—Devon Woody“Dokter Viggo melarangmu untuk stress. Apa yang kau pikirkan, Esme?” Kuusap rambutnya dengan penuh kehati-hatian. Ini hari ketiga di mana dia enggan untuk turun dari tempat tidur.Hanya helaan dan tarikan napas perlahan yang kudengar, sampai akhirnya dia merentangkan kedua tangannya meminta aku untuk memeluknya.“Aku sudah memelukmu. Sekarang, katakan padaku. Ada apa?”Kurasakan kepalanya menggeleng dengan rambut yang menggesek pipiku.“Kau baik-baik saja?”“Cukup baik, Sayang. Aku … yah, benar tidak terlalu baik, sejujurnya. Beberapa hal di waktu lalu membuatku stress. Perasaan bersalah itu masih menjadi kendala bagiku.”Diam menjadi momen emas untukku. Sama seperti kata pepatah tua mengenai hal itu. Karena kupikir, Esme mendadak mengalami stress akibat penolakanku ketika seks kami malam itu. Kau berengsek, Dev!“Kau ingin aku yang mewakilimu untuk minta maaf?”“Kau yang akan menemuinya?” Pelukan seketika terlepas. Tatapannya lekat, sedikit kernyit di kening.“Jika kau m
—Lila WinterAku sadar apa yang kulakukan akan mengundang ketakutan pada diriku sendiri jauh di dalam sana. Namun aku tidak peduli. Sama tidak pedulinya seperti saat aku memutuskan untuk menikah dan menerima Ferdi dengan begitu mudahnya.“Kau terkejut? Aku minta maaf.” Ferdi sudah muncul dari balik pintu dan langsung mengatakan hal yang bagiku tidak perlu.“Tidak.” Kurasa, tidak perlu mengatakan apa yang kurasakan. Terlebih tentang kenyataan bahwa aku mengenal Dev, ketika suamiku justru memperkenalkan pria itu sebagai teman lamanya. Jangan mempermalukan suamimu, Lila.“Bagaimana perasaanmu, Sayang?” Dia mengusap keningku yang sudah diperban. “Apa ini sakit?”Aku lebih memilih untuk menatap matanya. Ini menyenangkan. Orang asing yang begitu mudah masuk ke dalam hidupku dan berbaur dengan sangat baik jauh bersama perasaanku. Tidak mengekang, tidak juga terlalu longgar. Tepat, pas sekali.“Ini sakit sekali.” Entah bagaimana, aku bisa menjadi seseorang yang lain untuknya, berkat dirinya.
—Lila WinterHening berganti dalam jeda waktu beberapa menit. Kami pun mengubah posisi. Ferdi berbaring miring ke arahku. Menatapku dengan kepala yang ditopang oleh telapak tangannya.“Kau masih ingin mendengarkanku, Sayang?”“Mm-hm.” Dengan tanpa rasa bosan, aku mengangguk. Memberikan dukungan lewat raut wajahku.“Terima kasih, Lila.”“Jangan dulu. Selesaikan ceritamu sampai tidak ada lagi yang bisa kau ceritakan padaku.” Kutempelkan telunjukku di bibirnya. Meski tidak tersenyum, dia pasti paham tatapanku. Aku yakin dia mulai mengenalku dengan baik. Perlahan-lahan.Ferdi mengangguk. Patuh dan mengubah posisinya, kali ini hanya tangannya yang memeluk tubuhku. Penuh kedua lengannya berada di sekeliling diriku.“Kematian Irene, membuatku menyalahkan diri hingga bertahun-tahun. Menutup diriku untuk siapa pun, terutama lawan jenis. Kenyataan yang tidak bisa kuubah adalah kematiannya dan keputusanku yang tidak akan pernah mau melepaskan pekerjaanku. Kurasa, apa pun itu, pekerjaanku masih j
—Devon WoodyKucemaskan seseorang yang bahkan tidak mengingatku. Lila mungkin sudah baik-baik saja. Hanya aku yang tidak.Ini membuatku berpikir bahwa pengaruh seorang Lila begitu luar biasa. Semakin coba ingin kulupakan, semakin mudah terbayang-bayang. Padahal, kau sempat membencinya, bukan?Sekarang, tanpa kesengajaan. Aku malah bertemu Ferdinand Fitzgerald di markas musuhku, sekaligus tempat pria itu menangkap bandar obat-obatan terlarang.Pekerjaannya mulia. Itu cocok dengan wajah rupawannya. Aku sudah menduganya. Dia bukan pria sembarangan.“Rekanmu?” Ferdi menyapa dengan uluran tangan.Kusambut tanpa beban, tapi melihatnya mengingatkanku pada Lila.“Bukan. Salah satu biang masalah. Dia merugikan perusahaan tempatku bernaung.” Meski tidak sepenuhnya benar, tapi Volkoy Merlin memang pengacau. Dia salah satu sepupu jauh keluarga Heimir.Ferdi mendengarku dengan seksama. Seolah aku mungkin bersedia memberikannya informasi. Tidak. Itu tidak bisa kulakukan, meski aku ingin memanfaatka
—Lila Winter“Sayang?” Kusambut dia dengan kecemasan yang tidak kuperlihatkan. Jelas sekali dia baru saja menghadapi sesuatu yang berat.Pengejaran, baku hantam, atau mungkin penembakan. Itu harus jadi hal yang biasa kudengar sejak memutuskan untuk menikahinya.“Hai, Sayang. Bosan terus di rumah?” Ferdi memelukku, erat.“Tidak. Aku mengerjakan pekerjaan kantor dan membaca buku.”“Pekerjaan kantor? Itu harus?”“Sama sepertimu. Itu tidak harus. Tapi aku memang berniat menyelesaikan pekerjaan itu sampai minggu depan.”Ferdi membawaku ke arah kamar, rupanya. Sambil melangkah mundur karena dia yang berjalan maju di depanku. Ciuman terjadi karena bibirnya yang memulai lebih dulu. Kuat, lembut, bahkan berhasrat.“Kau ingat temanku yang menolong kita waktu kau terjatuh dari sepeda?”Dev? Kenapa dengan pria itu? Jantungku berdebar sepersekian detik bahkan tanpa Ferdi mengucapkan namanya di depanku. “Kenapa dengannya?”“Kami punya janji makan malam bersama malam ini.”Oh, mereka sudah sedekat i
—Lila WinterDalam keterburu-buruan, aku dan Ferdi berebutan saat mandi di bawah shower. Tidak ada yang mau mengalah.Selagi mandi, kami masih bisa saling menggoda dan memberi kepuasan. Walau akhirnya itu benar-benar membuat Dev dan Esme menunggu sedikit lebih lama di restoran.Aku berusaha ramah dan tidak membahas apa pun yang bisa mengundang mulut Esme berbicara, seolah dia akrab dengan kehidupanku di luar jamuan makan malam ini.Kami mungkin terlihat dekat, tapi ini teramat sangat canggung untukku.“Sayang, aku harus menjawab panggilan sebentar.” Ferdi mengejutkanku dengan gerakan mendorong kursinya yang nyaris tanpa suara. Dia sudah menempelkan bibirnya di telingaku sekilas, lalu pergi.Dia sangat terburu-buru. Aku harus terbiasa. Harus. Itu pasti urusan pekerjaan. Dia orang hebat, Lila. Pahlawan untuk negara, mengertilah.Sepeninggal Ferdi, tidak sekalipun aku mengajak Dev berbicara, bahkan mulutku segera terkunci ketika Esme selesai menceritakan sesuatu yang sejak tadi tidak kus
—Lila WinterKuusap-usap puncak kepala hingga bagian belakang kepala Dev dengan tangan gemetar.Rasa sedihnya juga menjalar padaku. Menembus melalui kulitku, menusuk hingga ke tulang-tulangku.Air mataku ikut menetes kembali. Kesedihan, kepedihan, bahkan rasa sakitnya terasa sulit untuk menjauh.Kedua lengan Dev yang melingkar kuat di pinggangku menandakan, bahwa dia begitu ingin menyembunyikan tangisnya dariku.“Lila,” serak Dev. Kepalanya mendongak. Tatapannya mengunci tatapanku.Memang tidak kusembunyikan. Kubiarkan dia melihat air mataku. Kami sama-sama melihat tangis tanpa suara satu sama lain.“Hm?” Tanganku beralih ke wajahnya. Mengusap alis tebalnya, alih-alih menghapus air matanya.“Hatiku sakit.” Dev mengeluh. Baru kali ini kudengar.“Ya. Kita sama.” Suaraku nyaris hilang.Dev menarikku. Membuat dirinya duduk tegak, ketika tubuhku berada di atas pangkuannya. Kepalanya masuk ke bawah daguku. Bersembunyi di leherku. Kutepuk-tepuk punggungnya. Seolah sedang meninabobokan seoran
—Lila Winter“Lila?”Kulihat Dev muncul dengan terengah-engah. Bergegas dia menghampiriku. Apa mungkin dia tahu bahwa Gray berhasil masuk dan menemuiku?“Kau baik-baik saja?” Malah sibuk meneliti setiap jengkal tubuhku. Menatapku cemas, lalu mendekapku erat-erat. “Ada apa?” Bertanya sambil kurasakan napasnya tidak teratur. Seakan Dev baru saja berlari sejauh ratusan meter.“Seseorang atau mungkin lebih dari itu, mencoba masuk. Padahal, keamanan yang kupasang di depan seharusnya berfungsi dengan baik. Mengirim sinyal cepat padaku. Namun kurasa, mereka terbiasa menerobos menggunakan cara yang bersih dan rapi.”Gray tidak sendiri?“Yang membuatku curiga, kenapa dia sengaja membuat kursi terjatuh, padahal tinggal sedikit lagi sampai orang itu bisa mencapai tempat di mana kita berada.”Jika penuturannya begitu, andai pemikiranku benar, Dev mencurigai sesuatu, tapi enggan mengungkapkannya padaku.Dan menurutku, Gray sengaja melakukannya untuk mengundang perhatian Dev. Membuat kami terpisah