Part 25Hari-hari selanjutnya, Abiyya makin semangat bekerja. Apalagi setiap sore dia akan bertemu dengan Safira. Baginya pertemuan dengan Safira adalah obat. Obat dari segala rasa yang dipendamnya."Yang, kamu lapar?" tanya Abi sesaat sebelum Safira naik ke boncengan motornya."Iya, Bi.""Ya sudah, ayo kita cari makan."Abi menjalankan motornya dengan kecepatan sedang, sambil bernyanyi-nyanyi kecil."Suaramu sangat bagus, Bi. Aku sampai liatin terus videomu di YouTube," ujar Safira."Oh ya?" "Heem ...""Aku menyanyi untukmu, sayang. Untuk kita. Semoga kita bisa tinggal bersama ya.""Aamiin ..."Mereka masih berada di jalan, tiba-tiba lima orang preman menghadangnya, sembari membawa pentungan. Seketika laju motor Abiyya melambat dan berhenti. Safira ketakutan, ia terus berpegangan pada Abiyya. "Bi, gimana ini?"Abiyya hanya menggenggam tangan Safira agar istrinya itu tidak panik. "Pergilah, lari minta bantuan," bisik Abiyya lirih. "Tapi--"Safira menoleh ke kanan dan kiri tapi sua
Part 26"Apa maksud ayah? Perjanjian apa?""Tidak apa-apa, Nak. Ini hanya masalah orang tua saja."Safira menggeleng pelan. "Jadi kalian mau merahasiakannya dari kami?" tanya Safira lagi tersirat nada kecewa dalam ucapannya."Duduk dulu, Nak. Ambil nafas, dan tenangkan hatimu. Kamu pasti sangat cemas dengan keadaan Abi. Sudah jangan pikirkan yang lain dulu ya."Safira kesal, ia akhirnya masuk kembali ke dalam ruang perawatan Abiyya. Kenapa orang tua maupun mertuanya menyembunyikan sesuatu darinya. Kapan-kapan ia akan menyelidiki sendiri. Safira duduk di samping Abiyya. Melihat wajah suaminya yang babak belur. Tiba-tiba ia menangis. Mungkin saat ini hanya Abiyya yang bisa mengerti akan dirinya."Abi, bangun Bi ... Kamu dengar aku kan?" panggil Safira.Cukup lama Safira memandang sang suami, tapi masih tak ada respon. Safira menelungkupkan wajahnya di ranjang pasien. Kepalanya terasa berdenyut. Entah kenapa pernikahan yang ia impikan justru menjadi seperti ini. Bukankah seharusnya peng
Part 27Bagai bintang di surgaDan seluruh warnaDan kasih yang setiaDan cahaya nyataOh bintang di surgaBerikan ceritaDan kasih yang setiaDan cahaya nyataLagu : Bintang di Surga. Voc : Noah***Abiyya menyanyi dengan sepenuh hatinya. Semangatnya benar-benar kembali. Kini ia sudah tinggal berdua dengan sang istri meskipun hanya tinggal di rumah kontrakan yang kecil. Tapi ia sangat berharap kalau nanti dia bisa membelikan Safira rumah dari hasil kerja kerasnya. "Bi, ini honormu malam ini. Penampilanmu sangat bagus. Kemarin lima hari gak ada kamu, cafe jadi sepi," ujar Nabila.Abiyya tersenyum. "Makasih ya, Mbak.""Gimana kabar Safira? Apa dia baik-baik saja?" tanya Nabila penasaran."Iya Mbak, alhamdulilah kami sudah pindah ke rumah kontrakan.""Wow, asyik dong bisa leluasa," sahutnya sembari tersenyum meledek."Leluasa apanya?""Leluasa ehem-ehemnya. Hahaha." Nabila tergelak dalam tawa.Sementara Abiyya hanya nyengir sambil mengusap tengkuknya, salah tingkah. "Ya udah gue pulang
Pukul empat sore, Safira tengah berjalan pulang dari tempat kerjanya. Ia mampir ke warung untuk membeli sayur-sayuran. Rencananya ia ingin memasak untuk makan malam bersama suami. Tiba-tiba langkahnya terhenti, saat melintas di pekarangan yang kosong. Ia melihat dua orang preman yang pernah mencelakakannya dengan sang suami, tengah berdebat dengan seorang pria. Dia memang tak melihat jelas siapa dia karena hanya melihat bagian punggungnya saja, tapi Safira sangat mengenali suaranya."Bukankah preman itu yang waktu itu mencelakakanku dan Abiyya? Ah bisa gawat kalau mereka menemukanku di sini," gumam Safira."Kalian harus kabur dari kota ini! Kenapa kalian masih berkeliaran di sini? Apa kalian tidak tahu polisi tengah mengejar kalian?! Awas saja kalian kalau tertangkap, aku takkan bertanggung jawab! Jangan bawa-bawa namaku! Sudah gagal masih berani malak!""Sorry Bos, kami sudah melakukan apa yang bos minta. Kalau Bos menyuruh kita kabur, bayar kami dulu buat ongkos akomodasi dan kebu
"Hentikan! Jangan mendekat Adit!" seru Safira sembari menggelengkan kepalanya. Ia merasa sangat takut. Lelaki yang dulu pernah dicintai justru berubah seperti monster. Mengerikan.Adit lagi-lagi menyeringai. Ia mundur beberapa langkah, lalu meraih ponselnya dan mengaktifkan kamera untuk merekam video."Apa yang ingin kau lakukan, Adit?""Yang kulakukan? Tentu saja merekam kemesraan kita.""Dasar kau gila, Adit! Lepaskan aku, Adit!" teriak Safira lagi. Sekuat tenaga ia meronta, tapi sayangnya usahanya sia-sia."Kenapa, Sayang. Berbahagialah, mari kita bersenang-senang!""Gaaak! Aku gak mau! toloooooong ....!" seru Safira lagi sambil menangis tergugu. Sudut hatinya sudah dipenuhi oleh ketakutan dan juga air mata."Hei Safira, diamlah! Aku sudah hancur karenamu! Maka kau juga harus merasakannya! Mari sayang, mari kita bersenang-senang. Aku yakin kau akan ketagihan.""Tidaaaak!" Safira makin tergugu. Ia menggelengkan kepalanya perlahan.***Sementara di tempat lain ...Abiyya masih khawat
Safira kembali memandang suaminya, ia menepuk pelan wajahnya. "Abi, banguuuun ..." Safira mendekatkan minyak kayu putih ke hidung suaminya.Tak lama kemudian, Abiyya terbangun, kepalanya terasa begitu berat. Saat ini mereka sudah sampai di rumah kontrakannya. "Alhamdulillah, Abiyya, kamu sudah sadar? Syukurlah ..." Safira langsung memeluknya kembali. "Pelan-pelan, Yang. Masih sakit," ucap Abiyya sambil meringis kesakitan.Safira tersenyum canggung. Selama Abiyya tak sadarkan diri, Safira mengompres luka memarnya dengan air hangat."Kamu gak apa-apa kan, Yang? Kamu diapain aja sama Mas Adit?" tanya Abiyya.Safira menggeleng, tiba-tiba sudut matanya mulai mengeluarkan kristal bening kembali. Tadi saat dia hampir dilecehkan, untung saja suaminya lekas datang. Saat pulang dan membaringkan Abiyya, dia langsung mandi dan bebersih diri. Ia benar-benar merasa jijik saat Adit menyentuh kulit tubuhnya."Syukurlah kalau tidak apa-apa. Tenanglah, sudah jangan menangis," jawab Abiyya menenangk
Beberapa hari berlalu, keadaan Abiyya semakin membaik. Ia juga sudah melakukan aktivitas seperti biasanya. Bekerja di dua tempat. Saat siang di Raffi's bakery, sedangkan malamnya jadi penyanyi cafe. Safira pun merasa tenang dan damai, apalagi Abiyya menyerahkan semua penghasilan itu padanya. Ia hanya membawa uang seperlunya untuk membeli bensin dan jajan yang ia inginkan.Tak jarang, tiap pulang dari Raffi's bakery, ia membawa roti kesukaan istrinya. Kadang juga setelah pulang dari Cafe Aurora, dia mendapatkan nasi kotak plus lauknya. Tanpa terasa, seiring waktu berlalu, kedua sejoli itu merasa begitu bahagia dengan pernikahan yang dijalaninya saat ini. Mereka merasa damai dan tenang setelah beberapa ujian berat mereka lewati penuh duka dan air mata.Abiyya meski usianya lebih muda, selalu saja bisa menghibur istrinya dan membuatnya tertawa. Tok tok tok ... Terdengar suara ketukan pintu, Safira yang tengah berbaring di kasur busa sembari melihat video-video youtube segera beranjak.
Safira mengerjapkan matanya pelan, ia meregangkan tubuhnya sejenak. Dan menoleh ke samping, Abiyya sudah tak ada, ia bangun lebih dulu.Mendadak, ia mengingat kejadian semalam, hingga membuatnya tersenyum malu. Namun, ia bersyukur, rasa lelah dan nyeri yang menyergap semalam sudah berangsur membaik.Safira beringsut dan mulai membenarkan tempat tidurnya usai memandang ke arah jam bundar yang bertengger di dinding, waktu masih menunjukkan pukul empat pagi."Sayang, kamu sudah bangun ...?" sapa Abiyya sambil tersenyum. Dia menghampiri istrinya dan mencium keningnya lagi membuat Safira jadi tersipu. "Beli anting di toko kayu!" ucap Abiyya sembari menatap sang istri dengan lekat.Safira terbengong sejenak mendengar kata-kata suaminya. 'Ya, mana ada kan beli anting tapi di toko kayu?'"Good morning, sayang, i love you ..."Tanpa permisi, sebuah senyuman merekah di bibirnya. Apalagi melihat Abiyya sudah wangi dan juga rapi."Gimana, udah gak sakit kan?" tanya Abiyya. Safira menggeleng pela
Safira tersenyum, merasakan hangat pelukan Abiyya. “Aku senang kamu bisa menemukan jalan yang kamu cintai. Kita bisa menjalani ini bersama.” Abiyya melepaskan pelukannya, masih terlihat bersemangat. “Aku harus segera membalas pesan ini. Mereka ingin bertemu untuk membahas detailnya. Rasanya seperti mimpi, sayang!” Dengan semangat baru, Abiyya mulai mengetik balasan. Sementara itu, Safira mengamati suaminya, bangga dan penuh harapan. “Jangan lupa, kita juga harus mempersiapkan segala sesuatunya untuk kelahiran si kecil. Tapi, aku yakin kamu bisa membagi waktu.” “Pasti! Kita akan atur semuanya,” jawab Abiyya. “Setelah kontrak ini, aku berencana untuk lebih fokus, sehingga bisa memberi yang terbaik untuk kita nanti.” Keesokan harinya, Abiyya bertemu dengan produser yang menghubunginya. Ketika produser itu tiba, Abiyya langsung menyapa. “Hai, Pak! Senang bertemu denganmu.” “Senang juga, Abiyya. Say
Ibu Safira tersenyum lebar, tetapi wajahnya tiba-tiba berubah khawatir saat melihat ekspresi Safira. "Kamu tidak enak badan ya, sayang?"Safira menggeleng, meski wajahnya sedikit pucat. "Iya, Bu. Sebenarnya aku ingin ngomong sesuatu.""Ngomong saja, Nak," jawab ibunya sambil memimpin mereka ke ruang tamu.Setelah duduk, Safira menarik napas dalam-dalam. "Bu, ada kabar baik. Sekarang, aku sedang hamil." "Hamil? Serius, Nak? Alhamdulillah!" Ia segera memeluk Safira dengan erat.Abiyya juga ikut tersenyum, merasa lega melihat reaksi positif dari ibu Safira. "Iya, Bu. Jadi Safira resign dari kerjaan. Kami ingin fokus pada kesehatanku dan si kecil."Ibu Safira melepaskan pelukan dan menatap mereka dengan penuh kasih. "Kalian sudah mengambil langkah yang tepat. Kesehatanmu dan bayimu lebih penting. Kami akan mendukung kalian sepenuhnya.""Iya Bu, sudah beberapa hari ini aku mual-mual terus, rasanya pengin muntah."
Part 46Pagi itu, Abiyya dan Safira berdiri di depan pintu kafe tempat mereka bekerja. Cafe itu sudah ramai dengan rekan-rekan kerja Safira yang sedang memulai aktivitas pagi. Abiyya menggenggam tangan Safira erat, memberinya senyuman penyemangat.“Siap?” tanya Abiyya pelan.Safira mengangguk, meski ada sedikit kegugupan di wajahnya. “Siap, Abii.”Mereka melangkah masuk, dan suasana kafe yang semarak langsung berubah saat rekan-rekan kerja melihat Safira. Beberapa dari mereka melambai dan menyapa.“Hai, Safira! Dari mana saja kamu, baru berangkat sekarang? Kamu sakit ya?” sapa Lita, rekan kerjanya yang ceria.Safira tersenyum tipis. “Iya, Lita. Hari ini ada sesuatu yang mau aku omongin sama Bos Elang.”"Seperti biasa Mas Bos ada di ruangannya."Safira dan Abiyya mengangguk mereka langsung menuju ruangan Bos.“Safira, Abiyya, ada apa? Tumben pagi-pagi sudah barengan ke sini?"Safira menarik napa
“Kamu gimana, sayang? Masih mual?” tanya Abiyya, tangannya memegang tangan Safira erat. Safira mengangguk kecil, senyumnya masih mengembang. “Iya, masih mual, tapi rasanya beda. Ada perasaan senang yang nggak bisa dijelasin.” Abiyya terkekeh pelan. “Aku masih kayak mimpi, tahu nggak? Aku bakal jadi ayah dan kamu akan jadi ibu. Aku janji, aku bakal jadi suami yang lebih perhatian dan ayah yang paling keren buat anak kita.” Safira tertawa, matanya berkaca-kaca lagi. “Kamu udah cukup keren, Bi. Cuma, nanti kalau aku ngidam yang aneh-aneh, jangan protes ya,” candanya sambil menahan senyum. “Waduh, siap-siap deh aku! Makan mangga muda jam tiga pagi? Beli es krim di tengah hujan? Apa aja, aku siap!” Abiyya berlagak dramatis, membuat Safira tergelak. Matahari mulai mengintip di balik jendela, menandakan pagi sudah mulai menyapa. Keduanya saling pandang, merasakan detik-detik perubahan besar dalam hidup mereka. Pagi
Part 45Safira terbangun di pagi buta dengan perasaan mual yang tiba-tiba menyerang. Ia bergegas menuju kamar mandi, mencoba menenangkan perutnya yang bergejolak. "Hueeek .... hueeekk ...."Abiyya, yang masih tertidur lelap di sampingnya, tersentak bangun mendengar suara lirih istrinya.“Sayang? Kamu nggak apa-apa?” tanyanya, setengah mengantuk dan khawatir.Safira keluar dari kamar mandi, wajahnya pucat namun matanya berbinar aneh. “Aku nggak tahu, Bi. Perutku mual banget, rasanya pengen muntah.""Semalam kamu makan apa? Jangan makan terlalu pedas lho!""Enggak kok, aku gak makan yang aneh-aneh. Mungkin aku masuk angin doang.""Kamu jangan kecapekan ya kerjanya. Aku gak tega kalau kamu sakit kayak gini."Safira mengangguk pelan. "Ayo kita sholat dulu, Bi. Kamu mandi dulu gih!""Okey, Sayang ...."Sembari menunggu sang suami selesai mandi, Safira memasak nasi di magiccom. Se
***Hari-hari berlalu .... Pagi itu tampak cerah, sinar matahari menyinari bumi dengan lembut, menciptakan suasana hangat yang menyenangkan. Burung-burung berkicau riang di pepohonan, seolah merayakan hari baru. Safira membuka jendela rumah kontrakannya, menghirup udara segar yang penuh aroma bunga dari taman di seberang jalan. Hari ini adalah hari liburnya, dan dia merasa bersemangat."Sayang, gimana kalau kita jalan-jalan hari ini? Cuacanya enak banget!” Tiba-tiba Abiyya muncul dari belakang sembari tersenyum.Senyum merekah di wajah Safira. Dia membalas dengan cepat, “Tentu! Mau kemana?”Abiyya menjawab, “Bagaimana kalau ke taman? Kita bisa refreshing sambil menikmati suasana pagi.”"Iya, Bi. Aku siap-siap dulu."Abiyya tertawa kecil melihat istrinya yang tampak begitu antusias ketika diajak jalan.Safira cepat-cepat bersiap, memilih pakaian yang nyaman dan menyenangkan. Ia juga memoles wajahnya tipis-tipis
Part 44Regina terlihat terpojok, wajahnya memucat. “Aku… Aku hanya ......"Regina terdiam, kata-katanya tersangkut di tenggorokannya. Semua mata tertuju padanya, menanti penjelasan. "Aku hanya ingin memastikan gelangku aman!” jawabnya, berusaha membela diri."Aman? Dengan memasukkannya ke tas orang lain? Semua itu kamu lakukan agar Safira terlihat buruk di mata orang lain bukan?" Abiyya ikut menambahkan.Regina menggeleng pelan. "Ti-tidak. Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku, aku hanya--""Ini tidak bisa dibenarkan! kamu mengambil gelangmu sendiri dan menaruhnya di tas Safira, merekayasa keadaan agar kami menuduh Safira melakukan pencurian? Setelah dipikir berulang kali, kamu juga ingin menjatuhkan Safira. Apakah kamu punya maslaah pribadi dengannya hingga melampiaskannya di tempat kerja?” tanya Elang, nada suaranya datar, tetapi matanya penuh kekecewaan.Regina tertunduk malu. Gadis itu menggeleng pelan."S
Keesokan harinya .... jam pergantian shift Regina memeriksa tasnya. "Astaga! Kok gelangku hilang?" pekiknya terkejut membuat rekan yang lain menoleh."Gelang? Gelang apaan, Gin?" tanya salah satu rekannya. "Gelangku. Gelang pemberian ibu!""Lho, emangnya gak kamu pake?""Enggak selama ini aku selalu taruh di tas. Biasanya aman-aman saja, kok sekarang hilang. Siapa yang ngambil ini?" Regina mulai bersandiwara, menangis dan mengatakan hal itu dengan nada getir.Rekan-rekannya mulai khawatir. "Tenang, Regina. Kita bisa cari sama-sama," kata Rina, salah satu temannya, berusaha menenangkan.Regina menggelengkan kepala. "Tapi ini penting! Ibu memberikannya saat aku lulus sekolah. Aku tidak bisa kehilangan ini.""Kalau begitu, coba ingat-ingat terakhir kali kamu lihat," saran Dimas, yang dikenal sebagai orang yang jeli.Regina merenung. "Aku ingat betul, gelang itu ada di tas.""Mungkin aja jatuh di
Part 43 “Dasar licik kamu!” Wanita itu menjawab, setengah terkejut tetapi juga terkesan dengan sikap sahabatnya. “Begitulah dunia kerja, sayang. Kita harus menggunakan cara apapun untuk mendapatkan yang kita inginkan. Safira sudah terlanjur jadi targetku, dan semua yang aku lakukan hanya untuk memastikan dia terlihat jelek di mata orang lain.” Regina menjelaskan dengan senyum licik. “Bagaimana kalau rencanamu terbongkar?” tanya wanita itu, sedikit khawatir. “Tidak mungkin! Tidak ada yang akan percaya Safira setelah semua ini. Lagipula, aku sudah merencanakannya dengan baik. Mungkin aku bisa menjebak dia sekali lagi untuk memastikan semua orang menganggap dia tidak bisa dipercaya,” jawab Regina penuh percaya diri. Namun, wanita itu mengingatkan, “Tapi, kalau Bosmu mulai menyelidiki lebih dalam, bisa-bisa semua ini terkuak.” Regina melambaikan tangannya, “Elang tidak akan mencari tahu lebih dalam