apa!" Santi melotot tak percaya mendengar penuturan sang ayah, karena Haji Burhan kemarin tiga hari se
Zafar memancing untuk istrinya itu berbicara, padahal dia sudah tau pasti yang sedang Hilma pikirkan adalah Haji Burhan. Pria itu menggenggam tangan sang istri lembut, kemudian menciumnya. "Aku tau, kamu mikirin ucapan Paman, kan? Sudah aku bilang, gak usah dimasukin ke hati, jangan terlalu dipikirkan. Dia begitu pasti karena hasutan Santi.""Tapi kenapa dia jahat banget, A. Santi itu dari awal datang seperti tak suka sama aku. Apalagi kalau kita lagi berdua, terlihat jelas raut wajah sinisnya.""Maklumin aja, mungkin karena dia baru menikmati hidupnya sebagai anak dari Paman, dulu kan dia sembunyi-sembunyi dari warga, ya sekarang mungkin dia sudah bebas berperilaku. Dan itu lah sifat aslinya.""Apa mungkin juga dia suka sama kamu, A?"Mendengar penuturan sang istri, Zafar terdiam memandangnya. Ia mengingat kejadian saat pulang dari masjid tadi, seseorang menghadangnya saat di jalan, yang ternyata dia adalah Santi. Karena kebetulan wanita itu ada di sana, Zafar turun dengan niat ing