3. Pinjam Uang
“Maaf ya, Mas.” Aku belum mampu menahan tawaku. “Topik mengenai Mas Arya yang tertukar di rumah sakit, adalah topik yang paling lucu menurutku,” kataku dengan susah payah.Ibu kemudian ikut tertawa bersamaku, menertawakan Mas Arya yang kini menatap kami berdua dengan pandangan kesal. “Kalian berdua itu kompak sekali kalau membullyku,” ujar Mas Arya akhirnya. “Menantu dan mertua sama saja!” katanya lagi.“Lah, kamu lebih mau Ibu dan istrimu nggak akur?” tanya Ibu dengan pedas.**********“Iya, seharusnya Mas senang, dong. Arra dan juga Ibu punya hubungan yang sangat baik, tidak seperti hubungan menantu-mertua yang ada di novel-novel!” kataku ikut menimpali.“Ya, Mas senang. Tapi, hubungan kalian itu udah kelewat baik, bahkan kadang Mas ngerasa kalau yang anak Ibu sebenarnya adalah kamu, bukan Mas.” Mas Arya mencebik.“Atau jangan-jangan memang begitu?” Ibu memasang wajah berpikir.“Haruskah kita tes DNA, Bu?” tanyaku antusias.“Oke, Ibu setuju!” Ibu menyambar cepat.“Ya Allah, Ibu, Arra!” Mas Arya memekik kesal.Ibu dan juga aku kembali tertawa, kali ini lebih keras dan juga lebih lepas. Sedangkan Mas Arya? Lelakiku itu lebih memilih untuk masuk ke dalam kamar, meninggalkan aku dan juga Ibu di luar.Aku melirik Ibu dari ekor mataku, Ibu kelihatannya sudah tidak mengingat hal tadi, dia sudah bersikap biasa saja, seolah apa yang beliau pinta tadi hanyalah sekedar mimpi di sore hari saja.“Ngapain ngeliatin Ibu begitu, Nduk?” tanya Ibu dengan nada lembut.“Nggak apa-apa, Bu.” Aku segera memalingkan wajah. Aku bisa mendengar Ibu yang terkekeh, namun aku sama sekali tidak tahu apa yang lucu. Apakah Ibu baru saja menertawai aku? Atau bagaimana?“Ada yang lucu, Bu?” tanyaku ingin tahu.“Ndak, ndak ada yang lucu.” Ibu menggeleng mantap, walau sisa tawa itu masih menggantung di bibirnya. “Sudah sana, urus suamimu. Kamu tahu sendiri, kan? Dia itu suka mengomel seperti wanita,” kata Ibu lagi.Aku menatap Ibu lama, namun aku tak bisa menebak apa yang dia pikirkan. Lantas aku mengangguk, dan bangkit berdiri setelahnya. Ibu benar, Mas Arya suka mengomel dan aku tidak mood untuk meladeninya sekarang ini.Setelah sampai di kamar, aku tidak menemukan suamiku itu di manapun, tapi pintu kamar mandi tertutup rapat. Aku langsung mengambil kesimpulan, kalau Mas Arya sedang mandi sekarang ini.Sebagai istri yang baik, aku langsung menyiapkan pakaian ganti yang akan Mas Arya gunakan. Suamiku itu bukan tipe mandiri, semuanya harus disiapkan agar dia senang. Dari mulai pakaian, makanan, hingga yang lain-lainnya. Setelah selesai dengan keperluan ganti Mas Arya, aku langsung mendudukkan diri di ranjang. Melihat ponsel Mas Arya tergeletak begitu saja, aku langsung mengambilnya dan memainkannya. Alhamdulillah, suamiku bukan tipe suami yang suka melarang istrinya untuk melihat isi ponselnya, pin ponsel Mas Arya adalah tanggal ulang tahunku dan itu tidak pernah berubah dari dua tahun yang lalu semenjak kami pertama menikah.Aku lantas membuka aplikasi hijau dengan logo gagang telepon, kalau di novel-novel rumah tangga biasanya di aplikasi itu bisa ditemukan bukti perselingkuhan antara pasangan mereka dengan wanita atau pria lain. Tetapi sangat berbeda dengan ponsel Mas Arya, tidak ada yang mencurigakan. Hanya pesan dari rekan kerja, dan juga saudara-saudaranya yang ada di kampung.[Kapan kamu datang ke sini, Ar? Sawit sudah waktunya di pupuk, loh!] Aku membaca salah satu pesan yang dikirim oleh Pakde Mul, kata Mas Arya Pakde Mul ini adalah Kakak kandung Ibu mertuaku. Tapi, aku belum pernah bertemu dengannya sekalipun.Sewaktu menikah dulu, dari keluarga Mas Arya hanya ada Ibu dan juga Bapak. Tidak ada keluarga lain yang datang, kalau kata Mas Arya pernikahan kami dulu bertepatan dengan meninggalnya Bude Misna, kakak kandung Bapak.Jadi, para saudara yang lain memutuskan untuk tidak datang ke pernikahan kami. Yah, tidak masalah, sih. Yang penting adalah kehadiran Bapak dan juga Ibu, aku tidak mempermasalahkan yang lainnya."Lusa, aku ke sana." Mas Arya membalas singkat.[Ya sudah kalau begitu! Kamu harus ingat, Ar. Kamu punya kebun di sini, jangan kamu lupakan! Atau kamu akan menyesal!]Aku mengernyit heran saat melihat balasan dari Pakde Mul, kenapa begitu? Ketus sekali."Ngapain, Ra?" Mas Arya tiba-tiba sudah berdiri di sampingku, rambutnya basah dengan handuk yang melilit di pinggang kokohnya. Aku tersenyum kecil dan menggeleng pelan."Ini bajunya, Mas." Aku menyodorkan tumpukan baju yang sudah aku siapkan.Mas Arya mengambilnya. "Kamu lihat apa?" tanyanya lagi."Pesan dari Pakde Mul, Mas." Aku menjawab jujur."Kenapa? Pakde ngirim pesan lagi?" tanya Mas Arya penasaran, dia langsung mendudukkan dirinya di sampingku setelah memakai bajunya."Nggak ada, pesan kemarin," jawabku sekenanya."Oh …." Mas Arya bergumam."Pakde Mul kenapa, Mas? Kok, dari bahasanya kelihatan ketus begitu?" tanyaku ingin tahu."Ketus gimana?" tanya Mas Arya dengan kening yang berkerut dalam."Ya ketus, Mas. Apa Pakde udah nggak mau ngurus kebun di kampung? Soalnya dia kelihatannya kesal banget," ujarku cepat, dan menyodorkan ponsel Mas Arya sembari menunjukkan pesan yang aku maksud."Oh, ini …." Mas Arya bergumam sembari berpikir. "Pakde memang begini, sih. Dia ada masalah, dan belum ketemu jalan keluarnya," sahut Mas Arya akhirnya."Masalah? Masalah apa?" tanyaku ingin tahu."Istrinya kena tumor, dan harus operasi." Mas Arya merebahkan tubuhnya di ranjang, dan meletakkan kepalanya di pangkuanku."Innalillah, lalu apa masalahnya, Mas? Kan tinggal di operasi saja," kataku dengan panik."Yah, kamu sih enak ngomong begitu, Ra. Uang kamu banyak," sahut Mas Arya dengan ketus. "Pakde Mul itu orang susah, mana punya dia uang simpanan lima puluh juta," kata Mas Arya lagi."Mas kok ngomong begitu, sih?" tanyaku tak suka.Mas Arya sudah terlampau sering begini, jika membicarakan masalah harta. Dia seringkali menyinggungku mengenai uang, padahal aku tak pernah bersikap kurang ajar padanya.Berapapun yang dia berikan, selalu aku terima dengan lapang dada. Bahkan kata kasarnya, kehidupan kami sepenuhnya ditopang oleh uangku. Uang Mas Arya sebagian besar diberikan untuk Ibu, tapi aku tidak masalah akan hal itu."Ya kan memang iya, Ra. Kamu sih enak banyak uang, kalau Pakde Mul kan tidak." Mas Arya berujar cuek. "Kemarin dia minjam uang sama aku, tapi aku tolak lah. Wong, aku nggak punya uang. Mungkin itu yang buat Pakde marah," katanya lagi.Aku menatap Mas Arya dengan kerutan dalam di keningku, kenapa Pakde-nya bisa marah? Aneh. Keluarga Mas Arya bukan sekali ini saja meminjam uang dengan suami ataupun mertuaku, baik keluarga dari Ibu dan Bapak selalu berlari ke sini jika membutuhkan uang, dan jika mertuaku tidak punya maka mereka akan 'meminjamkan' uangku pada keluarga Mas Arya.Bukannya aku perhitungan, membantu orang yang kesusahan, apalagi jika itu adalah keluarga, jelas saja aku akan menolong dengan kemampuan yang aku punya. Tapi, banyak dari uang yang aku pinjamkan tidak kembali. Kesal? Jelas ada. Tetapi mengeluh pada Mas Arya pun percuma, suamiku itu selalu bilang kalau aku tak kekurangan uang, sedangkan keluarganya kekurangan. Mau aku tagih langsung? Rasanya tak mungkin. Selain aku tak tahu dan tak mengenal mereka, alasan lain yang membuat aku enggan menagih adalah, yang meminjamkan uang itu adalah Mas Arya dan mertuaku. Bukankah tidak elok, jika aku yang menagih?"Kok Pakde marah, Mas? Kan, kamu memang nggak punya uang. Bukannya nggak mau bantu," ujarku akhirnya.Mas Arya menatapku dengan tajam, dan mendudukkan dirinya di sampingku. Pandangan matanya menatapku dengan lekat, seolah ingin memastikan kalau aku ada di sini untuk mendengarkan dia berbicara."Aku memang nggak punya uang, tapi kamu kan punya, Ra. Maksud Pakde Mul itu, ya kamu yang minjemin, lah." Mas Arya berujar cepat. "Kadang aku ini malu loh sama keluargaku, nikah sama orang kaya, tapi hidup gini-gini aja." Mas Arya melanjutkan.Ehhh? Maksudnya apa? ******4. Interogasi“Maksud kamu apa, Mas?” Aku menjawab cepat.Mata Mas Arya lalu memicing tajam, dan menatapku dengan dalam. Sedangkan aku sendiri langsung membalas tatapannya dengan pandangan tak kalah tajam, jelas saja aku tidak terima dengan kata-katanya barusan.“Kok, kamu jadi nyalahin aku sih, Mas?” tanyaku lagi.Mas Arya langsung memalingkan wajahnya ke arah jendela kamar, kelihatannya dia sadar kalau kata-katanya barusan menyinggungku. Karena aku sama sekali tidak mau melunturkan wajah masamku sedikitpun, biar dia sadar kalau aku tidak menyukai apa yang baru saja dia bilang.“Aku juga nggak tahu kalau Pakde Mul mau meminjam uang, lagian … uang yang dia pinjam saja belum dikembalikan sampai hari ini, gimana aku mau minjemin lagi, coba?" Aku berujar marah."Kamu kok, hitung-hitungan banget sih sama aku sekarang, Ra?" Mas Arya malah menjawab kata-kataku dengan pertanyaan, yang terdengar amat menyebalkan di telingaku."Loh, aku nggak pernah hitung-hitungan sama Mas, kok!" Aku berujar
5. Arra Hilang Kesabaran"Apa, sih? Kamu itu nggak usah kurang ajar deh sama suami!" Mas Arya menyahut cepat. "Pokoknya aku nggak mau dengar pembahasan tentang hal ini lagi! Kamu itu sebagai istri seharusnya bisa mendukung suami kamu, kamu seharusnya lebih banyak berdoa dan mengerjakan sesuatu yang bermanfaat di rumah ini. Bukannya malah menanyakan hal yang tidak diperlukan!" Mas Arya berujar lagi."Loh, nggak diperlukan bagaimana, Mas?" tanyaku sambil terkekeh kecil. "Tentu saja hal ini sangat diperlukan, benar-benar diperlukan. Malah aku itu menanyakan masalah uang yang kamu miliki. Memangnya nggak boleh seorang Istri bertanya kepada suami tentang uang miliknya?" tanyaku lagi."Ya, tapi kamu itu kan udah aku kasih uang, Ra, bukannya kekurangan," kata Mas Arya dengan cepat."Kita nggak kekurangan karena aku memakai uangku, Mas! Apa kamu kira uang kamu itu cukup untuk kita berempat? Enggaklah!" aku memetik kesal."Turunkan nada bicaramu, Arra! Tidak sepantasnya kamu berteriak di depan
MADU, YANG DIBELI OLEH MERTUAKUBab 6 Kedatangan Janda"Ibu?""Ibu tadi gak sengaja lewat, malah denger kalian ribut. Sudah toh, Arya. Kalau istrimu keberatan membantu Pakdemu, jangan dipaksa. Ibu gak mau rumah tangga kalian bersitegang karena saudara ibu jadi benalu. Ara, maafkan Arya, dan Pakdemu, yah.""Bukan gitu maksud Ara, Bu.""Tuh, ibuku tersinggung karena kamu. Jangan perhitungan, Ara, Bu maafkan istri Arya.""Jangan begitu, Arya. Ini bukan salah Ara. Ibu yang harusnya minta maaf sama Ara. Ra, maafkan saudara ibu, yah, ibu gak enak, selalu jadi beban."Ibu menampakkan raut sedih. Matanya berkaca-kaca, membuatku jadi tak enak hati. Niatnya ingin membuat Mas Arya tegas pada saudaranya, malah ibu yabg terluka karena sikapku. Rasanya sangat tidak tega, apalagi ibu sangat baik, aku sudah menganggapnya seperti ibu kandung sendiri. "Ya sudah, nanti Ara bantu Pakde.""Jangan, Ra, ibu gak mau kamu terbebani.""Enggak ko, Bu, demi ibu. Ibu jangan sedih, yah."Senyum merekah dari wajah
MADU, YANG DIBELI OLEH MERTUAKUBab 7 Mandul"Bu, ko, malah nangis, sih?""Ibu ngerasa serba salah, Nduk, ibu tahu kamu pasti marah kaya gini. Tapi, ibu juga gak tega. Mungkin karena ibu sangat menginginkan seorang cucu, saat melihat anak kecil terlunta-lunta, jadi gak tega. Ibu mohon yah, Nduk, izinkan Mela tinggal di sini. Biar dia jadi pembantu, bantu-bantu kamu di sini.""Tapi di rumah ini udah ada pembantu, Bu.""Ibu mohon, Nduk. Mela bilang, dia gak harus digaji, asal diberi tempat tinggal dan makan saja sudah cukup."Dilema, aku bingung harus mengambil keputusan seperti apa. Satu sisi tak mau janda itu tinggal di sini, takut dia menggoda suamiku, tapi aku tak tega dengan pada ibu mertua. Merasa bersalah, andai bisa memberi dia cucu, pasti tidak begini ceritanya. "Bu Lastri, Mbak Ara, saya pamit kembali ke desa saja, takutnya kedatangan saya malah menganggu kenyamanan Mbak Ara. Saya mohon maaf yah, Mbak. Raka, ayok, kita pulang, Nak."Melati menggandeng anaknya, sambil menenta
MADU, YANG DIBELI OLEH MERTUAKU8. Terpuruk"Coba di cek lagi, Dok. Dulu saya pernah hamil walaupun keguguran, terus setiap saya cek, katanya subur-subur saja.""Sepertinya saat proses pembersihan kurang baik, jadi meninggalkan sisa-sisa dan membuat ibu jadi susah hamil.""Tapi saya sering haid teratur, Dok.""Seperti yang saya bilang ibu ini kurang subur, bukan mandul. Jadi masih punya kemungkinan untuk hamil, tapi sangat kecil. Tolong tenang, yah, Bu, memang berat, tapi kalau ibu tahu hasilnya seperti ini, setidaknya ibu lebih lapang dada."Tanpa banyak kata lagi, aku langsung keluar dari ruang pemerikasaan. Merasa janggal dengan ucapan dokter. Walaupun, memang cukup masuk akal. Saat satu tahun pernikahan, aku pernah hamil, tapi keguguran. Saat itu dokter mendiagnosa kalau aku salah makan, padahal aku merasa sudah benar menjaga makanan. Sejak saat itu, sangat sulit untuk hamil."Sudahlah, jangan sedih, Ra. Mau punya anak atau tidak aku tetep suami kamu. Tenang saja, gak usah diambi
MADU, YANG DIBELI OLEH MERTUAKUBab 9 Ibu Mertua Dirawat "Kita ikutin saja kemauan ibumu, Mas.""Gila Kamu, Ra!""Ya sudah, coba Mas bilang ibumu biar tidak menekan aku terus, bisa stres aku kalau ditekan terus.""Loh, kenapa kamu malah nyalahin ibuku? lagian, gak usah didengerin, gampang. Kamu aja jadi perempuan terlalu baper, apa-apa bawa perasaan. Belajar cuek, beres, gak ribet kaya gini.""Ibu yang minta, bahkan ngusulin kamu nikah lagi. Bukan cuman sekali ngomongnya, tapi berkali-kali. Perempuan mana yang gak kepikiran?""Halah, salahkan diri kamu sendiri, malah menjadikan ibu kambing hitam. Maklumi dong, namanya orang tua, semakin tua emang banyak tingkahnya. Kamu harus bijak menanggapinya, gak usah dianggap serius.""Arrggh, terserah kamu, Mas!" sentakku kesal. Bukan mencari solusi, Mas Arya malah banyak bicara tanpa memberi jalan keluar. Aku putuskan pergi ke rumah sahabatku. Cape di sini terus, batin dan jiwa sedikit tertekan. Posisiku serba salah, aku butuh tempat mengadu.
MADU, YANG DIBELI OLEH MERTUAKUBab 10 Setuju Dipoligami"Arya, pikirkan matang-matang, ini demi kebaikan kita bersama.""Sudahlah, Bu. Jangan korbankan Ara demi ambisi ibu. Ada anak atau tidak, rumah tangga kami tetap bahagian.""Hiks, hiks, ibu memang egois, tapi ini demi kebaikan kamu juga, Arya. Anggap saja ini permintaan terkahir ibu. Mungkin, tak lama lagi ajal menjemput, hiks, hiks.""Bu, jangan ngomong kaya gitu."Mas Arya langsung diam seribu bahasa. Dia menjambak rambut frustasi. Lalu, duduk di rajang ibu. Matanya menatap serius ke arah ibunya. Tangan kanan mengusap pundak ibu, agar dia bisa berhenti menangis."Oke-oke, kalau itu bisa buat ibu bahagia, Arya setuju."Aneh, hatiku perih, dan rasanya teriris-iris. Padahal, aku yang menyetujuinya terlebih dulu. Tapi, mendengar ucapan pasrah dari suami, rasanya sakit hati juga. Aku pikir, Mas Arya akan mati-matian menolak. Mungkin, memang ini yang terbaik untukku. ***Setelah kami semua sepakat melakukan pernikahan kedua untuk M
MADU, YANG DIBELI OLEH MERTUAKUBab 11 Akad Nikah "Kalau pun dibatalkan, tetap saja Ara gak bakal hidup damai, terus dihantui rasa bersalah karena tak bisa memberi keturunan dan cucu. Ibu mertua sangat mendambakan kehadiran cucu kandung, Mbak.""Jangan lemah jadi perempuan, kita temui mertuamu.""Pakde, Ara paham Pakde sayang sama Ara, tapi semua ini sudah dipikirkan matang-matang. Tolong hargai keputusan Ara, Pakde.""Pikirkan lagi, Ra. Jangan hanya memikirkan kebahagian mertuamu, tapi kamu lupa dengan kebahagian diri sendiri.""Insyallah, ada hikmah indah di balik ini semua, Mbak.""Pergi dari sini.""Pakde ....""Cepat pergi!""Pak, jangan kasar gitu sama Ara.""Percuma saja kita membela anak ini, dia tidak peduli dengan dirinya sendiri. Adikku pasti kecewa di alam sana.""Hiks, hiks, Pakde ...." Kalau Pakde sudah bicara demikian, air mata langsung mengalir deras. Andai Pakde tahu, aku pun terluka. Tapi, dituntut punya keturunan dengan kondisi sulit hamil, sangat menyiksa. "Usir
MADU, YANG DIBELI OLEH MERTUAKUBab 37 Tamat“Berulah apa sih, Mas. Jelas-jelas makanannya gak enak, makanan murahan.”“Gak enak tapi abis, Mbak,” ujar karyawan katering.“Betul tuh, habis dua piring bilangnya gak enak,” ujar tamu undangan yang lain.“Iya nih, buat gaduh aja. Baru nemu mkanan enak yah, Mbak, jadinya norak.”“Eh, jaga moncongmu!”“Halah, ibu-ibu miskin tukang bikin sensasi. Ayok, bubar-bubar!” “Mel, ayok pergi!”“Awas kalian!”Mas Arya kelihatan menahan malu sekaligus kesal, pipinya memerah. Dia langsung menarik Melati pulang. Aku kasihan melihatnya, sudah diberi banyak peringatan, tetap saja belum sadar. Semoga suatu saat nanti Melati mendapat hidayah, agar bisa menjadi istri dan ibu yang baik.“Mereka sudah pergi, kamu jangan cemas lagi, Sayang. Orang yang hatinya jahat, akan memakan kejahatannya sendiri.”Aku tersenyum sambil menggenggam tangan suami. Kerusuhan yang dibuat Melati tak bearti apa-apa, diibandingkan kebahagianku yang tak ternilai ini. Mulai saat ini,
MADU, YANG DIBELI OLEH MERTUAKUBab 36 Akad Nikah"Jangan mulut Anda," bentak Mas Andra. Dia memang paling emosi kalau ada orang yang berbicara buruk kepadaku. Wajahnya langsung berubah menyeramkan."Melati, kamu pulang saja. Bikin rusuh.""Ih, emang kenyataan." Dengan wajah kesal karena dibentak dua pria sekaligus, Melati pergi sambil menutup sebagain wajahnya dengan selendang. "Andra, Ara, maafkan Melati.""Iya, tapi ajarin istri kamu, biar mulutnya tidak menyakiti orang terus.""Sudah, Mas, ayok kita pulang. Banyak yang harus diurus untuk pernikahan kita.""Sekali lagi maaf."Aku mengangguk, dan pamit pulang. Kasihan Mas Arya, kondisi sedang berduka, malah harus menanggung malu karena sikap istrinya yang tidak punya tata krama.“Jangan emosi, Sayang.” Aku genggam tangan Mas Andra saat kami di dalam mobil. Calon suamiku tersenyum sambil mencium tanganku.Hidup memang penuh misteri, dan kejutan indah. Dulunya aku yang selalu memperlakukan Mas Arya dan keluarga bak raja. Sementara ak
MADU, YANG DIBELI OLEH MERTUAKUBab 35 MeninggalPov Ara"Ya, sudah, ayok, Mas."Aku merasakan firasat tak enak. Pantas saja kemarin-kemarin gelisah, mendadak teringat mantan ibu mertua. Sejahat apapun dia, aku harus memaafkannya. Allah saja maha pemaaf, maka tak pantas jika hambanya sombong dan tak mau memaafkan kesalahan sesama manusia. "Pakde, aku izin mau menengok Bu Lastri di rumah sakit." Sebelum berangkat aku izin dulu kepada orang rumah. "Jangan diizinin, Pak. Lagian ngapain sih, Ra, kamu ke sana. Ingat perbuatan buruk mereka dulu. Udah, kamu fokus sama kebahagian kamu saja. Anggap mereka gak ada di muak bumi," ujar Mbak Yuli emosi. Dia melirik sinis ke arah Mas Arya yang sedang menunggu di teras. "Aku cuman mau nengok Bu Lastri, Mbak. Itu permintaan dia, takutnya ...," ucapanku menggantung, tak tega membayangkan kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi."Pergi, Nak," ujar Pakde Ahmad. Aku tersenyum senang, lalu mencium tangannya. Aku dan Mas Arya berangkat ke rumah sakit.
MADU, YANG DIBELI OLEH MERTUAKUBab 34 Melati Kena Batunya"Apa istri saya kecelakaan, Sus?""Betul, Pak. Silakan datang ke rumah sakit Medika.""Iya, Sus, saya segera ke sana."Astaga ada-ada saja, kenapa Melati bisa ada di kabupaten sebelah. Sebenarnya dia mau ke mana, sampai kecelakaan. Aku memberitahu kabar ini pada ibu, dan menitipkan anak-anak. Lalu, bersiap menggunakan motor menuju alamat rumah sakit. Perjalanan sekitar satu jam setengah. Akhirnya sampai juga, aku di arahkan masuk ke ruang rawat Delima. Di sana Melati sedang terbaring lemah dengan kondisi wajah dipenuhi perban. "Melati, sadar, Mel.""Ma-mas, akhirnya kamu datang. Wajahku perih, Mas.""Mangkanya jangan bertingkah, Mel. Kenapa segala kabur, rasakan akibatnya. Wajahmu rusak kaya gini."Melati terdiam sambil menangis. Lalu, ada seorang perempuan seumuranku masuk. Ternyata dia yang menabrak. Diceritakan kronologi kecelakaan, bahwa Melati lengah di jalanan, dan pelaku kaget, tapi untungnya menyenggol tubuh melati t
MADU, YANG DIBELI OLEH MERTUAKUBab 33 Pangeran Untuk Ara"Jadi, kita sepakati hari pernikahannya satu bulan lagi," ujar Pakde Ahmad."Setuju, Pak.""Alhamdulilah."Semua orang memancarkan aura kebahagian. Apalagi Kevandra, pasti dia merasa sangat beruntung mendapatkan Ara. Di lubuk hati ini terasa perih, bagai dikuliti hidup-hidup. Aku mematung menyaksikan kebahagian mantan istriku. Saat tersadar, aku melangkah untuk pergi. Berat sekali kaki ini melangkah. Tapi, aku harus sadar diri siapa diri ini. Hanya sampah masa lalunya Ara. Sampai kapan pun, tak bisa jadi pangeran Ara lagi. "Arya.""Mas Arya."Saat mau pergi, dua sejoli itu memanggilku. Aku lukiskan senyum terpaksa. Mereka melangkah mendekat. "Ngapain kamu di sini, Mas?" tanya Ara dengan raut jutek. "A-aku ... mampir saja, habis dari rumah Anwar.""Oh.""Masuk, Arya, kebetulan sedang ada acara lamaran. Kalau gak buru-buru bergabung sama kita.""Ka-kalian mau menikah?" tanyaku gugup, bercampur kaget."Iya, Mas. Insyallah satu
MADU, YANG DIBELI OLEH MERTUAKUBab 32 Ibu Jadi Pembantu"Bagaimana istri saya, Bu bidan?""Tenang, Pak, saya sudah memberikan suntikan penenang. Istri bapak mengalami sindrom baby blues, nanti juga reda dengan sendirinya. Tolong jangan dibentak, atau disuruh kerja berat, harus dilayani dengan baik. Agar pikirannya tidak semakin kacau."Ada-ada saja, kondisi ekonomi sulit, dompet menjerit, istri malah membuatku seolah-olah terlilit. Ibu lumpuh, aku harus jualan, bagaimana caranya menjaga mereka sekaligus berjualan. Arrgh, cobaan makin tidak karuan. "Saya pamit dulu, yah, Pak.""Iya, Bu bidan.""Kami juga pamit, Arya," ujar ibu-ibu tetangga rumah. Melati tertidur tenang di atas kasur. Giliran aku yang harus berubah dari tulang punggung menjadi tulang rusuk. Aku memandikan Raka, dan menjaga putri kecilku. "Bu, mau ngapain?""Biar ibu yang masak, Arya.""Gak usah, Bu, memangnya bisa?""Bisa, Arya. Ibu bisa masak sambil duduk, tapi tolong kompornya simpan di meja lebih pendek.""Iya, B
MADU, YANG DIBELI OLEH MERTUAKUBab 31 Operasi"Arrgh, ketubanku pecah, Mas. Panggil bantuan!" teriak Melati panik. "Bu, tolong jagain Melati dulu, Arya mau cari bantuan.""Iya Arya, sana buruan."Aku panik luar biasa, ke sana ke mari cari bantuan tak ada. Ke mana penghuni bumi, kenapa sulit sekali ditemukan. "Tolong ....""Arya, kenapa?" tanya salah satu warga."To-tolong, istri saya mau lahiran," ujarku dengan napas tersengal-sengal. Berlarian ke sana ke mari baru dapat bantuan. Bapak tersebut mencari bantuan juga, akhirnya kami hubungi mobil ambulan desa untuk mengantar Melati ke puskesmas."Maaf pak, kami tidak sanggup menangani istri Anda, harus dibawa ke rumah sakit daerah, agar dilakukan tindakan operasi."Ya Allah, ini cobaan atau karma. Aku sendirian harus mengurus ini dan itu. Melati tak punya kartu BPJS, untungnya aku masih punya simpanan. Hampir seharian menunggu proses operasi mulai dari tahap-tahap awalnya. Aku menunggu beberapa jam sampai operasi selesai. Syukurlah,
MADU, YANG DIBELI OLEH MERTUAKUBab 30 Boros Kebangetan "Bakso ... bakso ...."Sudah hampir dua jam berkeliling belum ada satu mangkok bakso pun yang terjual. Ke mana para pembeli, padahal beberapa hari lalu jualanku cukup ramai. Cape sekali mencari nafkah. Bodohnya aku pernah jadi suami dari istri kaya, harusnya dipertahankan. Bukan malah dikecewakan. Sekarang, harus menanggung hidup miskin. Ditambah lagi punya istri kurang becus, mata duitan, dan tidak bisa melayani suami dengan baik."Melati!" teriakku melihat Melati naik ojek. Sayangnya dia tak melihatku. Dia membawa beberapa belanjaan. Apa dia baru pulang belanja? astaga, benar-benar perempuan itu. Dia suruh ibuku yang sedang sakit menjaga Raka? dasar gak ada pikirannya. Emosi menggebu-gebu, tapi aku harus terus jualan. Untungnya ada pelanggan yang datang. Seketika kesal yang mendera hilang begitu saja. Terganti rasa bahagia karena daganganku laku. "Bakso satu, Mas. Jangan pake mie kuning, yah.""Siap, Bu.""Bakso lima, Mas,
MADU, YANG DIBELI OLEH MERTUAKUBab 29 Istri Kurang Ajar"Oke-oke Mas kasih kamu lima juta. Tapi, ini buat makan sebulan.""Buruan mana duitnya."Aku berikan saja uang lima juta. Jika tidak, Melati bisa mengamuk. Sikapnya makin diluar nalar, dan kurang ajar. Tapi mau bagaimana lagi, dia ibu dari anak-anakku. Kewajibanku memang memenuhi nafkah lahir batinnya. Walaupun, Melati sama sekali tidak melihat kondisi suami. "Nah, gitu dong, ini uang buat aku ke salon sama beli baju. Kalau uang dapur, ya, beda lagilah.""Tapi Mel, kita harus hemat, Mas mau buka usaha.""Ya Elah, itu uangnya masih banyak. Kalau gak ada duit, ya, udah gak usah beli kursi roda.""Astaga, Mel, kamu ini jadi istri gak pengertian banget."Melati sama sekali tidak mendengarkan ucapanku. Semakin hari, sikapnya tak acuh. Sebagai istri harusnya dia mendukungku, bukan malah menambah beban semakin runyam. Sangat berbeda sekali dengan Ara. Meski sudah disakiti dia tetap mau membantu.Hari ini juga aku akan membeli kursi ro